Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..
Bagaimana safar, travelling atau touring kita bisa bernilai ibadah? Lihat penjelasan berikut..
Kita tahu safar itu ada beberapa macam..
Safar yang wajib, yaitu menempuh perjalanan untuk menunaikan kewajiban, misalnya bepergian untuk menunaikan ibadah haji yang wajib, umrah yang wajib, menuntut ilmu agama yang wajib atau kewajiban berjihad.
Safar yang sunnah, yaitu menempuh perjalanan yang dianjurkan (disunnahkan), misalnya bepergian untuk melaksanakan umrah yang sunnah, haji yang sunnah, dan jihad yang sunnah.
Safar yang boleh, yaitu bepergian untuk melakukan hal² yang diperbolehkan dalam agama, misalnya bepergian untuk berdagang barang² yang halal.
Safar yang haram, yaitu menempuh perjalanan untuk melakukan perkara yang diharamkan, misalnya menempuh perjalanan untuk berdagang khamr (minuman keras).
Safar yang makruh, misalnya bepergian seorang diri tanpa ada yang menemani. Bepergian seperti itu dimakruhkan, kecuali untuk melakukan hal² yang sangat penting.
Sebisa mungkin kita melakukan safar yang wajib, sunnah, atau yang boleh, tidak melakukan safar yang makruh, apalagi yang haram.
Adapun …
Safar mubah, sekedar jalan² atau liburan bisa bernilai ibadah. Bagaimana caranya?/
Ada dua syarat yang mesti dipenuhi kalau hal mubah bisa bernilai ibadah:
Dilakukan dengan niat yang benar. Sebagai wasilah (perantara) dalam rangka menyupport amalan shaleh.
Dalil yang mendukung syarat pertama adalah hadits,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya engkau tidaklah menafkahkan suatu nafkah dalam rangka mengharap wajah Allah melainkan akan diganjar dengan usaha itu sampai pun sesuap makanan yang engkau masukkan dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari no.6373 dan Muslim no.1628).
Di sini, disebutkan dengan niat ikhlas mengharap pahala di sisi Allah, barulah perbuatan yang asalnya bukan ibadah bernilai ibadah dan berpahala.
Dalil bahwasanya perbuatan non ibadah jika sebagai wasilah (perantara) pada ketaatan atau ibadah dapat bernilai pahala dapat disimpulkan dari firman Allah Ta’ala,
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang² kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shaleh.” (QS. At Taubah: 120).
Ayat ini menunjukkan bahwa wasilah (perantara) yang mendukung terwujudnya ibadah dianggap sebagai ibadah pula dan berpahala di sisi Allah. (Qowa’id Ma’rifat Al-Bida, hlm.107).
Contoh safar yang mubah yang bisa bernilai ibadah:
• Safar yang diisi dengan amalan shaleh seperti dzikir dan do’a.
• Jalan² ke luar kota dan sambil sekalian menuju ke Pondok Pesantren Sunnah, di sana bisa menggali ilmu agama walau nantinya punya tujuan untuk berekreasi ke pantai atau lainnya.
• Safar sambil bakti sosial pada masyarakat miskin. Walau ada liburannya, namun bisa raih pahala. Mengambil waktu rehat setelah beraktivitas panjang agar setelah mengambil rehat lebih semangat beraktivitas untuk memperdalam ilmu agama, giat ibadah dan berdakwah. Ini yang ditemukan pada sebagian ulama atau ustadz. Ada waktu luang mereka yang mereka gunakan untuk berekreasi biar lebih semangat lagi dalam aktivitas dakwah.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa dengan niatannya itulah yang menjadikan safar tersebut menjadi ibadah.
Begitu pula waktu luang di saat safar bisa dimanfaatkan untuk hal yang bermanfaat seperti membaca Al Qur’an, membaca buku Islam yang bermanfaat atau lebih canggih lagi browsing situs² Islam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.”
(HR. Tirmidzi no.2317, Ibnu Majah no.3976. Syech Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..
Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..