Assalamu'alaikum..
Sore akhie ukhtie'..
SUJUD YANG TURUN LUTUT ATAU TANGAN DULUAN, berikut penjabaran nye yang ane sertain dalil² nye..
Tentang meletakkan tangan lebih dulu atau lutut lebih dahulu sewaktu akan sujud.
Para
ulama telah berselisih tentang masalah ini, tetapi yang rajih lagi
shahih adalah meletakkan kedua tangan lebih dahulu, karena dalilnya
shahih, dan maknanye jelas!
DALIL MELETAKKAN TANGAN LEBIH DAHULU SEWAKTU AKAN SUJUD
1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Jika
salah seorang dari kamu (berkehendak) sujud, maka janganlah dia
menderum sebagaimana menderumnya onta, maka hendaklah dia meletakkan
kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Hadits Shahih.
Diriwayatkan oleh Ahmad II/381, Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/70),
An-Nasa-I II/207, Ad-Darimi I/245, Al-Bukhari di dalam At-Tarikhul Kabir
I/1/139, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/245, Al-Hazimi di
dalam Al-I’tibar (hal:158-159), Ad-Daruquthni I/344-345, Al-Baihaqi
II/99-100, Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla IV/128-129, Al-Baghawi di dalam
Syarhus Sunnah III/134-135, dari jalan Ad-Darawurdi, dia berkata:
Muhammad bin Abdillah Al-Hasan bercerita kepada kami, dari Abuz Zinad,
dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Syech Abu Ishaq Al-Huwaini berkata: “Isnadnya
shahih, tidak ada kesamaran. Tetapi Syeikhul Islam Ibnul Qayyim
rahimahullah di dalam kitabnya yang istimewa, Zadul Ma’ad, menyebutkan
beberapa cacatnya, tetapi berdasarkan penelitian tidak-lah demikian”
2 .Hadits Abu Hurairah yang shahih di atas dikuatkan lagi oleh hadits Ibnu ‘Umar:
قَالَ نَافِعٌ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ n يَفْعَلُ ذَلِكَ
“Nafi’ berkata: “Kebiasaan Ibnu ‘Umar meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Hadits
Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahihnya secara ta’liq
(tanpa menyebutkan sanadnya-Red), dan disambungkan sanadnya oleh Ibnu
Khuzaimah I/318-319, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/254,
Ad-Daruquthni I/344, Al-Hakim I/226, Al-Baihaqi II/100, Al-Hazimi di
dalam Al-I’tibar (hal:160), dari jalan Ad-Darawurdi, dari ‘Ubaidillah
bin ‘Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar.
Syech Abu Ishaq
Al-Huwaini menyatakan bahwa Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan
syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan hadits itu memang
sebagaimana yang dikatakan oleh keduanya”.
3.
Al-Mawirzi menyebutkan di dalam “Masailnya” dengan sanad yang shahih
dari Al-Auza’I, bahwa dia mengatakan: “Aku mendapati orang-orang
meletakkan tangan mereka sebelum lutut mereka”.
Riwayat
ini disebutkan oleh Al-Albani di dalam Shifatush Shalat, dan beliau
menyatakan: “Ibnu Sayyidinnas berkata: “Hadits-hadits yang mendahulukan
kedua tangan lebih kuat”.
Ibnu Hazm berkata: “Kewajiban
bagi setiap orang yang shalat jika bersujud, untuk meletakkan kedua
tangannya ke tanah sebelum kedua lututnya, dan itu harus”. (Al-Muhalla
IV/129)
DALIL MELETAKKAN LUTUT LEBIH DAHULU SEWAKTU AKAN SUJUD DAN BANTAHANNYA.
1. Dari Wail bin Hujr, dia berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Aku
melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau bersujud
meletakkan kedua lutunya sebelum kedua tangannya, dan jika beliau
bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Hadits
Dha’if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/68-74),
An-Nasa-i II/206-207, Ibnu Majah I/287, Ad-Darimi I/245, Ath-Thahawi di
dalam Syarh Ma’anil Atsar I/255, Ad-Daruquthni I/345, Al-Hakim di dalam
Al-Mustadrak (I/226), Ibnu Hibban (487), Al-Baihaqi II/98, Al-Baghawi di
dalam Syarhus Sunnah III/133, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar
(hal:160-161) dari jalan Syarik An-Nakh’i, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari
bapaknya, dari Wail bin Hujr.
• Tirmidzi berkata: “Ini hadits Hasan Gharib. Kami tidak mengetahui seorangpun meriwayatkan seperti ini dari Syarik”.
• Al-Baghawi dan Al-Hazimi mengikutinya, dan berkata: “Hadits Hasan”.
• Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.
Tetapi pernyataan di atas terhadap hadits ini tertolak, dengan penjelasan sebagai berikut:
•
Ad-Daruquthni berkata: “Yazid bin Harun meriwayatkan sendirian dari
Syarik, dan tidak ada yang menceritakan dari ‘Ashim bin Kulaib kecuali
Syarik. Sedangkan Syarik tidaklah begitu kuat jika dia meriwayatkan
sendirian”.
• Al-Baihaqi (II/101)berkata: “Isnadnya dha’if”. Dia
juga berkata: “Hadits ini dihitung sebagai hadits-hadits yang hanya
diriwayatkan oleh Syarik Al-Qadhi, dan dia hanyalah diikuti oleh Hammam
dari jalan ini, tetapi secara mursal (hanya sampai sahabat, tidak dari
Nabi-Red), inilah yang disebutkan oleh Al-Bukhari dan para hafizh
terdahulu lainnya rahimahumullah”.
• Ibrahim bin Sa’id Al-jauhari berkata: “Syarik telah keliru di dalam 400 hadits”.
• An-Nasa-i berkata: “Dia tidaklah kuat”.
• Yahya bin Sai’d juga sangat melemahkannya.
•
Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan: “Perkataan dari para mereka
inilah yang menentramkan jiwa seorang yang adil. Karena sesungguhnya
tidaklah diketahui yang mengikuti Syarik kecuali Hammam, itupun Hammam
menyelisihinya dalam isnadnya.
Sedangkan Syarik adalah perawi yang
buruk hafalannya, sedangkan perawi yang buruk hafalannya tidaklah
dipakai sebagai hujjah jika dia bersendirian, apalagi jika dia
menyelisihi!”.
• Beliau juga menyatakan: “Dengan demikian
perkataan Tirmidzi bahwa hadits itu Hasan, tidak-lah hasan (baik), lebih
berat lagi perkataan Al-Hakim bahwa hadits itu: “Shahih berdasarkan
syarat Muslim”, walaupun disepakati oleh Adz-Dzahabi! Karena imam Muslim
hanyalah menggunakan Syarik sebagai mutaba’ah (penguat), tidak
menjadikannya sebagai hujjah, maka bagaimana dia ternasuk syarat imam
Muslim. Hal itu juga sudah dinyatakan dengan terang-terangan oleh
Adz-Dzahabi sendiri di dalam Al-Mizan, tetapi seolah-oleh dia terlupa
darinya, maka Maha Suci Allah yang tidak pernah luap”
2.
Sama dengan hadits di atas, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi,
namun dari jalan Hammam, dia berkata: “Muhammad bin Juhadah telah
menceritakan kepada kami dari ‘Abdul Jabbar bin Wail bin Hujr, dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tetapi hadits ini
lemah, karena Abdul Jabbar tidak mendengar dari bapaknya, sebagaimana
dikatakan oleh Al-Hafizh di dalam At-Talkhish I/254, sehingga Al-Hafizh
Al-Hazimi tidak menganggap jalan ini sama sekali. Dia berkata (hal:161):
“Yang mursal itulah yang lebih kuat”.
Dengan demikian jelaslah bahwa hadits Wail di atas memiliki dua cacat:
1. Kelemahan Syarik.
2. Penyelisihan Hammam.
3.Hadits Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beilau bersabda:
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَلاَ يَبْرُكْ كَبُرُوْكِ الْفَحْلِ
“Apabila
salah seorang dari kamu bersujud, maka janganlah dia memulai dengan
kedua lututnya, dan janganlah dia mendekam sebagaimana mendekamnya
binatang jantan”.
Dalam lafazh lain dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَنَّهُ كَانَ إِذَا سَجَدَ بَدَأَ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ
“Bahwa beliau apabila bersujud, beliau memulai dengan kedua lututnyasebelum tangannya”. [Hadits Dha’if]
Kedua
hadits ini asalnya satu, riwayat Ibnu Abi Syaibah I/263; Ath-Thahawi
I/255; Al-Baihaqi II/100; dari jalan Muhammad bin Fudhail, dari Abdullah
bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, secara marfu’ (dari Nabi).
Hadits ini memiliki cacat, yaitu Abdullah bin Sa’id ini telah dinyatakn
dusta oleh Yahya Al-Qaththan.
Ahmad berkata:
“Haditsnya munkar dan ditinggalkan”. Ibnu ‘Adi berkata: “Kebanyakan yang
dia riwayatkan kelemahannya nyata”. Al-Hakim Abu Ahmad berkata: “Orang
yang haditsnya pergi (lemah)”. Al-Hafizh berkata di dalam Fathul Bari
II/291: “Isnadnya dha’if.
4. Hadits Anas bin Malik, dia berkata:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهَ n انْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ فَسَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dengan bertakbir, kedua lututnya mendahului kedua tangannya”.
Hadits
Dha’if. Riwayat Ad-Daruquthni I/345; Al-Hakim I/226; Al-Baihaqi II/;
Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla IV/129; Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar
(hal: 159); dari jalan Al-‘Ala’ bin Isma’il Al-‘Aththar, dia berkata:
Hafsh bin Ghayyats telah bercerita kepada kami, dari ‘Ashim Al-Ahwal,
dari Anas.
• Ad-Daruquthni, juga diikuti Al-Baihaqi,
berkata: “Al-‘Ala’ bin Isma’il bersendirian (meriwayatkan) dari Hafsh di
dalam isnad ini “.
• Al-Hafizh berkata di dalam At-Talkhish
I/254: “Al-Baihaqi berkata di dalam Al-Ma’rifah: Al-‘Ala’ bin
(meriwayatkan) sendirian, sedangkan dia itu majhul (tidak dikenal)”.
Ibnul Qayyim menyetujuinya.
• Setelah diketahui cacat hadits ini,
maka tertolaklah perkataan Al-Hakim bahwa hadits ini: “Shahih
berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, walaupun disepakati oleh
Adz-Dzahabi!
• Ibnu Abi Hatim menukilkan tentang hadits ini dari
bapaknya di dalam Al-‘ilal I/188: “Hadits Munkar”. Ibnul Qayyim
menyetujuinya.
• Cacat lain hadits ini adalah, bahwa ‘Umar bin
Hafsh, perawi yang paling terpercaya yang meriwayatkan dari bapaknya
(Hafsh bin Ghayyats), telah menyelisihi Al-‘Ala’ (perawi hadits di
atas). Yaitu dia meriwayatkan dari bapaknya bahwa Umar bin Khaththab-lah
yang meletakkan dua tangannya itu lebih dulu sebelum dua lututnya.
Umar
bin Hafsh bin Ghayyats berkata: bapak-ku telah bercerita kepada kami,
dia berkata: A’masy telah bercerita kepada kami, dia berkata: Ibrahim
telah bercerita kepada kami, dari para sahabat Abdullah, yaitu: ‘Alqamah
dan Al-Aswad, keduanya berkata:
حَفِظْنَا عَنْ عُمَرَ فِيْ صَلاَتِهِ أَنَّهُ خَرَّ بَعْدَ رُكُوْعِهِ عَلَي يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Kami
menghafal dari Umar (bin Al-Khathtahb) di dalam shalatnya, bahwa dia
turun setelah ruku’nya di atas kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.
Dan
cacat ini telah diakui oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam
Al-Lisan, dia berkata: “Umar bin Hafsh bin Ghayyats telah
menyelisihi-nya (Al-‘Ala’), sedangkan dia adalah manusia yang paling
terpercaya yang meriwayatkan dari bapaknya, dia meriwayatkan dari
bapaknya, dari A’masy, dari Ibrahim, dari‘Alqamah, dan lainnya, dari
Umar (bin Al-Khathtahb) secara mauquf (hanya sampai sahabat Umar),
inilah yang mahfuzh (lebih terjaga)”.
Dikatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah, seandainya hadits ini shahih, tetap tidak dapat menjadi hujjah, karena dua perkara:
•
Di dalam hadits Anas ini tidak ada keterangan bahwa Rasulullah n
meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, karena yang
disebutkan hanyalah kedua lutut dan kedua tangan saja. Bisa jadi yang
mendahului itu adalah gerakan keduanya, bukan di dalam meletakkannya.
Dengan demikian kedua riwayat itu sesuai.
• Jika di dalam hadits
itu ada dalil meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, maka itu
menunjukkan asal perbuatan itu boleh. Tetapi hadits Abu Hurairah
menambah syari’at baru –tanpa keraguan- yaitu menghilangkan kebolehan
tersebut, melarangnya –dengan yakin- , maka tidak boleh meninggalkan
yang yakin karena persangkaan yang dusta!”
4.Hadits Sa’ad bin Abi Waqqas, dia berkata:
كُنَّا نَضَعُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ الْرُكْبَتَيْنِ فَأُمِرْنَا بِوَضْعِ الْرُكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ
“Kami
dahulu meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, kemudian kami
diperintahkan untuk meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan”.
Hadits
Dha’if. Riwayat Ibnu Khuzaimah I/319 dan Al-Baihaqi I/100, dari jalan
Ibrahim bin Isma’il bin Yahya Ibnu Salamah bin Kumail, dia berkata:
bapakku telah menceritakan kepadaku, dari bapaknya, dari Salamah, dari
Mush’ab Ibnu Sa’ad bin Abi Waqqash, dari bapaknya.
Sebagian
ulama (seperti: Al-Khaththabi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnul Qayyim)
menyatakan bahwa hadits ini menasakh (menghapuskan) hadits yang melarang
meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan. Tetapi pendapat mereka
tertolak, karena hadits ini dha’if, sedangkan yang dinasakh (dihapuskan)
adalah hadits yang shahih! Bagaimana bisa diterima hadits dha’if
menasakh (menghapuskan) hadits shahih?
Hadits ini memiliki dua cacat:
•
Tentang Ibrahim bin Isma’il ini, Ibnu Hibban dan Ibnu Numair berkata:
“Di dalam riwayatnya dari bapaknya terdapat sebagian hal-hal yang
mungkar”. Dan Al-‘Uqaili menyatakan: “Ibrahim tidaklah menegakkan hadits
itu”.
• Bapaknye, yaitu Isma’il bin Yahya, perawi matruk (yang
ditinggalkan), sebagaimana dikatakan oleh Al-Azdi dan Ad-Daruquthni. Dan
Ibnu Hajar juga telah mengisyaratkan hal itu di dalam Fathul Bari:
“Ibnu Khuzaimah menyangka adanya naskh (penghapusan hukum), seandainya
hadits yang menghapuskan itu shahih, niscaya hal itu telah menyelesaikan
perselisihan. Tetapi hadits itu termasuk hadits-hadits yang hanya
diriwayatkan oleh Ibrahim bin Isma’il bin Yahya Ibnu Salamah bin Kumail
dari bapaknye, sedangkan keduanya lemah”.
Syeikh
Al-Albani ketika membantah pernyataan Al-Khaththabi tentang naskh
(penghapusan hukum) tersebut, menyatakan: “ Hafizh Al-Hazimi berkata:
“Persangkaan Al-Khaththabi tentang naskh (penghapusan hukum) ini jauh
dari kebenaran, karena dua sisi:
• Bahwa hadits Abu Hurairah (yang dihapuskan) isnadnya shahih, sedangkan hadits Wail dha’if.
•
Bahwa hadits Abu Hurairah (yang dihapuskan) merupakan perkataan,
sedangkan hadits Wail perbuatan. Sedangkan perkataan didahulukan dari
pada perbuatan pada saat adanya pertentangan. Ada lagi sisi ketiga,
yaitu bahwa hadits Abu Hurairah memiliki penguat dari perbuatan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mengambil perbuatan beliau yang
sesuai dengan perkataannya lebih utama daripada mengambil perbuatan
beliau yang menyelisihi perkataannya. Ini adalah jelas, tidak akan
tersembunyi, insya Allah. Dan itulah pendapat Malik, dan Ahmad,
sebagaimana disebutkan di dalam At-Tahqiq karya Ibnul Jauzi”.
(Al-Misykah I/282)
5. Hadits Wail bin Hujr, dia berkata:
صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ ثُمَّ سَجَدَ فَكَانَ أَوَّلَ مَا وَصَلَ إِلَي اْلأَرْضِ رُكْبَتَاهُ
“Aku
shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian belaiu
bersujud, maka yang pertama kali sampai ke bumi adalah kedua lututnya”.
Hadits
Dha’if. Riwayat Al-Baihaqi II/99, dari jalan Muhammad bin Hujr, dia
berkata: Sa’id bin Abdul Jabar bin Wail telah menceritakan kepada kami,
dari ibunya, dari Wail bin Hujr. Hadits ini memiliki dua cacat:
•
Muhammad bin Hujr ini, Al-Bukhari berkata: “Padanya ada beberapa
pandangan”. Adz-Dzahabi berkata: “Dia memiliki riwayat-riwayat yang
mungkar”.
• Sa’id bin Abdul Jabar, Nasai berkata: “Dia tidaklah kuat”.
Dan dia bukanlah Sa’id bin Abdul Jabar Al-Qurasyi, karena perawi ini termasuk guru imam Muslim.[8]
6. “Bahwa Abdullah bin Mas’ud biasa meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya”.
Diriwayatkan
oleh Ath-Thahawi I/256, dari jalan Hammad bin Salamah dari Al-Hajjaj
bin Artha-ah, Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Dihafal dari Abdullah bin
Mas’ud bahwa kedua lututnya turun ke tanah sebelum kedua tangannya”.
Tetapi
isnadnya dha’if, lemah, selain juga mauquf (hanya sampai sahabat).
Al-Hajjaj bin Artha adalah perawi lemah dan mudalis (perawi yang suka
menyamarkan hadits), dan dia telah menggunakan perkataan yang
menunjukkan tadlis (penyamaran). Kemudian bahwa Ibrahim An-Nakha’i tidak
bertemu Abdullah bin Mas’ud. Seandainya shahih-pun, maka riwayat ini
bukanlah hujjah, karena riwayatnya mauquf, sedangkan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dipertentangkan dengan perbuatan
sahabat.
SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
Syeikhul
Islam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam Zadul Ma’ad, menyebutkan
beberapa cacat hadits Abu Hurairah (hadits no:1), yang kemudian hal itu
diikuti oleh orang-orang lain setelah beliau!, tetapi berdasarkan
penelitian tidak-lah demikian, inilah secara ringkas bantahan terhadap
hal tersebut:
1. “Bahwa hadits Wail (meletakkan tangan dahulu) lebih kuat dari pada hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu)”.
Bantahan
: Penjelasan kami di atas telah menunjukkan bahwa hadits Wail adalah
hadits dha’if, sedangkan hadits Abu Hurairah adalah hadits shahih.
2.
Bahwa hadits Abu Hurairah kemungkinan matannya (teksnya) terbalik dari
sebagian perawi, karena awal perkataan menyelisihi akhir perkataan.
Kemungkinan yang benar: “Hendaklah ia meletakkan dua lututnya lebih
dahulu daripada dua tangannya”. Sebagaimana diriwayatkan pada hadits
lain.
Bantahan: Bahwa hadits Abu Hurairah (meletakkan
lutut lebih dahulu) adalah shahih, dan seluruh hadits yang bertentangan
dengan ini adalah dha’if, sehingga tidak dapat diterima membikin
kemungkinan-kemungkinan berdasarkan hadits yang dha’if.
3. Bahwa jika hadits Abu Hurairah shahih, maka hadits itu mansukh (dihapuskan hukumnya).
Bantahan
: Hadits-hadits yang dikatakan menghapuskan semuanya dha’if sebagaimana
di atas, sehingga pernyataan itu tidak dapat diterima.
4. Hadits Abu Hurairah matannya (teksnya) mudh-tharib (goncang), sehingga termasuk lemah.
Bantahan
: Hadits mudh-tharib (goncang) adalah hadits yang diriwayatkan dengan
teks yang berbeda-beda, yang hampir sama. Lalu perbedaan itu mungkin
dari satu perawi, yaitu seorang perawi meriwayatkan dengan teks yang
berbeda-beda, atau dari banyak perawi yang setiap perawi meriwayatkan
teks yang berbeda-beda dari perawi yang lain. Mudh-tharib (kegoncangan)
ini menunjukkan lemahnya hadits.
Tetapi jika salah satu
dari riwayat, atau beberapa riwayat dapat dinyatakan lebih kuat
daripada yang lain, dengan kekuatan hafalan perawinya, atau lama
bergaulnya, atau lain-lain bentuk tarjih (penguatan), maka yang
dipegangi adalah yang lebih kuat, dan hadits itu bukan menjadi hadits
mudh-tharib. Inilah kaedah yang telah dibuat oleh para pendahulu kita
tentang hadits yang diperselisihkan dalam masalah hadits mudh-tharib.
Jika
hal ini telah diketahui, maka hadits Abu Hurairah ini tidak termasuk
hadits mudh-tharib, karena telah diketahui mana yang lebih kuat di
antara riwayat yang diperselisihkan.
5. Bahwa perawi
hadits Abu Hurairah ada pembicaraan. Al-Bukhari berkata: “Aku tidak
mengetahui apakah Muhammad bin Abdillah Al-Hasan mendengar dari Abuz
Zinad atau tidak…”
Bantahan : Perkataan imam Al-Bukhari
ini bukanlah celaan sama sekali, karena syarat Al-Bukhari telah ma’ruf,
sedangkan mayoritas ulama menyelisihinya, yaitu mereka berpendapat
perawi dapat diterima dengan hidup semasa dengan yang diambil riwayatnya
dan aman dari tadlis (penyamaran).
Ibnu Turkumani
berkata di dalam Al-Jauhar An-Naqi: “Muhammad bin Abdillah Al-Hasan
dinyatakan terpercaya oleh Nasa-i, sedangkan perkataan Al-Bukhari bahwa
dia (Muhammad) tidak diikuti haditsnya bukanlah celaan yang nyata,
sehingga tidak bertentangan dengan pernyataan terpercaya oleh Nasa-i
(terhadap : “Muhammad bin Abdillah Al-Hasan)”.
Al-Mubarakfuri
berkata di dalam Tuhfatul Ahwadzi II/135: “Sedangkan perkataan
Al-Bukhari bahwa dia (Muhammad) tidak diikuti haditsnya, maka tidaklah
mengapa, karena Muhammad bin Abdillah Al-Hasan adalah perawi yang
terpercaya, dan haditsnya memiliki penguat dari hadits Ibnu Umar”.
Juga Asy-Syaukani telah menyatakan demikian di dalam Nailul Authar II/284.
Syeikh
muhaddits Abul Asybal Ahmad bin Muhammad Syakir berkata di dalam
komentarnya terhadap Al-Muhalla IV/128-130, setelah membawakan hadits
Abu Hurairah: “Isnad hadits ini shahih, Muhammad bin Abdillah Al-Hasan,
adalah nafsu zakiyah (ini gelarnya, yang artinya jiwa yang suci-Red),
dia seorang yang terpercaya”. Al-Bukhari telah menyatakan cacat hadits
itu bahwa dia tidak mengetahui apakah Muhammad bin Abdillah Al-Hasan
mendengar dari Abuz Zinad atau tidak, tetapi ini bukanlah cacat yang
(merusakkan), karena syarat Al-Bukhari telah ma’ruf tidak diikuti oleh
seorangpun, sedangkan Abuz Zinad wafat di Madinah th 130 H, dan Muhammad
adalah orang Madinah juga, menguasai Madinah, lalu terbunuh th 145 H,
dengan umur 53 th, sehingga telah bertemu lama dengan Abuz Zinad”.
6.
Ad-Daruquthni menyatakan bahwa “Ad-Darawurdi sendirian menceritakan
dari Muhammad bin Abdillah Al-Hasan. Juga Ash-bagh bin Al-Faraj
sendirian menceritakan dari Ad-Darawurdi”.
Bantahan:
• Ad-Darawurdi perawi terpercaya, sehingga meriwayatkan sendirian tidak membahayakan.
