Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..
Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ
وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ،
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah
bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik
pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad.
Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung).”(HR. Bukhari no. 52 dan
Muslim no. 1599).
Hati dalam bahasa arab قلب dapat digunakan untuk dua hal, yaitu :
• Menunjukkan bagian yang paling murni dan paling mulia dari sesuatu.
Bermakna merubah dan membalik sesuatu dari satu posisi ke posisi lain.
•
Kedua makna tersebut sesuai dengan makna hati secara istilah. Dimana
hati adalah bagian paling mulia dan murni dari seluruh bagian tubuh
manusia, sehingga benarlah kiranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits di atas. Dan hati juga merupakan bagian tubuh
manusia yang paling rawan terkena fitnah syubhat dan syahwat, sehingga
mudah terbolak-balikkan.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin
Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwasanya ia pernah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ
الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ ثُمَّ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ
الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Sesungguhnya
hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah
Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memalingkan hati
manusia menurut kehendak-Nya.” Setelah itu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berdoa; “Allahumma mushorrifal quluub shorrif
quluubanaa ‘ala tho’atik” [Ya Allah, Dzat yang memalingkan hati,
palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu] (HR. Muslim
no. 2654).
Dalam istilah kedokteran, hati (قلب)
diartikan sebagai jantung, dimana jantung merupakan salah satu organ
vital manusia yang dengannya darah dapat dipompa ke seluruh tubuh.
Apabila pompa (jantung) tersebut rusak maka terganggulah seluruh proses
dalam tubuh akibat darah yang tidak diedarkan dengan baik. Seseorang
yang divonis dokter terkena penyakit jantung maka hidupnya akan terasa
susah, karena berbagai pantangan (larangan) makanan mulai mengekangnya,
sehingga harta berlimpah bukanlah indikator kebahagiaaan. Kebahagiaan
letaknya di dalam hati, dan setiap manusia memiliki hati. Sehingga
kebahagiaan itu milik semua orang, baik si kaya maupun si miskin,
asalkan ia mampu menata dan membersihkan hatinya dari karat-karat yang
mematikan hati.
Allah Ta’ala berfirman,
(يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ (88) إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89
“(Yaitu)
pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS.
asy-Syu’ara: 88-89).
Ibnu Katsir berkata: “'(Yaitu)
pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna’. Artinya, harta
seseorang tidak akan bisa menjaga diri orang tersebut dari azab Allah,
walaupun dia menebusnya dengan emas seluas dan sepenuh bumi. ‘Dan tidak
pula anak-anak laki-laki’, artinya tidak pula bisa menghindarkan dirinya
dari azab Allah, walaupun dia menebus dirinya dengan semua manusia yang
bisa memberikan manfaat kepadanya, yang bermanfaat pada hari kiamat
hanyalah keimanan kepada Allah dan memurnikan peribadatan hanya
untuk-Nya, serta berlepas diri dari kesyirikan dan dari para pelakunya.
Oleh karena itu, Allah kemudian berfirman, ‘Kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih.’ yaitu, hati yang terhindar
dari kesyirikan dan dari kotoran-kotoran hati.”
Imam
Asy-Syaukani berkata, “Harta dan kerabat tidak bisa memberikan manfaat
kepada seseorang pada hari kiamat. Yang bisa memberikan manfaat
kepadanya hanyalah hati yang selamat. Dan hati yang selamat dan sehat
adalah hati seorang mukmin yang sejati.”
Dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya: ‘Siapakah orang yang
paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Setiap orang yang bersih hatinya dan
benar ucapannya.’ Para sahabat berkata, ‘Orang yang benar ucapannya
telah kami pahami maksudnya. Lantas apakah yang dimaksud dengan orang
yang bersih hatinya?’ Rasulullah menjawab, ‘Dia adalah orang yang
bertakwa (takut) kepada Allah, yang suci hatinya, tidak ada dosa dan
kedurhakaan di dalamnya, serta tidak ada pula dendam dan hasad.’
(Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, dikeluarkan oleh Ibnu
Majah no.4216 dan Ath-Thabrani, dishahihkan oleh Al-Albani di
dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah).
Maka,
selayaknya kita sebagai makhluk yang lemah selalu memohon kepada Rabb
penguasa hati, agar hati kita selalu dibimbing untuk melakukan
ketaatan-ketaatan dan ditetapkan di atas agama-Nya. Salah satu doa yang
diajarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ane sebutkan
di atas. Namun, berdoa saja tidak cukup. Doa harus diiringi dengan
usaha dan perjuangan, karena membersihkan hati juga merupakan ibadah,
ibadah mentauhidkan Allah dalam perkara ‘ubudiyyah dan ‘uluhiyyah.
Allah Azza wa Jalla berfirman dalam QS. Al-Ankabut : 69,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
Ayat
ini menerangkan janji yang mulia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada
orang-orang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan mengorbankan jiwa
dan hartanya serta menanggung siksaan dan rintangan. Karena itu Allah
Ta’ala akan memberi mereka petunjuk dan membulatkan tekad dan memberikan
bantuan, sehingga mereka memperoleh kemenangan di dunia dan kebahagiaan
serta kemuliaan di akhirat kelak.
Lalu apa saja yang
dapat membuat hati itu berkarat? Apa yang membuat hati itu ternoda? Nabi
kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ
سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ
وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ
الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
“Jika seorang hamba berbuat sebuah dosa,
maka akan ditorehkan sebuah noktah hitam di dalam hatinya. Tapi jika ia
meninggalkannya dan beristigfar niscaya hatinya akan dibersihkan dari
noktah hitam itu. Sebaliknya jika ia terus berbuat dosa, noktah-noktah
hitam akan terus bertambah hingga menutup hatinya. Itulah dinding
penutup yang Allah sebutkan dalam ayat, ‘Sekali-kali tidak demikian,
sebenarnya apa yang selalu mereka kerjakan itu menutup hati mereka.’
(QS.al-Muthaffifin: 14).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh
Syaikh Al-Albani).
Dari hadits tersebut juga
menjelaskan bahwa, satu kemaksiatan yang dilakukan akan memancing
kemaksiatan berikutnya, sehingga noktah-noktah hitam memenuhi hati. Dan
adapun di akhirat, maka orang yang gemar berbuat maksiat, diancam oleh
Allah untuk dimasukkan ke dalam neraka, na’udzubillah min dzalik.
Maka
janganlah memandang sebarapa besar kemaksiatan yang kita lakukan, tapi
pandanglah kepada siapa kita bermaksiat. Tentu berbeda rasa dan nilainya
ketika melakukan kesalahan di depan teman, dengan melakukan kesalahan
di depan atasan kita. Kita berusaha sekuat tenaga untuk menjaga sikap
kita di depan atasan, sehingga jangan sampai aib sekecil apapun
terlihat.
Lalu dimana kita posisikan Allah dalam
kehidupan kita? Apakah kedudukan atasan telah mengalahkan kedudukan
Allah di hati kita? Sehingga kita dengan santainya berbuat maksiat
kepada-Nya? Padahal Allah adalah Dzat yang Maha Melihat dan Maha
Mengetahui.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Sebenarnya orang yang dipenjara adalah orang yang hatinya tertutup dari
mengenal Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan orang yang ditawan adalah
orang yang masih terus menuruti (menawan) hawa nafsunya (pada
kesesatan).” (Shahih Al Wabilus Shoyib, hal. 94).
Oleh
karena itu, hendaklah kita menempa, mendidik, dan menundukkan nafsu
(jiwa) kita, agar nafsu mengarahkan hati kita pada hal-hal yang baik,
bukan pada kesesatan.
Berikut ini beberapa kiat untuk
menghilangkan karat hati, sehingga hati bersih, amal pun tanpa pamrih,
hanya mengharap ridho ilahi:
1. Berlepas diri atas segala bentuk ketergantungan kepada selain Allah Azza wa Jalla demi memurnikan pengabdian kita pada-Nya.
