Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..
Terdapat beberapa
faktor yang dapat membantu seorang hamba untuk dapat melaksanakan
kesabaran jenis kedua
yaitu bersabar ketika disakiti orang lain, Di
antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, Hendaknya
dia mengakui bahwa Allah ta’ala adalah Dzat yang menciptakan segala
perbuatan hamba, baik itu gerakan, diam dan keinginannya. Maka segala
sesuatu yang dikehendaki Allah untuk terjadi, pasti akan terjadi. Dan
segala sesuatu yang tidak dikehendaki Allah untuk terjadi, maka pasti
tidak akan terjadi. Sehingga, tidak ada satupun benda meski seberat
dzarrah (semut kecil) yang bergerak di alam ini melainkan dengan izin
dan kehendak Allah. Oleh karenanya, hamba adalah _‘alat’._
Lihatlah
kepada Dzat yang menjadikan pihak lain menzalimi kita dan janganlah
kita melihat tindakannya terhadap kita. (Apabila kita melakukan hal
itu), maka kita akan terbebas dari segala kedongkolan dan kegelisahan.
Kedua,
Hendaknya seorang mengakui akan segala dosa yang telah diperbuatnya dan
mengakui bahwasanya tatkala Allah menjadikan pihak lain menzalimi
(dirinya), maka itu semua dikarenakan dosa-dosa yang telah dia perbuat
sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu, maka itu adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuura: 30).
Apabila
seorang hamba mengakui bahwa segala musibah yang menimpanya dikarenakan
dosa-dosanya yang telah lalu, maka dirinya akan sibuk untuk bertaubat
dan memohon ampun kepada Allah atas dosa-dosanya yang menjadi sebab
Allah menurunkan musibah tersebut. Dia justru sibuk melakukan hal itu
dan tidak menyibukkan diri mencela dan mengolok-olok berbagai pihak yang
telah menzaliminya.
(Oleh karena itu), apabila kita
melihat seorang yang mencela manusia yang telah menyakitinya dan justru
tidak mengoreksi diri dengan mencela dirinya sendiri dan beristighfar
kepada Allah, maka ketahuilah (pada kondisi demikian) musibah yang dia
alami justru adalah musibah yang hakiki. (Sebaliknya) apabila dirinya
bertaubat, beristighfar dan mengucapkan, “Musibah ini dikarenakan
dosa-dosaku yang telah saya perbuat.” Maka (pada kondisi demikian,
musibah yang dirasakannya) justru berubah menjadi kenikmatan.
Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu pernah mengatakan sebuah kalimat yang indah,
لاَ يَرْجُوَنَّ عَبْدٌ إِلاَّ رَبَّهُ لاَ يَخَافَنَّ عَبْدٌ إلَّا ذَنْبَهُ
“Hendaknya
seorang hamba hanya berharap kepada Rabb-nya dan hendaknya dia takut
terhadap akibat yang akan diterima dari dosa-dosa yang telah
diperbuatnya.”
Dan terdapat sebuah atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib dan selainnya, beliau mengatakan,
مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إلَّا بِذَنْبِ وَلَا رُفِعَ إلَّا بِتَوْبَةِ
“Musibah turun disebabkan dosa dan diangkat dengan sebab taubat.”
Ketiga,
Hendaknya seorang mengetahui pahala yang disediakan oleh Allah ta’ala
bagi orang yang memaafkan dan bersabar (terhadap tindakan orang lain
yang menyakitinya). Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya,
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan
balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa
memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy
Syuura: 40).
Ditinjau dari segi penunaian balasan, manusia terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu:
1. Golongan yang zalim karena melakukan pembalasan yang melampaui batas
2. Golongan yang moderat yang hanya membalas sesuai haknya
3.
Golongan yang muhsin (berbuat baik) karena memaafkan pihak yang
menzalimi dan justru meniggalkan haknya untuk membalas. Allah ta’ala
menyebutkan ketiga golongan ini dalam ayat di atas, bagian pertama bagi
mereka yang moderat, bagian kedua diperuntukkan bagi mereka yang berbuat
baik dan bagian akhir diperuntukkan bagi mereka yang telah berbuat
zalim dalam melakukan pembalasan (yang melampaui batas).
(Hendaknya dia juga) mengetahui panggilan malaikat di hari kiamat kelak yang akan berkata,
أَلاَ لِيَقُمْ مَنْ وَجَبَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Perhatikanlah! Hendaknya berdiri orang-orang yang memperoleh balasan yang wajib ditunaikan oleh Allah!”
(Ketika
panggilan ini selesai dikumandangkan), tidak ada orang yang berdiri
melainkan mereka yang (sewaktu di dunia termasuk golongan) yang
(senantiasa) memaafkan dan bersabar (terhadap gangguan orang lain kepada
dirinya).
Apabila hal ini diiringi dengan pengetahuan
bahwa segala pahala tersebut akan hilang jika dirinya menuntut dan
melakukan balas dendam, maka tentulah dia akan mudah untuk bersabar dan
memaafkan (setiap pihak yang telah menzaliminya).
Keempat,
Hendaknya dia mengetahui bahwa apabila dia memaafkan dan berbuat baik,
maka hal itu akan menyebabkan hatinya selamat dari (berbagai kedengkian
dan kebencian kepada saudaranya) serta hatinya akan terbebas dari
keinginan untuk melakukan balas dendam dan berbuat jahat (kepada pihak
yang menzaliminya). (Sehingga) dia memperoleh kenikmatan memaafkan yang
justru akan menambah kelezatan dan manfaat yang berlipat-lipat, baik
manfaat itu dirasakan sekarang atau nanti.
Manfaat di
atas tentu tidak sebanding dengan “kenikmatan dan manfaat” yang
dirasakannya ketika melakukan pembalasan. Oleh karenanya, (dengan
perbuatan di atas), dia (dapat) tercakup dalam firman Allah ta’ala,
وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134).
(Dengan
melaksanakan perbuatan di atas), dirinya pun menjadi pribadi yang
dicintai Allah. Kondisi yang dialaminya layaknya seorang yang kecurian
satu dinar, namun dia malah menerima ganti puluhan ribu dinar. (Dengan
demikian), dia akan merasa sangat gembira atas karunia Allah yang
diberikan kepadanya melebihi kegembiraan yang pernah dirasakannya.
Kelima,
Hendaknya dia mengetahui bahwa seorang yang melampiaskan dendam
semata-mata untuk kepentingan nafsunya, maka hal itu hanya akan
mewariskan kehinaan di dalam dirinya. Apabila dia memaafkan, maka Allah
justru akan memberikan kemuliaan kepadanya. Keutamaan ini telah
diberitakan oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui
sabdanya,
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
“Kemuliaan hanya akan ditambahkan oleh Allah kepada seorang hamba yang bersikap pemaaf.”
(Berdasarkan
hadits di atas) kemuliaan yang diperoleh dari sikap memaafkan itu
(tentu) lebih disukai dan lebih bermanfaat bagi dirinya daripada
kemuliaan yang diperoleh dari tindakan pelampiasan dendam. Kemuliaan
yang diperoleh dari pelampiasan dendam adalah kemuliaan lahiriah semata,
namun mewariskan kehinaan batin. (Sedangkan) sikap memaafkan
(terkadang) merupakan kehinaan di dalam batin, namun mewariskan
kemuliaan lahir dan batin.
Keenam, Dan hal ini
merupakan salah satu faktor yang paling bermanfaat, yaitu hendaknya dia
mengetahui bahwa setiap balasan itu sesuai dengan amalan yang
dikerjakan. (Hendaknya dia menyadari) bahwa dirinya adalah seorang yang
zalim lagi pendosa. Begitupula hendaknya dia mengetahui bahwa setiap
orang yang memaafkan kesalahan manusia terhadap dirinya, maka Allah pun
akan memaafkan dosa-dosanya. Dan orang yang memohonkan ampun setiap
manusia yang berbuat salah kepada dirinya, maka Allah pun akan
mengampuninya. Apabila dia mengetahui pemaafan dan perbuatan baik yang
dilakukannya kepada berbagai pihak yang menzalimi merupakan sebab yang
akan mendatangkan pahala bagi dirinya, maka tentulah (dia akan mudah)
memaafkan dan berbuat kebajikan dalam rangka (menebus) dosa-dosanya.
Manfaat ini tentu sangat mencukupi seorang yang berakal (agar tidak
melampiaskan dendamnya).
Ketujuh, Hendaknya dia
mengetahui bahwa apabila dirinya disibukkan dengan urusan pelampiasan
dendam, maka waktunya akan terbuang sia-sia dan hatinya pun akan
terpecah (tidak dapat berkonsentrasi untuk urusan yang lain). Berbagai
manfaat justru akan luput dari genggamannya. Dan kemungkinan hal ini
lebih berbahaya daripada musibah yang ditimbulkan oleh berbagai pihak
yang menzhaliminya. Apabila dia memaafkan, maka hati dan fisiknya akan
merasa “fresh” untuk mencapai berbagai manfaat yang tentu lebih penting
bagi dirinya daripada sekedar mengurusi perkara pelampiasan dendam.
Kedelapan,
Sesungguhnya pelampiasan dendam yang dilakukannya merupakan bentuk
pembelaan diri yang dilandasi oleh keinginan melampiaskan hawa nafsu.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan pembalasan yang
didasari keinginan pribadi, padahal menyakiti beliau termasuk tindakan
menyakiti Allah ta’ala dan menyakiti beliau termasuk di antara perkara
yang di dalamnya berlaku ketentuan ganti rugi.
Jiwa
beliau adalah jiwa yang termulia, tersuci dan terbaik. Jiwa yang paling
jauh dari berbagai akhlak yang tercela dan paling berhak terhadap
berbagai akhlak yang terpuji. Meskipun demikian, beliau tidak pernah
melakukan pembalasan yang didasari keinginan pribadi (jiwanya) (terhadap
berbagai pihak yang telah menyakitinya).
Maka
bagaimana bisa salah seorang diantara kita melakukan pembalasan dan
pembelaan untuk diri sendiri, padahal dia tahu kondisi jiwanya sendiri
serta kejelekan dan aib yang terdapat di dalamnya? Bahkan, seorang yang
arif tentu (menyadari bahwa) jiwanya tidaklah pantas untuk menuntut
balas (karena aib dan kejelekan yang dimilikinya) dan (dia juga
mengetahui bahwa jiwanya) tidaklah memiliki kadar kedudukan yang berarti
sehingga patut untuk dibela.
Kesembilan, Apabila
seorang disakiti atas tindakan yang dia peruntukkan kepada Allah
(ibadah), atau dia disakiti karena melakukan ketaatan yang diperintahkan
atau karena dia meninggalkan kemaksiatan yang terlarang, maka (pada
kondisi demikian), dia wajib bersabar dan tidak boleh melakukan
pembalasan. Hal ini dikarenakan dirinya telah disakiti (ketika melakukan
ketaatan) di jalan Allah, sehingga balasannya menjadi tanggungan Allah.
Oleh
karenanya, ketika para mujahid yang berjihad di jalan Allah kehilangan
nyawa dan harta, mereka tidak memperoleh ganti rugi karena Allah telah
membeli nyawa dan harta mereka.
Dengan demikian, ganti
rugi menjadi tanggungan Allah, bukan di tangan makhluk. Barangsiapa yang
menuntut ganti rugi kepada makhluk (yang telah menyakitinya), tentu dia
tidak lagi memperoleh ganti rugi dari Allah. Sesungguhnya, seorang yang
mengalami kerugian (karena disakiti) ketika beribadah di jalan Allah,
maka Allah berkewajiban memberikan gantinya.
Apabila
dia tersakiti akibat musibah yang menimpanya, maka hendaknya dia
menyibukkan diri dengan mencela dirinya sendiri. Karena dengan demikian,
dirinya tersibukkan (untuk mengoreksi diri dan itu lebih baik daripada)
dia mencela berbagai pihak yang telah menyakitinya.
Apabila
dia tersakiti karena harta, maka hendaknya dia berusaha menyabarkan
jiwanya, karena mendapatkan harta tanpa dibarengi dengan kesabaran
merupakan perkara yang lebih pahit daripada kesabaran itu sendiri.
Setiap
orang yang tidak mampu bersabar terhadap panas terik di siang hari,
terpaan hujan dan salju serta rintangan perjalanan dan gangguan
perampok, maka tentu dia tidak usah berdagang.
Realita
ini diketahui oleh manusia, bahwa setiap orang yang memang jujur (dan
bersungguh-sungguh) dalam mencari sesuatu, maka dia akan dianugerahi
kesabaran dalam mencari sesuatu itu sekadar kejujuran (dan kesungguhan)
yang dimilikinya.
Kesepuluh, Hendaknya dia mengetahui
kebersamaan, kecintaan Allah dan ridha-Nya kepada dirinya apabila dia
bersabar. Apabila Allah membersamai seorang, maka segala bentuk gangguan
dan bahaya yang tidak satupun makhluk yang mampu menolaknya akan
tertolak darinya. Allah ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ
“Allah menyukai orang-orang yang bersabar.” (QS. Ali ‘Imran: 146).
Kesebelas,
Hendaknya dia mengetahui bahwa kesabaran merupakan sebagian daripada
iman. Oleh karena itu, sebaiknya dia tidak mengganti sebagian iman
tersebut dengan pelampiasan dendam. Apabila dia bersabar, maka dia telah
memelihara dan menjaga keimanannya dari aib (kekurangan). Dan Allah-lah
yang akan membela orang-orang yang beriman.
Kedua
belas, Hendaknya dia mengetahui bahwa kesabaran yang dia laksanakan
merupakan hukuman dan pengekangan terhadap hawa nafsunya. Maka tatkala
hawa nafsu terkalahkan, tentu nafsu tidak mampu memperbudak dan menawan
dirinya serta menjerumuskan dirinya ke dalam berbagai kebinasaan.
Tatkala
dirinya tunduk dan mendengar hawa nafsu serta terkalahkan olehnya, maka
hawa nafsu akan senantiasa mengiringinya hingga nafsu tersebut
membinasakannya kecuali dia memperoleh rahmat dari Rabb-nya.
Kesabaran
mengandung pengekangan terhadap hawa nafsu berikut setan yang (menyusup
masuk di dalam diri). Oleh karenanya, (ketika kesabaran dijalankan),
maka kerajaan hati akan menang dan bala tentaranya akan kokoh dan
menguat sehingga segenap musuh akan terusir.
Ketiga
belas, Hendaknya dia mengetahui bahwa tatkala dia bersabar , maka tentu
Allah-lah yang menjadi penolongnya. Maka Allah adalah penolong bagi
setiap orang yang bersabar dan memasrahkan setiap pihak yang
menzaliminya kepada Allah.
Barangsiapa yang membela
hawa nafsunya (dengan melakukan pembalasan), maka Allah akan menyerahkan
dirinya kepada hawa nafsunya sendiri sehingga dia pun menjadi
penolongnya.
Jika demikian, apakah akan sama kondisi
antara seorang yang ditolong Allah, sebaik-baik penolong dengan seorang
yang ditolong oleh hawa nafsunya yang merupakan penolong yang paling
lemah?
Keempat belas, Kesabaran yang dilakukan oleh
seorang akan melahirkan penghentian kezhaliman dan penyesalan pada diri
musuh serta akan menimbulkan celaan manusia kepada pihak yang menzalimi.
Dengan demikian, setelah menyakiti dirinya, pihak yang zhalim akan
kembali dalam keadaan malu terhadap pihak yang telah dizaliminya.
Demikian pula dia akan menyesali perbuatannya, bahkan bisa jadi pihak
yang zalim akan berubah menjadi sahabat karib bagi pihak yang dizhalimi.
Inilah makna firman Allah ta’ala,
ô ادْفَعْ بِالَّتِي
هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ
وَلِيٌّ حَمِيمٌ (34) وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا
يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (35)
“Tolaklah
(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman
yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS.
Fushshilaat: 34-35).
Kelima belas, Terkadang
pembalasan dendam malah menjadi sebab yang akan menambah kejahatan sang
musuh terhadap dirinya. Hal ini juga justru akan memperkuat dorongan
hawa nafsu serta menyibukkan pikiran untuk memikirkan berbagai bentuk
pembalasan yang akan dilancarkan sebagaimana hal ini sering terjadi.
Apabila
dirinya bersabar dan memaafkan pihak yang menzhaliminya, maka dia akan
terhindar dari berbagai bentuk keburukan di atas. Seorang yang berakal,
tentu tidak akan memilih perkara yang lebih berbahaya.
Betapa
banyak pembalasan dendam justru menimbulkan berbagai keburukan yang
sulit untuk dibendung oleh pelakunya. Dan betapa banyak jiwa, harta dan
kemuliaan yang tetap langgeng ketika pihak yang dizalimi menempuh jalan
memaafkan.
Keenam belas, Sesungguhnya seorang yang
terbiasa membalas dendam dan tidak bersabar mesti akan terjerumus ke
dalam kezaliman. Karena hawa nafsu tidak akan mampu melakukan pembalasan
dendam dengan adil, baik ditinjau dari segi pengetahuan (maksudnya hawa
nafsu tidak memiliki parameter yang pasti yang akan menunjukkan kepada
dirinya bahwa pembalasan dendam yang dilakukannya telah sesuai dengan
kezaliman yang menimpanya) dan kehendak (maksudnya ditinjau dari segi
kehendak, hawa nafsu tentu akan melakukan pembalasan yang lebih).
Terkadang,
hawa nafsu tidak mampu membatasi diri dalam melakukan pembalasan dendam
sesuai dengan kadar yang dibenarkan, karena kemarahan (ketika melakukan
pembalasan dendam) akan berjalan bersama pemiliknya menuju batas yang
tidak dapat ditentukan (melampaui batas). Sehingga dengan demikian,
posisi dirinya yang semula menjadi pihak yang dizalimi, yang menunggu
pertolongan dan kemuliaan, justru berubah menjadi pihak yang zalim, yang
akan menerima kehancuran dan siksaan.
Ketujuh belas,
Kezaliman yang diderita akan menjadi sebab yang akan menghapuskan
berbagai dosa atau mengangkat derajatnya. Oleh karena itu, apabila dia
membalas dendam dan tidak bersabar, maka kezaliman tersebut tidak akan
menghapuskan dosa dan tidakpula mengangkat derajatnya.
Kedelapan
belas, Kesabaran dan pemaafan yang dilakukannya merupakan pasukan
terkuat yang akan membantunya dalam menghadapi sang musuh.
Sesungguhnya
setiap orang yang bersabar dan memaafkan pihak yang telah menzaliminya,
maka sikapnya tersebut akan melahirkan kehinaan pada diri sang musuh
dan menimbulkan ketakutan terhadap dirinya dan manusia. Hal ini
dikarenakan manusia tidak akan tinggal diam terhadap kezaliman yang
dilakukannya tersebut, meskipun pihak yang dizalimi mendiamkannya.
Apabila pihak yang dizalimi membalas dendam, seluruh keutamaan itu akan
terluput darinya.
Oleh karena itu,kita dapat menjumpai
sebagian manusia, apabila dia menghina atau menyakiti pihak lain, dia
akan menuntut penghalalan dari pihak yang telah dizaliminya. Apabila
pihak yang dizalimi mengabulkannya, maka dirinya akan merasa lega dan
beban yang dahulu dirasakan akan hilang.
Kesembilan
belas, Apabila pihak yang dizalimi memaafkan sang musuh, maka hati sang
musuh akan tersadar bahwa kedudukan pihak yang dizalimi berada di
atasnya dan dirinya telah menuai keuntungan dari kezaliman yang telah
dilakukannya. Dengan demikian, sang musuh akan senantiasa memandang
bahwa kedudukan dirinya berada di bawah kedudukan pihak yang telah
dizaliminya. Maka tentu hal ini cukup menjadi keutamaan dan kemuliaan
dari sikap memaafkan.
Kedua puluh, Apabila seorang
memaafkan, maka sikapnya tersebut merupakan suatu kebaikan yang akan
melahirkan berbagai kebaikan yang lain, sehingga kebaikannya akan
senantiasa bertambah.
Sesungguhnya balasan bagi setiap
kebaikan adalah kontinuitas kebaikan (kebaikan yang berlanjut),
sebagaimana balasan bagi setiap keburukan adalah kontinuitas keburukan
(keburukan yang terus berlanjut). Dan terkadang hal ini menjadi sebab
keselamatan dan kesuksesan abadi. Apabila dirinya melakukan pembalasan
dendam, seluruh hal itu justru akan terluput darinya.
Semoga
Allah Ta'alaa senantiasa memberikan kita semua kesabaran agar bisa
mendapatkan ridha-Nya dalam menjalani kehidupan dunia..
Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin..
"Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang manfaat"