Jumat, 07 April 2017

FAEDAH SURAT AL MULK: KEUTAMAAN TAKUT KEPADA ALLAH DI KALA SEPI

22.37.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Pada tausiah pagi ini, Ane akan melanjutkan beberapa faedah lagi dari surat Al Mulk. Semoga kita bisa lebih memahami tersebut dan mengamalkan kandungan di dalamnya..

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ (12) وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (13) أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (14) هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (15)

“Sesungguhnya orang² yang takut kepada Tuhannya di saat mereka tidak tampak di hadapan yang lainnya, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mulk: 12-15)

Keutamaan Taat dan Takut pada Allah Di Kesunyian

Setelah sebelumnya Allah menyebutkan keadaan orang² fajir (kafir), selanjutnya Allah menyebutkan keadaan orang² yang berbuat baik dan akan menuai kebahagiaan.

Dalam surat Al Mulk ayat 12, penulis Tafsir Al Jalalain menjelaskan, “Mereka itu takut kepada Allah di kesunyian ketika mereka tidak nampak di hadapan manusia lainnya. Mereka pun taat pada Allah dalam keadaan sembunyi². Tentu saja dalam keadaan terang-terangan, mereka pun lebih taat lagi pada Allah.”

Intinya mereka itu taat pada Allah meskipun di kesunyian. Syech As Sa’di menjelaskan, “Mereka takut pada Allah dalam setiap keadaan sampai² pada keadaan yang tidak ada yang mengetahui amalan mereka kecuali Allah. Mereka tidak melakukan maksiat dalam kesunyian. Mereka pun tidak mengurangi ketaatan mereka ketika itu.”

Namun kita mungkin sangat jauh dari sifat baik semacam ini. Di kala sepi kita berani berbuat maksiat, padahal Allah menyaksikan kita dan di kala terang²an kita pun berani mendurhakai Allah dengan riya’ tatkala melakukan amalan.

Ingatlah keutamaan yang mulia yang diperoleh oleh orang yang beramal dan takut pada Allah di kala sepi, yaitu:

• Akan mendapatkan ampunan dari setiap dosa, begitu pula akan dilindungi dari kejelekan dan siksa neraka.

• Mereka akan mendapatkan ganjaran besar yaitu berbagai kenikmatan yang Allah janjikan di surga.

Keutamaan Ihsan dalam Ibadah

Untuk ayat,

إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ

terdapat penafsiran lainnya dari para ulama. Intinya, ada  empat penafsiran mengenai ayat ini:

• “Mereka takut pada Allah, namun mereka tidak melihat-Nya”. Inilah pendapat mayoritas ulama.

• “Mereka sangat takut akan siksa Allah walaupun mereka tidak melihat-Nya”. Inilah pendapat Maqotil.

• “Mereka takut pada Allah ketika tidak ada satu pun yang menyaksikan mereka”. Inilah pendapat Az Zujaj.

• “Mereka takut pada Allah jika mereka bersendirian (tidak tampak di hadapan manusia) sebagaimana mereka takut jika mereka berada di hadapan manusia”. Inilah pendapat Abu Sulaiman Ad Dimasyqi.

Tafsiran ketiga telah dijelaskan pada point sebelumnya. Tafsiran ketiga ini hampir sama dengan tafsiran keempat..

Sedangkan tafsiran pertama dan kedua hampir sama. Untuk tafsiran pertama inilah yang kita sering lihat pada terjemahan Al Qur’an sebagaimana pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Sehingga biasanya ayat tersebut diartikan:

إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ

“Sesungguhnya orang² yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka.”
(QS. Al Mulk: 12)

Berdasarkan tafsiran menunjukkan keutamaan dari orang yang berbuat ihsan. Mereka akan mendapatkan dua keutamaan yang disebutkan dalam lanjutan ayat,

لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ

“Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Mulk: 12)

Lalu apa yang dimaksud ihsan? Pengertian ihsan dalam ibadah sebagaimana ditafsirkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits jibril. Ketika ditanya oleh Jibril yang berpenampilan Arab Badui mengenai ihsan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, Allah akan melihatmu”.

Dalam pengertian ihsan ini terdapat dua tingkatan..

• Tingkatan pertama disebut tingkatan musyahadah yaitu seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini adalah bukan melihat Dzat Allah, namun melihat sifat²-Nya. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat² Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada sifat²-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat Ihsan.

• Tingkatan kedua disebut dengan tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat² Allah, dia yakin Allah melihatnya. Dan tingkatan inilah yang banyak dilakukan oleh banyak orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya.

Keutamaan Beriman pada yang Ghoib

Berdasarkan salah satu penafsiran surat Al Mulk ayat 12, ayat ini menunjukkan keutamaan beriman pada yang ghoib dan keutamaan meyakini adanya kedekatan Allah ketika sendirian atau pun terang²an.

Khouf (Takut) yang Membuat Seseorang Menjauh dari Maksiat

Dari ayat ini juga menunjukkan bahwa dengan rasa khouf (takut) membuat seseorang menjauh dari maksiat. Sehingga ketika seseorang mau terjerumus dalam maksiat hendaklah ia memperkuat rasa takut pada Allah. Jangan malah ketika mau terjerumus dalam maksiat ia kedepankan roja’ (harap) pada Allah. Ketika berbuat maksiat malah ia ingat² bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat. Ini sikap yang keliru, malah ia akan terus menerus dalam dosa. Yang benar, ketika seseorang dalam keadaan mau terjerumus dalam maksiat, hendaklah ia kedepankan rasa khouf (takut) pada Allah. Namun ketika ia dalam kondisi sudah terjerumus dalam berbagai maksiat, maka hendaklah ia kedepankan rasa roja’ (harap) ketika itu.

Tujuannya apa? Tujuannya, jika seseorang mengedapankan rasa takut pada Allah ketika hendak berbuat maksiat, maka ia pasti akan mengurungkan berbuat maksiat. Sedangkan mengedepankan rasa harap ketika bergelimang dosa akan membuatnya tidak berputus asa dari rahmat Allah. Perhatikanlah perbedaan dua hal ini.

Rasa Takut Kepada Allah Membuat Seseorang Mendapat Naungan-Nya

Keutamaan orang yang takut pada Allah di kesunyian juga disebutkan dalam sebuah hadits muttafaqun ‘alaih (disepakati Bukhari dan Muslim),

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِى ظِلِّهِ ، يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِى عِبَادَةِ اللَّهِ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِى خَلاَءٍ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِى الْمَسْجِدِ ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللَّهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّى أَخَافُ اللَّهَ . وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا ، حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُهُ

“Tujuh golongan yang di mana mereka akan mendapatkan naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan dari-Nya, yaitu:

1. pemimpin yang adil.

2. Seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah pada Allah.

3. Seseorang yang mengingat Allah di kesunyian lalu meneteslah air matanya.

4. Seseorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid.

5. Seseorang yang saling mencintai karena Allah.

6. Seseorang yang diajak oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan untuk menyetubuhinya namun ia katakan, “Aku takut pada Allah".

7. Seseorang yang bersedekah dengan sembunyi², sampai² tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh tangan kanannya.” 

Lihatlah orang yang mengingat Allah di kesunyian (tanpa ada yang melihatnya kecuali Allah) lalu ia meneteskan air mata dan orang yang diajak berzina namun ia takut pada Allah. Inilah keutamaan dari orang yang beribadah dan takut pada Allah sedangkan manusia² tidak mengetahuinya, mereka akan mendapatkan naungan ‘Arsy Allah.

Luasnya Ilmu Allah

Segala sesuatu itu sama di sisi Allah baik yang dilirihkan maupun yang dikeraskan. Tidak ada yang samar sedikit pun baginya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. Al Mulk: 13)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada dalam hati berupa berbagai niat dan keinginan. Bagaimanakah lagi dengan perkataan dan perbuatan yang Allah dengar dan lihat?!

Inilah dalil logika yang menunjukkan keluasan ilmu Allah. Kemudian Allah membuktikan hal ini dengan mengatakan,

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ (14)

“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al Mulk: 14).

Maksud ayat ini adalah: “Apakah mereka tidak mengetahui Allah yang Maha Lathif dan Khobir?”

Allah Itu Lathif dan Khobir

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

أَنَّهُ لَطِيفٌ يُدْرِكُ الدَّقِيقَ خَبِيرٌ يُدْرِكُ الْخَفِيَّ وَهَذَا هُوَ الْمُقْتَضِي لِلْعِلْمِ بِالْأَشْيَاءِ

“Allah itu Lathif, maksudnya mengetahui segala sesuatu secara detail. Dan Khobir, maksudnya mengetahui segala yang tersembunyi (samar). Hal ini menunjukkan luasnya ilmu Allah terhadap segala sesuatu.”

Syech Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah mengatakan makna Al Lathif itu ada 2:

• Allah mengetahui segala sesuatu secara detail.

• Allah selalu berbuat baik, penyayang terhadap hamba²-Nya.

*Allah Menundukkan Bumi dan Beri Kemudahan untuk Dijelajahi*

Allah Ta’ala selanjutnya berfirman,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya.” (QS. Al Mulk: 15).

“Manakibiha” dalam ayat di atas ada tiga tafsiran, yaitu:

• Jalan, sehingga maknanya, “Maka berjalanlah di segala jalan.” Ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Mujahid.

• Gunung, sehingga maknanya, “Maka berjalanlah di setiap gunung." Jika gunung saja mampu ditempuh, maka lebih² daerah yang rendah di bawahnya. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas lainnya, pendapat Qotadah dan Az Zujaj.

• Penjuru, sehingga maknanya, “Maka berjalanlah di setiap penjuru bumi.” Ini adalah pendapat Maqotil, Al Farro, Abu ‘Ubaidah, dan Ibnu Qutaibah.

Syech Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan ayat di atas, “Sesungguhnya Allah yang menundukkan bumi bagi kalian agar kalian bisa memenuhi berbagai kebutuhan (hajat) kalian.” Ini menunjukkan nikmat Allah dengan memberikan segala kemudahan bagi setiap manusia. Maka Allah-lah yang pantas dipuji dan disanjung.

Tawakal Bukan Berarti Meninggalkan Kerja dan Usaha

Dalam surat Al Mulk ayat 15 di atas juga menunjukkan disyariatkannya berjalan di muka bumi untuk mencari rizki dengan berdagang, bertani, dsb..

Ini menunjukkan bahwa tawakal bukan berarti meninggalkan kerja dan usaha.

Sahl At Tusturi mengatakan, ”Barangsiapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan). Barangsiapa mencela tawakal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan.” (Jaami’ul Ulum wal Hikam).

Hanya Kepada Allah lah Tempat Kembali

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al Mulk: 15)

Ibnul Jauzi menafsirkan, “Kalian akan dibangkitkan dari kubur² kalian.” Hal ini menunjukkan adanya hari berbangkit dan hari pembalasan.

Demikian beberapa faedah tafsir dari QS. Al Mulk: 12-15 untuk saat ini. Semoga kita semua selalu dimudahkan oleh Allah untuk mentadabburi (merenungkan) kitab-Nya yang mulia..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..

BERDO'A DALAM SHALAT DENGAN DO'A BUATAN SENDIRI BERBAHASA ARAB

22.22.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Bagaimana jika dalam shalat kita berdoa dengan bahasa Arab namun dengan doa yang tidak ma’tsur, alias hasil rekaan atau buatan sendiri?

Dalam pembahasan Imam Nawawi dalam Al Majmu' dijelaskan,

"Telah lewat dalam pembahasan takbiratul ihram mengenai hukum berdoa dengan selain bahasa Arab dan doa yang dibolehkan di dalam shalat.

Menurut madzhab Syafi’i, boleh berdoa di dalam shalat dengan doa yang dibolehkan dipanjatkan ketika di luar shalat, baik yang diminta untuk perkara agama maupun perkara dunia. Misal saja ada yang berdoa, “Ya Allah berikanlah rezeki untukku dengan pekerjaan yang halal, dikaruniai anak dan rumah, juga anak perempuan yang baik.” Atau ada yang berdoa, “Ya Allah selamatkanlah si fulan dari penjara.” Atau berdoa, “Ya Allah binasakanlah si fulan.” Seperti itu menurut ulama Syafi’iyah tidaklah membatalkan shalat. Inilah yang jadi pendapat Imam Malik, Ats Tsauri, Abu Tsaur dan Ishaq.

Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak boleh berdoa dalam shalat melainkan dengan doa yang telah ma’tsur (ada nashnya) yang sesuai dengan Al Qur'an.

Sebagian ulama Hambali berpendapat bahwa jika yang diminta mirip dengan percakapan manusia seperti minta anak perempuan dan minta pekerjaan yang halal, shalatnya batal. Mereka berdalil dengan hadits,

ان هذه الصلاة لا يصح فيها شئ من كلام الناس إنما هو التسبيح والتكبير وقراءة القرآن

“Sesungguhnya shalat ini tidak boleh di dalamnya ada percakapan manusia. Yang ada dalam shalat hanyalah ucapan tasbih, takbir dan bacaan Al Qur’an.” (HR. Muslim).

Begitu pula mereka beralasan sama dengan menjawab salam dan membalas doa orang yang bersin.

Adapun ulama Syafi’iyah yang menyatakan bolehnya berdoa dengan doa yang tidak ma’tsur (yang dibuat sendiri) berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

واما السجود فاجتهدوا فيه من الدعاء

“Adapun ketika sujud, maka bersungguh-sungguhlah kalian dalam memanjatkan doa.”

Dalam hadits lain disebutkan,

فاكثروا الدعاء

“Perbanyaklah doa (saat sujud).”

Kedua hadits itu adalah hadits yang shahih. Perintah di situ dimaksudkan adalah doa yang mutlak berarti mencakup segala macam doa (termasuk pula untuk doa yang tidak ma’tsur).

Alasan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa keadaan berdoa dengan doa yang beraneka ragam. Ini menunjukkan bahwa doa yang tidak ma’tsur tidaklah masalah.

Dalam hadits shahihain dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan di akhir tasyahud,

ثم ليتخير من الدعاء ما اعجبه واحب إليه وما شاء

“Lalu silakan ia pilih doa mana saja yang ia suka dan ia mau.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan, “Kemudian ia berdoa untuk dirinya yang ia inginkan.” An Nasai mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Hadits yang semisal itu amat banyak sekali.

Adapun jawaban untuk hadits dari pihak yang tidak membolehkan doa yang tidak ma’tsur dalam shalat, maka kita katakan bahwa doa itu tidak termasuk percakapan manusia. Menjawab doa orang yang bersin dan menjawab salam memang termasuk percakapan yang terlarang, itu termasuk perbincangan manusia. Namun kedua contoh tadi sekali lagi berbeda dengan doa (yang dibahas). Wallahu a’lam.. (Al Majmu’ 3: 315).

Jadi kesimpulannya, masih boleh berdoa dengan doa buatan sendiri dalam shalat. Namun tetap di usahakan dalam berdoa setelah shalat tetap berbahasa Arab sebagaimana yang telah ane jelaskan dalam pembahasan sebelumnya soal Berdoa dengan Selain Bahasa Arab dalam Shalat..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

SIFAT MALU TELAH DIAJARKAN PARA NABI TERDAHULU

22.10.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Rasa malu itu warisan para nabi. Artinya, telah diajarkan oleh para Nabi sebelum kita.

Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry radhiallahu ’anhu, dia berkata,

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang² dari perkataan nabi² terdahulu adalah: ‘Jika engkau tidak malu, perbuatlah sesukamu’.” (HR. Bukhari no.3483)

Penilaian Hadits ini dikeluarkan oleh Al Bukhari dari riwayat Manshur bin Al Mu’tamar dari Rib’iy bin Hirasy dari Abu Mas’ud dari Hudzaifah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ada perbedaan dalam sanad hadits ini. Namun, sebagian besar ahli hadits mengatakan bahwa ini adalah perkataan Abu Mas’ud. Yang mengatakan demikian adalah Al Bukhari, Abu Zur’ah, Ar Raziy, Ad Daruquthniy, dan lain-lain. Yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah bahwa telah diriwayatkan dengan jalan lain, dari Abu Mas’ud pada riwayat Masruq. Dikeluarkan pula oleh Ath Thabrani dari hadits Abu Ath Thufail dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga. (Jami Al 'ulum wa Al Hikam hlm.255, Ibnu Rajab Al Hambali, Darul Hadits Al Qahirah)

Sifat Malu adalah Warisan Para Nabi Terdahulu

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan mengenai perkataan dalam hadits tersebut:

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى

"Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang² dari perkataan nabi² terdahulu."

Hadits ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah sisa (atsar) dari ajaran Nabi terdahulu. Kemudian manusia menyebarkan dan mewariskan dari para Nabi tersebut pada setiap zaman. Maka hal ini menunjukkan bahwa kenabian terdahulu biasa menyampaikan perkataan ini sehingga tersebarlah di antara orang² hingga perkataan ini juga akhirnya sampai pada umat Islam. (Jami Al ‘ulum wa Al Hikam hlm.255)

Yang dimaksudkan dengan (النُّبُوَّةِ الأُوْلَى) adalah kenabian terdahulu yaitu (mulai dari) awal Rasul dan Nabi: Nuh, Ibrahim dan lain-lain (Syarh Arba’in Syech Shalih Alu hlm.112).

Perkataan umat terdahulu bisa saja dinukil melalui jalan wahyu yaitu Al Qur’an, As Sunnah (hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau dinukil dari perkataan orang² terdahulu. (Syarh Arba’in Syech Shalih Alu hlm.207)

Karena hal ini adalah perkataan Nabi terdahulu maka hal ini menunjukkan bahwa perkataan ini memiliki faedah yag besar sehingga sangat penting sekali untuk diperhatikan.

Syariat Sebelum Islam

Ada pelajaran penting yang patut dipahami. Syariat sebelum Islam atau syariat yang dibawa oleh nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi tiga:

1. Ajaran yang dibenarkan oleh syari’at Islam, maka ajaran ini shahih dan diterima.

2. Ajaran yang dibatalkan oleh syari’at Islam, maka ajaran ini bathil dan tertolak.

3. Ajaran yang tidak diketahui dibenarkan atau disalahkan oleh syari’at Islam, maka sikap kita adalah tawaqquf (berdiam diri, tidak berkomentar apa²). Namun, apabila perkataan semacam ini ingin disampaikan kepada manusia dalam rangka sebagai nasehat dan semacamnya maka hal ini tidaklah mengapa, dengan syarat tidak dianggap bahwa perkataan itu multak benar. (Syarh Arba’in Syech Ibnu Utsaimin hlm.207-208)

Keutamaan Rasa Malu

Rasa malu merupakan bentuk keimanan..

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

”Malu merupakan bagian dari keimanan.” (HR. Muslim no.161)

Rasa malu ini juga dipuji oleh Allah..

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِىٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ

”Sesungguhnya Allah itu Maha Malu dan Maha Menutupi, Allah cinta kepada sifat malu dan tertutup, maka jika salah seorang di antara kalian itu mandi maka hendaklah menutupi diri.” (HR. Abu Daud no.4014, dikatakan shahih oleh Syech Al Albani)

Malu Terkait Hak Allah dan Hak Sesama

Pertama, Malu yang berkaitan dengan hak Allah.
Seseorang harus memiliki rasa malu ini, dia harus mengetahui bahwa Allah mengetahui dan melihat setiap perbuatan yang dia lakukan, baik larangan yang diterjangnya maupun perintah yang dilakukannya.

Kedua, Malu yang berkaitan dengan hak manusia.

Seseorang juga harus memiliki rasa malu ini, agar ketika berinteraksi dengan sesama, dia tidak berperilaku yang tidak pantas (menyelisihi al muru’ah) dan berakhlak jelek.

Syech Ibnu Utsaimin memberi contoh..

Dalam majelis ilmu, jika seseorang berada di shaf pertama, lalu dia menjulurkan kakinya, maka dia dinilai tidak memiliki rasa malu karena dia tidak menjaga Al muru’ah (kewibawaan). Namun, jika dia duduk di antara teman²nya, kemudian dia menjulurkan kaki, maka ini tidaklah meniadakan Al muru’ah. Namun, lebih baik lagi jika dia meminta izin pada temannya, ”Bolehkah saya menjulurkan kaki?”. (Syarh Al Arba’in 210)

Malu Tabi’at dan Malu yang Butuh Dilatih

• Malu yang merupakan tabi’at/watak seseorang.

Sebagian manusia telah diberi kelebihan oleh Allah Ta’ala rasa malu. Ketika dia masih kecil saja sudah memiliki sifat demikian. Dia malu berbicara kecuali jika ada urusan mendesak atau tidak mau melakukan sesuatu kecuali jika terpaksa, karena dia adalah pemalu.

• Malu hasil diusahakan.

Malu yang kedua ini adalah malu karena hasil dilatih. Orang seperti ini biasa cekatan dalam berbicara, berbuat. Kemudian dia berteman dengan orang² yang memiliki sifat malu dan dia tertular sifat ini dari mereka. Rasa malu yang pertama di atas lebih utama dari yang kedua ini. (Syarh Al Arba’in hal.210)

Sifat Malu yang Terpuji

Perlu diketahui bahwa malu adalah suatu akhlak yang terpuji kecuali jika rasa malu tersebut itu muncul karena enggan melakukan kebaikan atau dapat terjatuh dalam keharaman. Maka jika seseorang enggan untuk melakukan kebaikan seperti enggan untuk nahi mungkar (melarang kemungkaran) padahal ketika itu wajib, maka ini adalah sifat malu yang tercela.

Jadi ingat! Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. (Syarh Al Arba’in hlm.210)

Jika Tidak Malu, Lakukanlah Sesukamu

Para ulama mengatakan bahwa perkataan ini ada dua makna:

Pertama: Kalimat tersebut bermakna perintah dan perintah ini bermakna mubah. Maknanya adalah jika perbuatan tersebut tidak membuatmu malu, maka lakukanlah sesukamu. Maka makna pertama ini kembali pada perbuatan.

Kedua: Kalimat tersebut bukanlah bermakna perintah. Para ulama memiliki dua tinjauan dalam perkataan kedua ini:

• Kalimat perintah tersebut bermakna ancaman. Jadi maknanya adalah: Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu (ini maksudnya ancaman). Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

”Lakukanlah sesukamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu lakukan.”
(QS. Fushilat: 40).

Maksud ayat ini bukanlah maksudnya agar kita melakukan sesuka kita termasuk perkara maksiat. Namun, maksud ayat ini adalah ancaman: Jika kamu tidak memiliki rasa malu, lakukanlah sesukamu. Pasti engkau akan mendapatkan akibatnya.

• Kalimat perintah tersebut bermakna berita. Jadi maknanya adalah: Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu. Dan penghalangmu untuk melakukan kejelekan adalah rasa malu. Jadi bagi siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka dia akan terjerumus dalam kejelekan dan kemungkaran. Dan yang menghalangi hal semacam ini adalah rasa malu.

Kalimat semacam ini juga terdapat dalam hadits Nabi yang mutawatir,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

”Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan ambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kalimat ini adalah perintah, namun bermakna khabar (berita). Jadi jika tidak memiliki sifat malu, pasti engkau akan terjerumus dalam kemungkaran. Itu maksud perintah di sini bermakna berita. (Tawdhih Al Ahkam 4: 794, Darul Atsar Syarh Arba’in Syech Shalih Alu hlm.113 dan Syarh Arba’in Al Utsaimin hlm.207 Jami’ul Ulum wal Hikam hlm.255)

Sifat Malu Orang² Shaleh

Contoh akhlak yang mulia ini dapat dilihat pada Nabi Musa ’alaihis salam. Nabi Musa adalah pemalu dan selalu tertutup auratnya. Tidak pernah terlihat kulitnya karena malu. Kemudian Bani Israil mencelanya. Mereka sampai mengatakan bahwa Musa selalu tertutupi badannya karena dia terkena kusta atau penyakit kulit. (HR. Bukhari dan Muslim)

Sungguh generasi teladan yang pertama, yang telah mewarisi akhlaq mulia dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, mereka itu sangatlah pemalu. Di antara mereka yang dijadikan contoh yang mengagumkan dalam hal ini, hingga para malaikat pun malu kepadanya adalah Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

اَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ

“Yang paling jujur dalam rasa malu adalah Utsman.” (Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Syech Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1224)

Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga mengatakan tentang Utsman,

أَلاَ أَسْتَحِى مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِى مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ

”Apakah aku tidak malu pada seseorang yang para Malaikat saja malu kepadanya.”
(HR. Muslim no.6362)

Semoga Allah Ta'alaa menganugerahi kita semua rasa malu agar terbentuk akhlaq yang lebih mulia..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..