Melanjutkan pertanyaan dari Ukhtie Dwikey soal HUKUM NYA SHOLAT DI MASJID BAGI WANITA, berikut penjabaran nye'..
Shalat
jama’ah tidaklah wajib bagi wanita dan ini berdasarkan kesepatakan para
ulama kaum muslimin. Akan tetapi shalat jama’ah tetap dibolehkan bagi
wanita –secara global- menurut mayoritas para ulama.
Syech
Sholeh Al Fauzan –hafizhohullah- ketika ditanya apakah wanita wajib
mengerjakan shalat secara jama’ah setiap melaksanakan shalat fardhu?
Beliau
–hafizhohullah- menjawab, “Wanita tidak wajib melaksanakan shalat
secara berjama’ah. Shalat jama’ah hanya wajib bagi laki-laki. Adapun
para wanita, mereka tidak wajib mengerjakan shalat secara berjama’ah.
Akan tetapi boleh atau mungkin dianjurkan bagi mereka melaksanakan
shalat secara jama’ah dengan imam di antara mereka (para wanita).
Namun
sebagaimana yang kami katakan bahwa imam mereka berdiri di antara shaf
yang ada (bukan maju ke depan)” (Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 103,
Dar Ibnul Haitsam)
Shalat Jama’ah Wanita Bersama Wanita Lainnya
Ini dibolehkan berdasarkan tiga alasan:
1. Berdasarkan keumuman hadits yang menceritakan keutamaan shalat
jama’ah. Dan asalnya, wanita memiliki hukum yang sama dengan laki-laki
sampai ada dalil yang membedakannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنما النساء شقائق الرجال
“Wanita
adalah bagian dari pria.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Maksudnya adalah shalat
jama’ah bersama wanita tetap dibolehkan sebagaimana pria berjama’ah
dengan sesama pria.
2. Tidak ada larangan mengenai shalat wanita bersama wanita lainnya.
3.
Hal ini juga pernah dilakukan oleh beberapa sahabat wanita seperti Ummu
Salamah dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma. (Shahih Fiqih Sunnah, Abu
Malik, 509)
Dari Roithoh Al Hanafiyah, dia mengatakan:
أن عائشة أمتهن وقامت بينهن في صلاة مكتوبة
“’Aisyah
dulu pernah mengimami para wanita dan beliau berdiri (sejajar) dengan
mereka ketika melaksanakan shalat wajib.” (HR. ‘Abdur Rozak, Ad
Daruquthniy, Al Hakim dan Al Baihaqi. An Nawawi mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih. Namun hadits ini dilemahkan/ didho’ifkan oleh Syaikh
Al Albani, namun dia memiliki penguat dari hadits Hujairoh binti Husain.
Lihat Tamamul Minnah, hal. 154)
Begitu juga hal yang sama dilakukan oleh Ummu Salamah. Dari Hujairoh binti Husain, dia mengatakan:
أمتنا أم سلمة في صلاة العصر قامت بيننا
“Ummu
Salamah pernah mengimami kami (para wanita) ketika shalat Ashar dan
beliau berdiri di tengah-tengah kami.” (HR. Abdur Rozak, Ibnu Abi
Syaibah, Al Baihaqi. Riwayat ini memiliki penguat dari riwayat lainnya
dari jalur Qotadah dari Ummul Hasan)
Ummul Hasan juga pernah
melihat Ummu Salamah –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-
mengimami para wanita (dan Ummu Salamah berdiri) di shaf mereka. (Atsar
ini adalah atsar yang bisa diamalkan sebagaimana kata Syaikh Al Albani
dalam Tamamul Minnah, hal. 504)
Ada pula ulama yang menganjurkan
shalat jama’ah bagi wanita dengan sesama mereka berdasarkan hadits dalam
riwayat Abu Daud dalam Bab “Wanita sebagai imam”,
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَزُورُهَا فِى بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا
مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا.
قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا رَأَيْتُ مُؤَذِّنَهَا شَيْخًا كَبِيرًا.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi Ummu Waroqoh di
rumahnya. Dan beliau memerintahkan seseorang untuk adzan. Lalu beliau
memerintah Ummu Waroqoh untuk mengimami para wanita di rumah tersebut.”
‘Abdurrahman
(bin Khollad) mengatakan bahwa yang mengumandangkan adzan tersebut
adalah seorang pria tua.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini hasan)
Pelajaran penting: Dalam shalat jama’ah
jika yang melaksanakannya adalah sesama wanita dan salah satu wanita
menjadi imam, maka yang menjadi imam berdiri di tengah-tengah shaf dan
bukan maju ke depan.
Shalat Jama’ah Wanita Bersama Pria
Hal
ini dibolehkan bagi wanita, baik wanita itu sendiri sebagai makmum atau
bersama makmum wanita lainnya atau dia berada di belakang jama’ah pria.
Hal ini berdasarkan banyak dalil di antaranya adalah hadits dari Anas.
Anas
mengatakan, “Aku shalat bersama seorang anak yatim di rumah kami secara
jama’ah di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ibuku –yakni
Ummu Salamah (nama aslinya adalah Rumaysho)- berada di belakang kami.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Begitu juga terdapat hadits dari Ummu
Salamah. Dia mengatakan, “Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengucapkan salam, ketika itu para wanita pun berdiri. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tetap berada di tempatnya beberapa
saat.” (HR. Bukhari)
Tidak Dibolehkan Wanita yang Bukan Mahrom Bermakmum di Belakang Seorang Pria
Kalau
seorang wanita bermakmum di belakang suami atau yang masih mahrom
dengannya, ini dibolehkan karena tidak ada ikhtilath yaitu campur baur
yang terlarang di antara pria dan wanita karena masih mahrom.
Namun
jika wanita tersebut bermakmum sendirian di belakang imam yang bukan
mahrom tanpa ada jama’ah wanita atau pria lainnya, maka ini terlarang.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ
“Janganlah
seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal
baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara
mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)
Namun
boleh jika ada wanita yang lain, sedangkan imamnya sendiri tanpa ada
jama’ah pria karena pada saat ini sudah tidak ada fitnah (godaan dari
wanita). Akan tetapi, jika masih ada fitnah, tetap hal ini tidak
dibolehkan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 510)
Yang Lebih Baik Bagi Wanita Adalah Shalat Di Rumahnya
Wanita tetap diperkenankan mengerjakan shalat berjama’ah di masjid, namun shalat wanita lebih baik adalah di rumahnya.
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah
kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di
rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Lihat pembahasan terkait di sini.
3 Syarat yang Harus Dipenuhi Wanita Jika Ingin Melakukan Shalat Jama’ah Di Masjid
Pertama, minta izin kepada suami atau mahrom terlebih dahulu dan hendaklah suami tidak melarangnya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ
“Jika
istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah
mereka.” (HR. Muslim). An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab
“Keluarnya wanita ke masjid, jika tidak menimbulkan fitnah dan selama
tidak menggunakan harum-haruman.”
Bahkan tidak boleh seseorang
menghalangi wanita atau istrinya ke masjid sebagaimana dapat dilihat
dalam kisah berikut. Lihatlah kisah Bilal bin Abdullah bin ‘Umar dengan
ayahnya berikut.
Dalam Shohih Muslim no. 442 dari jalan Salim bin
Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin ‘Umar berkata, “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا
“Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.”
Kemudian Bilal bin Abdullah bin ‘Umar mengatakan,
وَاللَّهِ لَنَمْنَعُهُنَّ
“Demi Allah, sungguh kami akan menghalangi mereka.”
Lalu
Abdullah bin ‘Umar mencaci Bilal dengan cacian yang keras yang aku
belum pernah mendengar sama sekali cacian seperti itu dari beliau.
Kemudian Ibnu Umar mengatakan, “Aku mengabarkan padamu hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu engkau katakan, ‘Demi Allah, kami
akan mengahalangi mereka!!’
Kedua, tidak boleh menggunakan harum-haruman dan perhiasan yang dapat menimbulkan fitnah.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الآخِرَةَ
“Wanita mana saja yang memakai harum-haruman, maka janganlah dia menghadiri shalat Isya’ bersama kami.” (HR. Muslim)
Zainab -istri ‘Abdullah- mengatakan bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada para wanita,
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيبًا
“Jika salah seorang di antara kalian ingin mendatangi masjid, maka janganlah memakai harum-haruman.” (HR. Muslim)
Ketiga, jangan sampai terjadi ikhtilath (campur baur yang terlarang antara pria dan wanita) ketika masuk dan keluar dari masjid.
Dalilnya adalah hadits dari Ummu Salamah:
كان
رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا سلم قام النساء حين يقضي تسليمه ويمكث
هو في مقامه يسيرا قبل أن يقوم . قال نرى – والله أعلم – أن ذلك كان لكي
ينصرف النساء قبل أن يدركهن أحد من الرجال
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam salam dan ketika itu para wanita pun berdiri. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tetap berada di tempatnya beberapa
saat sebelum dia berdiri. Kami menilai –wallahu a’lam- bahwa hal ini
dilakukan agar wanita terlebih dahulu meninggalkan masjid supaya tidak
berpapasan dengan kaum pria.” (HR. Bukhari)
Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi
bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina
Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.