Assalamu'alaikum, Pagi Akhi Ukhti'..
Kebanyakan dari manusia ingin umur panjang.. Benarkah? Apakah tidak takut punya tanggung jawab berat di akhirat nanti?
Dari
‘Abdullah bin Busr, ada seorang Arab Badui bertanya pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapakah manusia yang paling baik.
Jawaban Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ
“(Yang
paling baik adalah) yang panjang umur dan baik pula amalnya.” (HR.
Tirmidzi no.2329 dan Ahmad 4: 190. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa
hadits ini hasan).
Kalau kita perhatikan hadits di atas, yang bagus bukanlah hanya umur panjang, namun baik pula amalan.
Oleh karena itu, jika kita menginginkan umur panjang, patut diingat dua hal:
1. Umur panjang adalah sebagai alasan bagi Allah, bahwa Allah sudah memberi kesempatan pada kita untuk beramal.
2.
Umur panjang adalah wadah untuk beramal. Boleh jadi isi wadah tersebut
berisi amal shalih. Boleh jadi umur panjang berisi kesia-siaan,
berakhlak dan beramal yang jelek. Akhirnya, isi wadah tadi itu akan
ditanya. (Keterangan Syech Shalih di kitabnya Al Munajjid dalam Al Islam
Sual wa Jawab)
Ingatlah asalnya, di tengah jalan tak ada
tempat berhenti sama sekali. Yang kita temui, ada yang punya jalan
tujuan yang berbeda-beda. Ada yang cepat jalan, ada yang lambat jalan.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّهَا لَإِحْدَى الْكُبَرِ (35) نَذِيرًا لِلْبَشَرِ (36) لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ (37)
“Sesungguhnya
Saqar itu adalah salah satu bencana yang amat besar, sebagai ancaman
bagi manusia. (Yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju
atau mundur.” (QS. Al-Muddatsir: 35-37)
Cuma
disebutkan siapa yang mau maju atau mundur. Tak disebutkan pilihan
ketiga untuk berhenti. Karena tak ada pilihan ketiga di luar surga dan
neraka. Ujung akhir manusia hanyalah surga atau neraka. Karenanya bila
seseorang tidak segera maju untuk beramal baik, maka ia akan telat
dengan beramal jelek. (Madarij As-Salikin 1: 278)
Jangan sampai kita menginginkan untuk hasrat pada dunia,
قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَى حُبِّ اثْنَتَيْنِ حُبِّ الْعَيْشِ وَالْمَالِ
“Masih
ada yang sudah berumur memiliki hati seperti anak muda yaitu mencintai
dua hal: cinta berumur panjang (panjang angan-angan) dan cinta harta.”
(HR. Muslim no.1046)
Dalam riwayat lain disebutkan,
يَهْرَمُ ابْنُ آدَمَ وَتَشِبُّ مِنْهُ اثْنَتَانِ الْحِرْصُ عَلَى الْمَالِ وَالْحِرْصُ عَلَى الْعُمُرِ
“Ada
yang sudah tua dari usia, namun masih bernafsu seperti anak muda yaitu
dalam dua hal: tamak pada harta dan terus panjang angan-angan (ingin
terus hidup lama).” (HR. Muslim no.1047)
Rajinlah berdo’a seperti ini,
اللَّهُمَّ
أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ
حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي
Allahumma
ak-tsir maalii wa waladii, wa baarik lii fiimaa a’thoitanii wa athil
hayaatii ‘ala tho’atik wa ahsin ‘amalii wagh-fir lii
(Ya Allah
perbanyaklah harta dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau beri.
Panjangkanlah umurku dalam ketaatan pada-Mu dan baguskanlah amalku
serta ampunilah dosa-dosaku).”
Jika memang ingin memiliki umur panjang, ingatlah umur panjang adalah kesempatan untuk mengisinya dengan beramal shalih..
Semoga Allah Ta'ala memanjangkan umur kita dalam beramal shalih..
Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin..
"Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang manfaat"
Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..
Apa saja pelajaran
yang bisa kita ambil dari ibadah qurban dan haji? Berikut akan ane
sarikan lima pelajaran yang mudah²an bisa bermanfaat bagi kita semua..
