Kamis, 20 April 2017

MAKNA REZEKI DAN CARA MENCARINYA

00.33.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Apa yang dimaksud dengan rezeki? Apa rezeki itu identik dengan harta dan uang? Bagaimana cara kita memanfaatkan rezeki?

Makna Rezeki

Apa itu rezeki? Rezeki adalah:

هُوَ كُلُّ مَا تَنْتَفِعُ بِهِ مِمَّا اَبَاحَهُ اللهُ لَكَ سَوَاءٌ كَانَ مَلْبُوْسٌ اَوْ مَطْعُوْمٌ … حَتَّى الزَّوْجَة رِزْق، الاَوْلاَدُ وَ البَنَاتُ رِزْقٌ وَ الصِّحَةُ وَ السَّمْعُ وَ العَقْلُ …الخ

“Segala sesuatu yang bermanfaat yang Allah halalkan untukmu, entah berupa pakaian, makanan, sampai pada istri. Itu semua termasuk rezeki. Begitu pula anak laki² atau anak perempuan termasuk rezeki. Termasuk pula dalam hal ini adalah kesehatan, pendengaran dan penglihatan.”

Dari pengertian di atas, rezeki ternyata tidak identik dengan harta dan uang. Jadi, janganlah kita sempitkan pada maksud tersebut saja.

Pemanfaatan Rezeki

Rezeki yang kita peroleh wajib dimanfaatkan untuk hal yang baik. Disebut dalam ayat,

وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“Dan menafkahkan (mengeluarkan) sebagian rezeki yang dinafkahkan untuk mereka.”
(QS. Al Baqarah: 3)

Jika rezeki berupa harta, maka wajib diperhatikan zakat dari harta tersebut atau mengeluarkannya untuk sedekah yang sunnah. Ada pula rezeki selain harta yang juga diperintahkan untuk dimanfaatkan untuk hal² baik, seperti rezeki berupa akal, pendengaran dan penglihatan.

Adapun pemanfaatan rezeki dengan dua cara:

1. Rezeki atau nikmat dimanfaatkan untuk melakukan ketaatan pada Allah.

2. Rezeki tersebut dimanfaatkan untuk memberi manfaat pada kaum muslimin yang lain.

Ibnu Hazm berkata,

كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهِيَ بَلِيَّةٌ

“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.” (Jaami’ul Ulum wal Hikam 2: 82)

Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا

“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya.” (HR. Thabrani di dalam Al Mu’jam Al Kabir no.13280, 12: 453. Syech Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al Jaami’ no.176).

Carilah Rezeki Dengan Cara Yang Halal

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ رُوْحَ القُدُسِ نَفَثَ فِي رَوْعِي إِنَّ نَفْسًا لاَ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا ، فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ ، وَلاَ يَحْمِلَنَّكُمْ اِسْتَبْطَاءَ الرِّزْقُ أَنْ تَطْلُبُوْهُ بِمَعَاصِي اللهَ ؛ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُدْرِكُ مَا عِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

“Sesungguhnya ruh Qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertaqwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.”
(HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir 8: 166, hadits shahih. Silsilah Al Ahadits As Shahihah no.2866).

Dalam hadits disebutkan bahwa kita diperintah untuk mencari rezeki dengan cara yang baik atau diperintahkan untuk “ajmilu fit tholab”. Apa maksudnya?

Janganlah berputus asa ketika belum mendapatkan rezeki yang halal sehingga menempuh cara dengan maksiat pada Allah. Jangan sampai kita berucap, “Rezeki yang halal, mengapa sulit sekali untuk datang?”Jangan sampai kita mencelakakan diri kita untuk sekedar meraih rezeki.

Dalam hadits di atas berarti diperintahkan untuk mencari rezeki yang halal. Janganlah rezeki tadi dicari dengan cara bermaksiat atau dengan menghalalkan segala cara. Kenapa ada yang menempuh cara yang haram dalam mencari rezeki? Di antaranya karena sudah putus asa dari rezeki Allah sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

Intinya karena tidak sabar. Seandainya mau bersabar mencari rezeki, tetap Allah beri karena jatah rezeki yang halal sudah ada. Coba renungkan perkataan Ibnu Abbas berikut ini..

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

ما من مؤمن ولا فاجر إلا وقد كتب الله تعالى له رزقه من الحلال فان صبر حتى يأتيه آتاه الله تعالى وإن جزع فتناول شيئا من الحرام نقصه الله من رزقه الحلال

“Seorang mukmin dan seorang fajir (yang gemar maksiat) sudah ditetapkan rezeki baginya dari yang halal. Jika ia mau bersabar hingga rezeki itu diberi, niscaya Allah akan memberinya. Namun jika ia tidak sabar lantas ia tempuh cara yang haram, niscaya Allah akan mengurangi jatah rezeki halal untuknya.” (Hilyatul Auliya’, 1: 326)

Semoga Allah Ta'alaa senantiasa memberikan kita semua rezeki yang halal yang penuh barokah'..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..

ADAKAH DOSA WARIS DALAM ISLAM?

00.25.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Adakah dosa waris? Maksudnya apakah dalam Islam menghukumi orang lain karena kesalahan yang lain padahal orang lain yang dihukumi tadi tidak bersalah. Adakah dosa waris seperti itu dalam Islam?

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى

“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. Al An’am: 164)

Makna ayat ini kata Ibnul Jauzi dalam Zaad Al Masiir,

لا يؤخذ أحد بذنب غيره

“Janganlah hukum seseorang karena perbuatan dosa yang dilakukan oleh orang lain.”

Ibnu Katsir menerangkan pula dalam Tafsir Al Qur’an Al Azhim bahwa demikianlah balasan, hukum dan keadilan dari Allah. Setiap orang akan dibalas sesuai dengan amalan yang ia perbuat. Jika amalan tersebut baik, maka kebaikan yang akan dibalas. Jika yang diperbuat jelek, maka jelek pula yang dibalas. Ingatlah, seseorang tidak akan memikul dosa yang diperbuat oleh orang lain. Itulah keadilan Allah Ta’ala.

Guru ane, Syech Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafizhahullah berkata, seseorang tidak akan menanggung kezaliman yang lain walaupun yang berbuat adalah kerabat (sedulur) seperti anak pamannya, orang tuanya, atau anaknya. Seseorang dihukumi salah pada tindakan kejahatan adalah karena yang ia perbuat sendiri, bukan dihukumi karena kejahatan orang lain yang berbuat tindak kriminal secara sengaja. Termasuk kezaliman jika ada yang menghukumi orang lain yang tidak sengaja berbuat dihukumi seperti orang yang sengaja bertindak kejahatan. Ini tidak dibenarkan dalam Islam.

Misalnya ujar Syech Shalih Al Fauzan, jika ada seseorang berasal dari suatu suku atau marga tertentu lantas ia berbuat kejahatan, yang disalahkan adalah pimpinan dari suku tersebut yang tidak berbuat apa². Tindakan seperti ini adalah perilaku jahiliyyah yang jelas jeleknya.

Yang dinamakan adil, hukuman tindakan kejahatan dikenakan pada pelakunya saja tidak pada yang lainnya.

Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ

“Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (QS. Al Baqarah: 194)

Kaedah penting yang perlu diingat dalam masalah ini:

Hukuman bagi pelaku kejahatan adalah khusus untuk dirinya, tidak pada lainnya yang tidak berbuat. (Syarh Masail Al Jahiliyyah hlm.267-268)

Kaedah ini silahkan diterapkan untuk para pelaku kejahatan, sungguh tidak adil jika kita masih memberlakukan hingga anak keturunannya.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..