Assalamu'alaikum, Pagi Akhi Ukhti'..
Melanjutkan pertanyaan dari akhi Zaid Zamal yang menanyakan
Hukum menabung di bank dan bagaimana tentang bunganya itu sendiri", Berikut penjelasan nya..
Akhi Ukhti, pada saat kita menabung di Bank, secara tidak langsung kita telah meminjamkan uang kita kepada mereka. Islam mensyariatkan peminjaman uang (qardh) sebagai bentuk pertolongan kepada orang lain (ihsan). Islam melarang kita mengambil keuntungan dari akad-akad ihsan, berbeda dengan jual beli dan sejenisnya yang memang disyariatkan untuk memperoleh keuntungan.para ulama sepakat bahwa setiap peminjaman uang yang mensyaratkan keuntungan untuk pemberi pinjaman termasuk kategori riba (Al Ijma’, Ibnu Mundzir hlm.120, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/334).
Demikian juga dengan tabungan berbunga, karena itu menimbulkan keuntungan untuk penabung. Karena para ulama dan lembaga penelitian ilmiah di berbagai Negara yang semasa dengan munculnya fenomena perbankan dengan tegas menyatakan bahwa tabungan berbunga termasuk riba (Hukmul Iddikhar fil Bunuk, kitab karangan Khalid Umar Wada’ah).
Allah mengancam pelaku riba dengan berbagai ancaman yang tidak diberikan kepada pelaku maksiat yang lain. Bahkan orang yang terzhalimi oleh rentenir terkena ancaman laknat. Dalil² yang menunjukkan bahwa riba bukan hanya dosa, tetapi dosa yang sangat besar. Sayangnya banyak orang meremehkan dosa besar ini. Bahkan menganggap bekerja atau menabung di bank ribawi sebagai kebanggaan. Padahal Abdullah bin Hanzhalah meriwayatkan bahwa Nabi shallahu alahi wassalam bersabda:
درهم رباً يأكله الرجل وهو يعلم, أشدّ من ستّة و ثلاثين زنيةً
Satu dirham riba yang dimakan orang dalam keadaan tahu, itu lebih besar dosanya dari pada berzina 36 kali (HR.Ahmad no.21957. dihukumi shahih oleh al-Albani)
Jadi tidak boleh menabung uang di bank dengan sifat yang telah ane sebutkan di atas. Adapun jika kita khawatir akan keamanan harta kita dan tidak ada tempat penyimpanan yang aman selain bank ribawi, kita boleh menabung uang disana, tanpa mengharapkan dan memakan bunga. Hal ini dibolehkan karena darurat seperti bolehnya memakan bangkai untuk orang kelaparan.
Jangan melakukan kecuali jika benar-benar terpaksa, karena dengan menabung kita juga membantu kelangsungan lembaga keuangan yang memerangi Allah ta'ala dan Rasul-Nya ini. Jika ada pilihan menyewa brangkas disana, itu lebih baik (Fatawa al Lajnah ad Daimah 13/343 dan Majmu Fatawa Syech binbaz 19/414).
Terus bagaimana tentang bunga yang di berikan oleh bank itu sendiri?
Dalam bahasa Arab bunga bank itu disebut dengan fawaid. Fawaid merupakan bentuk plural dari kata ‘faedah’ artinya suatu manfaat. Seolah-olah bunga ini diistilahkan dengan nama yang indah sehingga membuat kita tertipu jika melihat dari sekedar nama. Bunga ini adalah bonus yang diberikan oleh pihak perbankan pada simpanan dari nasabah, yang aslinya diambil dari keuntungan dari utang-piutang yang dilakukan oleh pihak bank.
Apapun namanya, bunga ataukah fawaid, tetap perlu dilihat hakekatnya. Keuntungan apa saja yang diambil dari utang piutang, senyatanya itu adalah riba walau dirubah namanya dengan nama yang indah. Inilah riba yang haram berdasarkan Al Qur’an, hadits dan ijma’ (kesepakatan) ulama. Para ulama telah menukil adanya ijma’ akan haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang. Apa yang dilakukan pihak bank walaupun mereka namakan itu pinjaman, namun senyatanya itu bukan pinjaman.
Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syech Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata,
“Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang), namun senyatanya bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong dan berbuat baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang dan akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang namanya bunga bank yang diambil dari pinjam-meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama-sama disebut riba.”
Penjelasan singkat di atas ane ambil dari penjabaran Syech Sholih bin Ghonim As Sadlan, salah seorang ulama senior di kota Riyadh, dalam kitab fikih praktis beliau “Taysir Al Fiqh” hal. 398, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama, 1424 H.
Dengan demikian, dari penjelasan yang udeh ane jelasin di atas, jangan tertipu pula dengan akal-akalan yang dilakukan oleh perbankan Syari’ah di negeri kita. Kita mesti tinjau dengan benar hakekat bagi hasil yang dilakukan oleh pihak bank syari’ah, jangan hanya dilihat dari sekedar nama. Benarkah itu bagi hasil ataukah memang untung dari utang piutang (alias riba)? Bagaimana mungkin pihak bank syariah bisa “bagi hasil” sedangkan secara hukum perbankan di negeri kita, setiap bank tidak diperkenankan melakukan usaha? Lalu bagaimana bisa dikatakan ada bagi hasil yang halal? Bagi hasil yang halal mustahil didapat dari utang piutang.
"Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat"