Sabtu, 03 Desember 2016

HUKUM SHALAT DENGAN BANTHOLUN (CELANA PANJANG)

00.50.00 Posted by Admin No comments


Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Permasalahan shalat dengan bantholun (celana panjang) telah ane kaji dalam tauziah sebelumnya. Bahasan kali ini adalah bahasan yang lebih detail dari sebelumnya. Semoga dengan bahasan ini tidak ada lagi kerancuan di tengah² kaum muslimin akan masalah ini. Allahumma yassir wa a’in..

Kaedah Dalam Hal Pakaian

Ada kaedah dalam hal pakaian yang perlu diperhatikan, yaitu:

Pakaian termasuk dalam perkara adat dan bukanlah perkara ibadah, sehingga ada kelapangan dalam hal ini. Pakaian apa saja tidaklah terlarang kecuali yang dilarang oleh syari’at seperti mengenakan kain sutera untuk pria, mengenakan pakaian tipis yang menampakkan aurat, mengenakan pakaian ketat yang membentuk lekuk tubuh yang termasuk aurat, atau pakaian tersebut termasuk Tasyabbuh (menyerupai) pakaian wanita atau pakaian yang menjadi kekhususan orang kafir.

Kaedah dalam Hal Tasyabbuh

Sebagian ulama mengkritisi hal mengenakan celana panjang karena beranggapan bahwa hal ini termasuk bentuk tasyabbuh (menyerupai perbuatan orang kafir). Karena adat mengenakan celana panjang seperti ini datang dari orang kafir.

Namun ane sendiri tidak menyetujui hal ini karena celana panjang saat ini bukan lagi masuk kategori tasyabbuh karena sudah semakin tersebarnya di negeri² kaum muslimin. Celana panjang pun tidak mencirikan seorang itu kafir ataukah muslim. Jadi dari tolak ukur inilah lebih tepat kita katakan bahwa perkara ini tidak masuk dalam kategori tasyabbuh.

Hal ini pun yang menjadi pendapat ulama besar Unaizah Kerajaan Saudi Arabia, Syech Muhammad  bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah..

Dalam kajian Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syech Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Tasyabbuh dengan orang kafir memang semakin tersebar di zaman  ini, seperti yang ada pada mobil, alat elektronik dan peralatan lainnya. Lalu apa saja yang menjadi batasan disebut tasyabbuh dengan orang kafir sehingga bisa kita katakan bahwa perbuatan ini tasyabbuh dan yang ini bukan?”

Beliau rahimahullah menjawab, “Tasyabbuh dengan orang kafir seperti misalnya seseorang berbusana dengan pakaian orang kafir atau pun bertutur kata seperti perkataan yang biasa mereka ucapkan, dan semisal itu. Tolak ukurnya adalah jika seseorang melihat perbuatan tersebut, maka akan dikatakan bahwa ini adalah bagian dari kelakuan orang kafir.Adapun pada hal yang kaum muslimin dan orang kafir sama² melakukannya, maka ini tidak termasuk dalam kategori tasyabbuh. Seperti saat ini dalam hal mengenakan bantholun (celana panjang) bagi laki-laki. Kami katakan bahwa hal ini tidak termasuk dalam tasyabbuh. Karena memakai celana panjang sudah menjadi kebiasaan muslim dan kafir. Sedangkan dalam hal kendaraan dan semisal itu, maka ini sama sekali tidak masuk dalam kategori tasyabbuh.”

Pernyataan yang sama pun dikatakan oleh ulama hadits saat ini, Syech Abu Ishaq Al Huwaini (salah seorang murid Syech Al Albani rahimahullah). Beliau hafizhohullah ditanya, “Apakah boleh seorang pria kadangkala mengenakan kemeja dan celana panjang, ataukah ia harus mengenakan jubah setiap saat? Apakah mengenakan celana panjang termasuk haram atau masuk dalam kategori tasyabbuh?”

Beliau hafizhohullah menjawab, “Adapun mengenakan celana panjang, maka aku berpandangan bahwa hal itu tidak termasuk dalam tasyabbuh karena pakaian tersebut saat ini telah menjadi pakaian yang umum dikenakan di negeri kaum muslimin.

Sebagaimana kaedah fiqhiyah mengatakan,

إذا ضاق الأمر اتسع

“Jika dalam suatu hal terdapat kesempitan, maka nantinya ada jalan kelapangan.” Berdasarkan hal ini, maka ada kesulitan jika hal ini dilarang dalam shalat. Namun saya sendiri berpandangan bahwa hendaklah seorang muslim tidak mengenakan celana semacam itu kecuali jika ada alasan yang mendesak.

Penulis Shahih Fiqih Sunnah, Syech Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Mengenakan bantholun (celana panjang) tidaklah masuk ciri khas orang kafir atau tidak termasuk syi’ar mereka sehingga bisa kita katakan tasyabbuh. Yang penting celana tersebut disyaratkan sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya yaitu celana tersebut longgar, tidak ketat, dan tidak membentuk aurat. Namun tidak mengenakannya atau mengenakan jubah (gamis) itu lebih utama (karena lebih menutup aurat). Wallahu a’lam.”

Wallahu Waliyyut Taufiq'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

0 komentar: