Assalamu'alaikum..
Malem Akhie Ukhtie'..
Tadi pagi mpok Dewi menanyakan soal maksud dari kandungan tafsir surat Al Baqarah : 178
Berikut penjabaran nye,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ
وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian (melaksanakan hukum)
qishash dalam hal pembunuhan; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat)
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat. Barangsiapa
yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
•
Pada surat al Baqarah : 178 ini seperti nya ada yang kontras di sini.
Ayat sebelumnya (177) berbicara soal kebajikan yang sempurna (al-birr).
Tiba-tiba disusul dengan hukum qishash (pelaku kejahatan diperlakukan
setimpal dengan kejahatannya). Tapi kalau direnungkan, ini bukanlah
pertentangan. Poin pentingnya ialah bahwa dimana ada reward (penghargaan
atas kebaikan) di situ juga harusnya ada punishment (hukuman atas
kejahatan). Di mana ada hukum yang baik di situ juga seharusnya ada
penegak hukum yang adil. Ayat 117 berbicara tentang kriteria penegak
hukum yang adil, yang disebut الأبْرَار (al-abrār), sementara ayat 178
ini berbicara soal hukum yang baik. Karena percuma ada hukum yang baik
jikalau penegak hukumnya sendiri tidak adil. Selain itu, Allah hendak
menunjukkan bahwa kebajikan yang sempurna tidak akan terwujud manakala
masyarakat tidak diatur oleh hukum yang benar. Karena tiap perbuatan
baik, sesederhana apapun selalu membutuhkan ruang sosial yang kondusif.
Tak ada perbuatan yang tidak membutuhkan ruang, karena kita memang
makhluk bumi. Di dalam Ilmu Hukum dikenal istilah “ubi societas ibi ius”
(dimana ada masyarakat di situ ada hukum). Dan hukum tak cukup sebagai
kanopi yang melindungi masyarakat dari perilaku anarkisme dan
barbarianisme, tapi juga sekaligus sebagai alat untuk memperbaiki
masyarakat (law as a tool of social engineering). Maka hukum qishash
bermakna mengkondisikan tatanan sosial agar setiap orang terpeluangi
untuk melakukan perbuatan baiknya dan terhalangi melakukan niat
jahatnya. Sehingga bangunan masyarakat tumbuh dan berkembang menuju
kesempurnaan. Dalam konteks inilah hendaknya difahami seruan ini: يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ,
hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian (melaksanakan
hukum) qishash dalam hal pembunuhan]. Dan penggunaan kata كُتِبَ
(kutiba, diwajibkan) di sini seyogyanya membebaskan pembaca dari
perdebetan mengenai wajib tidaknya hukum qishaash, karena kata ini juga
digunakan berkenaan dengan Puasa Ramadhan (ayat 183). Allah hendak
mengesankan, melalui penggunaan kata كُتِبَ (kutiba, diwajibkan)
tersebut, bahwa wajibnya (melaksanakan hukum) qishash sama dengan
wajibnya Puasa Ramadhan. Mempertanyakan wajibnya hukum qishash sama
dengan mempertanyakan wajibnya Puasa Ramadhan. Menolak pelaksanaan hukum
qishash sama dengan menolak pelaksanaan Puasa Ramadhan. Maka adalah
sangat aneh kalau seseorang itu rajin melakukan Puasa Ramadhan tetapi
ogah memberlakukan hukum qishash. Dan pada keduanya memang ada kesamaan
prinsip dan filosofis. Puasa Ramadhan mengajak kita kepada kehidupan
spiritual; hukum qishash mengajak kita kepada kehidupan sosial. “Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul
apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan
kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara
manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan
dikumpulkan.”
• Filosofi qishash yang Allah perkenalkan
di ayat ini adalah ekuasi, kesamaan, dan kesetaraan perlakuan terhadap
seluruh unsur-unsur yang membentuk sebuah bangunan sosial. Artinya,
melalui hukum qishash Allah tak hanya bicara soal penegakan hukum yang
adil, tapi juga soal susunan masyarakat yang egaliter. Allah hendak
meruntuhkan struktur sosial yang dibangun atas dasar feodalisme
(kekuasaan politik) dan pavoritisme (kekuasaan ekonomi) seraya
memperkenalkan struktur sosial yang dibangun atas dasar iman dan ilmu.
Seperti dalam firman-Nya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat.” (Qs. 58:11) Sebelum ayat 178 ini turun, seperti
dikutip al-Wahidi dan as-Suyuthi di dalam Kitab Asbabun Nuzul-nya
masing-masing, apabila terjadi benterok antara dua kelan, maka budak
yang terbunuh dari kelan yang lebih besar harus dibalas dengan
(menghukum) orang merdeka dari kelan yang lebih kecil; kalau ada
wanitanya yang dibunuh maka baru dianggap impas apabila lakil-laki dari
kelan pelaku yang dibunuh. Sebaliknya manakala orang merdeka dari kelan
yang lebih besar yang membunuh maka cukup menyerahkan budaknya atau
wanitanya untuk dihukum. Dapat kita bayangkan betapa buruknya nasib
mereka yang kebetulan anggota dari sebuah kelan yang kecil; betapa
menyedihkannya masa depan orang-orang yang lemah secara sosial, terutama
kaum budak dan perempuan. Maka, melalui hukum qishash, Allah
mereformasi sistem sosial yang zalim seperti itu. Hukum qishash ialah:
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى
(al-hurru bil-hurri wal-‘abdu bil-‘abdi wal-untsā bil-untsā, orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan
wanita). Apabila pelaku pembunuhan seorang merdeka—dari manapun asal
kelannya—maka yang dihukum (bunuh) adalah pelaku (orang merdeka)
tersebut juga, dan tidak boleh digantikan oleh budaknya. Budak yang
boleh dihukum (bunuh) hanyalah budak yang bersalah, yang melakukan
pembunuhan. Apabila yang membunuh adalah seorang wanita, maka yang harus
menerima hukuman adalah pelaku (wanita) tersebut juga. Pendeknya: orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan
wanita. Orang yang bersikap bungkam terhadap hukum qishash ini, Allah
samakan dengan orang bisu di dalam perumpamaan berikut ini: “Dan Allah
membuat perumpamaan: dua orang lelaki. Yang seorang bisu, tidak dapat
berbuat sesuatupun dan (hanya) menjadi beban atas penanggungnya; ke mana
saja disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu
kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat
keadilan dan berada di atas jalan yang lurus?” (QS.16:76)
•
Tetapi ada kalanya hukum qishash diganti dengan diyat (ganti rugi).
Yaitu apabila pihak wali atau keluarga korban bersedia memaafkan pelaku:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
, maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat)
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)]. Di sini kita
melihat humanisme al-Qur’an. Yang perlu di perhatikan di sini akhie
ukthie, saat berbicara soal hukum qishash yang oleh sebagian orang
dipandang mengerikan, Allah justru menggunakan kata أَخِيهِ (akhĭɦi,
saudaranya) untuk wali atau keluarga korban. Melalui penggunaan kata
ini, Allah hendak memberikan kesan psikologis kepada pelaku bahwa yang
dia bunuh itu sesungguhnya ialah saudaranya sendiri, bukan orang lain.
Sehingga seharusnya melahirkan penyesalan yang sedalam-dalamnya, dan
berjanji kepada manusia dan Tuhan untuk tidak mengulanginya lagi. Begitu
juga, Allah hendak mengesankan bahwa pihak korban kendati telah
kehilangan anggota keluarga yang dicintainya akibat ulah pelaku, tetap
memandang pelaku sebagai saudaranya sendiri. Walaupun terasa sakit,
tetapi dia atau mereka siap membuka pintu maafnya. Dan pemaafan ini,
oleh Allah, diminta agar benar-benar muncul dari lubuk hati yang paling
dalam, dengan cara yang sebaik-baiknya: بِالْمَعْرُوفِ (bil-ma’rŭfi,
dengan cara yang makruf atau baik); bukan dengan niat untuk melakukan
balas dendam di belakang hari atau dengan maksud-maksud buruk lainnya.
Itu sebabnya keadaan ini hedaknya pula diikuti dengan iktikad baik oleh
pelaku. Yaitu menyambut “uluran hati” saudaranya ini dengan “uluran
tangan” dalam bentuk diyat (ganti rugi), juga dengan cara yang
sebaik-baiknya: بِإِحْسَانٍ (bi-ihsānin, dengan cara yang ihsan atau
baik). Berapa besar nilai dari diyat (ganti rugi) ini? Tergantung pada
beberapa hal. Misalnya, apakah pembunuhan itu disengaja, mirip disengaja
atau tidak disengaja; pembunuhan itu terjadi di dalam bulan-bulan Haram
atau di luar; korbannya seorang mukmin atau bukan. Variabel-variabel
inilah nantinya yang kemudian menjadikan diyat itu berjenis mughallazhah
(berat) atau mukhaffafah (ringan). Nilai dan besaran diyat-nya
distandarkan kepada unta dengan berbagai macam variannya (betina,
jantan, umur, bunting dan tidak bunting). Masalah ini dibahas secara
rinci dalam Hukum Jinayat. “Dan hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian
apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari
hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan
sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah
orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki,
dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin?” (QS.5 : 49-50)
• Hukum qishash
yang diganti dengan diyat adalah bentuk takhfĭf (keringanan) dari Allah
dan Rahmat-Nya: ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ (dzālika
takhfĭfun min rabbikum wa rahmatun, Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat). Bukankah Allah sendiri
menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Pemaaf: إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ
غَفُورٌ(innallāɦa la-’afuwwun ghafŭr, sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun) (QS.22:60 dan QS.58:2). Apabila pihak
korban menempuh jalan ini (memaafkan), berarti mereka mentransformasi
sifat-sifat Ilahiah ke dalam dirinya. Semua manusia pasti menghendaki
agar Allah memaafkan segala dosa dan salahnya selama ini, tetapi hanya
sedikit yang mau memiliki sifat pemaaf tersebut. Masalahnya, mungkinkah
Allah memaafkan segala dosa dan salah kita kalau kita sendiri tidak
berhasrat memiliki sifat pemaaf tersebut. Dari sisi pelaku, dia atau
mereka hendaknya memandang pemaafan dari pihak korban ini sebagai
perwujudan pemaafan dari Allah—karena mekanisme hukum diyat ini memang
diatur oleh-Nya. Sehingga menerimanya sebagai rahmat yang tak terkira
nilainya. Harapannya, pelaku benar-benar kembali bersimpuh di
haribaan-Nya dengan melakukan penyesalan yang sedalam-dalamnya, meminta
ampun yang sebanyak-banyaknya, berjanji setulus-tulusnya untuk tidak
mengulanginya lagi, dan meminta bimbingan-Nya agar selalu berada di
Jalan-Nya yang lurus. “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka (segera) ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS.3:135)
•Lalu
bagaimana kalau pelaku di suatu hari nanti kembali melakukan perbuatan
yang sama? Allah mengultimatum orang yang seperti itu dengan kalimat
yang tegas: فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
(famani’tadā ba’da dzālika falaɦu ‘adzābun alĭm, barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih).
Artinya, manakala mereka kembali membunuh, maka tidak ada lagi diyat
baginya. Perbuatan seperti itu sudah “melampaui batas”. Pelakunya telah
menabrak batas toleransi tertinggi dari syariat. Kalau dibiarkan, bukan
saja mengancam jiwa banyak orang tetapi mengancam tatanan masyarakat
secara keseluruhan. Membunuh satu orang saja sudah sama dengan membunuh
seluruh manusia. Lalu bagaimana pula kalau perbuatan ini mereka ulangi
lagi. Pengulangan suatu perbuatan (buruk) menunjukkan adanya sifat
(buruk) yang tidak berubah. Orang seperti ini bukan lagi rahmat bagi
kehidupan tapi “ancaman”. Kehadirannya menjadi “teror” bagi lingkungan
sekitarnya. Maka terhadap orang seperti itu, hukum qishash harus
ditegakkan. Mereka tidak berhak lagi menikmati fasilitas hidup yang
Tuhan siapkan di dunia ini. Ibarat tumor di tangan, kalau tak mempan
lagi dengan obat-obatan, cara paling terakhir ialah amputasi. “Bulan
haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku
hukum qishaash. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka
seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
(QS.2:194)
Sedangkan untuk penjelasan dari tafsir surat (Al Baqarah : 200) yang di tanyain Mpok Dewi juga, berikut penjelasan nye..
فَإِذَا
قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ
أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا ۗ فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي
الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاق
“Apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan
menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan)
nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka
di antara manusia ada orang yang berdo’a: ‘Ya Rabb kami, berilah kami
kebaikan di dunia,’ dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di
akhirat. (QS. Al-Baqarah: 200)
Pada ayat ini
sebenernye Allah hanya memerintahkan hamba-hamba-Nya agar menyuruh
banyak berdzikir kepada-Nya seusai menyelesaikan amalan manasik haji.
Dan firman-Nya: kadzikrikum aabaa-akum (“Sebagaimana kamu
menyebut-nyebut [membangga-banggakan] nenek inoyangmu.”) Para ulama
masih berbeda pendapat mengenai makna firman Allah Ta’ala tersebut. Ibnu
Juraij meriwayatkan, dari Atha’, ia menuturkan, “Yaitu seperti ucapan
seorang anak: “Bapak, Ibu.” Artinya, sebagaimana seorang anak senantiasa
mengingat ayah dan ibunya. Demikian juga dengan anda sekalian,
berdzikirlah kepada Allah Ta’ala setelah selesai melaksanakan manasik
haji.”
Hal yang sama juga dikemukakan oleh adh-Dhahhak, dan Rabi’ bin Anas. Hal senada juga diriwayatkan Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas.
Sa’id
bin Jubair meriwayatkan, dari Ibnu Abbas: “Dahulu, ketika masyarakat
Jahiliyah berwuquf di musim haji, salah seorang di antara mereka
mengatakan, ‘Ayahku suka memberi makan, menanggung beban, dan menanggung
diat orang lain.’ Mereka tidak menyebut-nyebut kecuali apa yang pernah
dikerjakan bapak-bapak mereka. Kemudian Allah menurunkan kepada Nabi
ayat berikut ini: fadz-kurullaaHa kadzikrikum aabaa-akum au asyadda
dzikran (“Maka berdzikirlah [dengan menyebut] Allah, sebagaimana kamu
menyebut-nyebut [membangga-banggakan] nenek moyangmu atau [bahkan]
berdzikirlah lebih banyak dari itu.”) Wallahu a’lam. Maksud dari firman
ini adalah perintah untuk memperbanyak dzikir kepada Allah swt. Dan kata
“au” (atau) dalam ayat itu dimaksudkan untuk menegaskan keserupaan
dalam berita, seperti halnya firman Allah: fa Hiya kalhijaarati au
asyaddu qaswatun (“Hati kamu itu menjadi keras seperti batu atau bahkan
lebih keras lagi.”) (QS. Al-Baqarah: 74). Fa kaana qaaba qausaini au
adnaa (“Maka jadilah ia dekat [kepada Muhammad] dua ujung busur panah,
atau bahkan lebih dekat lagi.” (QS. An-Najm: 9).
Dengan
demikian, kata “atau” di sini bukan menunjukkan keraguan, tetapi untuk
menegaskan suatu berita atau (keadaan berita itu) lebih daripada itu.
Allah membimbing para hamba-Nya untuk berdo’a kepada-Nya setelah banyak
berdzikir kepada-Nya, karena saat itu merupakan waktu terkabulnya do’a.
Pada sisi lain, Dia mencela orang-orang yang tidak mau memohon
kepada-Nya kecuali untuk urusan dunia semata dan memalingkan diri dari
urusan akhiratnya. Allah swt. berfirman: fa minan naasi may yaquulu
rabbanaa aatinaa fiddun-yaa wamaa laHuu fil aakhirati min khalaaq (“Maka
di antara manusia ada orang yang berdo’a, ‘Ya Rabb kami, berilah kami
[kebaikan] di dunia,’ dan tiada baginya bagian [yang menyenangkan] di
akhirat.”) Ayat ini mengandung celaan sekaligus pencegahan dari tindakan
menyerupai orang yang melakukan hal itu.
Diriwayatkan
oleh Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, “Ada suatu kaum dari masyarakat
Badui yang datang ke tempat wuquf, lalu mereka berdo’a, Ya Allah,
jadikanlah tahun ini sebagai tahun yang banyak turun hujan, tahun
kesuburan, dan tahun kelahiran anak yang baik.’” Dan mereka sama sekali
tidak menyebutkan urusan akhirat. Maka Allah menurunkan firman-Nya: fa
minan naasi may yaquulu rabbanaa aatinaa fiddun-yaa wamaa laHuu fil
aakhirati min khalaaq (“Maka di antara manusia ada orang yang berdo’a,
‘Ya Rabb kami, berilah kami [kebaikan] di dunia,’ dan tiada baginya
bagian [yang menyenangkan] di akhirat.”)
Setelah mereka
datanglah orang-orang yang beriman, dan mereka mengucapkan: rabbanaa
aatinaa fiddun-yaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw waqinaa
‘adzaaban naar (“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari adzab api neraka.”) Lalu
Allah swt. menurunkan firman-Nya: ulaa-ika nashiibum mimmaa kasabuu
wallaaHu sarii’ul hisaab (“Mereka itulah orang-orang yang mendapat
bagian apa yang mereka usahakan, dan Allah sangat cepat hisab-Nya.”)
Oleh
karena itu, Allah Ta’ala memuji orang-orang yang memohon kebaikan dunia
dan akhirat kepada-Nya. Dia berfirman: wa minHum may yaquulu rabbanaa
aatinaa fiddun-yaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw waqinaa
‘adzaaban naar (“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari adzab api neraka.”) Do’a
ini meliputi berbagai kebaikan di dunia dan menjauhkan segala kejahatan.
Kebaikan di dunia mencakup segala permintaan yang bersifat duniawi,
berupa kesehatan, rumah yang luas, isteri yang`cantik, rizki yang
melimpah, ilmu yang bermanfaat, amal shalih, kendaraan yang nyaman,
pujian, dan lain sebagainya yang tercakup dalam ungkapan para mufassir,
dan di antara semuanya itu tidak ada pertentangan, karena semuanya itu
termasuk ke dalam kategori kebaikan dunia.
Sedangkan
mengenai kebaikan di akhirat, maka yang tertinggi adalah masuk surga dan
segala cakupannya berupa rasa aman dari ketakutan yang sangat dahsyat,
kemudahan hisab, dan berbagai kebaikan urusan akhirat lainnya. Sedangkan
keselamatan dari api neraka, berarti juga kemudahan dari berbagai
faktor penyebabnya di dunia, yaitu berupa perlindungan dari berbagai
larangan dan dosa, terhindar dari berbagai syubhat dan hal-hal yang
haram.
Al-Qasim Abu Abdur Rahman mengatakan,
“Barangsiapa dianugerahi hati yang suka bersyukur, lisan yang senantiasa
berdzikir, dan diri yang sabar, berarti ia telah diberikan kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat serta dilindungi dari adzab neraka. Oleh
karena itu, sunnah Rasulullah menganjurkan do’a tersebut di atas.”
Al-Bukhari
meriwayatkan dari Mu’ammar, dari Anas bin Malik, katanya, Rasulullah
pernah berdo’a: “Ya Allah, ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat, serta peliharalah kami dari adzab neraka.”
Dan
Anas bin Malik sendiri jika hendak berdo’a, ia selalu membaca do’a itu,
atau ia menyisipkan do’a itu dalam do’anya yang lain. Dan diriwayatkan
oleh Muslim, (yaitu perkataan Anas.-Pent.) “Jika Allah mendatangkan
kebaikan kepada kalian di dunia dan kebaikan di akhirat serta melindungi
kalian dari adzab neraka, berarti Dia telah memberikan seluruh kebaikan
kepada kalian.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas:
“Rasulullah saw. pernah menjenguk seorang muslim yang sudah sangat lemah
seperti anak burung, lalu beliau bertanya kepadanya: ‘Apakah engkau
berdo’a kepada Allah atau memohon sesuatu kepada-Nya?’ Ia menjawab: ‘Ya,
aku mengucapkan: Ya Allah jika Engkau menetapkan siksaan kepadaku di
akhirat, timpakan saja kepadaku lebih awal di dunia.’ Maka Rasulullah
bersabda: ‘Subhanallah, engkau tidak akan kuat atau tidak akan sanggup
menerimanya. Mengapa engkau tidak mengucapkan, ‘Ya Rabb kami, berilah
kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami
dari adzab api neraka.’ Maka ia pun memanjatkan doa tersebut kepada
Allah, dan Allah pun menyembuhkannya.’” (Hadits ini hanya disebutkan
oleh Muslim dengan ia meriwayatkannya dari Ibnu Abi Adi)
Imam
Syafi’i meriwayatkan dari Abdullah bin Sa’ib, bahwasanya ia pernah
mendengar Nabi mengucapkan (di sisi Ka’bah) di antara rukun (pojok),
Bani Jamh (rukun Yamani) dan rukun Aswad (Hajar Aswad): “Ya Rabb kami,
berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah
kami dari adzab api neraka.” sanad hadits ini dha’if (lemah). Wallahu
a’lam.
Dalam kitab Mustadrak, al-Hakim meriwayatkan,
dari Sa’id bin Jubair, ia menceritakan, ada seseorang yang datang kepada
Ibnu Abbas seraya berkata, “Sesungguhnya aku membayar suatu kaum agar
membawaku dan dengan upah itu aku meminta mereka agar mendo’akanku, dan
aku berhaji bersama mereka, apakah hal itu berpahala?” Maka Ibnu Abbas
menjawab: “Engkau termasuk orang-orang yang dikatakan Allah Ta’ala:
ulaa-ika nashiibum mimmaa kasabuu wallaaHu sarii’ul hisaab (“Mereka
itulah orang-orang yang mendapat bagian apa yang mereka usahakan, dan
Allah sangat cepat hisab-Nya.”)
Kemudian al-Hakim
mengatakan: “Hadits ini shahih menurut persyaratan al-Bukhari dan
Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.”
"Semoga jadi ilmu yang manfaat"