Jumat, 05 Mei 2017

PANDUAN TAYAMUM (2): TAYAMUM HARUSKAH DENGAN DEBU?

07.55.00 Posted by Admin No comments


Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Satu pembahasan yang urgent untuk diangkat adalah apa yang mesti digunakan ketika tayamum. Apakah harus dengan debu? Silahkan simak pada bahasan sederhana berikut..

Tayamum Harus dengan Sho’id

Perlu diketahui bahwa para ulama sepakat bahwa bolehnya tayamum adalah dengan menggunakan sho’id yang suci. Demikian dipersyaratkan oleh jumhur (mayoritas ulama), sedangkan ulama Malikiyah memasukannya dalam wajib tayamum. Dalil harus menggunakan sho’id adalah firman Allah Ta’ala,

فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً طَيِّبَاً

“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan sho’id yang baik (suci).” (QS. Al Maidah: 6). (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah 14: 260)

Apa itu Sho’id?

Jumhur ulama memaknakan sho’id pada ayat di atas dengan debu. Namun ulama lainnya mengatakan bahwa sho’id adalah setiap yang berada di permukaan bumi termasuk debu, pasir, batu, kapur dan selainnya. Dalil ulama yang menyatakan demikian adalah hadits,

وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا

”Dianugerahkan untukku tanah sebagai masjid (tempat shalat) dan untuk bersuci.”
(HR. Bukhari no.438).

Hadits ini menunjukkan bahwa setiap yang berada di permukaan bumi bisa digunakan untuk bersuci. Yang termasuk sho’id adalah debu. Dan kita pun bisa menggunakan selain debu, asalkan masih menempel di atas permukaan bumi.

Pendapat yang menyatakan sho’id adalah setiap yang berada di permukaan bumi, itulah yang lebih kuat. (Syarh ‘Umdatul Fiqh 1: 146-147)

Ibnu Taimiyah menerangkan, “Sho’id adalah sesuatu yang muncul pada permukaan bumi. Ini umum mencakup apa saja yang berada di permukaan. Hal ini berdasarkan dalil firman Allah Ta’ala,

وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا

“Dan sesungguhnya Kami benar² akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi sho’id yang rata lagi tandus.” (QS. Al Kahfi: 8)

فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا

“Hingga (kebun itu) menjadi sho’id yang licin.” (QS. Al Kahfi: 40).

Ulama yang menyatakan bahwa tayamum tidak khusus dengan debu berdalil pula dengan  sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

جُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ

“Dijadikan untukku permukaan bumi sebagai tempat shalat dan untuk bersuci. Maka siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, maka shalatlah.” Dalam riwayat lain disebutkan,

فَعِنْدَهُ مَسْجِدُهُ وَطَهُورُهُ

“Tanah tersebut bisa jadi tempat shalat dan untuk dia bersuci.” Dalil di atas menunjukkan bahwa seorang muslim di mana pun ia berada, maka ia bisa memanfaatkan tanah yang ia temui sebagai tempat shalat dan alat untuk bersuci.

Sudah dimaklumi bahwa kebanyakan tanah yang ada tidak semuanya berupa debu. Jika kita tidak boleh tayamum dengan pasir (artinya: harus dengan debu saja), maka ini jelas menyelisihi kandungan hadits di atas. Dalil di atas jelas mendukung bolehnya tayamum dengan pasir saja atau dengan pasir ditambah batu kapur.” (Majmu’ Al Fatawa 21: 365-366)

Ibnul Qoyyim berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa bertayamum dengan tanah tempat beliau shalat, baik itu debu, tanah berair (lembab) atau pasir.” (Mukhtashor Zaadil Ma’ad 12)

Al Amir Ash Shon’ani berkata, “Ash sho’id menurut kebanyakan para ulama adalah turob (debu). Sedangkan sebagian pakar bahasa menyatakan bahwa sho’id adalah setiap permukaan bumi baik debu atau yang lainnya. Seandainya di suatu tempat hanya terdapat bebatuan dan tidak ada debu, maka itu masih disebut sho’id.” (Subulus Salaam 1: 459)

Sayyid Sabiq berkata, “Para pakar bahasa sepakat bahwa sho’id adalah seluruh yang berada di atas permukaan bumi, baik debu atau lainnya.” (Fiqh Sunnah 1: 60)

Syech Sholeh Al Fauzan pun menguatkan pendapat bahwa seluruh yang berada di atas permukaan bumi adalah sho’id. Beliau hafizhohullah berkata, “Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri jika mendapati waktu shalat, mereka berwudhu dengan sesuatu yang ada di permukaan bumi, seperti debu dan lainnya. Dan tidak menjadi keharusan mereka harus membaca debu.” (Al Mulakhosul Fiqhiy 1: 72)

Syech Abdullah Al Jibrin berkata, “Boleh saja seseorang tayamum pada dinding semen dan batu ubin walaupun tidak terdapat debu karena keduanya tersusun dari batu, debu dan selainnya yang berasal dari permukaan bumi. Namun tidak boleh tayamum pada dinding yang bercat atau tayamum pada kasur karena keduanya bukan sesuatu yang asalnya berada di permukaan bumi. Akan tetapi, jika pada dinding yang bercat atau pada kasur tersebut terdapat debu, maka boleh bertayamum di tempat tersebut.” (Syarh ‘Umdatul Fiqh 1: 148)

Sedangkan jika ada dalil yang menyatakan tayamum dengan debu, maka itu hanyalah penyebutan sebagian cara. Namun dalil tersebut tidaklah membatalkan dalil yang membolehkan tayamum dengan sho’id secara umum. Wallahu a’lam..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

JANGAN MENGKHIANATI AMANAT

07.50.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Kalau memang seseorang dibebankan suatu amanat, janganlah dikhianati. Tunaikanlah amanat tersebut dengan baik. Jika masa tugas belum selesai padahal sudah berjanji dengan bersumpah akan merampungkannya, maka sudah barang tentu janji tersebut kudu dipenuhi.

Lihatlah perintah Allah Ta’ala dalam menunaikan amanat,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An Nisa: 58)

Kalau sudah pernah berjanji pada rakyat untuk menunaikan amanat, maka tunaikanlah,

أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ

“Tunaikanlah amanat kepada orang yang menitipkan amanat padamu.” (HR. Abu Daud no.3535 dan At Tirmidzi no.1624)

Ketahuilah bahwa orang yang berkhianat terhadap amanat pun menyandang salah satu sifat munafik. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta, jika berjanji, ia mengingkari, dan ketika diberi amanat, maka ia ingkar.” (HR. Bukhari no.33 dan Muslim no.59).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menerangkan tanda munafik, yang memiliki sifat tersebut berarti serupa dengan munafik atau berperangai seperti kelakuan munafik. Karena yang dimaksud munafik adalah yang ia tampakkan berbeda dengan yang disembunyikan. Pengertian munafik ini terdapat pada orang yang memiliki tanda² tersebut.” (Syarh Muslim 2: 47).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menunaikan amanat yang dimaksudkan adalah umum mencakup segala yang diwajibkan pada seorang hamba, baik hak Allah atau hak sesama manusia.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim 4: 124).

Syech As Sa’di rahimahullah berkata, “Amanat adalah segala sesuatu yang diemban oleh seseorang yang diperintahkan untuk ditunaikan. Para fuqoha menyebutkan bahwa orang yang dibebankan amanat, hendaklah ia benar² menjaganya. Mereka berkata bahwa seseorang tidak disebut menunaikan amanat melainkan dengan menjaganya, dan hukumnya adalah wajib.” (Taisir Al Karimir Rahman 183).

Bahkan jika kita menjadi seorang pemimpin, benar² kita harus memegang amanat karena banyak pemimpin yang hanya mengingkari janji²nya.

Dari Abu Dzarr pula, ia berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberiku kekuasaan?” Lalu beliau memegang pundakku dengan tangannya, kemudian bersabda,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا

“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim no.1825).

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan bermanfaat'..