Rabu, 03 Agustus 2016

INSYA ALLAH ATAU INSHAA ALLAH

16.58.00 Posted by Admin No comments

Untuk menjawab atas pertanyaan Mba Aty soal penulisan yang bener Insya Allah atau Inshaa Allah'..

Akhie dan Ukhtie, sebenarnya manakah yang lebih tepat jika ditulis tidak menggunkan huruf Arab, Insya Allah atau In Shaa Allah?

Pertama-tama, bahasa Arab dan bahasa Indonesia tentu berbeda, bila bahasa Indonesia disusun berdasarkan huruf alfabet A-B-C dan seterusnya, sama seperti bahasa Inggris, tidak dengan bahasa Arab. Bahasa Arab tersusun dari huruf hijaiyah semisal ا (alif), ب (ba), ت (ta) dan seterusnya.

Perbedaan inilah yang akhirnya mengharuskan adanya transliterasi (penulisan bahasa asing kedalam bahasa Indonesia), misalnya, kata الله dalam bahasa Arab, bila di-transliterasikan ke dalam bahasa Indonesia bisa jadi “Allah”, “Alloh”, “Awloh” atau apapun yang senada dengan bacaan asli Arabnya, tergantung kesepakatan transliterasi.

إن   = bila
شاء = menghendaki
الله  = Allah

jadi artinya إن شاء الله = bila Allah berkehendak

Kembali ke transliterasi, tergantung kesepakatan kita mau mentransliterasikan huruf ش jadi apa? “syaa” atau “shaa”?

Kalau di negeri berbahasa Inggris, kata ش diartikan jadi “shaa”, berbeda dengan di Indonesia, karena di Indonesia, “shaa” sudah ditransliterasikan dari huruf ص.

Terkait tanggapan yang mentakan “InsyaAllah” berarti artinya “menciptakan Allah”, yang satu ini beda lagi masalahnya karena إنشاء (menciptakan/membuat) beda dengan إن شاء (bila menghendaki). Pemakaiannya dalam kalimat berdasarkan kaidah bahasa Arab pun berbeda bunyinya,

bila إن شاء الله dibacanya “InsyaAllahu” (bila Allah menghendaki)
bila إنشاء الله dibacanya “Insyaullahi” (menciptakan Allah)

Kesimpulannya?

Jadi kalau kita nulis menggunakan “InsyaAllah”, atau “In Syaa Allah”, atau “In Shaa Allah” bacanya sama saja dan artinya juga sama saja, yaitu “bila Allah menghendaki”, jadi tak ada arti lainnya. Kalau mau aman lebih baik menggunkan huruf Arab sekalian..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

SUJUD YANG TURUN LUTUT ATAU TANGAN DULUAN

03.51.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum..
Sore akhie ukhtie'..

SUJUD YANG TURUN LUTUT ATAU TANGAN DULUAN, berikut penjabaran nye yang ane sertain dalil² nye..

Tentang meletakkan tangan lebih dulu atau lutut lebih dahulu sewaktu akan sujud.
Para ulama telah berselisih tentang masalah ini, tetapi yang rajih lagi shahih adalah meletakkan kedua tangan lebih dahulu, karena dalilnya shahih, dan maknanye jelas!

DALIL MELETAKKAN TANGAN LEBIH DAHULU SEWAKTU AKAN SUJUD

1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“Jika salah seorang dari kamu (berkehendak) sujud, maka janganlah dia menderum sebagaimana menderumnya onta, maka hendaklah dia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.

Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad II/381, Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/70), An-Nasa-I II/207, Ad-Darimi I/245, Al-Bukhari di dalam At-Tarikhul Kabir I/1/139, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/245, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:158-159), Ad-Daruquthni I/344-345, Al-Baihaqi II/99-100, Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla IV/128-129, Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah III/134-135, dari jalan Ad-Darawurdi, dia berkata: Muhammad bin Abdillah Al-Hasan bercerita kepada kami, dari Abuz Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syech Abu Ishaq Al-Huwaini berkata: “Isnadnya shahih, tidak ada kesamaran. Tetapi Syeikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya yang istimewa, Zadul Ma’ad, menyebutkan beberapa cacatnya, tetapi berdasarkan penelitian tidak-lah demikian”

2 .Hadits Abu Hurairah yang shahih di atas dikuatkan lagi oleh hadits Ibnu ‘Umar:

قَالَ نَافِعٌ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ n يَفْعَلُ ذَلِكَ

“Nafi’ berkata: “Kebiasaan Ibnu ‘Umar meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.

Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam Shahihnya secara ta’liq (tanpa menyebutkan sanadnya-Red), dan disambungkan sanadnya oleh Ibnu Khuzaimah I/318-319, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/254, Ad-Daruquthni I/344, Al-Hakim I/226, Al-Baihaqi II/100, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:160), dari jalan Ad-Darawurdi, dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar.

Syech Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan bahwa Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan hadits itu memang sebagaimana yang dikatakan oleh keduanya”.

3. Al-Mawirzi menyebutkan di dalam “Masailnya” dengan sanad yang shahih dari Al-Auza’I, bahwa dia mengatakan: “Aku mendapati orang-orang meletakkan tangan mereka sebelum lutut mereka”.

Riwayat ini disebutkan oleh Al-Albani di dalam Shifatush Shalat, dan beliau menyatakan: “Ibnu Sayyidinnas berkata: “Hadits-hadits yang mendahulukan kedua tangan lebih kuat”.

Ibnu Hazm berkata: “Kewajiban bagi setiap orang yang shalat jika bersujud, untuk meletakkan kedua tangannya ke tanah sebelum kedua lututnya, dan itu harus”. (Al-Muhalla IV/129)

DALIL MELETAKKAN LUTUT LEBIH DAHULU SEWAKTU AKAN SUJUD DAN BANTAHANNYA.

1. Dari Wail bin Hujr, dia berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau bersujud meletakkan kedua lutunya sebelum kedua tangannya, dan jika beliau bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.

Hadits Dha’if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (‘Aunul Ma’bud III/68-74), An-Nasa-i II/206-207, Ibnu Majah I/287, Ad-Darimi I/245, Ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’anil Atsar I/255, Ad-Daruquthni I/345, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak (I/226), Ibnu Hibban (487), Al-Baihaqi II/98, Al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah III/133, Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal:160-161) dari jalan Syarik An-Nakh’i, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari Wail bin Hujr.

• Tirmidzi berkata: “Ini hadits Hasan Gharib. Kami tidak mengetahui seorangpun meriwayatkan seperti ini dari Syarik”.
• Al-Baghawi dan Al-Hazimi mengikutinya, dan berkata: “Hadits Hasan”.
• Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.

Tetapi pernyataan di atas terhadap hadits ini tertolak, dengan penjelasan sebagai berikut:
• Ad-Daruquthni berkata: “Yazid bin Harun meriwayatkan sendirian dari Syarik, dan tidak ada yang menceritakan dari ‘Ashim bin Kulaib kecuali Syarik. Sedangkan Syarik tidaklah begitu kuat jika dia meriwayatkan sendirian”.
• Al-Baihaqi (II/101)berkata: “Isnadnya dha’if”. Dia juga berkata: “Hadits ini dihitung sebagai hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh Syarik Al-Qadhi, dan dia hanyalah diikuti oleh Hammam dari jalan ini, tetapi secara mursal (hanya sampai sahabat, tidak dari Nabi-Red), inilah yang disebutkan oleh Al-Bukhari dan para hafizh terdahulu lainnya rahimahumullah”.
• Ibrahim bin Sa’id Al-jauhari berkata: “Syarik telah keliru di dalam 400 hadits”.
• An-Nasa-i berkata: “Dia tidaklah kuat”.
• Yahya bin Sai’d juga sangat melemahkannya.
• Syeikh Abu Ishaq Al-Huwaini menyatakan: “Perkataan dari para mereka inilah yang menentramkan jiwa seorang yang adil. Karena sesungguhnya tidaklah diketahui yang mengikuti Syarik kecuali Hammam, itupun Hammam menyelisihinya dalam isnadnya.
Sedangkan Syarik adalah perawi yang buruk hafalannya, sedangkan perawi yang buruk hafalannya tidaklah dipakai sebagai hujjah jika dia bersendirian, apalagi jika dia menyelisihi!”.
• Beliau juga menyatakan: “Dengan demikian perkataan Tirmidzi bahwa hadits itu Hasan, tidak-lah hasan (baik), lebih berat lagi perkataan Al-Hakim bahwa hadits itu: “Shahih berdasarkan syarat Muslim”, walaupun disepakati oleh Adz-Dzahabi! Karena imam Muslim hanyalah menggunakan Syarik sebagai mutaba’ah (penguat), tidak menjadikannya sebagai hujjah, maka bagaimana dia ternasuk syarat imam Muslim. Hal itu juga sudah dinyatakan dengan terang-terangan oleh Adz-Dzahabi sendiri di dalam Al-Mizan, tetapi seolah-oleh dia terlupa darinya, maka Maha Suci Allah yang tidak pernah luap”

2. Sama dengan hadits di atas, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi, namun dari jalan Hammam, dia berkata: “Muhammad bin Juhadah telah menceritakan kepada kami dari ‘Abdul Jabbar bin Wail bin Hujr, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tetapi hadits ini lemah, karena Abdul Jabbar tidak mendengar dari bapaknya, sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh di dalam At-Talkhish I/254, sehingga Al-Hafizh Al-Hazimi tidak menganggap jalan ini sama sekali. Dia berkata (hal:161): “Yang mursal itulah yang lebih kuat”.

Dengan demikian jelaslah bahwa hadits Wail di atas memiliki dua cacat:
1. Kelemahan Syarik.
2. Penyelisihan Hammam.

3.Hadits Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beilau bersabda:

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَلاَ يَبْرُكْ كَبُرُوْكِ الْفَحْلِ

“Apabila salah seorang dari kamu bersujud, maka janganlah dia memulai dengan kedua lututnya, dan janganlah dia mendekam sebagaimana mendekamnya binatang jantan”.

Dalam lafazh lain dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَنَّهُ كَانَ إِذَا سَجَدَ بَدَأَ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ

“Bahwa beliau apabila bersujud, beliau memulai dengan kedua lututnyasebelum tangannya”. [Hadits Dha’if]

Kedua hadits ini asalnya satu, riwayat Ibnu Abi Syaibah I/263; Ath-Thahawi I/255; Al-Baihaqi II/100; dari jalan Muhammad bin Fudhail, dari Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, secara marfu’ (dari Nabi). Hadits ini memiliki cacat, yaitu Abdullah bin Sa’id ini telah dinyatakn dusta oleh Yahya Al-Qaththan.

Ahmad berkata: “Haditsnya munkar dan ditinggalkan”. Ibnu ‘Adi berkata: “Kebanyakan yang dia riwayatkan kelemahannya nyata”. Al-Hakim Abu Ahmad berkata: “Orang yang haditsnya pergi (lemah)”. Al-Hafizh berkata di dalam Fathul Bari II/291: “Isnadnya dha’if.

4. Hadits Anas bin Malik, dia berkata:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهَ n انْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ فَسَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dengan bertakbir, kedua lututnya mendahului kedua tangannya”.

Hadits Dha’if. Riwayat Ad-Daruquthni I/345; Al-Hakim I/226; Al-Baihaqi II/; Ibnu Hazm di dalam Al-Muhalla IV/129; Al-Hazimi di dalam Al-I’tibar (hal: 159); dari jalan Al-‘Ala’ bin Isma’il Al-‘Aththar, dia berkata: Hafsh bin Ghayyats telah bercerita kepada kami, dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari Anas.

• Ad-Daruquthni, juga diikuti Al-Baihaqi, berkata: “Al-‘Ala’ bin Isma’il bersendirian (meriwayatkan) dari Hafsh di dalam isnad ini “.
• Al-Hafizh berkata di dalam At-Talkhish I/254: “Al-Baihaqi berkata di dalam Al-Ma’rifah: Al-‘Ala’ bin (meriwayatkan) sendirian, sedangkan dia itu majhul (tidak dikenal)”. Ibnul Qayyim menyetujuinya.
• Setelah diketahui cacat hadits ini, maka tertolaklah perkataan Al-Hakim bahwa hadits ini: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, walaupun disepakati oleh Adz-Dzahabi!
• Ibnu Abi Hatim menukilkan tentang hadits ini dari bapaknya di dalam Al-‘ilal I/188: “Hadits Munkar”. Ibnul Qayyim menyetujuinya.
• Cacat lain hadits ini adalah, bahwa ‘Umar bin Hafsh, perawi yang paling terpercaya yang meriwayatkan dari bapaknya (Hafsh bin Ghayyats), telah menyelisihi Al-‘Ala’ (perawi hadits di atas). Yaitu dia meriwayatkan dari bapaknya bahwa Umar bin Khaththab-lah yang meletakkan dua tangannya itu lebih dulu sebelum dua lututnya.

Umar bin Hafsh bin Ghayyats berkata: bapak-ku telah bercerita kepada kami, dia berkata: A’masy telah bercerita kepada kami, dia berkata: Ibrahim telah bercerita kepada kami, dari para sahabat Abdullah, yaitu: ‘Alqamah dan Al-Aswad, keduanya berkata:

حَفِظْنَا عَنْ عُمَرَ فِيْ صَلاَتِهِ أَنَّهُ خَرَّ بَعْدَ رُكُوْعِهِ عَلَي يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“Kami menghafal dari Umar (bin Al-Khathtahb) di dalam shalatnya, bahwa dia turun setelah ruku’nya di atas kedua tangannya sebelum kedua lututnya”.

Dan cacat ini telah diakui oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam Al-Lisan, dia berkata: “Umar bin Hafsh bin Ghayyats telah menyelisihi-nya (Al-‘Ala’), sedangkan dia adalah manusia yang paling terpercaya yang meriwayatkan dari bapaknya, dia meriwayatkan dari bapaknya, dari A’masy, dari Ibrahim, dari‘Alqamah, dan lainnya, dari Umar (bin Al-Khathtahb) secara mauquf (hanya sampai sahabat Umar), inilah yang mahfuzh (lebih terjaga)”.

Dikatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah, seandainya hadits ini shahih, tetap tidak dapat menjadi hujjah, karena dua perkara:
• Di dalam hadits Anas ini tidak ada keterangan bahwa Rasulullah n meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, karena yang disebutkan hanyalah kedua lutut dan kedua tangan saja. Bisa jadi yang mendahului itu adalah gerakan keduanya, bukan di dalam meletakkannya. Dengan demikian kedua riwayat itu sesuai.
• Jika di dalam hadits itu ada dalil meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, maka itu menunjukkan asal perbuatan itu boleh. Tetapi hadits Abu Hurairah menambah syari’at baru –tanpa keraguan- yaitu menghilangkan kebolehan tersebut, melarangnya –dengan yakin- , maka tidak boleh meninggalkan yang yakin karena persangkaan yang dusta!”

4.Hadits Sa’ad bin Abi Waqqas, dia berkata:

كُنَّا نَضَعُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ الْرُكْبَتَيْنِ فَأُمِرْنَا بِوَضْعِ الْرُكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ

“Kami dahulu meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, kemudian kami diperintahkan untuk meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan”.

Hadits Dha’if. Riwayat Ibnu Khuzaimah I/319 dan Al-Baihaqi I/100, dari jalan Ibrahim bin Isma’il bin Yahya Ibnu Salamah bin Kumail, dia berkata: bapakku telah menceritakan kepadaku, dari bapaknya, dari Salamah, dari Mush’ab Ibnu Sa’ad bin Abi Waqqash, dari bapaknya.

Sebagian ulama (seperti: Al-Khaththabi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnul Qayyim) menyatakan bahwa hadits ini menasakh (menghapuskan) hadits yang melarang meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan. Tetapi pendapat mereka tertolak, karena hadits ini dha’if, sedangkan yang dinasakh (dihapuskan) adalah hadits yang shahih! Bagaimana bisa diterima hadits dha’if menasakh (menghapuskan) hadits shahih?

Hadits ini memiliki dua cacat:
• Tentang Ibrahim bin Isma’il ini, Ibnu Hibban dan Ibnu Numair berkata: “Di dalam riwayatnya dari bapaknya terdapat sebagian hal-hal yang mungkar”. Dan Al-‘Uqaili menyatakan: “Ibrahim tidaklah menegakkan hadits itu”.
• Bapaknye, yaitu Isma’il bin Yahya, perawi matruk (yang ditinggalkan), sebagaimana dikatakan oleh Al-Azdi dan Ad-Daruquthni. Dan Ibnu Hajar juga telah mengisyaratkan hal itu di dalam Fathul Bari: “Ibnu Khuzaimah menyangka adanya naskh (penghapusan hukum), seandainya hadits yang menghapuskan itu shahih, niscaya hal itu telah menyelesaikan perselisihan. Tetapi hadits itu termasuk hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibrahim bin Isma’il bin Yahya Ibnu Salamah bin Kumail dari bapaknye, sedangkan keduanya lemah”.

Syeikh Al-Albani ketika membantah pernyataan Al-Khaththabi tentang naskh (penghapusan hukum) tersebut, menyatakan: “ Hafizh Al-Hazimi berkata: “Persangkaan Al-Khaththabi tentang naskh (penghapusan hukum) ini jauh dari kebenaran, karena dua sisi:
• Bahwa hadits Abu Hurairah (yang dihapuskan) isnadnya shahih, sedangkan hadits Wail dha’if.
• Bahwa hadits Abu Hurairah (yang dihapuskan) merupakan perkataan, sedangkan hadits Wail perbuatan. Sedangkan perkataan didahulukan dari pada perbuatan pada saat adanya pertentangan. Ada lagi sisi ketiga, yaitu bahwa hadits Abu Hurairah memiliki penguat dari perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mengambil perbuatan beliau yang sesuai dengan perkataannya lebih utama daripada mengambil perbuatan beliau yang menyelisihi perkataannya. Ini adalah jelas, tidak akan tersembunyi, insya Allah. Dan itulah pendapat Malik, dan Ahmad, sebagaimana disebutkan di dalam At-Tahqiq karya Ibnul Jauzi”. (Al-Misykah I/282)

5. Hadits Wail bin Hujr, dia berkata:

صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ ثُمَّ سَجَدَ فَكَانَ أَوَّلَ مَا وَصَلَ إِلَي اْلأَرْضِ رُكْبَتَاهُ

“Aku shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian belaiu bersujud, maka yang pertama kali sampai ke bumi adalah kedua lututnya”.

Hadits Dha’if. Riwayat Al-Baihaqi II/99, dari jalan Muhammad bin Hujr, dia berkata: Sa’id bin Abdul Jabar bin Wail telah menceritakan kepada kami, dari ibunya, dari Wail bin Hujr. Hadits ini memiliki dua cacat:
• Muhammad bin Hujr ini, Al-Bukhari berkata: “Padanya ada beberapa pandangan”. Adz-Dzahabi berkata: “Dia memiliki riwayat-riwayat yang mungkar”.
• Sa’id bin Abdul Jabar, Nasai berkata: “Dia tidaklah kuat”.
Dan dia bukanlah Sa’id bin Abdul Jabar Al-Qurasyi, karena perawi ini termasuk guru imam Muslim.[8]

6. “Bahwa Abdullah bin Mas’ud biasa meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya”.
Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi I/256, dari jalan Hammad bin Salamah dari Al-Hajjaj bin Artha-ah, Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Dihafal dari Abdullah bin Mas’ud bahwa kedua lututnya turun ke tanah sebelum kedua tangannya”.

Tetapi isnadnya dha’if, lemah, selain juga mauquf (hanya sampai sahabat). Al-Hajjaj bin Artha adalah perawi lemah dan mudalis (perawi yang suka menyamarkan hadits), dan dia telah menggunakan perkataan yang menunjukkan tadlis (penyamaran). Kemudian bahwa Ibrahim An-Nakha’i tidak bertemu Abdullah bin Mas’ud. Seandainya shahih-pun, maka riwayat ini bukanlah hujjah, karena riwayatnya mauquf, sedangkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dipertentangkan dengan perbuatan sahabat.

SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
Syeikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam Zadul Ma’ad, menyebutkan beberapa cacat hadits Abu Hurairah (hadits no:1), yang kemudian hal itu diikuti oleh orang-orang lain setelah beliau!, tetapi berdasarkan penelitian tidak-lah demikian, inilah secara ringkas bantahan terhadap hal tersebut:
1. “Bahwa hadits Wail (meletakkan tangan dahulu) lebih kuat dari pada hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu)”.

Bantahan : Penjelasan kami di atas telah menunjukkan bahwa hadits Wail adalah hadits dha’if, sedangkan hadits Abu Hurairah adalah hadits shahih.

2. Bahwa hadits Abu Hurairah kemungkinan matannya (teksnya) terbalik dari sebagian perawi, karena awal perkataan menyelisihi akhir perkataan. Kemungkinan yang benar: “Hendaklah ia meletakkan dua lututnya lebih dahulu daripada dua tangannya”. Sebagaimana diriwayatkan pada hadits lain.

Bantahan: Bahwa hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu) adalah shahih, dan seluruh hadits yang bertentangan dengan ini adalah dha’if, sehingga tidak dapat diterima membikin kemungkinan-kemungkinan berdasarkan hadits yang dha’if.

3. Bahwa jika hadits Abu Hurairah shahih, maka hadits itu mansukh (dihapuskan hukumnya).

Bantahan : Hadits-hadits yang dikatakan menghapuskan semuanya dha’if sebagaimana di atas, sehingga pernyataan itu tidak dapat diterima.

4. Hadits Abu Hurairah matannya (teksnya) mudh-tharib (goncang), sehingga termasuk lemah.

Bantahan : Hadits mudh-tharib (goncang) adalah hadits yang diriwayatkan dengan teks yang berbeda-beda, yang hampir sama. Lalu perbedaan itu mungkin dari satu perawi, yaitu seorang perawi meriwayatkan dengan teks yang berbeda-beda, atau dari banyak perawi yang setiap perawi meriwayatkan teks yang berbeda-beda dari perawi yang lain. Mudh-tharib (kegoncangan) ini menunjukkan lemahnya hadits.

Tetapi jika salah satu dari riwayat, atau beberapa riwayat dapat dinyatakan lebih kuat daripada yang lain, dengan kekuatan hafalan perawinya, atau lama bergaulnya, atau lain-lain bentuk tarjih (penguatan), maka yang dipegangi adalah yang lebih kuat, dan hadits itu bukan menjadi hadits mudh-tharib. Inilah kaedah yang telah dibuat oleh para pendahulu kita tentang hadits yang diperselisihkan dalam masalah hadits mudh-tharib.

Jika hal ini telah diketahui, maka hadits Abu Hurairah ini tidak termasuk hadits mudh-tharib, karena telah diketahui mana yang lebih kuat di antara riwayat yang diperselisihkan.

5. Bahwa perawi hadits Abu Hurairah ada pembicaraan. Al-Bukhari berkata: “Aku tidak mengetahui apakah Muhammad bin Abdillah Al-Hasan mendengar dari Abuz Zinad atau tidak…”

Bantahan : Perkataan imam Al-Bukhari ini bukanlah celaan sama sekali, karena syarat Al-Bukhari telah ma’ruf, sedangkan mayoritas ulama menyelisihinya, yaitu mereka berpendapat perawi dapat diterima dengan hidup semasa dengan yang diambil riwayatnya dan aman dari tadlis (penyamaran).

Ibnu Turkumani berkata di dalam Al-Jauhar An-Naqi: “Muhammad bin Abdillah Al-Hasan dinyatakan terpercaya oleh Nasa-i, sedangkan perkataan Al-Bukhari bahwa dia (Muhammad) tidak diikuti haditsnya bukanlah celaan yang nyata, sehingga tidak bertentangan dengan pernyataan terpercaya oleh Nasa-i (terhadap : “Muhammad bin Abdillah Al-Hasan)”.

Al-Mubarakfuri berkata di dalam Tuhfatul Ahwadzi II/135: “Sedangkan perkataan Al-Bukhari bahwa dia (Muhammad) tidak diikuti haditsnya, maka tidaklah mengapa, karena Muhammad bin Abdillah Al-Hasan adalah perawi yang terpercaya, dan haditsnya memiliki penguat dari hadits Ibnu Umar”.

Juga Asy-Syaukani telah menyatakan demikian di dalam Nailul Authar II/284.
Syeikh muhaddits Abul Asybal Ahmad bin Muhammad Syakir berkata di dalam komentarnya terhadap Al-Muhalla IV/128-130, setelah membawakan hadits Abu Hurairah: “Isnad hadits ini shahih, Muhammad bin Abdillah Al-Hasan, adalah nafsu zakiyah (ini gelarnya, yang artinya jiwa yang suci-Red), dia seorang yang terpercaya”. Al-Bukhari telah menyatakan cacat hadits itu bahwa dia tidak mengetahui apakah Muhammad bin Abdillah Al-Hasan mendengar dari Abuz Zinad atau tidak, tetapi ini bukanlah cacat yang (merusakkan), karena syarat Al-Bukhari telah ma’ruf tidak diikuti oleh seorangpun, sedangkan Abuz Zinad wafat di Madinah th 130 H, dan Muhammad adalah orang Madinah juga, menguasai Madinah, lalu terbunuh th 145 H, dengan umur 53 th, sehingga telah bertemu lama dengan Abuz Zinad”.

6. Ad-Daruquthni menyatakan bahwa “Ad-Darawurdi sendirian menceritakan dari Muhammad bin Abdillah Al-Hasan. Juga Ash-bagh bin Al-Faraj sendirian menceritakan dari Ad-Darawurdi”.

Bantahan:
• Ad-Darawurdi perawi terpercaya, sehingga meriwayatkan sendirian tidak membahayakan.
• Sebenarnya dia tidak bersendirian , bahkan telah diikuti oleh Abdullah bin Nafi’ dari Muhammad bin Abdullah, Pada riwayat Abu Dawud (841), Nasa-I II/208, Tirmidz II/57-58 (Syakir). Perkataan Ad-Daruquthni itu telah dibantah oleh Al-Hafizh Al-Mundziri dengan pernyatan seperti itu. Dan Asy-Syaukani berkata: “Tidak mengapa bersendiriannya Ad-Darawurdi, karena imam Muslim telah mengeluarkan riwayatnya dan berhujjuh dengannya di dalam Shahih Muslim, demikian juga imam Bukhari mengeluarkan riwayatnya dan berhujjuh dengannya”.

Dan hal ini diakui oleh Al-Mubarakfuri penulis Tuhfatul Ahwadzi.

7. Bahwa hadits Wail (meletakkan tangan dahulu) memiliki riwayat-rawayat lain yang menguatkan, sedangkan hadits Abu Hurairah (meletakkan lutut lebih dahulu) tidak.

Bantahan : Sesungguhnya hadits Abu Hurairah adalah shahih, dan memiliki riwayat-rawayat shahih lain yang menguatkan. Sedangkan hadits Wail adalah hadits lemah, dan seluruh riwayat-rawayat lain yang menguatkan juga lemah, sebagaimana telah dipaparkan di atas.

8. Syeikhul Islam Ibnul Qayyim berkata: “Lutut onta tidaklah pada tangannya, dan jika mereka mengistilahkan dua tangan itu dengan dua lutut, maka itu hanyalah secara umum! Dan bahwa pendapat lutut onta pada tangannya itu tidak dikenal oleh ahli bahasa”.

Bantahan : “Syech Abu Ishaq Al-Huwaini berkata: “Perkataan ini perlu diperiksa, lutut onta adalah pada tangannya, itulah yang dinyatakan oleh ahli bahasa, walaupun diingkari oleh Syeikhul Islam (Ibnul Qayyim).

Ibnul Mandzur berkata di dalam Lisanul ‘Arab XIV/236: “Dan lutut onta pada tangannya”.

Al-Azhari berkata di dalam Tahdzibul Lughah X/216: “Dan lutut onta pada tangannya”.

Ibnul Sayyidah berkata di dalam Al-Muhkam wal Muhith VII/16: “Dan setiap yang memiliki empat kaki dua lututnya pada kedua tangannya”.

Ibnu Hazm berkata di dalam Al-Muhalla IV/129: “Dan kedua lutut onta adalah pada lengan (tangan)nya”.

Mengomentari perkataan Abu Hurairah dengan sanad yang shahih: “Janganlah salah seorang dari kamu menderum seperti menderumnya onta lari”, As-Saraqasbithi berkata di dalam Gharibul Hadits II/70: “Ini adalah di dalam sujud, yaitu janganlah seseorang menjatuhkan dirinya sama sekali sebagaimana dilakukan onta lari yang tidak tenang terus menerus, tetapi hendaklah dia turun dengan tenang meletakkan kedua tangannya lalu kedua lututnya”. [Sifat Shalat Nabi, Al-Albani]

Demikian juga hal itu dikuatkan oleh kisah Suraqah bin Malik riwayat Bukhari VII/239 dan Ahmad IV/176 : “…Dan terbenamlah kedua tangan onta kudaku ke dalam tanah sampai mencapai lututnya”. Ini menunjukkan bahwa lutut onta pada tangannya. Sehingga Syeikhul Islam Ibnul Qayyim tidak memiliki pegangang dalam hal ini. Al-hamdulillah atas seluruh taufik Allah. Dan tempat bergantung pembahasan ini adalah masalah lutut onta, dan bahwa jika telah pasti onta mendekam dengan kedua lututnya, maka wajib bagi orang yang shalat untuk tidak bersujud dengan meletakkan lututnya (dahulu sebelum tangannya). Dengan ini mudah-mudahan kemusykilan menjadi hilang, al-hamdulillah Yang Maha Tinggi”.

"Semoga jadi ilmu manfaat"

KHUSYU

03.33.00 Posted by Admin No comments

Buat Akhi Beny biar lebih jelas dan lebih paham lagi mengenai khusyu, Berikut ane akan jabarin mengenai khusyu untuk melengkapi penjelasan dari ustad Hendra'..

Sebagaimana kite semua tau, sesungguhnya Ibadah shalat merupakan sebaik-baiknya amal, ia mempunyai kedudukan yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, ibadah inilah yang membedakan antara orang mukmin dan kafir. Ia merupakan ibadah yang mampu melebur dosa seseorang. Ketika seorang mukmin mengetahui betapa pentingnya shalat dan begitu mulianya kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tentu sebagai seorang muslim kita harus melaksanakannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh aturan Syariat kita, yaitu Islam. Shalat khusyu’ merupakan dambaan setiap kita, bahkan berbagai macam cara yang dilakukan seseorang untuk menggapai Shalat khusyu’, diantara mereka ada yang mematikan lampu ketika shalat, ada yang memejamkan matanya, ada yang mengosongkan semua fikirannya, ada yang merasakan terbangnya rohnya ketika shalat, bahkan untuk menggapai kekhusyukan mereka membuat pelatihan-pelatihan shalat khusyu’. Tentunya semua hal ini menimbulkan suatu pertanyaan, apakah memang seperti itu shalat khusyu’? Apakah cara-cara seperti tersebut sudah sesuai menurut tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Insyaa Allah dengan melalui pertanyaan dari Akhie Beny, ane akan kupas kenapa pentingnye shalat khusyu’? Ape definisi khusyu’? Ape hukumnya dan ape kiat-kiat untuk menggapainya?

Pentingnye Khusyu’ dalam Shalat.

Khusyu’ merupakan perkara agung, cepat sirnanya dan jarang keberadaanya ditemukan, khususnya di akhir zaman ini yang penuh dengan berbagai macam fitnah dan godaan, baik godaan dari manusia maupun godaan dari syetan yang berupaya memalingkan manusia dari kekhusyukan.

Jauhnya manusia dari kekhusyukan dalam melaksanakan shalat, hal ini adalah benar adanya, bahkan seorang sahabat besar yang bernama Huzaifah ibnu Yaman radhiyallahu ‘anhu telah menggambarkan: “Yang pertama kali yang akan hilang dari agamamu adalah khusyuk’, dan hal yang terakhir yang akan hilang dari agamamu adalah shalat. Betapa banyak orang shalat tetapi tiada kebaikan padanya, hampir saja engkau memasuki masjid, sementara tidak ditemukan diantara mereka orang yang khusyuk.” (Madarijussalikin, Imam Ibnul Qayyim 1/521)

Bila kita tanyakan dan kita pantau shalat yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, maka jawabannya adalah mereka jauh dari kekhusyukan. Fikiran mereka menerawang entah kemana, hati mereka lalai, bahkan was-was dari syetanpun muncul tatkala mereka melaksanakan shalat, Oleh karena itu pembahasan seputar tentang shalat khusyuk ini merupakan pembahasan yang sangat penting sekali, dan dibutuhkan oleh kaum muslimin yang ingin meningkatkan kualitas ibadah shalatnye. Dimana hal ini akan membawa mereka kepada kebahagian dan kemenangan, sebagaimana yang telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam al-Qurân: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. al-Mu’minuun: 1-2)

Makna Khusyu’

Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan bahwa Khusyu’ adalah: “Ketenangan, tuma’ninah, pelan-pelan, ketetapan hati, tawadhu’, serta merasa takut dan selalu merasa diawasi oleh Allah ‘Azza wa Jalla.”

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan bahwa Khusyu’ adalah: “Menghadapnya hati di hadapan Robb ‘Azza wa Jalla dengan sikap tunduk dan rendah diri.” (Madarijusslikin 1/520 )

Definisi lain dari khusyu’ dalam shalat adalah: “Hadirnya hati di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sambil mengkonsertasikan hati agar dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan demikian akan membuat hati tenang, tenangnya gerakan-gerakannya, beradab di hadapan Robbnya, konsentrasi terhadap apa yang dia katakan dan yang dilakukan dalam shalat dari awal sampai akhir, jauh dari was-was syaitan dan pemikiran yang jelek, dan ia merupakan ruh shalat. Shalat yang tidak ada kekhusyukan adalah shalat yang tidak ada ruhnya.” (Tafsir Taisir Karimirrahman, oleh Syech Abdurrahman Nashir as-Sa’di)

Letak Khusyu’

Tempat khusyu’ adalah di hati, sedangkan buahnya akan tampak pada anggota badan. Anggota badan hanya akan mengikuti hati, jika kekhusyukan rusak akibat kelalaian dan kelengahan, serta was-was, maka rusaklah ‘ubudiyah anggota badan yang lain. Sebab hati adalah ibarat raja, sedangkan anggota badan yang lainnya sebagai pasukan dan bala tentaranya. Kepadanya-lah mereka ta’at dan darinya-lah sumber segala perintah, jika sang raja dipecat dengan bentuk hilangnya penghambaan hati, maka hilanglah rakyat yaitu anggota-anggota badan.

Dengan demikian, menampakkan kekhusyukkan dengan anggota badan, atau melalui gerakan-gerakan, supaya orang menyangka bahwa si fulan khusyu’, maka hal itu adalah sikap yang tercela, sebab diantara tanda-tanda keikhlasan adalah menyembunyikan kekhusyukan.

Suatu ketika Huzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata: “Jauhilah oleh kalian kekhusyukan munafik, lalu ditanyakan kepadanya: Apa yang dimaksud kekhusyukan munafik? Ia menjawab: “Engkau melihat jasadnya khusyu’ sementara hatinya tidak”.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membagi khusyu’ kepada dua macam, yaitu khusyu’ nifaq dan khusyuk iman.

Khusyu’ nifaq adalah: “Khusyu’ yang tampak pada permukaan anggota badan saja dalam sifatnya, yang dipaksakan dan dibuat-buat, sementara hatinya tidak khusyuk.”

Khusyuk iman adalah: “Khusyuknya hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sikap mengagungkan, memuliakan, sikap tenang, takut dan malu. Hatinya terbuka untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan keterbukaan yang diliputi kehinaan karena khawatir, malu bercampur cinta menyaksikan nikmat-nikmat Allah ‘Azza wa Jalla dan kejahatan dirinya sendiri. Dengan demikian secara otomatis hati menjadi khusyu’ yang kemudian diikuti khusyu’nya anggota badan.”

Hukum Khusyu’ dalam Shalat.

Menurut pendapat yang kuat, bahwa khusyu’ dalam shalat hukumnye wajib. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu lebih berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. al-Baqarah: 45)

Beliau rahimahullah mengomentari ayat tersebut dengan mengatakan: “Ayat tersebut mengandung celaan atas orang-orang yang tidak khusyu’ dalam shalat, celaan tidak akan terjadi kecuali karena meninggalkan perkara-perkara penting atau wajib, atau karena keharaman yang dilakukan”.

Kemudian bila kita lihat dalam al-Qur'an Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan sifat-sifat calon penghuni surga firdaus: “Sungguh beruntunglah orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. al-Mu’minuun: 1-2), pada ayat ke 11 Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan isyarat, (bagi orang yang khusyu’), dengan mengatakan: “Mereka itulah, orang-orang yang mewarisi Surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Mu’minuun: 11)

Melalui ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa mereka (orang yang khusyu’) adalah calon pewaris Jannatul Firdaus. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa selain mereka tidak layak mewarisinya. Meraih surga bagi seorang muslim hukumnya adalah wajib, maka jalan atau wasilah untuk mencapai surga tersebut hukumnya juga wajib, dan shalat yang khusyu’ hukumnya ikut menjadi wajib karena merupakan salah satu sarana untuk meraih surga firdaus.

Kiat-Kiat Meraih Shalat Khusyu’ Menurut Tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Dalam meraih shalat khusyu’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kiat-kiat yang jelas, bahkan para ulama telah membuat bab-bab dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah membuat Bab Anjuran Khusyu’ dalam Shalat.

Ilmu yang ane dapet dari salah satu guru ane di Hadramaut Yaman, Syech Muhammad bin Sholeh al-Munajjid rahimahullah dalam kitab nye “33 Kiat Mencapai Khusyu’ dalam Shalat” menjelaskan; bahwa untuk mencapai khusyu’ dalam shalat ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan:

•Memperhatikan hal-hal yang mendatangkan kekhusyukan dalam shalat.

•Menolak hal-hal yang menghilangkan kekhusyukan dan melemahkannya.

 1. Memperhatikan hal-hal yang mendatangkan kekhusyukan dalam shalat

Untuk mencapai hal-hal yang akan mendatangkan kekhusyukan ada beberapa kiat yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya:

• Mempersiapkan diri sepenuhnya untuk shalat

Adapun bentuk-bentuk persiapannya yaitu: ikut menjawab azan yang dikumandangkan oleh muazin, kemudian diikuti dengan membaca do’a yang disyariatkan, bersiwak karena hal ini akan membersihkan mulut dan menyegarkannya, kemudian memakai pakaian yang baik dan bersih, sebagaimana firman Allah Ta’âla: “Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makanlah dan minumlah. Jangan berlebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (QS. al-A’raaf: 31)

Diantara bentuk persiapan lain adalah berjalan ke masjid dengan penuh ketenangan dan tidak tergesa-gesa, lalu setelah sampai di depan masjid, maka masuk dengan membaca do’a dan keluar darinya juga membaca do’a, melaksanakan shalat sunnat Tahiyyatul masjid ketika telah berada di dalam masjid, merapatkan dan meluruskan shaf, karena syetan berupaya untuk mencari celah untuk ditempatinya dalam barisan shaf shalat.

Dengan melakukan bentuk persiapan tersebut maka Insya Allah akan membantu dalam kekhusyukan.

• Tuma’ninah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu tuma’ninah dalam shalatnya, sehingga seluruh anggota badannya menempati posisi semula, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang buruk shalatnya supaya melakukan tuma’ninah sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak sempurna shalat salah seorang diantara kalian, kecuali dengannya (tuma’ninah).”

