Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..
Ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini;
• Tidur bukan termasuk pembatal wudhu.
• Tidur termasuk pembatal wudhu.
• Tidur merupakan sebab kemungkinan besar terjadinya pembatal wudhu, sehingga ada yang membatalkan wudhu dan ada yang tidak batal.
Pendapat pertama, Tidur bukan termasuk pembatal wudhu
Pendapat ini dinukil dari beberapa sahabat dan tabiin, seperti Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dan Said bin Musayib. Diantara alasan pendapat ini,
1. Keterangan sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
أن الصحابة رضي الله عنهم كانوا ينتظرون العشاء على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى تخفق رؤوسهم ثم يصلون ولا يتوضؤون
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka menunggu shalat isya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepala mereka ngantuk dan kepala tertunduk. Kemudian mereka shalat jamaah dan mereka tidak mengulangi wudhu. (HR. Abu Daud 200 dan dishahihkan Al-Albani)
Dalam riwayat Al-Bazzar terdapat tambahan,
يضعون جنوبهم
“Mereka bertelekan”
2. Bahwa tidur itu sendiri bukan pembatal wudhu. Hanya saja dikhawatirkan dengan tidur orang akan melakukan hadas dan dia tidak merasa. Artinya, munculnya hadats statusnya meragukan. Dan sesuatu yang meragukan tidak bisa menggugurkan yang yakin.
Pendapat kedua, tidur termasuk pembatal wudhu
Semua tidur baik sebentar maupun lama, dengan posisi apapun. Selagi telah hilang kesadaran karena tertidur, maka wudhunya batal. Ini merupakan pendapat sebagian sahabat dan tabiin, dan pendapat yang dipilih oleh Ishaq bin rahuyah, Al-Muzani, Hasan Al-bashri, Ibnu Mundzir, Abu Ubaid Al-Qosim bin Sallam dan Ibn Hazm. Diantara dalil pendapat ini,
Hadis Shafwan bin ‘Asal radhiyallahu ‘anhu,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرنا إذا كنا على سفرا أن لا ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة ولكن من غائط وبول ونوم
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami apabila dalam perjalanan, agar tidak melepaskan sepatu kami selama 3 hari 3 malam, kecuali jika karena junub. Kami tidak perlu melepas ketika wudhu karena selesai buang air besar, kencing, atau tidur.” (HR. An-Nasa’I 127, Tirmidzi 96, dan dihasankan Al-Albani).
Juga hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ، فَلْيَتَوَضَّأْ
“Mata adalah sumbatnya dubur. Karena itu, siapa yang tidur, dia harus wudhu.” (HR. Ahmad 887, Ibn Majah 477, Ad-Darimi dalam sunannya 749, dan dinilai Hasan oleh Al-Albani).
Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut ‘tidur‘ dalam daftar pembatal wudhu, sebagaimana buang air besar dan kencing. Tanpa dibedakan antara tidur model tertentu dengna model tidur lainnya. Sementara Shafwan bin ‘Asal termasuk sahabat yang masuk islam di masa akhir dakwah, sebagaimana keterangan Ibn hazm.
Pendapat ketiga, tidak semua tidur membatalkan wudhu.
Pendapat ini memberikan rincian. Tidak semua tidur bisa membatalkan wudhu. Ada tidur yang membatalkan wudhu dan ada yang tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini sejatinya merupakan kompromi antara hadis Anas bin Malik dengan hadis Shafwan bin ‘Asal dan hadis Ali bin Abi Thalim radhiyallahu ‘anhum.
Inilah pendapat para ulama madzhab empat.
Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan rincian dan batasan antara yang membatalkan dan yang tidak membatalkan. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan dalam menentukan sebab mengapa tidur bisa membatalkan wudhu. Ada yang melihat ukurannnya, ada yang mengacu pada bentuknya, dan ada yang memperhatikan makna tidur itu sendiri.
1. Semua tidur membatalkan wudhu kecuali tidur sebentar, ini meruapakan madzhab hambali. Batasan yang digunakan hambali kembali pada ukuran.
2. Tidur bisa membatalkan kecuali jika tidur yang dilakukan dengan posisi duduk tenang. Ini merupakan pendapat Syafiiyah. Sementara Daud Ad-Dzahiri mengatakan bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur terlentang.
3. Semua tidur membatalkan wudhu, kecuali tidur yang dilakukan ketika shalat. Ini merupakan pendapat Hanafiyah.
Batasan yang ditetapkan dalam madzhab Syafii, Hanafi, dan Daud Ad-Dzahiri kembali pada bentuk tidur.
4. Tidur merupakan madzannah hadats (peluang terjadinya hadats). Karena itu, selama orang tidur masih bisa menyadari apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya tidak batal. Namun jika orang yang tidur tidak sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya, maka wudhunya batal. Inilah pendapat madzhab Malikiyah menurut riwayat yang masyhur, dan yang dipilih oleh Syaikhul islam Ibn taimiyah dan Ibn Utsaimin.
Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat Malikiyah, merinci antara tidur pembatal wudhu dan tidur yang bukan pembatal wudhu dengan kembali pada makna tidur itu sendiri.
Hadis Anas bin Malik, dimana para sahabat menunggu shalat isya sampai tertidur, dan mereka ketika mendengar iqamah langsung shalat tanpa mengulang wudhu, dipahami sebagai kondisi tidur yang masih menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Sementara hadis Shafwan bin Asal yang menyebutkan bahwa tidur adalah pembatal wudhu dipahami untuk tidur yang tidak bisa merasakan apa yang terjadi pada dirinya. Sehingga ketika terjadi hadas, orang ini tidak merasakan sama sekali.
Kompromi semacam ini, dikuatkan oleh hadis, diantaranya,
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إذا استيقظ أحدكم من نومه فلا يغمس يده في الإناء حتى يغسلها ثلاثاً ، فإن أحدكم لا يدري أين باتت يده
“Apabila kalian bangun tidur, jangan mencelupkan tangannya ke air, sampai dia cuci tiga kali. Karena dia tidak tahu, dimanakah posisi tangannya ketika tidur.” (HR. Muslim 278).
Keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ” Karena dia tidak tahu, dimanakah posisi tangannya ketika tidur” maknanya, orang yang tidur itu sudah tidak lagi sadar. Oleh karena itu, jika ada orang yang tidur dan dia masih menyadari apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya tidak batal.
Kemudian hadis lain yang menguatkan kompromi ini adalah hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ، فَلْيَتَوَضَّأْ
“Mata adalah sumbatnya dubur. Karena itu, siapa yang tidur, dia harus wudhu.”
Artinya, mata akan tetap berfungsi sebagai penyumbat ketika orang yang tidur masih bisa merasakan apa yang terjadi di lingkungannya. Meskipun matanya terpejam. Sehingga wudhunya tidak batal. Sebaliknya, ketika orang yang tidur tidak lagi sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya batal.
Makanye untuk kasus yang di alami salah satu akhwat di ini group yang kadang suka tertidur setelah sholat dalam posisi masih memakai mukena, biar lebih afdhal bila ingin melanjutkan sholat lagi, mending ye ambil wudhu lagi'..
"Semoga jadi ilmu yang manfaat"