1. Belajar untuk ikhlas
Dari
ibadah qurban yang dituntut adalah keikhlasan dan ketakwaan, itulah
yang dapat menggapai ridha Allah. Daging dan darah itu bukanlah yang
dituntut, namun dari keikhlasan dalam berqurban. Allah Ta’ala berfirman,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging²
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan)
Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al
Hajj: 37)
Untuk ibadah haji pun demikian, kita
diperintahkan untuk ikhlas, bukan cari gelar dan cari sanjungan. Dari
Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa
yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak
berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika
dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no.1521).
Ini berarti berqurban dan berhaji bukanlah ajang untuk pamer amalan dan kekayaan, atau riya’.
2. Belajar untuk mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dalam
berqurban ada aturan atau ketentuan yang mesti dipenuhi. Misalnya,
mesti dihindari cacat yang membuat tidak sah (buta sebelah, sakit yang
jelas, pincang, atau sangat kurus) dan cacat yang dikatakan makruh
(seperti sobeknya telinga, keringnya air susu, ekor yang terputus). Umur
hewan qurban harus masuk dalam kriteria yaitu hewan musinnah, untuk
kambing minimal 1 tahun dan sapi minimal dua tahun. Waktu penyembelihan
pun harus sesuai tuntunan dilakukan setelah shalat Idul Adha, tidak
boleh sebelumnya.
Kemudian dalam penyaluran hasil
qurban, jangan sampai ada maksud untuk mencari keuntungan seperti dengan
menjual kulit atau memberi upah pada tukang jagal dari sebagian hasil
qurban. Jika ketentuan di atas dilanggar di mana ketentuan tersebut
merupakan syarat, hewan yang disembelih tidaklah disebut qurban, namun
disebut daging biasa.
Al Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu
menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah
kepada para sahabat pada hari Idul Adha setelah mengerjakan shalat Idul
Adha. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ، وَمَنْ
نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ
“Siapa
yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih qurban seperti qurban
kami, maka ia telah mendapatkan pahala qurban. Barangsiapa yang
berqurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang
ada sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai qurban.”
Abu Burdah yang merupakan paman dari Al Bara’ bin ‘Azib dari jalur ibunya berkata,
يَا
رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى قَبْلَ الصَّلاَةِ ،
وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ
تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ شَاتِى
وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ
“Wahai
Rasulullah, aku telah menyembelih kambingku sebelum shalat Idul Adha.
Aku tahu bahwa hari itu adalah hari untuk makan dan minum. Aku senang
jika kambingku adalah binatang yang pertama kali disembelih di rumahku.
Oleh karena itu, aku menyembelihnya dan aku sarapan dengannya sebelum
aku shalat Idul Adha.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata,
شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ
“Kambingmu hanyalah kambing biasa (yang dimakan dagingnya, bukan kambing qurban).” (HR. Bukhari no.955)
Begitu
pula dalam ibadah haji hendaklah sesuai tuntunan, tidak bisa kita
beribadah asal-asalan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ
“Ambillah
dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak
mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini”. (HR.
Muslim no.1297 dari Jabir).
Ini menunjukkan bahwa
ibadah qurban dan haji serta ibadah lainnya mesti didasari ilmu. Jika
tidak, maka sia-sialah ibadah tersebut. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah
berkata,
مَنْ عَبَدَ اللَّهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
“Siapa
yang beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang ia
perbuat lebih banyak daripada maslahat yang diperoleh.” (Majmu’ Al
Fatawa 2: 282)
3. Belajar untuk sedekah harta
Dalam
ibadah qurban, kita diperintahkan untuk belajar bersedekah, begitu pula
haji. Karena saat itu, hartalah yang banyak diqurbankan. Apakah benar
kita mampu mengorbankannya? Padahal watak manusia sangat cinta sekali
pada harta.
Ingatlah, harta semakin dikeluarkan dalam
jalan kebaikan dan ketaatan akan semakin berkah. Sehingga jangan pelit
untuk bersedekah karena tidak pernah kita temui pada orang yang
berqurban dan berhaji yang mengorbankan jutaan hartanya jadi bangkrut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أنفقي أَوِ انْفَحِي ، أَوْ انْضَحِي ، وَلاَ تُحصي فَيُحْصِي اللهُ عَلَيْكِ ، وَلاَ تُوعي فَيُوعي اللهُ عَلَيْكِ
“Infaqkanlah
hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau
mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan berkah rezeki
tersebut. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka
Allah akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.” (HR. Bukhari
no.1433 dan Muslim no.1029)
Ingat pula Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan
barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan
Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim no.2588 dari Abu Hurairah)
Imam
Nawawi berkata, “Kekurangan harta bisa ditutup dengan keberkahannya
atau ditutup dengan pahala di sisi Allah.” (Syarh Shahih Muslim 16:
128).
4. Belajar untuk meninggalkan larangan
Dalam
ibadah qurban ada larangan bagi shahibul qurban yang mesti ia jalankan
ketika telah masuk 1 Dzulhijjah hingga hewan qurban miliknya disembelih.
Walaupun hikmah dari larangan ini tidak dinashkan atau tidak disebutkan
dalam dalil, namun tetap mesti dijalankan karena sifat seorang muslim
adalah _*sami’na wa atho’na, yaitu patuh dan taat.*_
Dari Ummu Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika
kalian telah menyaksikan hilal Dzulhijjah (maksudnya telah memasuki 1
Dzulhijjah) dan kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban
tidak memotong rambut dan kukunya.” (HR. Muslim no.1977).
Lebih²
lagi dalam ibadah haji dan umrah, saat berihram jamaah tidak
diperkenankan mengenakan wewangian, memotong rambut dan kuku, mengenakan
baju atau celana yang membentuk lekuk tubuh (bagi pria), tidak boleh
menutup kepala serta tidak boleh mencumbu istri hingga menyetubuhinya.
Dari
‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ada
seseorang yang berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا
رَسُولَ اللَّهِ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ
الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ ،
إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ ،
وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ ، وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ
الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ أَوْ وَرْسٌ »
“Wahai Rasulullah, bagaimanakah pakaian yang seharusnya dikenakan oleh orang yang sedang berihram (haji atau umrah)?”
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh mengenakan kemeja,
sorban, celana panjang kopiah dan sepatu, kecuali bagi yang tidak
mendapatkan sandal, maka dia boleh mengenakan sepatu. Hendaknya dia
potong sepatunya tersebut hingga di bawah kedua mata kakinya. Hendaknya
dia tidak memakai pakaian yang diberi za’faran dan wars (sejenis
wewangian).” (HR. Bukhari no.1542)
Dalam riwayat Bukhari disebutkan,
وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ
“Hendaknya wanita yang sedang berihram tidak mengenakan cadar dan sarung tangan.” (HR. Bukhari no.1838).
5. Belajar untuk rajin berdzikir
Dalam ibadah qurban diwajibkan membaca bismillah dan disunnahkan untuk bertakbir saat menyembelih qurban.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
ضَحَّى
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ ،
فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّى وَيُكَبِّرُ ،
فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah berqurban (pada Idul Adha) dengan dua kambing yang gemuk.
Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher dua kambing itu.
Lalu beliau membaca bismillah dan bertakbir, kemudian beliau menyembelih
keduanya dengan tangannya.”
Sejak sepuluh hari pertama Dzulhijjah, kita pun sudah diperintahkan untuk banyak bertakbir. Allah Ta’ala berfirman,
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan” (QS. Al Hajj: 28).
‘Ayyam
ma’lumaat’ menurut salah satu penafsiran adalah sepuluh hari pertama
Dzulhijjah. Pendapat ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama di
antaranya Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Mujahid,
‘Ikrimah, Qotadah dan An Nakho’i, termasuk pula pendapat Abu Hanifah,
Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad (pendapat yang masyhur dari beliau).
(Perkataan Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoif Al Ma’arif, hal.462 dan
471).
Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرُوا
اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا
إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang terbilang.” (QS. Al Baqarah: 203).
Ibnu
‘Umar dan ulama lainnya mengatakan bahwa ayyamul ma’dudat adalah tiga
hari tasyriq. Ini menunjukkan adanya perintah berdzikir di hari-hari
tasyriq.
Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan,
وَقَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ أَيَّامُ
الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ . وَكَانَ
ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى أَيَّامِ
الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا .
وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ .
Ibnu
‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang
ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari
tasyriq.”
Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke
pasar pada sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas
manusia pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah
shalat sunnah. [Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada
Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”]
Ibadah thawaf,
sa’i dan melempar jumrah pun dilakukan dalam rangka berdzikir kepada
Allah. Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya
thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar
jumrah adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah)” (HR. Abu Daud
no.1888, Tirmidzi no.902 dan Ahmad 6: 46. At Tirmidzi mengatakan hadits
ini hasan shahih. Syech Al Albani dan Syech Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini dho’if)
Di hari² tasyriq, kita pun diperintahkan untuk membaca doa sapu jagad. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا
قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ
أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي
الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ, وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah,
sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu,
atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia
ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di
dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Robbana aatina fid dunya
hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar” [Ya Rabb kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah
kami dari siksa neraka].” (QS. Al Baqarah: 200-201)
Dari
ayat ini kebanyakan ulama salaf menganjurkan membaca do’a “Robbana
aatina fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah wa qina ‘adzaban naar”
di hari-hari tasyriq. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh ‘Ikrimah dan
‘Atho’. (Latho-if Al Ma’arif hal.505-506).
Ini semua mengajarkan pada kita untuk rajin berdzikir.
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَأَخْبِرْنِى
بِشَىْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. قَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ
ذِكْرِ اللَّهِ »
Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu
‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang berkata pada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, syariat Islam sungguh
banyak dan membebani kami. Beritahukanlah padaku suatu amalan yang aku
bisa konsisten dengannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
bersabda, “Hendaklah lisanmu tidak berhenti dari berdzikir pada Allah.”
(HR. Tirmidzi no.3375, Ibnu Majah no.3793, dan Ahmad 4: 188, Shahih
menurut Syech Al Albani).
Wallahu Waliyyut Taufiq..
Hanya Allah lah yang memberikan taufiq dan hidayah..
"Semoga bisa menjadi ilmu dan amalan yang manfaat"
Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..
Bagaimana hukum puasa Senin Kamis pada hari tasyrik?
Ada
sebagian saudara kita yang punya kebiasaan puasa Senin Kamis. Apakah
pada hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah) diperbolehkan untuk melakukan
puasa tersebut?
Disebutkan dalam Matan Al Ghoyah wat
Taqrib (salah satu rujukan fiqih dalam madzhab Syafi’i) bahwa ada lima
hari diharamkan puasa, yaitu hari Idul Fithri, hari Idul Adha, dan tiga
hari tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah).
Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari-hari tasyrik adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim no.1141)
Hari tasyrik adalah tiga hari setelah Idul Adha (hari nahr). (Al Iqna’ 1: 412).
Ibnu
‘Umar, ‘Aisyah, Al Auza’i, Malik, Ahmad dan Ishaq dalam salah satu
pendapatnya bersikap akan bolehnya puasa bagi jamaah haji yang melakukan
haji tamattu’ (saat tidak memiliki hewan hadyu untuk diqurbankan).
Begitu pula pendapat Imam Syafi’i yang qadim (yang lama) membolehkannya.
Demikian disebutkan dalam Al Majmu’, 6: 314.
Di
halaman sebelumnya, Imam Nawawi rahimahullah menuturkan, “Pendapat yang
terkuat menurut ulama Syafi’iyah bahwa yang jadi pegangan adalah
pendapat Imam Syafi’i yang jadid (yang baru) yaitu tidak boleh berpuasa
pada hari tasyrik baik untuk jamaah haji yang menjalankan manasik
tamattu’ atau selain mereka.
Namun pendapat yang kuat bahwa puasa
bagi jamaah haji yang menjalankan tamattu’ dibolehkan dan dikatakan sah.
Karena ada hadits yang meringankan puasa seperti ini. Itulah pendapat
yang didukung oleh hadits yang lebih tegas dan tak perlu berpaling pada
selain pendapat ini.” (Al Majmu’ 6: 313).
Abu Bakar bin
Muhammad Al Hishni berkata, “Sebagaimana diharamkan berpuasa pada hari
Idul Fithri dan Idul Adha, diharamkan pula berpuasa pada hari tasyrik
yaitu tiga hari setelah Idul Adha (11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Inilah
pendapat jadid atau terbaru (dari Imam Syafi’i saat di Mesir). Inilah
yang lebih tepat.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang puasa pada hari tersebut sebagaimana diriwayatkan oleh
Abu Daud dengan sanad shahih. Dalam shahih Muslim disebutkan, “Hari-hari
tasyrik adalah hari makan dan minum.”
Sedangkan
menurut pendapat Imam Syafi’i yang qadim (saat di Irak), dibolehkan
puasa pada hari tasyrik bagi jamaah haji yang mengambil manasik tamatu’
yang tidak memiliki hadyu. Inilah yang diisyaratkan dalam firman Allah
Ta’ala,
فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
“(Tetapi
jika ia tidak menemukan binatang hadyu atau tidak mampu), maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji.” (QS. Al Baqarah: 196).
Dalam
Shahih Bukhari disebutkdan dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhum, keduanya berkata, “Tidak diberi keringanan di hari tasyrik untuk
berpuasa kecuali jika tidak memiliki hadyu.”
Imam Nawawi memilih pendapat Imam Syafi’i yang qadim ini. Sebelumnya, Ibnu Shalah telah mendukung pendapat tersebut pula.
Namun
menurut pendapat ulama madzhab Syafi’i, berpuasa pada hari tasyrik
tidak dibolehkan. Akan tetapi, jika kita memilih pendapat yang qadim,
apakah dibolehkan bagi selain jamaah haji mutamatti’ untuk berpuasa? Ini
ada dua pendapat. Yang benar, haram untuk berpuasa. Wallahu a’lam.
(Kifayatul Akhyar hal.253).
Apa yang dijelaskan
terakhir dari penulis Kifayatul Akhyar menunjukkan bahwa tidak boleh
berpuasa di hari tasyrik selain jamaah haji yang mengambil haji
tamattu’. Berarti yang berpuasa Senin Kamis juga tidak boleh melakukan
puasa pada hari tasyrik. Termasuk pula di dalamnya untuk puasa Daud.
Siapa yang berpuasa sunnah pada hari tasyrik berarti harus, wajid, kudu
dibatalkan saat ini juga..
Wallahu Waliyyut Taufiq..
Hanya Allah lah yang memberikan taufiq dan hidayah..
"Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat"
Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..
Sebenarnya apa sich Hari tasyrik itu?
Yang jelas hari tersebut adalah tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.
Dari Nubaisyah Al Hudzali, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari-hari tasyrik adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim no.1141)
Hari tasyrik adalah tiga hari setelah Idul Adha (hari nahr) (Al Iqna’ 1: 412).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hari tasyrik adalah tiga hari setelah Idul Adha (yaitu 11, 12, 13 Dzulhijjah).
Disebut tasyrik karena tasyrik itu berarti mendendeng atau menjemur daging qurban di terik matahari.
Dalam
hadits disebutkan, hari tasyrik adalah hari untuk memperbanyak dzikir
yaitu takbir dan lainnya.” (Syarh Shahih Muslim 8: 18).
Nah
itulah kenapa disebut hari tasyrik, maksudnya adalah menjemur daging
qurban di terik matahari karena di masa silam tidak ada pendingin atau
freezer seperti saat ini. Yang ada biar daging itu awet, daging tersebut
dijemur atau didendeng.
Kalau hari tasyrik disebut
hari makan dan minum berarti ketika itu tidak dibolehkan untuk berpuasa
apa pun di hari-hari tersebut (11, 12, 13 Dzulhijjah).
Inilah pendapat yang lebih dikuatkan dalam madzhab Syafi’i.
Selamat menikmati daging qurban dengan berbagai macam menu spesial. Semoga hari tasyrik menjadi hari penuh keberkahan..
Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin..
"Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat"
Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..
Ibadah apapun yang
dilakukan orang non muslim adalah ibadah yang tidak bernilai, dan tidak
sah. Meskipun bisa jadi kaum muslimin mendapatkan dampak kebaikan dari
amal yang dia lakukan..
مَّثَلُ الَّذِينَ كَفَرُواْ
بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ
عَاصِفٍ لاَّ يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُواْ عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ
الضَّلاَلُ الْبَعِيدُ
"Orang² yang kafir kepada
Tuhannya, amalan² mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan
keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat
mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di
dunia). yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh." (QS. Ibrahim:
18).
Ketika ada orang non muslim yang ikut urunan
Qurban sapi, dia tidak dinilai sebagai qurban. Sehingga keterlibatannya
dalam urunan, hanya dinilai sebagai orang yang urunan karena ingin
mendapatkan dagingnya. Sehingga dalam satu ekor sapi itu, ada yang
urunan untuk berqurban dan ada yang urunan untuk mendapatkan daging.
Ulama
berbeda pendapat mengenai status sapi ini, apakah sah digunakan untuk
berqurban ataukah tidak. Untuk menentukan pendapat yang lebih kuat, mari
kita simak beberapa penjelasan berikut..
Keterangan Ibnu Qudamah (ulama hambali), beliau mengatakan..
وجملته
أنه يجوز أن يشترك في التضحية بالبدنة والبقرة سبعة، واجبا كان أو تطوعا،
سواء كانوا كلهم متقربين، أو يريد بعضهم القربة وبعضهم اللحم. وبهذا قال
الشافعي. وقال مالك: لا يجوز الاشتراك في الهدي. وقال أبو حنيفة: يجوز
للمتقربين، ولا يجوز إذا كان بعضهم غير متقرب ; لأن الذبح واحد، فلا يجوز
أن تختل نية القربة فيه.
Kesimpulannya bahwa
diperbolehkan urunan dalam pengadaan hewan qurban, untuk onta atau sapi
tujuh orang. Baik dalam rangka qurban wajib maupun qurban sunah. Baik
semuanya bertujuan untuk qurban atau ada yang bertujuan qurban dan ada
yang bertujuan dagingnya.
Inilah pendapat Imam Asy Syafii.
Sementara Imam Malik mengatakan, tidak boleh urunan dalam hewan hadyu
(sembelihan di Mekah). Dan Imam Abu Hanifah mengatakan, boleh urunan
untuk semua yang niat berqurban, namun tidak boleh jika ada salah satu
yang tidak berniat qurban. Karena yang disembelih satu, maka tidak boleh
ada yang tidak berniat qurban untuk satu hewan.
Ibnu
Qudamah lebih menguatkan pendapat yang membolehkan urunan hewan qurban,
meskipun salah satu pesertanya tidak berniat untuk qurban. Beliau juga
menyanggah pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah. Dalam lanjutan
keterangannya, beliau menyanggah pendapat Imam Malik,
ولنا ما روى جابر، قال: { أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نشترك في الإبل والبقر، كل سبعة منا في بدنة } رواه مسلم.
Kita
memiliki hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, beliau mengatakan,
‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk
urunan dalam pengadaan onta dan sapi. Tujuh orang untuk satu ekor sapi
atau onta.’ (Riwayat Muslim).
Ketika menyanggah pendapat Abu Hanifah bahwa urunan ini hanya boleh jika semuanya berniat qurban, beliau mengatakan,
ولنا
على أبي حنيفة، أن الجزء المجزأ لا ينقص بإرادة الشريك غير القربة، فجاز،
كما لو اختلفت جهات القرب، فأراد بعضهم التضحية، وبعضهم الفدية.
Alasan
kita untuk menyanggah Abu Hanifah, bahwa satu bagian yang sah disebut
qurban, tidak menjadi batal karena ada sebagian peserta yang tidak
berniat qurban. Sehingga semacam ini boleh. Sebagaimana ketika ada
urunan, sementara tujuan penyembelihannya beda², ada yang berniat untuk
qurban dan ada yang berniat sebagai fidyah. (Al Mughni 9/458).
Di kesempatan yang lain, Ibnu Qudamah menegaskan bolehnya urunan qurban dengan orang yang tidak niat qurban,
إذا
ثبت هذا، فسواء كان المشتركون من أهل بيت، أو لم يكونوا، مفترضين أو
متطوعين أو كان بعضهم يريد القربة وبعضهم يريد اللحم؛ لأن كل إنسان منهم
إنما يجزئ عنه نصيبه، فلا تضره نية غيره
Setelah kita
tahu bahwa urunan qurban dibolehkan maka statusnya sama saja, baik yang
urunan semuanya satu keluarga, atau dari keluarga berbeda, baik semua
untuk qurban wajib atau qurban sunah, atau sebagian niatnya untuk qurban
dan sebagian untuk daging (tidak untuk qurban). Karena masing-masing
peserta urunan mendapat jatah sesuai bagiannya, sehingga tidak ada
pengaruh dengan niatan orang lain. (Al Mughni 9/438).
Keterangan An Nawawi (ulama syafiiyah), beliau mengatakan,
يجوز
أن يشترك سبعة في بدنة أو بقرة للتضحية، سواء كانوا كلهم أهل بيت واحد أو
متفرقين، أو بعضهم يريد اللحم فيجزئ عن المتقرب، وسواء أكان أضحية منذورة
أم تطوعا، هذا مذهبنا وبه قال أحمد وداود وجماهير العلماء، إلا أن داود
جوزه في التطوع دون الواجب. وبه قال بعض أصحاب مالك. وقال أبو حنيفة: إن
كانوا كلهم متقربين جاز، وقال مالك: لا يجوز الاشتراك مطلقا كما لا يجوز في
الشاة الواحدة.
Boleh urunan 7 orang untuk seekor onta
atau sapi, baik mereka semua satu rumah, atau dari keluarga yang
berbeda, atau ada sebagian yang tidak berniat qurban karena hanya
menginginkan dagingnya dan sah untuk yang berniat qurban. Baik qurban
nadzar atau qurban sunah. Inilah pendapat madzhab (syafiiyah), dan ini
pendapat Imam Ahmad, Daud Az Zahiri, dan mayoritas ulama. Hanya saja,
Daud membolehkan urunan jika qurbannya bukan qurban wajib. Dan ini pula
yang menjadi pendapat sebagian Malikiyah. Sementara Abu Hanifah
mengatakan, ’Jika mereka semua niatnya untuk qurban, boleh urunan.’
Kemudian Imam Malik mengatakan, ’Tidak boleh urunan secara mutlak,
sebagaimana tidak boleh urunan untuk seekor kambing.’
Dalam
hal ini, Imam An Nawawi menguatkan pendapat yang membolehkan urunan
hewan qurban, meskipun ada yang tidak berniat untuk qurban. Pada
lanjutan keterangannya, An Nawawi membawakan sejumlah alasan untuk
mendukung pendapat yang beliau nilai lebih kuat,
واحتج
أصحابنا بحديث جابر قال { نحرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم البدنة عن
سبعة والبقرة عن سبعة} رواه مسلم. وعنه قال { خرجنا مع رسول الله صلى الله
عليه وسلم مهلين بالحج، فأمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نشترك في
الإبل والبقر كل سبعة منا في بدنة} رواه مسلم. قال البيهقي: وروينا عن علي
وحذيفة وأبي مسعود الأنصاري وعائشة رضي الله عنهما أنهم قالوا ” البقرة عن
سبعة ” وأما قياسه على الشاة فعجب، لأن الشاة إنما تجزئ عن واحد، والله
أعلم.
Ulama (syafiiyah) berdalil dengan hadits Jabir
yang mengatakan, ’Kami melakukan qurban bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, seekor onta untuk 7 orang dan seekor sapi untuk 7
orang.’ Riwayat Muslim. Juga dari Jabir, ’Kami keluar bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka melakukan haji. Kemudian
beliau memerintahkan untuk urunan onta dan sapi, setiap 7 orang untuk
satu ekor.’ Riwayat Muslim. Al Baihaqi mengatakan, ’Kami mendapat
riwayat dari Ali, Hudzifah, Abu Mas’ud al-Anshari, dan A’isyah
radhiyallahu ’anhum, bahwa mereka berpendapat, ’Sapi boleh untuk 7
orang.’ Sementara diqiyaskan dengan kambing, ini sangat mengherankan.
Karena kambing hanya boleh untuk satu orang.’ Allahu a’lam. (Al Majmu’
Syarh Al Muhadzab, 8/398 – 399)
Berdasarkan keterangan
keterangan di atas,
kita bisa menyimpulkan bahwa dibolehkan urunan
qurban meskipun salah satu peserta tidak berniat untuk qurban. Termasuk
ketika salah satu peserta adalah orang non muslim. Karena masing-masing
mendapatkan jatah sesuai niatnya. Yang qurban sah sebagai qurban, yang
tidak qurban berhak mendapat apa yang diinginkan. Dan niat seseorang
tidak mempengaruhi niat orang lain..
"Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat"