Jumat, 07 April 2017

SIFAT MALU TELAH DIAJARKAN PARA NABI TERDAHULU

22.10.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Rasa malu itu warisan para nabi. Artinya, telah diajarkan oleh para Nabi sebelum kita.

Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry radhiallahu ’anhu, dia berkata,

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang² dari perkataan nabi² terdahulu adalah: ‘Jika engkau tidak malu, perbuatlah sesukamu’.” (HR. Bukhari no.3483)

Penilaian Hadits ini dikeluarkan oleh Al Bukhari dari riwayat Manshur bin Al Mu’tamar dari Rib’iy bin Hirasy dari Abu Mas’ud dari Hudzaifah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ada perbedaan dalam sanad hadits ini. Namun, sebagian besar ahli hadits mengatakan bahwa ini adalah perkataan Abu Mas’ud. Yang mengatakan demikian adalah Al Bukhari, Abu Zur’ah, Ar Raziy, Ad Daruquthniy, dan lain-lain. Yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah bahwa telah diriwayatkan dengan jalan lain, dari Abu Mas’ud pada riwayat Masruq. Dikeluarkan pula oleh Ath Thabrani dari hadits Abu Ath Thufail dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga. (Jami Al 'ulum wa Al Hikam hlm.255, Ibnu Rajab Al Hambali, Darul Hadits Al Qahirah)

Sifat Malu adalah Warisan Para Nabi Terdahulu

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan mengenai perkataan dalam hadits tersebut:

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى

"Sesungguhnya perkataan yang diwarisi oleh orang² dari perkataan nabi² terdahulu."

Hadits ini menunjukkan bahwa sifat malu adalah sisa (atsar) dari ajaran Nabi terdahulu. Kemudian manusia menyebarkan dan mewariskan dari para Nabi tersebut pada setiap zaman. Maka hal ini menunjukkan bahwa kenabian terdahulu biasa menyampaikan perkataan ini sehingga tersebarlah di antara orang² hingga perkataan ini juga akhirnya sampai pada umat Islam. (Jami Al ‘ulum wa Al Hikam hlm.255)

Yang dimaksudkan dengan (النُّبُوَّةِ الأُوْلَى) adalah kenabian terdahulu yaitu (mulai dari) awal Rasul dan Nabi: Nuh, Ibrahim dan lain-lain (Syarh Arba’in Syech Shalih Alu hlm.112).

Perkataan umat terdahulu bisa saja dinukil melalui jalan wahyu yaitu Al Qur’an, As Sunnah (hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) atau dinukil dari perkataan orang² terdahulu. (Syarh Arba’in Syech Shalih Alu hlm.207)

Karena hal ini adalah perkataan Nabi terdahulu maka hal ini menunjukkan bahwa perkataan ini memiliki faedah yag besar sehingga sangat penting sekali untuk diperhatikan.

Syariat Sebelum Islam

Ada pelajaran penting yang patut dipahami. Syariat sebelum Islam atau syariat yang dibawa oleh nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi tiga:

1. Ajaran yang dibenarkan oleh syari’at Islam, maka ajaran ini shahih dan diterima.

2. Ajaran yang dibatalkan oleh syari’at Islam, maka ajaran ini bathil dan tertolak.

3. Ajaran yang tidak diketahui dibenarkan atau disalahkan oleh syari’at Islam, maka sikap kita adalah tawaqquf (berdiam diri, tidak berkomentar apa²). Namun, apabila perkataan semacam ini ingin disampaikan kepada manusia dalam rangka sebagai nasehat dan semacamnya maka hal ini tidaklah mengapa, dengan syarat tidak dianggap bahwa perkataan itu multak benar. (Syarh Arba’in Syech Ibnu Utsaimin hlm.207-208)

Keutamaan Rasa Malu

Rasa malu merupakan bentuk keimanan..

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

”Malu merupakan bagian dari keimanan.” (HR. Muslim no.161)

Rasa malu ini juga dipuji oleh Allah..

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِىٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ

”Sesungguhnya Allah itu Maha Malu dan Maha Menutupi, Allah cinta kepada sifat malu dan tertutup, maka jika salah seorang di antara kalian itu mandi maka hendaklah menutupi diri.” (HR. Abu Daud no.4014, dikatakan shahih oleh Syech Al Albani)

Malu Terkait Hak Allah dan Hak Sesama

Pertama, Malu yang berkaitan dengan hak Allah.
Seseorang harus memiliki rasa malu ini, dia harus mengetahui bahwa Allah mengetahui dan melihat setiap perbuatan yang dia lakukan, baik larangan yang diterjangnya maupun perintah yang dilakukannya.

Kedua, Malu yang berkaitan dengan hak manusia.

Seseorang juga harus memiliki rasa malu ini, agar ketika berinteraksi dengan sesama, dia tidak berperilaku yang tidak pantas (menyelisihi al muru’ah) dan berakhlak jelek.

Syech Ibnu Utsaimin memberi contoh..

Dalam majelis ilmu, jika seseorang berada di shaf pertama, lalu dia menjulurkan kakinya, maka dia dinilai tidak memiliki rasa malu karena dia tidak menjaga Al muru’ah (kewibawaan). Namun, jika dia duduk di antara teman²nya, kemudian dia menjulurkan kaki, maka ini tidaklah meniadakan Al muru’ah. Namun, lebih baik lagi jika dia meminta izin pada temannya, ”Bolehkah saya menjulurkan kaki?”. (Syarh Al Arba’in 210)

Malu Tabi’at dan Malu yang Butuh Dilatih

• Malu yang merupakan tabi’at/watak seseorang.

Sebagian manusia telah diberi kelebihan oleh Allah Ta’ala rasa malu. Ketika dia masih kecil saja sudah memiliki sifat demikian. Dia malu berbicara kecuali jika ada urusan mendesak atau tidak mau melakukan sesuatu kecuali jika terpaksa, karena dia adalah pemalu.

• Malu hasil diusahakan.

Malu yang kedua ini adalah malu karena hasil dilatih. Orang seperti ini biasa cekatan dalam berbicara, berbuat. Kemudian dia berteman dengan orang² yang memiliki sifat malu dan dia tertular sifat ini dari mereka. Rasa malu yang pertama di atas lebih utama dari yang kedua ini. (Syarh Al Arba’in hal.210)

Sifat Malu yang Terpuji

Perlu diketahui bahwa malu adalah suatu akhlak yang terpuji kecuali jika rasa malu tersebut itu muncul karena enggan melakukan kebaikan atau dapat terjatuh dalam keharaman. Maka jika seseorang enggan untuk melakukan kebaikan seperti enggan untuk nahi mungkar (melarang kemungkaran) padahal ketika itu wajib, maka ini adalah sifat malu yang tercela.

Jadi ingat! Sifat malu itu terpuji jika seseorang yang memiliki sifat tersebut tidak menjadikannya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang haram. (Syarh Al Arba’in hlm.210)

Jika Tidak Malu, Lakukanlah Sesukamu

Para ulama mengatakan bahwa perkataan ini ada dua makna:

Pertama: Kalimat tersebut bermakna perintah dan perintah ini bermakna mubah. Maknanya adalah jika perbuatan tersebut tidak membuatmu malu, maka lakukanlah sesukamu. Maka makna pertama ini kembali pada perbuatan.

Kedua: Kalimat tersebut bukanlah bermakna perintah. Para ulama memiliki dua tinjauan dalam perkataan kedua ini:

• Kalimat perintah tersebut bermakna ancaman. Jadi maknanya adalah: Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu (ini maksudnya ancaman). Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

”Lakukanlah sesukamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu lakukan.”
(QS. Fushilat: 40).

Maksud ayat ini bukanlah maksudnya agar kita melakukan sesuka kita termasuk perkara maksiat. Namun, maksud ayat ini adalah ancaman: Jika kamu tidak memiliki rasa malu, lakukanlah sesukamu. Pasti engkau akan mendapatkan akibatnya.

• Kalimat perintah tersebut bermakna berita. Jadi maknanya adalah: Jika kamu tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu. Dan penghalangmu untuk melakukan kejelekan adalah rasa malu. Jadi bagi siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka dia akan terjerumus dalam kejelekan dan kemungkaran. Dan yang menghalangi hal semacam ini adalah rasa malu.

Kalimat semacam ini juga terdapat dalam hadits Nabi yang mutawatir,

مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

”Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan ambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kalimat ini adalah perintah, namun bermakna khabar (berita). Jadi jika tidak memiliki sifat malu, pasti engkau akan terjerumus dalam kemungkaran. Itu maksud perintah di sini bermakna berita. (Tawdhih Al Ahkam 4: 794, Darul Atsar Syarh Arba’in Syech Shalih Alu hlm.113 dan Syarh Arba’in Al Utsaimin hlm.207 Jami’ul Ulum wal Hikam hlm.255)

Sifat Malu Orang² Shaleh

Contoh akhlak yang mulia ini dapat dilihat pada Nabi Musa ’alaihis salam. Nabi Musa adalah pemalu dan selalu tertutup auratnya. Tidak pernah terlihat kulitnya karena malu. Kemudian Bani Israil mencelanya. Mereka sampai mengatakan bahwa Musa selalu tertutupi badannya karena dia terkena kusta atau penyakit kulit. (HR. Bukhari dan Muslim)

Sungguh generasi teladan yang pertama, yang telah mewarisi akhlaq mulia dari Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, mereka itu sangatlah pemalu. Di antara mereka yang dijadikan contoh yang mengagumkan dalam hal ini, hingga para malaikat pun malu kepadanya adalah Utsman bin Affan radhiyallahu ’anhu.
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

اَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ

“Yang paling jujur dalam rasa malu adalah Utsman.” (Hadits ini shahih, dishahihkan oleh Syech Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.1224)

Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga mengatakan tentang Utsman,

أَلاَ أَسْتَحِى مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِى مِنْهُ الْمَلاَئِكَةُ

”Apakah aku tidak malu pada seseorang yang para Malaikat saja malu kepadanya.”
(HR. Muslim no.6362)

Semoga Allah Ta'alaa menganugerahi kita semua rasa malu agar terbentuk akhlaq yang lebih mulia..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..

0 komentar: