Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..
Ada seorang Ikhwan di
ini group nanya mengenai
Hukum Asuransi, Sebenarnya bagaimanakah
hukum asuransi itu dalam islam? Berikut penjelasan nya..
Akhi
Ukhti, di Jaman sekarang banyak manusia yang merasa khawatir dengan
masa depan nya sendiri. Seakan-akan masa depan nya itu selalu suram.
Akan terjadi kecelakaan, rumah tidak aman dan bisa saja terbakar atau
terjadi pencurian, perusahaan pun tidak bisa dijamin berjalan terus,
pendidikan anak bisa jadi tiba-tiba membutuhkan biaya besar di tahun²
mendatang. Itulah gambaran yang digembosi pihak asuransi. Yang
digambarkan adalah masa depan yang selalu suram.
Tidak
ada rasa tawakkal dan tidak percaya akan janji Allah yang akan selalu
memberi pertolongan dan kemudahan. Kenapa asuransi yang selalu dijadikan
solusi untuk masa depan? Berikut Ulasan sederhana yang akan ane jabarin
mengenai asuransi dan bagaimanakah seharusnya kita bersikap..
Mengenal Asuransi
Asuransi
adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada tindakan, sistem, atau
bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial)
untuk jiwa, properti, kesehatan dan lain sebagainya mendapatkan
penggantian dari kejadian² yang tidak dapat diduga yang dapat terjadi
seperti kematian, kehilangan, kerusakan atau sakit, di mana melibatkan
pembayaran premi secara teratur dalam jangka waktu tertentu sebagai
ganti polis yang menjamin perlindungan tersebut.
Berbagai Alasan Terlarangnya Asuransi
Berbagai
jenis asuransi asalnya haram baik asuransi jiwa, asuransi barang,
asuransi dagang, asuransi mobil, dan asuransi kecelakaan. Secara
ringkas, asuransi menjadi bermasalah karena di dalamnya terdapat riba,
qimar (unsur judi), dan ghoror (ketidak jelasan atau spekulasi tinggi).
Berikut adalah rincian mengapa asuransi menjadi terlarang:
1.
Akad yang terjadi dalam asuransi adalah akad untuk mencari keuntungan
(mu’awadhot). Jika kita tinjau lebih mendalam, akad asuransi sendiri
mengandung ghoror (unsur ketidak jelasan). Ketidak jelasan pertama dari
kapan waktu nasabah akan menerima timbal balik berupa klaim. Tidak
setiap orang yang menjadi nasabah bisa mendapatkan klaim. Ketika ia
mendapatkan accident atau resiko, baru ia bisa meminta klaim. Padahal
accident di sini bersifat tak tentu, tidak ada yang bisa mengetahuinya.
Boleh jadi seseorang mendapatkan accident setiap tahunnya, boleh jadi
selama bertahun-tahun ia tidak mendapatkan accident. Ini sisi ghoror
pada waktu.
Sisi ghoror lainnya adalah dari sisi
besaran klaim sebagai timbal balik yang akan diperoleh. Tidak diketahui
pula besaran klaim tersebut. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah melarang jual beli yang mengandung ghoror atau spekulasi tinggi
sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil
lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror
(mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no.1513).
2.
Dari sisi lain, asuransi mengandung qimar atau unsur judi. Bisa saja
nasabah tidak mendapatkan accident atau bisa pula terjadi sekali, dan
seterusnya. Di sini berarti ada spekulasi yang besar. Pihak pemberi
asuransi bisa jadi untung karena tidak mengeluarkan ganti rugi apa-apa.
Suatu waktu pihak asuransi bisa rugi besar karena banyak yang
mendapatkan musibah atau accident. Dari sisi nasabah sendiri, ia bisa
jadi tidak mendapatkan klaim apa-apa karena tidak pernah sekali pun
mengalami accident atau mendapatkan resiko. Bahkan ada nasabah yang baru
membayar premi beberapa kali, namun ia berhak mendapatkan klaimnya
secara utuh, atau sebaliknya. Inilah judi yang mengandung spekulasi
tinggi. Padahal Allah jelas-jelas telah melarang judi berdasarkan
keumuman ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maysir
(berjudi), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90). Di antara bentuk
maysir adalah judi.
3. Asuransi mengandung unsur riba
fadhel (riba perniagaan karena adanya sesuatu yang berlebih) dan riba
nasi’ah (riba karena penundaan) secara bersamaan. Bila perusahaan
asuransi membayar ke nasabahnya atau ke ahli warisnya uang klaim yang
disepakati, dalam jumlah lebih besar dari nominal premi yang ia terima,
maka itu adalah riba fadhel. Adapun bila perusahaan membayar klaim
sebesar premi yang ia terima namun ada penundaan, maka itu adalah riba
nasi’ah (penundaan). Dalam hal ini nasabah seolah-olah memberi pinjaman
pada pihak asuransi. Tidak diragukan kedua riba tersebut haram menurut
dalil dan ijma’ (kesepakatan ulama).
4. Asuransi
termasuk bentuk judi dengan taruhan yang terlarang. Judi kita ketahui
terdapat taruhan, maka ini sama halnya dengan premi yang ditanam. Premi
di sini sama dengan taruhan dalam judi. Namun yang mendapatkan klaim
atau timbal balik tidak setiap orang, ada yang mendapatkan, ada yang
tidak sama sekali. Bentuk seperti ini diharamkan karena bentuk judi yang
terdapat taruhan hanya dibolehkan pada tiga permainan sebagaimana
disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ سَبَقَ إِلاَّ فِى نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ
“Tidak
ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta,
dan pacuan kuda” (HR. Tirmidzi no.1700, An Nasai no.3585, Abu Daud
no.2574, Ibnu Majah no.2878. Dinilai shahih oleh Syech Al Albani).