•
Sebenarnya dia tidak bersendirian , bahkan telah diikuti oleh Abdullah
bin Nafi’ dari Muhammad bin Abdullah, Pada riwayat Abu Dawud (841),
Nasa-I II/208, Tirmidz II/57-58 (Syakir). Perkataan Ad-Daruquthni itu
telah dibantah oleh Al-Hafizh Al-Mundziri dengan pernyatan seperti itu.
Dan Asy-Syaukani berkata: “Tidak mengapa bersendiriannya Ad-Darawurdi,
karena imam Muslim telah mengeluarkan riwayatnya dan berhujjuh dengannya
di dalam Shahih Muslim, demikian juga imam Bukhari mengeluarkan
riwayatnya dan berhujjuh dengannya”.
Dan hal ini diakui oleh Al-Mubarakfuri penulis Tuhfatul Ahwadzi.
7.
Bahwa hadits Wail (meletakkan tangan dahulu) memiliki riwayat-rawayat
lain yang menguatkan, sedangkan hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut
lebih dahulu) tidak.
Bantahan : Sesungguhnya hadits Abu
Hurairah adalah shahih, dan memiliki riwayat-rawayat shahih lain yang
menguatkan. Sedangkan hadits Wail adalah hadits lemah, dan seluruh
riwayat-rawayat lain yang menguatkan juga lemah, sebagaimana telah
dipaparkan di atas.
8. Syeikhul Islam Ibnul Qayyim
berkata: “Lutut onta tidaklah pada tangannya, dan jika mereka
mengistilahkan dua tangan itu dengan dua lutut, maka itu hanyalah secara
umum! Dan bahwa pendapat lutut onta pada tangannya itu tidak dikenal
oleh ahli bahasa”.
Bantahan : “Syech Abu Ishaq
Al-Huwaini berkata: “Perkataan ini perlu diperiksa, lutut onta adalah
pada tangannya, itulah yang dinyatakan oleh ahli bahasa, walaupun
diingkari oleh Syeikhul Islam (Ibnul Qayyim).
Ibnul Mandzur berkata di dalam Lisanul ‘Arab XIV/236: “Dan lutut onta pada tangannya”.
Al-Azhari berkata di dalam Tahdzibul Lughah X/216: “Dan lutut onta pada tangannya”.
Ibnul
Sayyidah berkata di dalam Al-Muhkam wal Muhith VII/16: “Dan setiap yang
memiliki empat kaki dua lututnya pada kedua tangannya”.
Ibnu Hazm berkata di dalam Al-Muhalla IV/129: “Dan kedua lutut onta adalah pada lengan (tangan)nya”.
Mengomentari
perkataan Abu Hurairah dengan sanad yang shahih: “Janganlah salah
seorang dari kamu menderum seperti menderumnya onta lari”,
As-Saraqasbithi berkata di dalam Gharibul Hadits II/70: “Ini adalah di
dalam sujud, yaitu janganlah seseorang menjatuhkan dirinya sama sekali
sebagaimana dilakukan onta lari yang tidak tenang terus menerus, tetapi
hendaklah dia turun dengan tenang meletakkan kedua tangannya lalu kedua
lututnya”. [Sifat Shalat Nabi, Al-Albani]
Demikian juga
hal itu dikuatkan oleh kisah Suraqah bin Malik riwayat Bukhari VII/239
dan Ahmad IV/176 : “…Dan terbenamlah kedua tangan onta kudaku ke dalam
tanah sampai mencapai lututnya”. Ini menunjukkan bahwa lutut onta pada
tangannya. Sehingga Syeikhul Islam Ibnul Qayyim tidak memiliki pegangang
dalam hal ini. Al-hamdulillah atas seluruh taufik Allah. Dan tempat
bergantung pembahasan ini adalah masalah lutut onta, dan bahwa jika
telah pasti onta mendekam dengan kedua lututnya, maka wajib bagi orang
yang shalat untuk tidak bersujud dengan meletakkan lututnya (dahulu
sebelum tangannya). Dengan ini mudah-mudahan kemusykilan menjadi hilang,
al-hamdulillah Yang Maha Tinggi”.
"Semoga jadi ilmu manfaat"