Bahkan di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan orang yang tidak tuma’ninah tersebut dengan orang yang mencuri dalam shalatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah radhiyallahu ‘anhu: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seburuk-buruk pencurian yang dilakukan manusia adalah orang yang mencuri shalatnya.” Qatadah berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana seseorang tersebut di katakan mencuri shalatnya? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ia tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.” (HR. Ahmad dan al-Hakim 1/229)

Orang yang tidak tuma’ninah dalam shalatnya, tentu tidak akan merasakan kekhusyukan, sebab menunaikan shalat dengan cepat akan menghilangkan kekhusyukan, sedangkan shalat seperti mematuk burung, maka hal itu akan menghilangkan pahala.

Oleh karena itulah karena pentingnya tuma’ninah, maka wajib bagi seorang muslim untuk tuma’ninah dalam shalatnya sehingga shalatnya diterima oleh Allah Ta’âla.

• Mengingat mati ketika shalat

Hal ini berdasarkan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila engkau shalat maka shalatlah seperti orang yang hendak berpisah (mati)”. (HR. Ahmad V/412, Shahihul Jami’, no. 742)

Jelaslah bahwasanya hal ini akan mendorong setiap orang untuk bersungguh-sungguh dalam shalatnya, karena orang yang akan berpisah tentu akan merasa kehilangan dan tidak akan berjumpa kembali, sehingga akan muncul upaya dari dalam dirinya untuk bersungguh-sungguh, dan hal ini seolah-olah baginya merupakan kesempatan terakhir untuk shalat.

• Menghayati makna bacaan shalat

Al-Qur'an diturunkan agar direnungkan dan dihayati maknanya, sebagaimana firman-Nya ‘Azza wa Jalla: “Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”. (QS. Shaad: 29)

Sikap penghayatan tidak akan terwujud kecuali dengan memahami makna setiap yang kita baca. Dengan memahami maknanya, maka seseorang akan dapat menghayati dan berfikir tentangnya, sehingga mengucurlah air matanya, karena pengaruh makna yang mendalam sampai ke lubuk hatinya. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Robb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang yang tuli dan buta”. (QS. al-Furqan: 73)

Di dalam ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan betapa pentingnya memperhatikan makna dari ayat yang dibaca. al-Imam Ibnu Jarir rahimahullah berkata: “Sesungguhnya saya sangat heran kepada orang yang membaca al-Qur'an, sementara dia tidak mengetahui maknanya. Bagaimana mungkin dia akan mendapatkan kelezatan ketika dia membacanya?

• Membaca surat sambil berhenti pada tiap ayat

Hal ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang dikisahkan oleh Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha tentang bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membaca al-fatihah, yaitu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Basmalah, kemudian berhenti, kemudian membaca ayat berikutnya lalu berhenti. Demikian seterusnya sampai selesai (HR. Abu Daud, no. 4001)

• Membaca al-Qur'an dengan tartil

Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan bacalah al-Qur'an dengan perlahan-lahan”. (QS. al-Muzammil: 4)

Dan diriwayatkan dengan shahih bahwa bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perlahan-lahan serta satu huruf-satu huruf (Musnad Ahmad 6/294 dengan sanad shahih, Shifatus sholah: 105)

Membaca dengan perlahan dan tartil lebih bisa membantu untuk merenungi ayat-ayat yang dibaca dan mendatangkan kekhusyu’an. Adapun membaca dengan ketergesa-gesaan akan menjauhkan hati dari kekhusyukan.

• Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabulkan permintaannya ketika seorang hamba sedang melaksanakan shalat

Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Qudsi: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Aku membagi Shalatku dengan hamba-Ku-menjadi dua bagian, dan bagi hambaku setiap apa yang dia minta. Jika hamba-Ku mengucapkan Alhamdu lillahi Robbil’alamin, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Jika ia mengucapkan Mâ likiyaumiddin, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Hamba-Ku telah memuliakan dan mengagungkan-Ku”. (Shahih Muslim, Kitabus Shalat, Bab Wajibnya Membaca al-Fatihah dalam Setiap Rakaat)

Hadits yang mulia ini menjelaskan kepada kita bahwa seseorang yang sedang melaksanakan shalat, yaitu ketika ia membaca al-Fatihah maka bacaan tersebut mendapat balasan langsung dari Allah ‘Azza wa Jalla, maka ini akan menjadi pendorong kita dalam mencapai kekhusyukan.

• Meletakkan sutrah.(tabir pembatas) dan mendekatkan diri kepadanya

Hal ini lebih bertujuan untuk memperpendek dan menjaga penglihatan orang yang sedang melaksankan Shalat, sekaligus menjaga dirinya dari syetan. Disamping itu juga dapat menjauhkan diri dari lalu lalangnya orang yang lewat di sekitar kita, karena lewatnya orang lain secara hilir mudik dapat mengganggu kekhusyukan shalat.

Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang diantara kalian melaksanakan Shalat dengan menggunakan tabir, maka hendaklah ia mendekat padanya, sehingga syetan tidak akan memotong Shalatnya”.(HR. Abu Daud, no. 446/1695)

Adapun jarak antara seseorang dengan tabir (sutrah) adalah tiga kali panjang lengan, dan antara tabir dengan tempat sujudnya adalah, seluas tempat lewatnya seekor kambing, sebagaimana yang banyak disebut dalam hadits-hadits shahih. (lihat Fathul Bari 1/574-579)

• Meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri di dada

“Adalah Rasulullah jika sedang Shalat,beliau meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri”. (HR. Muslim)

Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Para ulama berkata: ‘Hikmah dari sikap tersebut (meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri di dada)-pen merupakan bentuk sifat dari seseorang yang meminta-minta dengan perasaan hina, sikap tersebut lebih mampu menghindarkan sifat main-main, dan lebih dekat kepada kekhusyukan”.

• Melihat kearah tempat sujud

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sedang shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menundukkan kepala serta mengarahkan pandangannya ke tanah (tempat sujud)”. (HR. al-Hakim 1/479, dia berkata shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim, disepakati juga oleh al-Albani dalam buku shifatus Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal 89)

Dari sini jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shalat melihat ke arah tempat sujud dan tidak memejamkan matanya, maka orang yang memejamkan matanya berarti amalannya bertentangan dengan sunnah.

• Memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari godaan syetan

Godaan syetan akan selalu datang kepada siapa saja yang akan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, oleh karena itu seorang hamba hendaknya tegar dalam beribadah kepada Allah Ta’ala, seraya tetap melakukan amalan-amalan zikir ataupun shalat,dan jangan sampai goyah, sebab dengan selalu menekuni hal-hal tersebut,godaan dan tipu daya syetan akan hilang dengan sendirinya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya tipu daya syetan itu adalah lemah.(QS. an-Nisa’: 76)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika seorang diantara kalian berdiri shalat, maka datanglah syetan, kemudian ia mengacaukannya (mengacaukan shalatnya dan memasukkan padanya keraguan) sehingga tidak mengetahui berapa rakaat ia shalat. Jika salah seorang diantara kalian mendapati hal demikian, maka hendaklah ia bersujud dua kali ketika dia sedang duduk”. (HR. Bukhari)

Itulah diantara hal-hal yang membantu kekhusyukan, yang tidak bisa ane jabarin semuanya karena keterbatasan tempat, namun setidak-tidaknya ini sebagai suatu jalan bagi kita untuk menuju khusyu’.

Adapun faktor yang kedua dari hal-hal yang akan membawa kekhusyukan adalah dengan mengetahui penghalang-penghalang kekhusyukan dan menolaknya. Adapun penghalang-penghalang kekhusyukan adalah sebagai berikut:

• Menghilangkan sesuatu yang mengganggu di tempat shalat

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Adalah ‘Aisyah memiliki selembar kain yang berwarna-warni yang digunakan untuk menutupi bagian samping rumahnya. Melihat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Hilangkan itu dari pandanganku, sebab gambar-gambarnya selalu terbayang dan menggoda pandanganku pada waktu shalat”. (HR. Bukhari/lihat Fathul Bari 10/391). Dan termasuk perkara yang harus dihindari adalah Shalat di tempat lalu lalang manusia, tempat yang ramai dan gaduh serta berisik, di dekat orang yang sedang bercakap-cakap.

• Tidak shalat di tempat yang terlalu dingin atau terlalu panas, jika hal tersebut memungkinkan

Karena hal ini jelas akan mengganggu kekhusyukan dalam shalat.

• Menghindari shalat di dekat makanan yang disukai

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak baik Shalat dilaksanakan di hadapan (di dekat) makanan yang telah dihidangkan”. (HR. Muslim, no. 560). Jika makanan yang telah dihidangkan dan berada dihadapannya, maka ia berhak mendahulukan makan, sebab jika ia tidak makan dan meninggalkannya (tidak makan terlebih dahulu), ia tidak akan merasa khusyu’ dan hatinya akan selalu teringat pada makanan tersebut, bahkan seyogyanya dia tidak tergesa-gesa dalam makannya sehingga betul-betul terpenuhi hajatnya.

•Menghindari shalat dalam kondisi mengantuk

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian merasa mengantuk dalam shalat, hendaklah ia tidur terlebih dahulu, sehingga ia mengetahui apa yang diucapkannya”. (HR. Bukhari, no. 210)

• Jangan shalat di belakang orang-orang yang bercakap-cakap ataupun tidur

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah Shalat di belakang orang yang sedang tidur dan juga orang-orang yang sedang bercakap-cakap”. (HR. Abu Daud, no. 694)

Karena suara orang-orang yang sedang bercakap-cakap dapat merusak konsentrasi seseorang yang sedang Shalat.

• Menghindari shalat dalam keadaan menahan buang air besar ataupun kecil

Karena hal ini jelas akan mengganggu kekhusyukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat dalam kondisi Haaqin yaitu menahan buang air kecil dan besar. (HR. Ibnu Majah dalam Sunannya no. 617)

• Tidak menyibukkan diri untuk membersihkan debu

• Dimakruhkan mengusap dahi dan hidung dalam shalat

• Tidak boleh mengganggu orang yang sedang shalat dengan mengeraskan bacaan

• Tidak boleh menoleh ke kiri dan ke kanan ketika shalat

• Tidak mengarahkan pandangan ke langit

• Jangan meludah ke depan ketika sedang shalat

• Berusaha untuk tidak menguap ketika shalat

• Tidak mencontoh gerakan atau tingkah laku binatang

Driwayatkan dalam hadits bahwasanya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang tiga perkara dalam Shalat, yaitu perilaku mematuk seperti burung gagak, duduk seperti duduknya binatang buas, mengambil tempat tertentu sebagaimana unta mengambil tempat duduknya (menderum)”. (HR. Ahmad 3/428)

Demikianlah beberapa kiat-kiat dalam meraih Shalat Khusyu, semoga dengan mengetahuinya akan mengantarkan kita menuju Shalat yang khusyu’, yang pada intinya sangat praktis, mudah dan ekonomis tanpa membutuhkan biaya yang besar..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

RAHMAT ALLAH SWT

03.22.00 Posted by Admin No comments

TIDAK ADA YANG KEBETULAN...,semuanye karena kebesaran Allah swt" :

•Pernahkah saat kita duduk santai dan menikmati hari, tiba-tiba terpikirkan oleh kita ingin berbuat sesuatu  kebaikan untuk seseorang?

Itu adalah اللّه yang sedang berbicara dengan kita dan mengetuk pintu hati kita

(QS 4:114, 2:195, 28:77).

•Pernahkah saat kita sedang sedih, kecewa tetapi tidak ada orang di sekitar kita yang dapat di jadikan tempat curahan hati?

Itulah adalah اللّه yang sedang rindu pada kita dan ingin agar kita berbicara pada-NYA

(QS 12:86).

•Pernahkah tanpa sengaja kita memikirkan seseorang yang sudah lama tidak bertemu, tiba-tiba orang tersebut muncul, atau kita bertemu dengannya, atau kita menerima telepon darinya?

Itu adalah Kuasa اللّه yang sedang menghibur kita
Tidak ada yang namanya kebetulan

(QS 3:190-191).

•Pernahkah kita mendapatkan sesuatu yang tidak terduga, yang selama ini kita inginkan tapi rasanya sulit untuk didapatkan?

Itu adalah اللّه yang mengetahui dan mendengar suara batin kita serta hasil dari benih kebaikan yang kita taburkan sebelumnya

(QS 65:2-3).

•Pernahkah kita berada dalam situasi yang buntu, semua terasa begitu sulit, begitu tidak menyenangkan, hambar, kosong bahkan menakutkan?

Itu adalah saat اللّه mengizinkan kita untuk diuji, Dan اللّه ingin mendengar rintihan serta do'a kita agar kau menyadari akan keberadaan-NYA....

Karena Ia tahu kita sudah mulai melupakan-NYA dalam kesenangan

(QS 47:31, 32:21).

Jika peka, kita akan sering menyadadari bahwa KASIH dan KUASA اللّه selalu ada di saat manusia merasa dirinya tak mampu.

•Beberapa menit ini tenangkanlah diri kita, rasakan kehadiran-NYA..., dengarkan suara-NYA yang berkata:

"Jangan khawatir, AKU di sini bersamamu"

(QS 2:214, 2:186)

Allahu Akbar, terkadang kite sebagai manusia emang suka kelewatan'..
Bisa nye selalu aje suka ngeluh, ngeluh dan ngeluh'..
Padahal di situasi apepun, Allah begitu sayang nye ma kite semua'..

"Semoga bisa jadi bahan renungan yang manfaat"