Para
ulama memisalkan tiga permainan di atas dengan segala hal yang menolong
dalam perjuangan Islam, seperti lomba untuk menghafal Al Qur’an dan
lomba menghafal hadits. Sedangkan asuransi tidak termasuk dalam hal ini.
5.
Di dalam asuransi terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan jalan
yang batil. Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu
memberikan timbal balik. Padahal dalam akad mu’awadhot (yang ada syarat
mendapatkan keuntungan) harus ada timbal balik. Jika tidak, maka
termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
saling ridho di antara kamu” (QS. An Nisa’: 29).
Tentu setiap orang tidak ridho jika telah memberikan uang, namun tidak bmendapatkan timbal balik atau keuntungan.
6.
Di dalam asuransi ada bentuk pemaksaan tanpa ada sebab yang syar’i.
Seakan-akan nasabah itu memaksa accident itu terjadi. Lalu nasabah
mengklaim pada pihak asuransi untuk memberikan ganti rugi padahal
penyebab accident bukan dari mereka. Pemaksaan seperti ini jelas
haramnya.
"Masa Depan Selalu Suram” Ganti dengan “Tawakkal”
Dalam
rangka promosi, yang ditanam di benak kita oleh pihak asuransi adalah
masa depan yang selalu suram. “Engkau bisa saja mendapatkan kecelakaan”,
“Pendidikan anak bisa saja membengkak dan kita tidak ada persiapan”,
“Kita bisa saja butuh pengobatan yang tiba-tiba dengan biaya yang
besar”. Itu slogan² demi menarik kita untuk menjadi nasabah di
perusahaan asuransi. Tidak ada ajaran bertawakkal dengan benar. Padahal
tawakkal adalah jalan keluar sebenarnya dari segala kesulitan dan
kekhawatiran masa depan yang suram. Karena Allah Ta’ala sendiri yang
menjanjikan,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ
مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan
Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya” (QS. Ath Tholaq: 2-3).
Tawakkal adalah
dengan menyandarkan hati kepada Allah Ta’ala. Namun bukan cukup itu
saja, dalam tawakkal juga seseorang mengambil sebab atau melakukan
usaha. Tentu saja, sebab yang diambil adalah usaha yang disetujui oleh
syari’at. Dan asuransi sudah diterangkan adalah sebab yang haram, tidak
boleh seorang muslim menempuh jalan tersebut. Untuk membiayai anak
sekolah, bisa dengan menabung. Untuk pengobatan yang mendadak tidak
selamanya dengan solusi asuransi kesehatan. Dengan menjaga diri agar
selalu fit, juga persiapan keuangan untuk menjaga kondisi kecelakaan tak
tentu, itu bisa sebagai solusi dan preventif yang halal. Begitu pula
dalam hal kecelakaan pada kendaraan, kita mesti berhati-hati dalam
mengemudi dan hindari kebut-kebutan, itu kuncinya.
Yang
ane saksikan sendiri betapa banyak kecelakaan terjadi dikarenakan
banyak yang sudah mengansuransikan kendaraannya. Jadi, dengan alasan
“kan, ada asuransi”, itu jadi di antara sebab di mana mereka asal-asalan
dalam berkendaraan. Jika mobil rusak, sudah ada ganti ruginya. Oleh
karenanya, sebab kecelakaan meningkat bisa jadi pula karena janji manis
dari asuransi.
Ingatlah setiap rizki tidak mungkin
akan luput dari kita jika memang itu sudah Allah takdirkan. Kenapa
selalu terbenak dalam pikiran dengan masa depan yang suram?
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا
لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا
مَا حَرُمَ
“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau
kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena
sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar
telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka
bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari
rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halalu dan tinggalkan
yang haram” (HR. Ibnu Majah no.2144, dikatakan shahih oleh Syech Al
Albani).
Dari penjelasan di atas tentu saja kita dapat
menyimpulkan haramnya asuransi, apa pun jenisnya jika terdapat
penyimpangan² di atas meskipun mengatasnamakan “asuransi syari’ah”
sekali pun. Yang kita lihat adalah hakekatnya dan bukan sekedar nama dan
slogan.
Seorang muslim jangan tertipu dengan embel syar’i belaka.
Betapa banyak orang memakai slogan “syar’i”, namun nyatanya hanya
sekedar bualan.
Nasehat guru ane
Syech Abdul Qadir
Jaelani, seorang muslim tidak perlu mengajukan premi untuk tujuan
asuransi tersebut. Klaim yang diperoleh pun jelas tidak halal dan tidak
boleh dimanfaatkan. Kecuali jika dalam keadaan terpaksa mendapatkannya
dan sudah terikat dalam kontrak kerja, maka hanya boleh memanfaatkan
sebesar premi yang disetorkan semacam dalam asuransi kesehatan dan tidak
boleh lebih dari itu.
Jika seorang muslim sudah terlanjur
terjerumus, berusahalah meninggalkannya, perbanyaklah istighfar dan
taubat serta perbanyak amalan kebaikan. Jika uang yang ditanam bisa
ditarik, itu pun lebih ahsan (baik).
Asuransi yang ane
bahas di atas adalah asuransi yang bermasalah karena terdapat
pelanggaran² sebagaimana yang telah ane sebutkan. Ada asuransi yang
disebut dengan asuransi ta’awuni yang di dalamnya hanyalah tabarru’at
(akad tolong menolong) dan asuransi seperti ini tidaklah bermasalah.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad..
"Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang manfaat"