Yang udah sempet ane publikasiin di media online Republika'..
Mudah²an sedikit banyak bisa jadi i'tibar buat kita semua..
Sebagai
muslim kita tau, merupakan nikmat yang besar kepada para hamba-Nya,
yaitu Allah menjadikan waktu-waktu spesial yang penuh dengan berkah,
agar para hambaNya memanfaatkan kesempatan emas tersebut dan
berlomba-lomba meraih berkah sebanyak-banyaknya.
Berjumpa
dengan bulan Ramadhan merupakan kenikmatan yang sangat besar. Maka
selayaknya seorang muslim benar-benar merasakan dan menjiwai nikmat
tersebut. Betapa banyak orang yang terhalang dari nikmat ini, baik
karena ajal telah menjemput, atau karena ketidakmampuan beribadah
sebagaimana mestinya, karena sakit atau yang lainnya, ataupun karena
mereka sesat dan masa bodoh terhadap bulan yang mulia ini. Oleh karena
itu, hendaknya seorang muslim bersyukur kepada Allah atas karunia-Nya
ini. Berdoa kepada-Nya agar dianugerahi kesungguhan serta semangat dalam
mengisi bulan mulia ini, yaitu dengan ibadah dan dzikir kepada-Nya.
Yang
menyedihkan, banyak orang tidak mengerti kemuliaan bulan suci ini.
Tidak menjadikan bulan suci ini sebagai lahan untuk memanen pahala dari
Allah dengan memperbanyak beribadah, bersedekah dan membaca Al Qur`an.
Namun bulan yang agung ini, mereka jadikan musim menyediakan dan
menyantap aneka ragam makanan dan minuman, menyibukkan kaum ibu terus
berkutat dengan dapur. Sebagian yang lain ada yang memanfaatkan bulan
mulia ini hanya dengan bergadang dan ngobrol hingga pagi, kemudian pada
siang harinya dipenuhi dengan mimpi-mimpi. Bahkan ada yang terlambat
untuk shalat berjamaah di masjid. Ataupun tatkala shalat di masjid, ia
berangan-angan agar sang imam segera salam. Sebagian yang lain ada yang
mengenal bulan suci ini sebagai musim untuk mengeruk duit
sebanyak-banyaknya. Lowongan-lowongan pekerjaan ditelusurinya sebagai
upaya memperoleh kesempatan mengeruk dunia. Sebagian yang lain sangat
giat berjual beli, stand bye di pasar dan meninggalkan masjid. Kalaupun
shalat di masjid, mereka shalat dalam keadaan terburu-buru.
Barangsiapa
yang mengetahui keagungan bulan suci ini, maka dia akan benar-benar
rindu untuk bertemu dengannya. Para salaf sangat merasakan keagungan
bulan suci ini, sehingga kehadirannya selalu dinanti-nanti oleh mereka.
Bahkan jauh sebelumnya, mereka telah mempersiapkan perjumpaan itu.
Mu’alla
bin Al Fadhl berkata,”Mereka (para salaf) berdoa kepada Allah selama
enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan … .”
Pujilah
Allah dan bersyukurlah kepadaNya karena telah mempertemukan kita dengan
bulan Ramadhan dalam keadaan tentram dan damai. Renungkanlah,
bagaimanakah keadaan saudara-saudara kita di Palestina, Checnya,
Afghanistan, Iraq dan negeri-negeri yang lainnya? Bagaimanakah keadaan
mereka dalam menyambut bulan suci ini? Musibah demi musibah, derita demi
derita menimpa mereka. Dengan derita dan tangisanlah mereka menyambut
bulan suci ini.
Dengan beraneka ragam makanan kita
berbuka puasa. Lantas, dengan apakah saudara-saudara kita di Somalia
berbuka puasa? Mereka terus menghadapi bencana busung lapar.
RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN EMAS UNTUK MENJADI ORANG YANG BERTAKWA
Allah berfirman :
يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa. [Al Baqarah : 183]
.
Syech Utsaimin rahimahullah
berkata,”لَعَلَّ adalah untuk ta`lil (menjelaskan sebab). Hal ini
menjelaskan hikmah (tujuan) diwajibkannya puasa. Yaitu, agar kalian
(menjadi orang-orang yang) bertakwa kepada Allah. Inilah hikmah (yang
utama) dari ibadah puasa. Adapun hikmah-hikmah puasa yang lainnya,
seperti kemaslahatan jasmani atau kemaslahatan sosial, maka hanyalah
mengikutinya.
Betapa banyak manusia pada zaman ini,
jika dikatakan kepada mereka “bertakwalah engkau kepada Allah”, maka
merah padamlah wajahnya karena marah dan tertipu dengan dirinya sendiri.
Dia menganggap dirinya telah bertakwa kepada Allah, sehingga merasa
tersinggung jika dikatakan padanya untuk bertakwa kepada Allah.
Ibnu
Mas’ud berkata, ”Cukuplah sesorang itu berdosa jika dikatakan kepadanya
“bertakwalah kepada Allah”, lantas ia berkata ‘Urus dirimu sendiri,
orang seperti kamu mau menasihatiku?’ .”
Pada suatu
hari Khalifah Harun Ar Rasyid keluar naik kendaraan untanya yang mewah
dan penuh hiasan, lalu seorang Yahudi berkata kepadanya: “Wahai, Amirul
Mukminin. Bertakwalah engkau kepada Allah,” maka beliaupun turun dari
kendaraannya dan sujud kepada Allah di atas tanah dengan penuh tawadhu`
dan khusyu. Khalifah kemudian memerintahkan agar kebutuhan orang Yahudi
tersebut dipenuhi.
Tatkala ditanyakan mengapa Khalifah
memerintahkan demikian, beliau menjawab: “Tatkala saya mendengar
perkataan orang Yahudi tersebut, saya teringat firman Allah
وَإِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهٌ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
(Dan
apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah
kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah
(balasannya) neraka Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu tempat
tinggal yang seburuk-buruknya”. -Al Baqarah ayat 206-), maka saya
khawatir, saya adalah orang yang disebut Allah tersebut”.
Oleh karena itu, puasa merupakan kesempatan emas untuk melatih diri kita untuk bertakwa kepada Allah.
Sebagian
Salaf menyatakan, puasa yang paling ringan adalah meninggalkan makan
dan minum. Jabir berkata,”Jika engkau berpuasa, maka hendaknya
pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu juga ikut berpuasa… Dan tatkala
berpuasa, janganlah engkau menjadikan keadaanmu seperti keadaanmu
tatkala tidak berpuasa.” Abul ‘Aliah mengatakan, orang yang berpuasa
senantiasa berada dalam ibadah, walaupun dia dalam keadaan tidur di atas
tempat tidurnya, (yakni) selama tidak ghibah (menggunjing) orang lain
Syech
As Sudais berkata,”Dan apakah mereka telah merealisasikan dan
menerapkan apa yang menjadi tujuan disyariatkannya puasa (yaitu untuk
bertakwa kepada Allah)? Ataukah masih banyak di antara mereka yang tidak
mengetahui hikmah disyari’atkannya puasa dan melupakan buah manis dari
ketakwaan serta jalan-jalan ketakwaan yang bercahaya, sehingga
mencukupkan puasa hanya dengan menahan diri dari makanan dan minuman
serta pembatal-pembatal puasa yang zhahir?”
Beliau juga
berkata,”Sebagian orang tidak mengetahui hakikat puasa. Mereka
membatasi makna puasa, yaitu hanya menahan diri dari makan dan minum.
Maka engkau lihat sebagian mereka, puasanya tidak bisa mencegah
(kejahatan) lisannya, sehingga terjerumus dalam ghibah, namimah dan
dusta. Demikian juga, mereka membiarkan telinga dan mata mereka
berkeliaran, sehingga terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan. Imam Bukhari
telah meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَيْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa
yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya serta
berbuat kebodohan, maka Allah tidak butuh kepada puasanya dari
meninggalkan makan dan minumnya.
Ibnu Rajab
berkata,”Barangsiapa yang pada bulan Ramadhan ini tidak beruntung, maka
kapan lagi dia bisa beruntung? Barangsiapa yang pada bulan suci ini
tidak bisa mendekatkan dirinya kepada Allah, maka sungguh dia sangat
merugi.”
Jadilah kita seperti kupu-kupu yang
menyenangkan dan indah jika dipandang, serta bermanfaat bagi perkawinan
di antara tanaman, padahal sebelumnya adalah seekor ulat yang merusak
dedaunan dan merupakan hama tanaman. Namun setelah berpuasa beberapa
saat dalam kepompongnya, berubahlah ulat tersebut menjadi kupu-kupu yang
indah.
PUASA MERUPAKAN KESEMPATAN UNTUK MEMBIASAKAN DIRI MENTADABBUR AL QUR`AN
Betapa
banyak orang yang telah berpaling dari Al Qur`an dan meninggalkan
membaca Al Qur`an. Atau tatkala membacanya, tanpa disertai dengan
mentadabburi (perenungan) kandungan maknanya. Sehingga pada sebagian
orang, Al Qur`an menjadi sesuatu yang terlupakan.
Ibnu Rajab berkata,”Allah mencela orang-orang yang membaca Al Qur`an tanpa memahami (mentadaburi) maknanya.
Allah berfirman
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّوْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ
(Dan
di antara mereka ada yang buta huruf tidak mengetahui Al Kitab (At
Taurat), kecuali hanya dongengan belaka.” –Al Baqarah ayat 78-). Yaitu
dalam membacanya tanpa memahami maknanya. Tujuan diturunkannya Al Qur`an
adalah untuk difahami maknanya dan untuk diamalkan, bukan hanya sekedar
untuk dibaca.”
Tatkala tiba bulan Ramadhan Az Zuhri berkata: “Ramadhan itu adalah membaca Al Qur`an dan memberi makan (fakir miskin)”.
Ibnu
Abdilhakim berkata,”Jika tiba bulan Ramadhan, Imam Malik menghindar
dari membacakan hadits dan bertukar pikiran dengan ahli ilmu. Beliau
berkonsentrasi membaca Al Qur`an dari mushaf”.
Abdurrazak berkata,”Jika masuk bulan Ramadhan, Ats Tsauri meninggalkan seluruh ibadah dan memfokuskan pada membaca Al Qur`an.”
Ibnu
Rajab berkata,”Pada bulan Ramadhan, para salaf berkonsentrasi membaca
Al Qur`an. Di antara mereka ada yang mengkhatamkan Al Qur`an setiap
minggu, ada yang setiap tiga hari, ada juga yang menamatkan dalam waktu
dua malam. Bahkan ada di antara mereka pada saat sepuluh malam yang
terakhir, menamatkan Al Qur`an setiap malam.
Adapun
hadits yang menjelaskan larangan mengkhatamkan Al Qur`an kurang dari
tiga hari, maka maksudnya, jika dilaksanakan terus-menerus. Adapun
menamatkan Al Qur`an pada waktu-waktu (tertentu) yang mulia, seperti
pada bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam yang diharapkan, yaitu
Lailatul Qadar, juga di tempat-tempat yang mulia; maka yang demikian itu
disunnahkan agar memperbanyak membaca Al Qur`an untuk memanfaatkan
kesempatan berada di tempat dan waktu yang mulia. Ini adalah pendapat
Imam Ahmad dan yang lainnya, dan merupakan hal yang diamalkan oleh
selain mereka.”
Di antara adab-adab tatkala membaca Al Qur`an.
1.
Hendaknya membaca dengan tartil, memperhatikan hukum-hukum tajwid
disertai dengan mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya. Jika ayat yang
dibaca berkaitan dengan kekurangan atau kesalahannya, maka hendaknya dia
beristighfar. Jika melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan rahmat
Allah, maka hendaknya dia meminta kepada Allah rahmat Allah tersebut.
Jika melewati ayat-ayat tentang adzab, maka hendaknya dia takut dan
berlindung kepada Allah dari adzab tersebut. Oleh karena itu, jika
membaca Al Qur`an dengan cepat dan kurang memperhatikan hukum-hukum
tajwid, maka sulit untuk mempraktekan tadabbur Al Qur`an. Bahkan membaca
Al Qur`an dengan cepat tanpa aturan, terkadang hukumnya bisa menjadi
haram, jika sampai menimbulkan perubahan huruf-huruf (tidak keluar
sesuai dengan makhrajnya), karena menyebabkan terjadinya perubahan atas
Al Qur`an. Adapun jika membaca dengan cepat, namun tetap memperhatikan
hukum-hukum tajwid, maka tidak mengapa, karena sebagian orang mudah bagi
lisannya membaca Al Qur`an (dan sebagian orang bisa mentadabburi Al
Qur`an walaupun dibaca dengan cepat).
2. Hendaknya
tidak memotong pembacaan Al Qur`an hanya karena ingin ngobrol dengan
teman duduk di sampingnya. Sebagian orang, jika sedang membaca Al Qur`an
kemudian di sampingnya ada seorang sahabatnya, maka diapun sering
memotong bacaannya untuk ngobrol dengan temannya tersebut. Perbuatan
seperti ini semestinya tidak dilakukan, karena termasuk dalam kategori
berpaling dari Al Qur`an tanpa adanya kebutuhan.
3.
Tidak membaca Al Qur`an dengan suara keras sehingga mengganggu orang
yang berada di sekitarnya yang sedang membaca Al Qur`an juga, atau
sedang shalat, atau sedang tidur. Nabi telah melarang perihal ini.
Dari
Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata: “Nabi i’tikaf di masjid, lalu
beliau mendengar orang-orang membaca Al Qur`an dengan suara yang keras,
dan Nabi sedang berada di dalam tenda i’tikafnya. Beliaupun membuka
sitar (kain penutup) tendanya, kemudian berkata: “Kalian semuanya sedang
bermunajat dengan Rabb-nya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu
sebagian yang lain. Janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya
tatkala membaca Al Qur`an” atau Beliau berkata: “Tatkala (membaca Al
Qur`an) dalam shalat”.
RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN UNTUK INSTROPEKSI DIRI
Umar Al Faruq berkata :
حَاسِبُوا أنْفُسَكُم قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُا وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا وَ تَزَيَّنُوا لِلعَرْضِ الأَكْبَر
Hisablah
diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum
kalian ditimbang. Dan berhiaslah (beramal shalihlah) untuk persiapan
hari ditampakkannya amalan hamba.
Allah berfirman
يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
(Pada
hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari
keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah) -Al Haqqah : 18)
Benarlah
yang diucapkan oleh Al Faruq, sesungguhnya muhasabah diri di dunia ini,
jauh lebih ringan daripada hisab Allah pada hari akhir nanti, (yaitu)
tatkala rambut anak-anak menjadi putih. Yang menghisab adalah Allah.
Dan
yang menjadi bukti otentik adalah kitab yang sifatnya : … tidak
meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia
mencatat semuanya?; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada
(tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun. [Al Kahfi :
49].
Al Hasan berkata,”Seorang mukmin adalah pengendali
dirinya. (Hendaknya) dia menghisab dirinya karena Allah. Yang
menyebabkan suatu kaum hisabnya ringan di akhirat kelak ialah, karena
mereka telah menghisab jiwa mereka di dunia. Dan yang menyebabkan
beratnya hisab pada suatu kaum pada hari kiamat kelak ialah, karena
mereka mengambil perkara ini tanpa bermuhasabah (di dunia).”
Hakikat
muhasabah ialah, menghitung dan membandingkan antara kebaikan dan
keburukan. Sehingga, dengan perbandingan ini diketahui mana dari
keduanya yang terbanyak.
Ibnul Qayyim
menjelaskan,”Namun, muhasabah ini akan terasa sulit bagi orang yang
tidak memiliki tiga perkara, yaitu cahaya hikmah, berprasangka buruk
kepada diri sendiri dan (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah
(istidraj).”
Pertama : Cahaya hikmah, yaitu ilmu; yang
dengannya seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan,
petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudharat, yang sempurna dan yang
kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian, ia bisa mengetahui
tingkatan amalan yang ringan dan yang berat, yang diterima dan yang
ditolak. Semakin terang cahaya hikmah ini pada seseorang, maka ia akan
semakin tepat dalam perhitungannya (muhasabah).
Kedua :
Adapun berprasangka buruk kepada diri sendiri sangat dibutuhkan (dalam
muhasabah). Karena berbaik sangka kepada jiwa, dapat menghambat kepada
sempurnanya pemeriksaan jiwa; sehingga bisa jadi, ia akan memandang
kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan, dan (sebaliknya) memandang
aibnya sebagai suatu kesempurnaan. Dan tidaklah berprasangka buruk
kepada dirinya, kecuali orang yang mengenal dirinya. Barangsiapa yang
berbaik sangka kepada jiwanya, maka ia adalah orang yang paling bodoh
tentang dirinya sendiri.
Ketiga : Adapun (kemampuan)
membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan antara
kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa kebaikanNya dan
kasih-sayangNya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan
kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang
terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam
kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah), sedangkan
ia tidak menyadari hal itu.
Mereka terfitnah dengan
pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu
terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah. Kebanyakan manusia
menjadikan tiga perkara (pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib
yang selalu tertutup) ini sebagai tanda kebahagiaan dan keberhasilan.
Sampai disitulah rupanya ilmu mereka ……
Ibnul Qayyim
melanjutkan : …. semua kekuatan, baik yang nampak maupun yang batin,
jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allah dan apa yang diridhai
Allah, maka hal itu sebagai karunia Allah. Jika tidak demikian, maka
kekuatan tersebut merupakan bencana.
Setiap keadaan
yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allah dan berdakwah di jalanNya,
maka hal itu merupakan karunia Allah. Jika tidak, maka hanyalah
merupakan bencana.
Setiap harta yang disertai dengan
berinfaq di jalan Allah, bukan untuk mengharapkan ganjaran dan terima
kasih dari manusia, maka ia merupakan karunia Allah. Jika tidak
demikian, maka harta itu hanyalah bumerang baginya ….
Dan
setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagunggan serta
kecintaan mereka padanya, jika disertai dengan rasa tunduk, rendah dan
hina di hadapan Allah, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib
dirinya dan kekurangan amalannya, dan usahanya menasihati manusia, maka
hal ini adalah karunia Allah. Jika tidak demikian, maka hanyalah
bencana.
Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba
mengamati point yang sangat penting dan berbahaya ini, agar bisa
membedakan antara karunia dan bencana, anugerah dan bumerang baginya,
karena betapa banyak ahli ibadah dan berakhlak mulia yang salah paham
dan rancu dalam memahami pembahasan ini.
Ketahuilah,
termasuk kesempurnaan muhasabah, yaitu engkau mengetahui, bahwa setiap
celaanmu kepada saudaramu yang berbuat maksiat atau aib, maka akan
kembali kepadamu.
Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda :
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
Barangsiapa
yang mencela saudaranya karena dosanya (kemaksiatannya), maka dia tidak
akan mati hingga dia melakukan kemaksiatan tersebut.
Dalam menafsirkan hadits ini, Imam Ahmad berkata : “Yaitu (mencelanya karena) dosa (maksiat), yang ia telah bertaubat darinya”.
Ibnul
Qayyim berkata: Dan juga pada celaan yang dibarengi rasa gembira si
pencela dengan jatuhnya orang yang dicela dalam kesalahan. Imam At
Tirmidzi meriwayatkan juga -secara marfu’- bahwasanya Rasulullah
bersabda,’Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas bencana yang
menimpa saudaramu, sehingga Allah merahmati saudaramu dan mendatangkan
bencana bagimu’.”
Dan mungkin juga, maksud Nabi bahwa
dosa celaanmu terhadap saudaramu lebih besar dari dosa saudaramu itu dan
lebih parah dari maksiat yang dilakukannya itu. Karena celaanmu itu
menunjukan tazkyiatun nafs (memuji diri sendiri) dan mengklaim, bahwa
engkau selalu di atas ketaatan dan telah berlepas diri dari dosa, dan
saudaramulah yang membawa dosa tersebut.
Maka bisa
jadi, penyesalan saudaramu karena dosanya tersebut dan akibat yang
timbul setelah itu, berupa rasa tunduk dan rendah serta penghinaan
terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia dari penyakit pengakuan sucinya
diri, rasa sombong dan ujub, serta berdirinya dia di hadapan Allah dalam
keadaan menunduk dengan hati yang pasrah, lebih bermanfaat baginya dan
lebih baik dibandingkan dengan pengakuanmu bahwa engkau selalu berada di
atas ketaatan kepada Allah dan engkau menganggap diri banyak melakukan
ketaatan kepada Allah. Bahkan engkau merasa telah memberi sumbangsih
kepada Allah dan kepada makhluk-makhlukNya dengan ketaatanmu tersebut.
Sungguh saudaramu -yang telah melakukan kemaksiatan- (lebih) dekat
kepada rahmat Allah. Dan betapa jauh orang yang ‘ujub dan merasa memberi
sumbangsih dengan amal ketaatannya karena kemurkaan Allah.
Dosa
yang mengantarkan pelakunya merasa hina di hadapan Allah lebih disukai
Allah, daripada amal ketaatan yang mengantarkan pelakunya merasa ‘ujub.
Sesungguhnya jika engkau tertidur pada malam hari (tidak melaksanakan
shalat malam), kemudian pada pagi hari engkau menyesal, lebih baik dari
pada jika engkau shalat malam kemudian pada pagi hari engkau merasa
‘ujub kepada diri sendiri, karena sesungguhnya orang yang ‘ujub, amalnya
tidak naik kepada Allah. Engkau tertawa, sembari mengakui (kesalahan
dan kekuranganmu itu) lebih baik dari pada engkau menangis, namun engkau
merasa ‘ujub.
Rintihan orang yang berdosa lebih
disukai di sisi Allah dibanding suara dzikir orang yang bertasbih namun
‘ujub. Bisa jadi, dengan sebab dosa yang dilakukan oleh saudaramu, Allah
memberikan obat kepadanya dan mencabut penyakit yang membunuh dirinya,
padahal penyakit itu ada pada dirimu dan engkau tidak merasakannya.
Allah
memiliki rahasia dan hikmah atas hamba-hambanya yang taat dan yang
bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Para ulama dan
orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu, kecuali hanya sekedar yang
bisa diperkirakan dan ditangkap oleh panca indra manusia. Namun di
balik itu, ada rahasia Allah yang tidak diketahui, bahkan oleh para
malaikat pencatat amal.
Rasulullah telah bersabda :
إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُقِمْ عَلَيْهَا الْحَدُّ وَلاَ يُثَرِّبْ
(Jika
budak wanita milik salah seorang dari kalian berzina, maka tegakkanlah
hukuman had baginya dan janganlah mencelanya) karena sesungguhnya,
penilaian adalah di sisi Allah dan hukum adalah milikNya. Dan tujuannya
ialah menegakkan hukuman had pada budak wanita tersebut, bukan
mencelanya.
Allah telah berkata tentang makhluk yang
paling mengetahuiNya dan yang paling dekat denganNya (yaitu Rasulullah):
“Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya engkau hampir-hampir
condong sedikit kepada mereka (orang-orang kafir)”. (Al Isra` : 74).
Nabi Yusuf telah berkata,”… Dan jika tidak Engkau hindarkan tipu daya
mereka dariku, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan
mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” [Yusuf : 33].
Nabi paling sering bersumpah dengan berkata
لاَ وَمُقَلِّبِ الْقُلُوْبِ
(demi
Dzat yang membolak-balikan hati manusia), Beliau bersabda,”Tidak satu
hati manusia pun, melainkan ia berada di antara dua jari dari
jari-jemari Allah. Jika Allah kehendaki, (maka) Allah akan memberi
petunjuk kepadanya. Dan jika Allah kehendaki, maka Allah akan
menyesatkannya,” kemudian Beliau berdoa :
اللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ
Wahai Dzat yang membolak-balikan hati manusia, tetapkanlah hati kami di atas jalanMu.
اللَّهُمَّ مُصَّرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
Wahai Dzat yang memaling-malingkan hati manusia, palingkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.
BERDOA KEPADA ALLAH AGAR IBADAH PUASA KITA DITERIMA
Ibnu
Rajab berkata,”Para salaf, mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
menyempurnakan dan memperbaiki amalan mereka. Kemudian, setelah itu
mereka sangat memperhatikan agar amalan mereka diterima; mereka takut
jika amalannya tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang memberikan
apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. (Al Mukminun :
60).
Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: “Hendaklah
kalian lebih memperhatikan agar amal kalian diterima (setelah beramal),
dari pada perhatian kalian terhadap amalan kalian (tatkala sedang
beramal). Apakah kalian tidak mendengar firman Allah
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْن
َ (Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa -Al Maidah : 27).
Dari
Fadhalah dia berkata: “Saya mengetahui, bahwa Allah menerima amalan
saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai, daripada dunia dan
seisinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima
dari orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.
Abu
Darda berkata,”Saya mengetahui, bahwa Allah telah menerima dariku satu
shalat saja lebih aku sukai dari pada bumi dan seluruh isinya, karena
Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang
yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.
Malik bin Dinar berkata,”Perasaan takut jikalau amalan tidak diterima, lebih daripada beramal.”
‘Atha` As Sulami berkata,”Waspadalah, jangan sampai amalanmu bukan karena Allah.”
Abdulaziz
bin Abi Ruwwad berkata,”Aku mendapati mereka (para salaf) sangat
bersungguh-sungguh tatkala beramal shalih. Namun jika mereka telah
selesai beramal, mereka ditimpa kesedihan dan kekhawatiran apakah amalan
mereka diterima atau tidak?”
Oleh karena itu, para
salaf setelah enam bulan berdoa agar dipertemukan oleh Allah dengan
Ramadhan. Mereka juga berdoa setelah Ramadhan selama enam bulan agar
amalan mereka diterima.
Wuhaib bin Al Ward tatkala membaca firman Allah
وَإِذْ
يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَ إِسْمَاعِيْلُ
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
(Dan
tatkala Ibrahim meninggikan (membina) pondasi Baitullah bersama Isma’il
(seraya berdoa): ”Wahai Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami).
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu -Al
Baqarah ayat 127-, maka beliau (Wuhaib bin Al Ward)pun menangis, seraya
berkata: “Wahai kekasih Ar Rahman. Engkau meninggikan rumah Ar Rahman,
lalu engkau takut amalanmu itu tidak diterima oleh Ar Rahman”.
Ibnul
Qayyim menyatakan, perasaan puas (ridha)nya seseorang terhadap amal
ketaatan yang telah ia kerjakan, merupakan indikasi bahwasanya ia tidak
mengetahui terhadap keadaan dirinya. Dia tidak mengetahui hak-hak Alllah
dan bagaimana semestinya beribadah kepada Allah. Ketidaktahuan terhadap
kekurangan dirinya serta aib-aib yang terdapat dalam amal ketaatannya,
dan ketidaktahuannya terhadap kebesaran Allah dan hak-hakNya, menjadikan
dia berprasangka baik terhadap jiwanya yang penuh dengan kekurangan,
sehingga akhirnya ia puas dengan amal ketaatannya. Hal ini juga
menimbulkan rasa ‘ujub (takjub) dengan dirinya sendiri yang telah
melaksanakan amal ketaatan, serta menimbulkan perasaan sombong dan
penyakit-penyakit hati lainnya, yang (tentunya) lebih berbahaya dari
pada dosa-dosa besar yang nampak, seperti zina, meminum minuman keras,
dan lari dari medan pertempuran. Jika demikian, merasa puas terhadap
amal ketaatan, merupakan kepandiran dan ketololan jiwa.
Jika
kita perhatikan, ternyata orang-orang yang bertakwa dan ahli ibadah,
mereka sangat memohon ampunan Allah, justru tatkala mereka telah selesai
dari berbuat amal ketaatan. Hal ini, karena mereka mengakui kekurangan,
tatkala mereka beramal. Dan mereka mengakui, bahwa amal ketaatan mereka
tidak sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah. Seandainya bukan
karena perintah Allah untuk beramal, maka mereka akan malu menghadap
Allah dengan ibadah mereka yang penuh kekurangan; dan mereka tidak ridha
menyerahkan ibadah yang penuh kekurangan tersebut kepada Allah. Namun
mereka tetap beribadah menjalankan perintah Allah, walaupun penuh
kekurangan.
Allah telah memerintahkan para jama’ah haji
(pengunjung rumah Allah) untuk beristigfar setelah selesai dari manasik
haji yang paling agung dan mulia, yaitu wukuf di Arafah. Allah
berfirman, yang artinya : Maka apabila kalian telah beranjak dari Arafah
berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan
menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukanNya kepada kalian, dan
sesungguhnya kalian sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang
sesat. Kemudian beranjaklah kalian dari tempat bertolak orang-orang
banyak (yaitu Arafah), dan mohon ampunlah kepada Allah; sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Baqarah : 198-199).
Allah juga berfirman
وَالْمُسْتَغْفِرِيْنََ بِالأَسْحَارِ
(Dan
yang memohon ampun pada waktu sahur. -Ali Imran ayat 17-). Berkata
Hasan Al Bashri: “Mereka memanjangkan shalat malam hingga tiba waktu
sahur (menjelang terbit fajar), lalu mereka duduk dan beristighfar
kepada Allah”. Dan dalam hadits yang shahih disebutkan, jika Nabi telah
salam dari shalat, Beliau n beristighfar tiga kali.
Allah
memerintah Nabi untuk beristighfar setelah selesai menyampaikan risalah
kenabiannya -dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menunaikannya dengan baik-, demikian juga setelah menyelesaikan ibadah
haji serta menjelang wafat Beliau. Maka Allah berfirman di dalam surat
yang turun terakhir kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu melihat
manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah
dengan memuji Rabb-mu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia
adalah Maha menerima taubat”. [An Nashr ayat 1-3].
Dengan
turunnya surat ini, maka Umar dan Ibnu Abbas mengetahui, bahwa ini
merupakan pemberitahuan Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , sebagai tanda telah dekatnya ajal Rasulullah. Maka Allah
memerintahkan Beliau untuk beristighfar setelah menunaikan tugas
mengemban risalah Allah. Hal ini seakan-akan sebagai pemberitahuan,
bahwa engkau (wahai Rasulullah) telah menunaikan kewajibanmu dan tidak
ada lagi tugas yang lain, maka jadikanlah penutupnya adalah istighfar.
Sebagaimana juga penutup shalat, haji, shalat malam. Juga setelah wudhu,
Beliau berkata :
سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ
أَشهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
أَللهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ و اجْعَلْنِي مِنَ
الْمُتَطَهِّرِيْنَ .
Demikianlah keadaan orang-orang
yang mengetahui apa yang semestinya bagi Allah dan sesuai dengan
keagunganNya, dan mengerti tentang hak-hak ibadah dan persyaratannya.
Berkata
sebagian orang bijak: “Kapan saja engkau ridha (merasa puas) dengan
dirimu dan amalanmu bagi Allah, (maka) ketahuilah, sesungguhnya Allah
tidak ridha dengan amalmu tersebut. Dan barangsiapa yang mengetahui
bahwa pada dirinya merupakan tempat kesalahan, aib dan kejelekan, serta
mengetahui bahwa amalannya penuh dengan penyakit dan kekurangan, maka
bagaimana ia bisa merasa puas dengan amalannya? Bagaimana ia bisa ridha
amalan tersebut bagi Allah?”
Sungguh indah perkataan
Syech Abu Madin: “Barangsiapa yang merealisasikan ibadahnya, maka dia
akan memandang amal perbuatannya dengan kacamata riya’. Dia memandang
keadaannya dengan pengakuan belaka, dan memandang perkataannya dengan
kedustaan belaka. Semakin besar apa yang engkau harapkan di hatimu, maka
akan semakin kecil jiwamu di hadapanmu, dan semakin sedikit pula nilai
pengorbanan yang telah engkau keluarkan demi meraih harapanmu yang
besar. Semakin engkau mengakui hakikat rububiyah Allah dan hakikat
‘ubudiyah, serta semakin engkau mengenal Allah dan mengenal dirimu
sendiri, maka akan semakin jelas bagimu, bahwa apa yang ada pada dirimu
berupa amal ketaatan, tidaklah pantas untuk diberikan kepada Allah.
Walaupun engkau datang dengan membawa amalanmu (yang beratnya seperti
amalan seluruh) jin dan manusia, maka engkau akan tetap takut dihukum
Allah (karena engkau takut tidak diterima). Sesungguhnya Allah menerima
amalanmu karena kemurahan dan kemuliaan serta karuniaNya kepadamu. Dia
memberi pahala dan ganjaran kepadamu, juga karena kemuliaan, kemurahan
dan karuniaNya”.
Syech Abdurrahman As Sudais
berkata,”Ketahuilah saudara-saudaraku, sebagaimana kalian menyambut
kedatangan bulan suci ini, kalian juga tidak lama kemudian akan berpisah
dengannya. Apakah engkau tahu, wahai hamba Allah, apakah engkau akan
bisa bertemu dengan akhir bulan ini? Ataukah engkau tidak akan
menemuinya? Demi Allah, kita tidak tahu, sedangkan kita setiap hari
menyalatkan puluhan jenazah. Dimanakah mereka yang dulu berpuasa bersama
kita? Seorang yang bijak akan menjadikan ini semua untuk bermuhasabah
dan meluruskan kepincangan, membuangnya dari jalan ketaatan sebelum ajal
menjemputnya dengan tiba-tiba; sehingga saat itu tidak ada bermanfaat,
kecuali amal shalih. Ikrarkanlah janji kepada Rabb kalian di tempat yang
suci ini; dan pada bulan suci yang penuh barakah ini untuk bertaubat
dan penyesalan, serta melepaskan diri dari kekangan kemaksiatan dan
dosa. Bersungguh-sungguhlah untuk mendoakan kebaikan bagi diri kalian
dan saudara-saudara kalian, kaum muslimin.”
"Semoga jadi ilmu yang manfaat"