Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..
Beberapa waktu yang lalu, banyak para Ikhwan dan Akhwat di ANAJ yang menanyakan soal manakah yang benar antara silaturahim dengan silaturahmi. Berikut penjelasannya..
Silaturahim (صلة الرحم) terdiri dari dua kata: shilah (صلة) dan ar rahim (الرحم).
Shilah artinya menyambung. Dalam Mu’jam Lughatil Fuqaha disebutkan:
وهو مصدر وصل الشيء بالشيء: ضمّه إليه وجمعه معه
“shilah adalah isim mashdar. washala asy syai’u bisy syai’i artinya: menggabungkan ini dengan itu dan mengumpulkannya bersama”. (Shilatul Arham 5).
Sedangkan ar rahim yang dimaksud di sini adalah rahim wanita, yang merupakan konotasi untuk menyebutkan karib kerabat.
Ar Raghib Al Asfahani mengatakan:
الرحم رحم المرأة أي بيت منبت ولدها ووعاؤه ومنه استعير الرحم للقرابة لكونهم خارجين من رحم واحدة
“Ar rahim yang dimaksud adalah rahim wanita, yaitu tempat dimana janin berkembang dan terlindungi (dalam perut wanita). Dan istilah Ar rahim digunakan untuk menyebutkan karib kerabat, karena mereka berasal dari satu rahim.” (Ruhul Ma’ani 9/142).
Dengan demikian yang dimaksud dengan silaturahim adalah menyambung hubungan dengan para karib kerabat.
An Nawawi rahimahullah menjelaskan:
وَأَمَّا صِلَةُ الرَّحِمِ فَهِيَ الْإِحْسَانُ إِلَى الْأَقَارِبِ عَلَى حَسَبِ حَالِ الْوَاصِلِ وَالْمَوْصُولِ فَتَارَةً تَكُونُ بِالْمَالِ وَتَارَةً بِالْخِدْمَةِ وَتَارَةً بِالزِّيَارَةِ وَالسَّلَامِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
“Adapun silaturahim, ia adalah berbuat baik kepada karib kerabat sesuai dengan keadaan orang yang hendak menghubungkan dan keadaan orang yang hendak dihubungkan. Terkadang berupa kebaikan dalam hal harta, terkadang dengan memberi bantuan tenaga, terkadang dengan mengunjunginya, dengan memberi salam, dan cara lainnya.”
(Syarh Shahih Muslim 2/201).
Ibnu Atsir menjelaskan:
تكرر في الحديث ذكر صلة الرحم: وهي كناية عن الإحسان إلى الأقربين من ذوي النسب، والأصهار، والتعطف عليهم، والرفق بهم، والرعاية لأحوالهم، وكذلك إن بَعُدُوا أو أساءوا, وقطعُ الرحم ضِدُّ ذلك كله
“Banyak hadits yang menyebutkan tentang silaturahim. Silaturahim adalah istilah untuk perbuatan baik kepada karib kerabat yang memiliki hubungan nasab, atau kerabat karena hubungan pernikahan, serta berlemah-lembut, kasih sayang kepada mereka, memperhatikan keadaan mereka. Demikian juga andai mereka menjauhkan diri atau suka mengganggu. Dan memutus silaturahim adalah kebalikan dari hal itu semua.” (An Nihayah fi Gharibil Hadits 5/191-192, Shilatul Arham 5).
Dengan demikian, perbuatan baik dan menyambung hubungan terhadap orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dan nasab tidaklah termasuk silaturahim, dan tidak termasuk dalam ayat² dan hadits² mengenai perintah serta keutamaan silaturahim.
Salah Kaprah Memaknai Silaturahim
Sebagian orang salah paham dalam memaknai silaturahim, dengan menganggap semua perbuatan menyambung hubungan dengan orang lain sebagai silaturahim. Jelas ini tidak tepat secara bahasa ataupun secara istilah syar’i. Dari kesalahan pahaman ini muncul berbagai macam kesalahan lain yang sangat patut untuk kita koreksi. Diantaranya:
1. Menggunakan dalil² tentang silaturahim pada perbuatan yang bukan silaturahim.
Misalnya menggunakan dalil² tentang silaturahim untuk mengajak orang mendatangi acara reuni sekolah, acara kumpul² rekan kerja, dan semisalnya. Lalu meyakini bahwa acara² ini memiliki keutamaan memanjangkan usia, meluaskan rezeki, menjadi sebab masuk surga, yang merupakan keutamaan² silaturahim. Tentu ini tidak tepat.
2. Menggunakan dalih silaturahim untuk perbuatan yang dilarang agama.
Misalnya menggunakan dalih silaturahim untuk mengajak orang mendatangi acara karokean, merayakan ulang tahun seseorang, acara kumpul² bersama teman yang campur-baur antara lelaki dan wanita, dan sebagainya. Sehingga perbuatan² yang dilarang agama tersebut disamarkan dengan nama silaturahim yang merupakan kebaikan.
3. Menggunakan dalih silaturahim sehingga enggan meninggalkan keburukan.
Misalnya enggan meninggalkan teman² yang buruk yang sering mengajak kepada maksiat dan hal² tidak bermanfaat dengan dalil tidak mau memutus tali silaturahim. Enggan berhenti berpacaran dengan dalil bahwa “putus” dengan pacar itu berarti memutus tali silaturahim. Enggan menolak ajakan teman untuk nongkrong tanpa manfaat dan berfoya-foya karena dalih takut memutus tali silaturahim.
Semua ini adalah kesalahpahaman dalam memaknai dan mempraktekkan silaturahim. Mereka mengira sedang ber-silaturahmi padahal bukan. Sehingga tidak berlaku perintah dan keutamaan² silaturahim di dalamnya.
Selain itu, tidak dibenarkan mencampur-adukkan dan menyamarkan hal² yang batil dalih bahwa itu adalah perbuatan baik.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ
“dan janganlah kalian mencampur-adukkan kebenaran dengan kebatilan..”
(QS. Al Baqarah: 42).
Silaturahim Dalam Bahasa Indonesia
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, silaturahim atau silaturahmi dimaknai:
silaturahmi/si·la·tu·rah·mi/ n tali persahabatan (persaudaraan)
Maka dari sini kita ketahui terdapat perbedaan makna antara silaturahim dalam bahasa Arab atau dalam istilah syariat dengan silaturahmi dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, silaturahim dimaknai lebih luas kepada semua orang, tidak hanya kepada orang yang memiliki hubungan kekebaratan saja.
Tentu saja tidak terlarang menggunakan kata silaturahim dalam konteks makna silaturahim dalam bahasa Indonesia, yaitu bermakna: persahabatan dan persaudaraan. Namun hendaknya tidak mengaitkannya dengan perintah dan keutamaan silaturahim dalam istilah syariat. Karena keduanya adalah hal yang berbeda.
Lalu apa kesimpulan dari penjelasan di atas?
Yang benar adalah Silaturahim bukan silaturahmi sebagaimana disebutkan didalam nash² hadits tentangnya, diantaranya :
عَنْ أَبِى أَيُّوبَ الأَنْصَارِىِّ – رضى الله عنه أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِى بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِى الْجَنَّةَ . فَقَالَ الْقَوْمُ مَالَهُ مَالَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَرَبٌ مَالَهُ » . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ ، ذَرْهَا » . قَالَ كَأَنَّهُ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ .
Dari Abu Ayyub Al Anshari radhiallahu ‘anhu bahwa seorang laki² berkata: "Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke surga." Orang² pun berkata: "Ada apa dengan orang ini, ada apa dengan orang ini." Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Biarkanlah urusan orang ini." Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya: "Kamu beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, menegakkan shalat, dan membayar zakat serta menjalin tali silaturrahim." Abu Ayyub berkata: "Ketika itu beliau berada di atas kendaraannya." (HR. Bukhari)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِى الأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِى الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِى الأَثَرِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ. وَمَعْنَى قَوْلِهِ « مَنْسَأَةٌ فِى الأَثَرِ ». يَعْنِى زِيَادَةً فِى الْعُمُرِ.
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: "Belajarlah dari nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturrahim karena silaturrahim itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga dan memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur." Abu Isa berkata: Ini merupakan hadits gharib melalui jalur ini.
Berkaitan dengan hal ini, para ulama hadits memberikan judul pada salah satu babnya didalam kitab² haditsnya dengan silaturahim, seperti: Imam Bukhari didalam Shahihnya memberikan judul “Bab Silaturahim”, Muslim didalam Shahihnya dengan judul “Bab Silaturahim wa Tahrimi Qothiatiha”, Abu Daud didalam Sunannya dengan “Bab Silaturahim” dan Tirmidzi didalam Sunannya dengan “Bab Maa Ja’a Fii Silaturahim”
Sedangkan makna Rahim dengan memfathahkan huruf Ro dan mengkasrahkan Ha, sebagaimana dikatakan al Hafizh Ibnu Hajar didalam kitabnya “Fathul Bari” digunakan untuk kaum kerabat dan mereka adalah orang² yang diantara sesama mereka memiliki hubungan nasab, baik mewariskannya atau tidak, baik memiliki hubungan mahram atau tidak. Namun ada juga yang mengatakan mereka adalah para mahram saja. Namun pendapat pertama lah yang tepat karena pendapat kedua mengharuskan dikeluarkannya (tidak termasuk didalamnya) anak² lelaki dari paman baik dari jalur bapak atau ibu dari kalangan dzawil arham, padahal bukanlah demikian. (Fathul Bari juz XVII hal.107)
Wallahu A'lam..
Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..
Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..