Syech
As-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah
memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok
penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan itulah hakikat dari
ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba
kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih
diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya
kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi
penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus
tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan
bisa menggapai kebahagiaan dan kemenangannya.” (Al-Qaul as-Sadid Fi
Maqashid at-Tauhid, hal. 95).
Merealisasikan tauhid
adalah dengan membersihkan diri dari tiga hal; syirik, bid’ah, dan
maksiat. Syech Abdurrahman bin Hasan rahimahullah menjelaskan, “Yang
dimaksud merealisasikan tauhid adalah dengan membersihkan dan
memurnikannya dari kotoran-kotoran syirik, bid’ah, dan terus menerus
dalam perbuatan dosa. Barangsiapa yang melakukannya maka berarti dia
telah merealisasikan tauhidnya.” (Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin, hal. 23).
Allah Ta’ala berfirman dalam QS. Al-Mumtahanah: 4
قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ
مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ
الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا
أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا
وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan dia. Ketika mereka berkata kepada kaum mereka,
‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang
kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya
sampai kamu beriman kepada Allah saja.’ Kecuali perkataan Ibrahim kepada
bapaknya, ‘Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku
tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah.’ (Ibrahim
berkata), ‘Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan
hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami
kembali.’.”
2. Perbanyak beristighfar pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Renungkan
betapa banyak nikmat Allah yang diberikan pada kita, namun betapa
sedikit kita bersyukur. Dan betapa seringnya kita lalai, lalai karena
harta kita, anak-anak kita, ataupun karena istri kita.
Setiap
ibadah yang kita lakukan tidaklah lepas dari campur tangan Allah. Dia
memberikan kita taufiq sehingga kita terasa ringan dalam melakukan
ibadah, dan itu semua adalah nikmat yang selayaknya kita syukuri.
Allah berfirman dalam banyak ayat mengenai perintah untuk beristighfar dan bertaubat, diantaranya dalam QS. An-Nur: 31,
وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.”
Kemudian dalam QS. At-Tahrim: 8,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang benar (ikhlas).”
Dalam QS. Hud: 3,
وَأَنِ
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَاعًا
حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِن
تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ
“Dan
hendaklah kamu meminta ampun kepada Rabb-mu dan bertaubat kepadaNya,
(jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi
kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu, hingga pada waktu yang
telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang
mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka
sungguh aku takut, kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat.”
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sayyidul istighfar (penghulu
bacaan istighfar) adalah seorang hamba mengucapkan:
اللَّهُمَّ
أَنْتَ رَبِّي لَا إلَهَ إلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُك
وَأَنَا عَلَى عَهْدِك وَوَعْدِك مَا اسْتَطَعْت أَعُوذُ بِك مِنْ شَرِّ
مَا صَنَعْت أَبُوءُ لَك بِنِعْمَتِك عَلَيَّ وَأَبُوءُ بِذَنْبِي
فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلَّا أَنْتَ
(‘Ya
Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah
kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku
akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung
kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku
dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya
tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau’.) Barangsiapa mengucapkannya
di pagi hari dalam keadaan meyakininya, lalu ia mati di waktu malamnya,
maka ia akan masuk surga.”
3. Perbanyak membaca
Al-Qur’an, jangan sampai hari kita terlewatkan tanpa membaca dan
memahami kalam-kalam Allah. Al-Quran di turunkan bukan hanya untuk
mencari berkah dengannya, tetapi Allah turunkan sebagai pelajaran,
nasihat, obat, dan pedoman hidup. Allah berfirman,
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ
لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Hai
manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat/pelajaran dari
Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati
manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS
Yunus: 57).
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Dan
sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk peringatan/pelajaran,
maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?” (QS al-Qamar: 17).
4.
Perbanyak mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dzikrullah, karena
dengan berdzikir kita akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah,
sehingga hati dan pikiran lebih terkontrol untuk berhati-hati dalam
berniat dan beramal.
Allah berfirman dalam QS. Ali ‘Imran: 191,
الَّذِينَ
يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا
خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(Yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): ‘Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.’.”
Al-Imam Al-Baghawi mengatakan, “Seluruh ahli
tafsir berkata bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah terus
menerus berdzikir, dalam semua keadaan, karena manusia tidak akan lepas
dari tiga keadaan yang disebutkan dalam surat diatas.”
Syech
As-Sa’di mengatakan, dzikir tersebut mencakup seluruh dzikir dengan
perkataan dan hati. Termasuk di dalamnya shalat dengan berdiri, kalau
tidak mampu dengan duduk, kalau tidak mampu maka dengan berbaring. Maka
pada ayat ini Allah menunjukkan kepada kita jalan orang yang baik dan
beruntung, yaitu, mereka selalu berdzikir, memanfaatkan waktu mereka
dalam perkara-perkara yang bermanfaat, baik, dan mendatangkan pahala.
Mereka adalah orang-orang yang bakhil terhadap waktunya. Tidak ingin
waktunya terbuang sia-sia.
5. Berbahagialah dengan kebahagiaan saudaramu.
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda, “Tidaklah (sempurna) iman seseorang diantara
kalian hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya
sendiri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sehingga
penting bagi kita untuk pandai-pandai menata hati. Ketika melihat
tetangga beli mobil baru, maka biasanya syubhat mengganggu hati dengan
berpikiran su’udzon. Maka hendaklah dengan lapang dada kita berpikiran
bahwa ketika tetangga beli mobil baru, adalah suatu kebahagian pula
untuk kita karena (Alhamdulillah) kita nanti bisa numpang, kita bisa
merasakan pula nyamannya mobil tersebut. Subhanallah, betapa tentram
hati ini ketika kita mampu menata hati dengan baik, maka semua yang
terjadi akan terasa sebagai nikmat, nikmat dan nikmat. Bukankah Allah
Ta’ala telah berfirman dalam QS. Ibrahim: 7,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan
(ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
6.
Bila kita dilempari batu, maka tangkaplah batu itu, kumpulkan dan
bangunlah dengannya sebuah rumah yg indah. Maksudnya, batu tersebut
adalah kritikan yg membangun.
Terima kritikan tersebut
dengan sebuah senyuman disertai ucapan “terima kasih”. Dua hal ini akan
membuat si pengritik langsung tahu bahwa yang dikritik bukanlah orang
sembarangan. Mengucapkan “terima kasih” plus senyum pada saat dihujani
kritik adalah sebuah sinyal bahwa kita sudah dewasa dan matang. Kata
“terima kasih” dan senyum juga bisa menjadi “serangan balik” yang baik
bagi mereka yang mengkritik karena biasanya mereka belum tentu akan
melakukan hal yang sama pada saat dirinya yang kena kritik.
Terdapat
teladan yang baik dari sahabat Umar Bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu.
Dalam sebuah riwayat yang mashyur, disebutkan bahwa Umar Bin Al-Khattab
pernah mendengar kritikan dalam bentuk keluh kesah seorang ibu yang
kesulitan memenuhi kebutuhan pangan untuk anak-anaknya. Uniknya, sang
khalifah yang mendengar kritikan tersebut secara langsung bukannya marah
atau memanggil tentara untuk memenjarakan sang ibu beserta
anak-anaknya. Tetapi justru menyediakan pundak beserta tenaganya untuk
mengangkat sendiri bahan makanan yang dibutuhkan oleh ibu tersebut.
Masya Allah, itulah Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, salah satu
sahabat yang dijamin akan masuk surga oleh baginda Rasul. Lalu bagaimana
dengan kita yang tidak mendapat jaminan masuk surga?
7.
Jangan menangisi nasi yang telah menjadi bubur, karena itu hanyalah
akan menyia-nyiakan waktu. Namun, bangkitlah dan bersemangatlah untuk
membuat sebab takdir Allah menjadi lebih baik.
Jangan
pernah mengucapkan kata-kata yang mengundang syubhat dari syaithan,
seperti mengatakan, “Seandainya aku melakukan itu, pastilah akan terjadi
begini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mengucapkan
“Seandainya demikian maka demikian” karena ucapan itu akan membuka celah
munculnya hal-hal tersebut. Orang yang tabah menyadari bahwa semuanya
sudah ditakdirkan, dia tidak menyesali kesungguhan dan upaya yang sudah
ditempuhnya. Oleh karenanya Nabi memerintahkan kita untuk berkata,
“QaddarAllahu wa maa syaa’a fa’ala”. Biarlah terjadi karena memang
itulah yang sudah ditakdirkan Allah. Tiada gunanya mengeluh dan
berandai-andai.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Bersemangatlah untuk meraih segala hal yang bermanfaat
bagimu. Mintalah pertolongan Allah dan jangan lemah. Apabila engkau
tertimpa sesuatu (yang tidak menyenangkan) janganlah berkata,
‘Seandainya aku dulu berbuat begini niscaya akan menjadi begini dan
begitu’ Akan tetapi katakanlah, ‘QaddarAllahu wa maa syaa’a fa’ala’
(Allah telah mentakdirkan, terserah apa yang diputuskan-Nya), Karena
perkataan seandainya dapat membuka celah perbuatan syaitan.” (HR.
Muslim).
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Letak
kebahagiaan manusia ialah pada semangatnya untuk meraih perkara yang
bermanfaat bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya.
Mewujudkan semangat adalah dengan cara mengerahkan segenap kesungguhan
dan mencurahkan segenap kemampuan. Apabila seseorang yang sangat
bersemangat menggeluti perkara yang bermanfaat baginya maka semangatnya
itu untuk dipuji. Seluruh potensi kesempurnaan diri akan terwujud dengan
tergabungnya kedua perkara ini; ia memiliki semangat yang menyala-nyala
dan semangatnya itu dicurahkan kepada sesuatu yang bermanfaat baginya.”
8. Tata hati dengan gemar berbagi.
Anas
bin Malik mengisahkan, “Dahulu Abu Thalhah adalah orang Anshar di
Madinah yang paling banyak harta kebun kurmanya. Kebun yang paling
dicintainya adalah “Bairuha”, kebun itu ada di depan masjid yang Nabi
selalu memasukinya untuk minum airnya yang bagus.” Anas mengisahkan,
“Ketika turun ayat ‘Kalian tidak akan memperoleh kebaikan hingga kalian
menginfakkan sesuatu yang kalian cintai.’ Abu Thalhah bangkit dan
berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Kalian tidak
akan memperoleh kebaikan hingga kalian menginfakkan sesuatu yang kalian
cintai.’ Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah “Bairuha”,
harta itu aku sedekahkan di jalan Allah, aku harapkan kebaikan dan
pahalanya di sisi Allah, berikanlah wahai Rasulullah sebagaimana Allah
perlihatkan kepada engkau. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam kemudian
bersabda, “Itu harta yang baik, aku telah mendengar apa yang kamu
katakan. Menurutku engkau berikan saja harta itu kepada
kerabat-kerabatmu.” Abu Thalhah berkata, “Aku akan melakukannya wahai
Rasulullah.” Lalu ia bergegas membagikan harta itu kepada
kerabat-kerabatnya dan anak-anak pamannya.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari).
9.
Kunjungilah fakir miskin dan seringlah mengingat kematian, karena
dengan itu kita menjadi sadar bahwa dunia ini benar-benar hina, hidup di
dunia tidaklah lama, dan hidup di dunia hanyalah untuk mencari bekal
menghadap Allah Rabbul ‘alamin.
Sehingga kita menjadi orang yang qana’ah, zuhud, dan suka berbagi kebahagiaan.
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلا
”Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan
yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta
lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi : 46).
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
”Dan
ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan
dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfaal :
28).
Harta bukanlah tujuan, namun tidak lebih hanya
sebagai salah satu sarana dan bekal untuk beribadah kepada Allah ta’ala.
Allah ta’ala telah berfirman dalam salah satu ayat-Nya,
انْفِرُوا
خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Berangkatlah
kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan
berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu
adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah : 41).
"Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat"