Senin, 27 Februari 2017

MENGANGKAT TANGAN KETIKA BERDOA

02.40.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Mengangkat tangan ketika sedang berdoa adalah hal yang disyariatkan dalam Islam. Perbuatan ini merupakan salah satu adab dalam berdoa dan juga nilai tambah yang mendukung terkabulnya doa. Mari kita bahas secara rinci bagaimana hukum dan tata caranya.

Hukum Asal Mengangkat Tangan Ketika Berdoa

Tidak ane ketahui adanya perbedaan diantara para ulama bahwa pada asalnya mengangkat tangan ketika berdoa hukumnya sunnah dan merupakan adab dalam berdoa. Dalil² mengenai hal ini banyak sekali hingga mencapai tingkatan mutawatir ma’nawi. Diantaranya hadist Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا، إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya apa yang Allah perintahkan kepada orang mukmin itu sama sebagaimana yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para Rasul, makanlah makanan yang baik dan kerjakanlah amalan shalih’ (QS. Al Mu’min: 51).

Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang² yang beriman, makanlah makanan yang baik yang telah Kami berikan kepadamu’ (QS. Al Baqarah: 172).

Lalu Nabi menyebutkan cerita seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan panjang, hingga rambutnya kusut dan berdebu. Ia menengadahkan tangannya ke langit dan berkata: ‘Wahai Rabb-ku.. Wahai Rabb-ku..’ padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR. Muslim)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda,

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

“Sesungguhnya Allah itu sangat pemalu dan Maha Pemurah. Ia malu jika seorang lelaki mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada-Nya, lalu Ia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa” (HR. Abu Daud no.1488, At Tirmidzi no.3556, di shahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ 2070)

As Shan’ani menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat kedua tangan ketika berdoa. Hadits² mengenai hal ini banyak” (Subulus Salam 2/708)

Demikianlah hukum asalnya. Jika kita memiliki keinginan atau hajat lalu kita berdoa kepada Allah Ta’ala, kapan pun dimanapun, tanpa terikat dengan waktu, tempat atau ibadah tertentu, kita dianjurkan untuk mengangkat kedua tangan ketika berdoa.

Hukum Mengangkat Tangan Ketika Berdoa Dalam Suatu Ibadah

Banyak hadits² yang menyebutkan praktek mengangkat tangan dalam berdoa dalam beberapa ritual ibadah, diantaranya..

1. Ketika berdoa istisqa dalam khutbah

Sahabat Anas bin Malik Radhiallahu’anhu berkata,

كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه

“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)

Syech Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “maksudnya, dalam kondisi khutbah Nabi tidak pernah mengangkat kedua tangannya kecuali (jika dalam khutbah tersebut) beliau berdoa memohon hujan (istisqa)” (Syarhul Mumthi’ 5/215). Menunjukkan bahwa ini dilakukan ketika istisqa baik dalam khutbah istisqa, ataupun dalam khutbah yang lainnya.

2. Ketika berdoa qunut dalam shalat

Sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu,

فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا صَلَّى الْغَدَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا عَلَيْهِمْ

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setiap shalat shubuh beliau mengangkat kedua tangannya dan mendoakan keburukan bagi mereka” (HR. Ahmad no.12402, dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu 3/500)

Juga banyak diriwayatkan tentang hal ini dari perbuatan para sahabat Nabi, diantaranya Umar bin Khattab, diceritakan oleh Abu Raafi,

صليت خلف عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقنت بعد الركوع ورفع يديه وجهر بالدعاء

“Aku shalat di belakang Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu, beliau membaca doa qunut setelah ruku’ sambil mengangkat kedua tangannya dan mengeraskan bacaannya”
(HR. Al Baihaqi 2/212, dengan sanad yang shahih)

3. Ketika melempar jumrah

Berdasarkan hadits,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَمَى الجَمْرَةَ الَّتِي تَلِي مَسْجِدَ مِنًى يَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ تَقَدَّمَ أَمَامَهَا، فَوَقَفَ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ، رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو، وَكَانَ يُطِيلُ الوُقُوفَ، ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الثَّانِيَةَ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْحَدِرُ ذَاتَ اليَسَارِ، مِمَّا يَلِي الوَادِيَ، فَيَقِفُ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو، ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الَّتِي عِنْدَ العَقَبَةِ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ عِنْدَ كُلِّ حَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika melempar jumrah yang berdekatan dengan masjid Mina, beliau melemparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir pada setiap lemparan lalu berdiri di depannya menghadap kiblat, berdoa sambil mengangkat kedua tanganya. Berdiri di situ lama sekali. Kemudian mendatangi jumrah yang kedua, lalu melamparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir setiap lemparan, lalu menepi ke sisi kiri Al Wadi. Beliau berdiri mengahadap kiblat, berdoa sambil mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau mendatangi Jumrah Aqabah, beliau melemparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir setiap lemparan, lalu pergi dan tidak berhenti di situ” (HR. Bukhari no.1753)

4. Ketika wukuf di Arafah

Diceritakan oleh Usamah bin Zaid Radhiallahu’anhu,

 كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ «فَرَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُو

“Aku pernah dibonceng oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam di Arafah. Di sana beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa” (HR. An Nasa’i no.3993, Ibnu Khuzaimah no.2824, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa’i)

Dan masih banyak dalil yang lain.

Adapun mengangkat tangan ketika berdoa yang terkait suatu ritual ibadah, hukumnya kembali pada dalil² ibadah tersebut. Jika terdapat dalil bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa mengangkat tangan dalam ibadah tersebut, maka dianjurkan mengangkat tangan. Jika tidak ada dalil, maka tidak disyari’atkan mengangkat tangan.

Syech Abdul ‘Aziz bin Baaz berkata: “Banyak hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengangkat tangan ketika berdoa istisqa, ketika melempar jumrah yang pertama dan kedua, ketika di awal² hari tasyriq, ketika haji wada, dan pada tempat² yang lain. Namun setiap ibadah yang dilakukan di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, jika ketika melakukannya beliau tidak mengangkat kedua tangannya, berarti hal tersebut tidak disyariatkan kepada kita ketika melakukan ibadah tersebut. Ini dalam rangka meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang disyariatkan kepada kita adalah meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam melakukan suatu atau meninggalkan suatu (dalam ibadah)” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz 26/144).

Tata Cara Mengangkat Tangan Dalam Berdoa

Banyak sekali tata cara mengangkat tangan dalam berdoa yang ada dalam riwayat² dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat. Para ulama pun berselisih pendapat dalam sebagian tata cara tersebut. Namun khilaf ini merupakan khilaf tanawwu’ (variasi), dibolehkan mengambil mana saja dari variasi yang ada. Tetapi mengingkat banyak sekali praktek mengangkat tangan dalam berdoa yang beredar di masyarakat, hendaknya kita mencukupkan diri pada praktek² mengangkat tangan yang dijelaskan oleh para ulama dan tidak mengikuti cara² yang tidak diketahui asalnya.

Jika kita kelompokkan, praktek² mengangkat tangan dalam berdoa bisa dibagi menjadi tiga. Sebagaimana pembagian dari sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma,

المسألة أن ترفع يديك حذو منكبيك أو نحوهما والاستغفار أن تشير بأصبع واحدة والابتهال أن تمد يديك جميعا

“Al Mas’alah adalah dengan mengangkat kedua tanganmu sebatas pundak atau sekitar itu. Al Istighfar adalah dengan satu jari yang menunjuk. Al Ibtihal adalah dengan menengadahkan kedua tanganmu bersamaan” (HR. Abu Daud no.1489, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 6694)

Jenis pertama: Al Mas’alah.

Merupakan jenis yang umumnya dilakukan dalam berdoa. Bentuk ini juga yang digunakan ketika membaca doa qunut, istisqa dan pada beberapa rangkaian ibadah haji. Yaitu dengan membuka kedua telapak tangan dan mengangkatnya sebatas pundak, sebagaimana digambarkan oleh Ibnu ‘Abbas. Juga berdasarkan hadits,

إِذَا سَأَلْتُمُ اَللَّهَ فَاسْأَلُوهُ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلاَ تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا

“Jika engkau meminta kepada Allah, mintalah dengan telapak tanganmu, jangan dengan punggung tanganmu” (HR. Abu Daud no.1486, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.595)

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai detail bentuknya:

Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa kedua telapak tangan dibuka namun kedua tidak saling menempel, melainkan ada celah diantara keduanya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah 45/266)

Ulama Syafi’iyyah mengatakan telapak tangan mengarah ke langit dan punggung tangan ke arah bumi, boleh ditempelkan ataupun tidak. Ini dilakukan dalam doa untuk mengharapkan terkabulnya sesuatu. Sedangkan untuk mengharapkan hilangnya bala, punggung tangan yang menghadap ke langit, telapak tangan mengarah ke bumi (yaituAl Ibtihal). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah 45/266) 

Ulama Hanabilah berpendapat kedua tangan ditempelkan berdasarkan hadits,

كَانَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم إِذا دَعَا ضم كفيه وَجعل بطونهما مِمَّا يَلِي وَجهه

“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berdoa beliau menempelkan kedua telapak tangannya dan melihat pada kedua telapak tangannya” (HR. Ath Thabrani no.5226, sanad hadits ini dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al ‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya1/326). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah 45/266)

Syech Shalih Alu menjelaskan lebih detil jenis ini: “Mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka di depan dada, tepatnya di pertengahan dada. Umumnya bentuk ini yang digunakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam berdoa. Namun terkadang beliau berdoa di Arafah dengan cara begini: mengangkat kedua tangannya tepatnya dipertengahan dada lalu menengadahkannya sebagaimana orang yang meminta makanan, tidak meletakannya dekat wajah namun juga tidak jauh dari wajah dan masih dikatakan ada di pertengahan dada. Juga dengan membuka kedua telapaknya bagaikan orang miskin yang meminta makanan” (Syarh Arba’in An Nawawiyyah 1/112) 

Syech Bakar Abu Zaid menjelaskan cara lain: “Boleh juga seseorang menutup wajahnya dengan telapak tangannya dan kedua punggung tangannya menghadap kiblat” (Tas-hih Ad Du’a 1/117)

Jenis kedua: Al Istighfar.

Yaitu dengan mengangkat tangan kanan dan jari telunjuk menunjuk ke atas. Syech Shalih Alu mengatakan: “Cara ini khusus bagi khatib yang berdiri. Jika ia berdoa, cukup jari telunjuknya menunjuk ke atas. Ini simbol dari doa dan tauhidnya. Tidak disyariatkan bagi khatib mengangkat kedua tangannya (ketika berdoa) jika ia berkhutbah sambil berdiri di atas mimbar atau di atas benda lainnya, kecuali jika sedang berdoa istisqa (maka boleh mengangkat kedua tangan)” (Syarh Arba’in An Nawawiyyah 1/112).

Termasuk dalam jenis ini, khatib jum’at yang membaca doa, yang sesuai sunnah adalah dengan mengacungkan telunjuknya ke langit ketika sedang berdoa.

Dalil dari jenis ini diantaranya hadits,

عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ، قَالَ: رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ، فَقَالَ: «قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ»

“Dari ‘Umarah bin Ru’aybah, ia berkata bahwa ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya (ketika menjadi khatib) di atas mimbar. ‘Umarah lalu berkata kepadanya: ‘Semoga Allah memburukkan kedua tanganmu ini, karena aku telah melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika menjadi khatib tidak menambah lebih dari yang seperti ini, (Umarah lalu mengacungkan jari telunjuknya)‘” (HR. Muslim no.847)

Jenis ketiga: Al Ibtihal.

Yaitu dengan bersungguh² mengangkat kedua tangan ke atas dengan sangat tinggi hingga terlihat warna ketiak. Boleh juga hingga punggung tangan menghadap ke langit dan telapaknya menghadap ke bumi. Jenis ini dilakukan ketika keadaan benar² sulit, mendapat musibah yang sangat berat, sedang sangat² mengharapkan sesuatu, atau berdoa dalam keadaan sangat berduka, atau ketika istisqa (memohon hujan).

Diantara dalil dari jenis ini adalah hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu,

كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه

“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031 dan Muslim no.895)

Juga dalam hadits lain dari Anas bin Maalik Radhiallahu’anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى، فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ

“Pernah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ber-istisqa (meminta hujan), beliau mengarahkan punggung tangannya ke langit” (HR. Muslim no.895)

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

BERPAKAIAN YANG BAGUS DAN SEDERHANA

02.31.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Kita diperintahkan berpakaian sederhana, namun bukan berarti sengaja menampakkan diri miskin seperti tak punya apa². Tetap menampakkan nikmat Allah yang telah diberikan, itu lebih baik dan Allah sangat suka dengan hal itu.

Meninggalkan Pakaian Bagus dalam Rangka Tawadhu

Itu judul bab yang dibawakan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin ketika membawakan hadits berikut ini..

Dari Mu’adz bin Anas, ia berkata,

مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسِ تَوَاضُعًا لِلَّهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَىِّ حُلَلِ الإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا

“Barangsiapa yang meninggalkan pakaian (yang bagus) disebabkan tawadhu (merendahkan diri) di hadapan Allah, sedangkan ia sebenarnya mampu, niscaya Allah memanggilnya pada hari kiamat di hadapan segenap makhluk dan ia disuruh memilih jenis pakaian mana saja yang ia kehendaki untuk dikenakan.” (HR. Tirmidzi no.2481 dan Ahmad 3: 439. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Syech Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah ketika menerangkan hadits di atas dalam penjelasan kitab Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi, beliau berkata:

Jika seseorang berada di tengah² orang yang hidupnya sederhana, maka janganlah ia berpenampilan terlalu mewah. Kalau ia mau mengambil sikap tawadhu (rendah diri), maka berpakaianlah seperti pakaian mereka. Biar hati mereka tidak merasa kerdil dan juga bukan tanda sombong. Inilah membuat seseorang mendapatkan pahala yang besar.

Namun jika seseorang berada di sekitar orang yang berpakaian bagus, maka lebih pantas ia memakai pakaian semisal mereka, karena Allah itu jamil (indah) dan menyukai suatu yang indah. Karena kalau seseorang berpakaian sederhana di tengah² orang² yang berpakaian bagus, maka ia akan tampil beda. Jadi seseorang dalam berpakaian bisa menyesuaikan kondisi.

Intinya Syech Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin merinci menjadi dua:

1. Jika seseorang melihat di sekelilingnya berpakaian sederhana, padahal ia mampu mengenakan pakaian yang bagus, maka berpakaian seperti itu adalah pahala yang besar.

2. Jika seseorang melihat di sekitarnya berpakaian yang bagus, maka tidak mengapa ia memakai semisal itu pula.

Maksud Syech rahimahullah, berarti tidak selamanya memakai pakaian yang sederhana, namun melihat pada kondisi kapan dan di mana berpakaian (Syarh Riyadhus Sholihin 4: 317-318).

Tidak Mesti Berpakaian Hina

Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ

“Sesungguhnya Allah suka melihat tampaknya bekas nikmat Allah kepada hamba-Nya.”
(HR. Tirmidzi no.2819 dan An Nasai no.3605. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Syech Muhammad Al Utsaimin menerangkan bahwa hendaklah setiap orang bersederhana dalam setiap aktivitasnya. Hendaklah ia bersederhana dalam pakaian, makan, dan minum. Namun jangan sampai ia menyembunyikan nikmat Allah. Karena Allah amatlah suka jika melihat bekas nikmat pada hamba-Nya.

Jika nikmat tersebut berupa harta, maka Allah sangat senang jika hamba memanfaatkan nikmat tersebut untuk berinfak, bersedekah, dan menolong dalam kebaikan.

Jika nikmat tersebut berupa ilmu, maka Allah sangat senang jika ilmu tersebut diamalkan sehingga baik ibadah dan muamalahnya, juga ilmu tersebut disebar dengan dakwah dan mengajari orang lain.

Jika malah sebaliknya, saat Allah sudah memberikan nikmat harta sehingga mampu sebenarnya membeli pakaian, kok malah ia keluar di hadapan orang lain dalam keadaan fakir (seakan tak punya apa²). Ini hakekatnya menolak atau menentang nikmat Allah. Sama halnya jika orang diberi harta, lantas ia tidak memanfaatkannya untuk infak atau memenuhi kewajiban dari harta.

Begitu pula dengan nikmat ilmu, kalau tidak dimanfaatkan untuk menambah ibadah, khusyu dalam ibadah atau baik dalam muamalah, atau tidak dimanfaatkan untuk mengajarkan orang lain, maka ini pun tanda menyembunyikan nikmat Allah. (Syarh Riyadhus Sholihin 4: 318-319).

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..