Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..
Sebenernye berbicara soal jual beli kredit itu udeh di atur di dalam ilmu fiqih'..
Di dalam ilmu fiqih, akad jual beli ini lebih familiar dengan istilah jual beli taqsith (التَقْسيـْط). Secara bahasa, taqsith itu sendiri berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian..
Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat. Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranye adalah:
1. Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282)
Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan akad kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat di atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.
2. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
beliau mengatakan,
اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603)
Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli bahan makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit.
Hukum asal kredit barang adalah boleh seperti ape yang udeh ane jelasin tadi, hanya saja ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi ketika melakukan pembelian barang secara kredit, yakni:
1. Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan kemudian. Misalnya: harga rumah 200 juta bila dibayar tunai dan 350 juta bila dibayar dalam tempo 5 tahun.
2. Tidak boleh diterapkan sistem perhitungan bunga apabila pelunasannya mengalami keterlambatan sebagaimana yang sering berlaku.
3. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari praktek bai` gharar (penipuan).
4. Tidak terdapat dua akad dalam satu transaksi. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Baihaqi disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menjual dua transaksi dalam satu transaksi, maka baginya kerugiannya atau riba.” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Ulama menafsirkan, yang dimaksud dengan “dua akad dalam satu transaksi”, misalnya, seseorang berkata: “Aku jual sepeda motor ini, tunai seharga Rp 13.000.000, kredit Rp 16.000.000,” kemudian keduanya berpisah dari majelis akad tanpa ada kesepakatan pembelian, tunai atau kredit. Maka akad jual beli ini batal adanya.
Adapun ketika pembeli menentukan satu pilihan dari dua opsi yang ditawarkan, maka jual beli itu sah, dan berlaku atas harga yang disepakati.
Al-Qaradawi dalam buku HALAL HARAM mengatakan bahwa menjual kredit dengan menaikkan harga diperkenankan. Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa bila si penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka haram hukumnya dengan dasar bahwa tambahan harga itu berhubung masalah waktu dan itu sama dengan riba.
Tetapi jumhur (mayoritas) ulama membolehkan jual beli kredit ini, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Jual beli kredit tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas kezaliman..
"Semoga bisa di pahamin dan bisa jadi ilmu yang manfaat"
0 komentar:
Posting Komentar