Sabtu, 11 Maret 2017

ANTARA KETENANGAN JIWA, KEDAMAIAN HATI DAN SEBUAH KEBENARAN

06.52.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Pada zaman ini, banyak permasalahan yang dihadapi setiap manusia, dan secara khusus kaum Muslimin, baik berkaitan dengan masalah lahir, batin, ataupun kejiwaan. Dari sini, muncullah berbagai ragam usaha untuk mengatasi problematika hidupnya. Tujuan utamanya, pada dasarnya hanya satu, yaitu mendapatkan kepuasan hati, ketenteraman hidup, dan ketenangan jiwa.

Yang amat disayangkan, munculnya anggapan keliru karena ketidakpahaman atau karena belum mengerti, bahwa tidak semua hal yang mampu mendatangkan kepuasan, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa menunjukkan kebenaran sesuatu tersebut. Ya kita bisa katakan benar, memang sesuatu tersebut dapat mendatangkan kepuasan, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa. Namun permasalahannya, apakah semua hal yang bisa mendatangkan kepuasan, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa bisa dibenarkan secara syar’i? Jadi, yang dimaksud “benar” disini adalah, benar secara tinjauan dan hukum syar’i. Jika tidak demikian, kita akan menemukan betapa banyak praktek² yang memang telah terbukti mampu mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa orang. Sebagai contoh, sebutlah bersemedhi, bertapa, atau meditasi, atau terapi psikologis lainnya. Hal² tersebut memang terbukti mampu mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa orang yang melakukannya. Namun apakah syariat Islam yang mulia dan sempurna ini membenarkannya? Atau minimal mengizinkannya? Atau apakah kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa tersebut jika memang terjadi adalah hakiki dan abadi? Inilah permasalahannya.

Al Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Adapun di bawah derajat orang ini (yakni orang yang merasakan kelezatan dengan mengenal Allah dan bertaqarrub dengan-Nya), maka sangatlah banyak, dan tidak bisa menghitung banyaknya kecuali Allah. Bahkan sampai pada derajat orang (yang masih bisa merasakan kelezatan dengan) melakukan hal² yang sangat hina, hal² yang kotor dan menjijikan, baik berupa perkataan maupun perbuatan…”.

Perkataan beliau ini menjelaskan, ternyata ada hal² yang memang terbukti mampu mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa orang yang melakukannya. Namun tentu sangat berbeda derajat orang yang merasakan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa dengan cara bertaqarrub dan taat kepada Allah, dengan orang yang mencapainya tetapi dengan cara bermaksiat dan meninggalkan perintah² Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Permasalahan ini, persis dengan seseorang yang mencari kesembuhan dari penyakit kronis yang dideritanya, sementara para dokter telah angkat tangan dari penyakitnya tersebut, lalu akhirnya orang ini berobat ke dukun, kemudian sembuh. Maka apakah kesembuhannya bisa ia jadikan dalil atas bolehnya berobat atau mendatangi dukun? Apakah kesembuhan yang ia dapati dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala menunjukkan bahwa dukun tersebut berada di atas al haq (kebenaran)? Apakah kesembuhannya itu berasal dari cara yang dibenarkan oleh syariat?

Sebagai seorang muslim yang mudah²an Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan taufiq-Nya, kita tentu tidak boleh ragu dan syak, bahwa kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa adalah salah satu sifat syariat Islam yang mulia dan sempurna ini. Itupun harus dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat yang benar dalam beribadah. Yaitu ikhlash hanya untuk Allah semata, dan mutaba’atur rasul (mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang telah banyak diterangkan oleh para ulama tentang masalah ini.

Dari sekilas penjelasan di atas, kita bisa pahami bahwa merupakan kekeliruan jika ada seseorang yang berkata “Segala sesuatu yang bisa mendatangkan dan menimbulkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa, maka hal itu boleh² saja dilakukan, karena hal itu merupakan indikasi kebenaran sesuatu tersebut”.

Di manakah letak kekeliruan perkataan ini? Kita katakan: “Memang salah satu bukti benarnya sesuatu hal adalah timbulnya kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa pada si pelakunya. Dan ini merupakan salah satu sifat syariat Islam jika dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat yang benar dalam beribadah, sebagaimana telah diterangkan di atas. Namun, tidak semua yang bisa mendatangkan dan menimbulkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa sebagai sebuah kebenaran”.

Seandainya orang itu hanya berkata “Segala sesuatu yang bisa mendatangkan dan menimbulkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa boleh² saja dilakukan,” hanya sampai disini saja, mungkin masih bisa kita benarkan. Itupun selama perbuatan tersebut tidak melanggar syariat. Karena segala sesuatu yang dilakukan, selama tidak berhubungan dengan permasalahan ibadah, dan selama tidak ada dalil yang melarangnya, maka hukum asalnya adalah boleh, sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama dalam masalah ini.

Permasalahannya, jika kita perhatikan dan pelajari secara lebih dalam, hal² yang bisa mendatangkan dan menimbulkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa yang banyak digemari orang saat ini, pada kenyataannya tidak mungkin dapat dipisahkan dari praktek ibadah, bahkan sangat berkaitan erat dengan masalah aqidah yang letaknya di dalam hati, sedangkan hati merupakan sumber dari kebaikan atau keburukan seseorang, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

…أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْـغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُـلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُـلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْـقَلْبُ .

“…Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila ia (segumpal daging) tersebut baik, baiklah seluruh jasadnya, dan apabila ia (segumpal daging) tersebut rusak (buruk), maka rusaklah (buruklah) seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah hati”.

Oleh karena itu, jika ingin selamat dari hal² yang dapat merusak agama kita, bahkan dalam hal aqidah, hendaknya seorang muslim senantiasa berhati² dan waspada, serta penuh pertimbangan demi keselamatan agamanya, dan bertanya, apakah perbuatan yang hendak dilakukan untuk pencarian kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwanya bertentangan dengan aqidah? Ataukah bagaimana?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, ”Karena hati itu diciptakan untuk diketahui kegunaannya, maka mengarahkan penggunaan hati (yang benar) adalah (dengan cara menggunakannya untuk) berfikir dan menilai…”.

Berkaitan erat dengan permasalahan ini, sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan solusi bagi setiap muslim yang senantiasa ingin mendapatkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa yang hakiki dan abadi.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang² yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”. [QS. Ar Ra’d : 28].

Salah seorang guru ane, Syech Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr hafizhahullah berkata, ”..Sesungguhnya Al Imam Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah telah menyebutkan di dalam kitab beliau yang sangat berharga, Al Wabil Ash Shayyib sebanyak tujuh puluh sekian faidah dzikir. Dan di sini, ane akan sempurnakan untuk menyebutkan beberapa faidah dzikir lainnya, dari sekian banyak faidah yang telah beliau sebutkan di dalam kitabnya.

Di antara faidah² dzikir yang begitu agung, yaitu (dzikir) dapat mendatangkan kebahagiaan, kegembiraan, dan kelapangan bagi orang yang melakukannya, serta dapat melahirkan ketenangan dan ketenteraman di dalam hati orang yang melakukannya.

Kemudian beliau kembali menjelaskan dan berkata, ”Makna firman Allah (وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم) adalah hilangnya segala sesuatu (yang berkaitan dengan) kegelisahan dan kegundahan dari dalam hati, dan dzikir tersebut akan menggantikannya dengan rasa keharmonisan (ketentraman), kebahagiaan, dan kelapangan. Dan maksud firman-Nya (أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ) adalah sudah nyata, dan sudah sepantasnya hati (manusia) tidak akan pernah merasakan ketentraman, kecuali dengan dzikir (mengingat) Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Bahkan, Sesungguhnya dzikir adalah penghidup hati yang hakiki. Dzikir merupakan makanan pokok bagi hati dan ruh. Apabila (jiwa) seseorang kehilangan dzikir ini, maka ia hanya bagaikan seonggok jasad yang jiwanya telah kehilangan makanan pokoknya. Sehingga tidak ada kehidupan yang hakiki bagi sebuah hati, melainkan dengan dzikrullah (mengingat Allah). Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dzikir bagi hati, bagaikan air bagi seekor ikan. Maka, bagaimanakah keadaan seekor ikan jika ia berpisah dengan air?”

Dari penjelasan yang begitu gamblang di atas, jelaslah sesungguhnya tidak ada penawar bagi orang yang hatinya gersang dan selalu gelisah, resah, dan gundah, melainkan hanya dengan dzikrullah.

Dzikrullah dapat dilakukan dengan dua cara, dengan mengingat Allah dan banyak berdzikir dengan bertasbih, bertahmid, bertahlil (mengucapkan Laa ilaha illallaah), ataupun bertakbir. Dan dengan memahami makna² Al Qur'an dan hukum²nya, karena di dalam Al Qur'an terdapat dalil² dan petunjuk² yang jelas, serta bukti kebenaran yang nyata.

Namun, yang amat disayangkan, masih banyak kaum Muslimin yang belum memahami hal ini. Bahkan, untuk mendapatkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa, justru mencari² solusi selainnya. Padahal kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa yang hakiki tidaklah mungkin dihasilkan melainkan hanya dengan dzikrullah.

Al Imam Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “..Sesungguhnya, hati tidak akan (merasakan) ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian, melainkan jika pemiliknya berhubungan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala (dengan melakukan ketaatan kepada-Nya). Sehingga, barangsiapa yang tujuan utama (dalam hidupnya), kecintaannya, rasa takutnya, dan ketergantungannya hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka ia telah mendapatkan kenikmatan dari-Nya, kelezatan dari-Nya, kemuliaan dari-Nya, dan kebahagiaan dari-Nya untuk selama²nya”.

Penjelasan beliau ini, juga menujukkan pemahaman bahwa jika seseorang meninggalkan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atau bahkan bermaksiat kepada-Nya, maka hatinya akan sempit, gersang, selalu gelisah, resah, dan gundah. Adapun kemaksiatan yang terbesar adalah syirik, dan Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik sampai ia bertaubat sebelum ia mati. (Tafsir QS. An Nisaa : 48 dan 116).

Allah Ta'alaa berfirman,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta”. [QS. Ath Thaha : 124].

Salah satu penafsiran ulama tentang lafazh (مَعِيشَةً ضَنكاً) pada surat Thaha ayat ke 124 di atas adalah, kehidupan yang sangat sempit dan menyulitkan di dunia ini, disebabkan berpalingnya ia dari kitabullah dan dzikrullah. Ia akan merasakan kesempitan, kegelisahan, dan kepedihan² lainnya dalam kehidupannya, dan itu adalah adzab secara umum.

Adapun kadar kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa seseorang, itu sangat bergantung kepada sejauh mana kedekatannya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Al Imam Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kelezatan (yang dirasakan oleh hati) setiap orang, bergantung pada sejauh mana keinginannya dalam mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan (keinginannya dalam meraih) kemuliaan dirinya. Orang yang paling mulia jiwanya, yang paling tinggi derajatnya dalam merasakan kelezatan (dalam hatinya), adalah (orang yang paling) mengenal Allah, yang paling mencintai Allah, yang paling rindu dengan perjumpaan dengan-Nya, dan yang paling (kuat) mendekatkan dirinya kepada-Nya dengan segala hal yang dicintai dan diridhai oleh-Nya”.

Itulah dzikrullah dan tha’atullah, sebagai kunci utama untuk membuka hati seseorang dalam merealisasikan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwanya. Sedangkan tingkatan tha’atullah yang paling tinggi dan agung adalah tauhidullah (mentauhidkan Allah). Dan (sebaliknya), tingkatan maksiat yang paling besar dosanya dan paling buruk akibatnya, adalah asy syirku billah (menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Dengan kata lain, orang yang paling berbahagia, tenteram, dan tenang jiwanya adalah seorang muslim yang bertauhid dan merealisasikan tauhidnya dalam kehidupan sehari². Sedangkan orang yang paling sengsara hidupnya di dunia ini, dan tidak merasakan kebahagiaan, ketenangan, dan ketenteraman jiwa yang hakiki dan abadi, adalah orang yang musyrik dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Kemudian, adakah hal lainnya setelah dzikrullah dan tha’atullah yang secara khusus mampu mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa seseorang? Jawabnya, ada. Yaitu shalat.

Hendaknya seorang mukmin menyibukkan dirinya untuk meraih kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwanya dengan melakukan shalat secara benar dan khusyu’. Dengan demikian, ia merasa tenang ketika berhadapan dengan Rabb-nya. Hatinya menjadi tenteram, lalu diikuti ketenangan dan ketenteraman tersebut oleh seluruh anggota tubuhnya. Dari sini, ia akan merasakan kedamaian hati dan ketenangan jiwa yang luar biasa. Dia memuji Rabb dengan segala macam pujian di dalam shalatnya. Bahkan, ia berkata kepada Rabb-nya إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan). Dia memohon kepada Rabb-nya segala kebutuhannya. Dan yang terpenting dari seluruh kebutuhannya adalah memohon untuk istiqamah (konsisten) di atas jalan yang lurus. Yang dengannya terwujudlah kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dia pun berkata اِهْدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Dia mengagungkan Rabb-nya saat ruku’ dan sujud, dan memperbanyak doa di dalam sujudnya.

Betapa indah dan agungnya komunikasi yang ia lakukan dengan Rabb-nya. Sebuah komunikasi yang sangat luar biasa, mampu menumbuhkan ketenteraman dan kedamaian jiwa, sekaligus menjauhkan dirinya dari segala macam kegelisahan, keresahan, dan kesempitan hati dan jiwanya. Maka, tidak perlu heran, jika shalat ini merupakan penghibur dan penghias hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

… وَجُعِلَتْ قُـرَّةُ عَـيْـنِيْ فِي الصَّـلاَةِ .

“…dan telah dijadikan penghibur (penghias) hatiku (kebahagiaanku) pada shalat”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah berkata kepada salah satu sahabatnya,

قُمْ يَا بِلاَلُ، فَـأَرِحْـنَا بِالصَّلاَةِ .

“Bangunlah wahai Bilal, buatlah kami beristirahat dengan (melakukan) shalat”.

Al Imam Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah, setelah menjelaskan hikmah² dan beberapa keistimewaan shalat, beliau berkata : “…Kemudian, disyariatkan baginya untuk mengulang² raka’at ini satu per satu, sebagaimana disyariatkannya mengulang² (lafazh) dzikir dan doa satu per satu. Hal itu agar ia mempersiapkan dirinya dengan raka’at yang pertama tadi, untuk menyempurnakan raka’at yang berikutnya. Sebagaimana raka’at yang kedua untuk menyempurnakan raka’at yang pertama. Semuanya itu bertujuan untuk memenuhi hatinya dengan makanan (rohani) ini, dan mengambil bekal darinya untuk mengobati penyakit yang ada dalam hatinya. Karena sesungguhnya kedudukan shalat terhadap hati, bagaikan kedudukan makanan dan obat terhadapnya. Maka, tidak ada satu pun yang mampu menjadi makanan dan bagi hatinya, selain shalat ini. Maksudnya, (fungsi) shalat dalam menyehatkan dan menyembuhkan hati, seperti (fungsi) makanan pokok dan obat²an terhadap badannya”.

Salah satu guru ane, Syech Hasan bin Ahmad bin Hasan Al Fakki berkata,”Tatkala shalat dijadikan sebagai pembangkit ketenangan dan ketenteraman (jiwa), serta sebagai terapi psikologis, maka, tidak mengherankan jika sebagian dokter jiwa menganggapnya sebagai terapi utama dalam penyembuhan para pasien penyakit jiwa. Salah seorang di antara mereka ada yang mengatakan, sepertinya shalat ini salah satu terapi yang mampu mendatangkan kehangatan jiwa manusia. Sesungguhnya shalat bisa menjauhkan dirimu dari segala kesibukan yang membuatmu gundah dan resah. Shalat ini pun mampu membuatmu merasa tidak menyendiri dalam hidup ini. Mampu membuatmu merasakan bahwa Allah menyertaimu. Shalat pun ternyata mampu memberimu kekuatan dalam bekerja, yang sebelumnya dirimu tidak mampu berbuat apa². Maka, pergilah ke kamar tidurmu! Lalu, mulailah melakukan shalat untuk menghadap Rabb-mu”.

Demikianlah, sehingga memang shalat yang benar dan khusyu’, pasti akan melahirkan ketenteraman jiwa dan kedamaian hati. Bukan seperti shalat yang dilakukan oleh orang² Nashrani, yang telah disifatkan oleh Al Imam Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah sebagai sebuah shalat yang pembukaannya adalah kenajisan, takbiratul ihramnya dengan bersalib di wajah, qiblatnya sebelah timur, syi’arnya adalah kesyirikan, (maka) bagaimana hal ini tersembunyi bagi orang berakal, bahwa hal ini sesuatu yang memang tidak pernah dibenarkan oleh satu syariat manapun?

Syech Hasan bin Ahmad bin Hasan al Fakki kembali menjelaskan : “Adapun sebuah shalat yang permulaannya adalah pengagungan dan pemuliaan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan shalat ini mengandung firman-Nya, pujian dan pengagungan kepada-Nya, rasa tunduk yang sempurna si pelakunya kepada Rabbnya, maka tidak ragu lagi, shalat seperti inilah yang mampu menjadi perantara seorang hamba dalam berkomunikasi dengan Rabb-nya. Shalatnya ini bermanfaat baginya untuk memohon kepada Rabb agar (Dia) membebaskan dari segala kesulitan. Di samping itu, ia pun akan mendapatkan manfaat dan pahala yang besar di akhirat, serta kemenangan dengan mendapatkan ridho Ar Rahman (Allah Subhanahu Wa Ta’ala). Dan kiaskanlah terhadap shalat ini seluruh ketaatan hamba terhadap Rabb-nya. Sungguh agama Islam adalah sebuah manhaj (metode, tata cara dan pola hidup) yang sempurna, yang sangat adil. Menjamin setiap orang bisa mencapai hidup bahagia di dunia dan akhirat. Dan ini sebagai sebuah kemenangan yang besar”.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..

PELAJARAN DARI AYAT WAKTU SHALAT

06.37.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Dalam ayat Al Qur'an sudah ada keterangan mengenai waktu shalat. Bagaimanakah waktu shalat tersebut?

Allah Ta’ala berfirman,

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (78) وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (79)

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah²an Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 78-79).

Ayat di atas berisi perintah Allah kepada hamba-Nya untuk menunaikan shalat. Perintah shalat ini dijelaskan pada ayat yang beraneka ragam. Perintah dalam Al Qur’an dijelaskan dengan kalimat ‘iqamah shalat’ seperti dalam ayat yang kita kaji. Kalimat tersebut lebih bagus penyebutannya dibandingkan dengan ‘if’aluhaa’ yang bermakna ‘kerjakanlah’.

Perintah ‘iqamah shalat’ yang berarti menegakkan shalat bermakna perintah untuk mengerjakan shalat dengan melengkapi rukun, syarat dan penyempurananya secara lahir dan batin. Shalat inilah yang dijadikan syariat lahiriyah yang nampak dan merupakan syiar Islam yang terbesar.

Ayat yang kita kaji di atas bukan hanya menjelaskan tentang perintah mendirikan shalat, namun juga diterangkan mengenai waktu²nya. Inilah yang menjadi keistimewaan ayat tersebut dibandingkan ayat lainnya. Di sini dijelaskan lima atau tiga waktu shalat.

Yang disebutkan dalam ayat adalah ibadah wajib. Sedangkan penyandaran pada waktunya menunjukkan akan sebab shalat itu ada.

Tiga Macam Waktu Shalat

Waktu pertama yang disebutkan adalah waktu ‘duluk’. Yang dimaksudkan adalah waktu setelah matahari tergelincir mengarah ke arah barat (arah matahari tenggelam). Adapun yang dimaksud dengan waktu pertama adalah shalat Zhuhur yang berada di awal waktu duluk dan shalat Ashar yang berada di akhir waktu duluk.

Waktu kedua adalah ‘ghasaqil lail’. Yang dimaksudkan adalah gelap malam. Shalat yang dikerjakan di awal ghasaq adalah shalat Maghrib, sedangkan di akhirnya adalah shalat Isya.

Waktu ketiga adalah waktu fajar. Disebut dalam ayat dengan “Qur-anal Fajri”, yang dimaksud adalah shalat fajar (shalat Shubuh). Shalat Shubuh disebut qur-anal fajri karena saat Shubuh adalah waktu yang disunnahkan untuk memperlama bacaan Al Qur'an. Keutamaan membaca Al Qur'an saat itu karena disaksikan oleh Allah, oleh malaikat malam dan malaikat siang.

Pelajaran dari Ayat yang Membicarakan Waktu Shalat

1. Disebutkan lima waktu shalat secara tegas. Seperti ini tidak disebutkan pada ayat lainya. Ada ayat lain yang menyebutkan,

فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ

“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh.” (QS. Ar Rum: 17).

2. Semua yang diperintahkan dalam ayat adalah kewajiban. Karena perintah tersebut dikaitkan dengan waktu dan yang dimaksud adalah shalat lima waktu. Shalat lima waktu ini boleh diiringi dengan shalat² rawatib dan juga boleh diikuti shalat lainnya.

3. Waktu shalat termasuk syarat sah shalat dan yang jadi sebab shalat itu ada. Adapun ketetapan awal dan akhir waktu dilihat dari ketetapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits. Sebagaimana ada ketetapan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai jumlah raka’at, jumlah sujud dan berbagai tata caranya.

4. Shalat Zhuhur dan Ashar boleh dijamak di satu waktu karena ada uzur, begitu pula shalat Maghrib dan Isya. Karena Allah menggabungkan masing² dari dua shalat tersebut untuk satu waktu bagi yang uzur. Sedangkan bagi yang tidak mendapatkan uzur tetap dua waktu (tidak digabungkan).

5. Ayat tersebut juga menerangkan tentang keutamaan shalat Shubuh, juga keutamaan memperlama bacaan saat shalat tersebut.

Kenapa sampai disebut bahwa memperlama bacaan saat shalat Shubuh ada keutamaan?

Karena berdiri adalah bagian dari rukun shalat. Kalau ibadah disebutkan dengan suatu bagiannya, itu menunjukkan keutamaan bagian tersebut.

Juga dapat diambil faedah bahwa bagian yang disebutkan untuk mengibaratkan shalat termasuk rukun. Lihat saja, kadang Allah mengibaratkan shalat dengan qiraah (bacaan), dengan ruku’, dengan sujud, dan dengan berdiri, ini menunjukkan semuanya termasuk rukun dari shalat.

6. Yang dimaksud ayat,

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

“Dan pada sebahagian malam hari shalatlah tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah²an Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 78-79).

Ini adalah perintah pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaksanakan shalat di waktu malam. Tujuannya supaya mendapatkan kedudukan dan derajat yang tinggi, berbeda dengan nabi lainnya. Fungsi shalat malam ini juga sebagai penghapus dosa.

Makna ayat tersebut bisa pula shalat lima waktu itu wajib bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan wajib bagi orang² yang beriman. Sedangkan shalat malam (shalat lail) hanyalah wajib bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa salam semata karena kemuliaan beliau di sisi Allah. Jadi tugas yang dibebankan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu banyak lebih dari yang lain. Beliau diberi karunia untuk mengerjakannya sebagai jalan untuk memperbanyak pahala dan meninggikan kedudukannya. Shalat inilah yang membuat beliau meraih maqam (kedudukan) yang terpuji, yaitu mendapatkan syafa’atul ‘uzhma.

Syafa’atul ‘uzhma adalah syafa’at di mana nabi² besar seperti Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan ‘Isa tidak bisa memberikan syafa’at itu, sampai² orang² meminta syafa’at tersebut pada Nabi Muhammad (sayyid waladi Adam). Dengan syafa’at inilah, Allah merahmati manusia yang berkumpul di padang mahsyar tersebut, mengangkat kesulitan dan segera diberikan persidangan di tengah² mereka.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

AMALAN YANG PALING BANYAK MEMBUAT MASUK SURGA

06.25.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga ada dua amalan yaitu taqwa dan akhlak yang baik.

Yang terakhir di atas yang amat jarang ditemukan, bahkan pada orang² yang sudah kenal agama. Ada yang sudah lama ngaji, sudah sekian duduk di majelis ilmu, namun ia adalah orang yang sering lalaikan amanat. Dengan tampilannya yang jenggotan, namun terlihat sangar (tidak murah senyum) dan kasar. Seolah² yang dipentingkan adalah penampilan lahiriyah tanpa memperhatikan akhlak yang santun, amanat dan lemah lembut. Padahal seharusnya dengan rajinnya menuntut ilmu dan sudah menjalankan ajaran Rasul semakin terbimbing pada akhlak yang baik. Karena taqwa dan akhlak baik itulah yang mengantarkan pada surga.

Dari Abu Hurairah, ia berkata,

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab, “Taqwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.” Beliau ditanya pula mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau, “Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi no.2004 dan Ibnu Majah no.4246. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Maksud Taqwa

Taqwa asalnya adalah menjadikan antara seorang hamba dan sesuatu yang ditakuti suatu penghalang. Sehingga taqwa kepada Allah berarti menjadikan antara hamba dan Allah suatu benteng yang dapat menghalangi dari kemarahan, murka dan siksa Allah. Taqwa ini dilakukan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi maksiat.

Namun taqwa yang sempurna kata Ibnu Rajab Al Hambali adalah dengan mengerjakan kewajiban, meninggalkan keharaman dan perkara syubhat, juga mengerjakan perkara sunnah, dan meninggalkan yang makruh. Inilah derajat taqwa yang paling tinggi.

Al Hasan Al Bashri berkata,

المتقون اتَّقَوا ما حُرِّم عليهم ، وأدَّوا ما افْتُرِض عليهم

“Orang yang bertaqwa adalah mereka yang menjauhi hal² yang diharamkan dan menunaikan berbagai kewajiban.”

Umar bin Abdul Aziz berkata,

ليس تقوى الله بصيام النهار ، ولا بقيام الليل ، والتخليطِ فيما بَيْنَ ذلك ، ولكن تقوى اللهِ تركُ ما حرَّم الله ، وأداءُ ما افترضَ الله ،فمن رُزِقَ بعد ذلك خيراً ، فهو خيرٌ إلى خير

“Taqwa bukanlah hanya dengan puasa di siang hari atau mendirikan shalat malam, atau melakukan kedua²nya. Namun taqwa adalah meninggalkan yang Allah haramkan dan menunaikan yang Allah wajibkan. Siapa yang setelah itu dianugerahkan kebaikan, maka itu adalah kebaikan pada kebaikan.”

Tholq bin Habib mengatakan,

التقوى أنْ تعملَ بطاعةِ الله ، على نورٍ من الله ، ترجو ثوابَ الله ، وأنْ تتركَ معصيةَ الله على نورٍ من الله تخافُ عقابَ الله

“Taqwa berarti engkau menjalankan ketaatan pada Allah atas petunjuk cahaya dari Allah dan engkau mengharap pahala dari-Nya. Termasuk dalam taqwa pula adalah menjauhi maksiat atas petunjuk cahaya dari Allah dan engkau takut akan siksa-Nya.”

Ibnu Mas’ud ketika menafsirkan ayat bertaqwalah pada Allah dengan sebenar²nya taqwa yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 102, beliau berkata,

أنْ يُطاع فلا يُعصى ، ويُذكر فلا ينسى ، وأن يُشكر فلا يُكفر

“Maksud ayat tersebut adalah Allah itu ditaati, tidak bermaksiat pada-Nya. Allah itu terus diingat, tidak melupakan-Nya. Nikmat Allah itu disyukuri, tidak diingkari.”
(HR. Al Hakim secara marfu’, namun mauquf lebih shahih).

Yang dimaksud bersyukur pada Allah adalah dengan melakukan ketaatan pada-Nya.

Adapun maksud mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya adalah selalu mengingat Allah dengan hati pada setiap gerakan dan diamnya, begitu saat berucap. Semuanya dilakukan hanya untuk meraih pahala dari Allah. Begitu pula larangan-Nya pun dijauhi. (Jaami’ul Ulum wal Hikam 1: 397-402)

Maksud Akhlak yang Baik

Dalam hadits Abu Dzar disebutkan,

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Ikutilah kejelekan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi no.1987 dan Ahmad 5/153. Abu ‘Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Ibnu Rajab mengatakan bahwa berakhlak yang baik termasuk bagian dari taqwa. Akhlak disebutkan secara bersendirian karena ingin ditunjukkan pentingnya akhlak. Sebab banyak yang menyangka bahwa taqwa hanyalah menunaikan hak Allah tanpa memperhatikan hak sesama. (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam 1: 454).

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan akhlak yang baik sebagai tanda kesempurnaan iman. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”
(HR. Abu Daud no.4682 dan Ibnu Majah no.1162. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Akhlak yang baik (husnul khuluq) ditafsirkan oleh para salaf dengan menyebutkan beberapa contoh. Al Hasan Al Bashri mengatakan,

حُسنُ الخلق : الكرمُ والبذلة والاحتمالُ

“Akhlak yang baik adalah ramah, dermawan, dan bisa menahan amarah.”

Asy Sya’bi berkata bahwa akhlak yang baik adalah,

البذلة والعطية والبِشرُ الحسن ، وكان الشعبي كذلك

“Bersikap dermawan, suka memberi, dan memberi kegembiraan pada orang lain.”

Demikianlah Asy Sya’bi, ia gemar melakukan hal itu.

Ibnul Mubarok mengatakan bahwa akhlak yang baik adalah,

هو بسطُ الوجه ، وبذلُ المعروف ، وكفُّ الأذى

“Bermuka manis, gemar melakukan kebaikan dan menahan diri dari menyakiti orang lain.”

Imam Ahmad berkata,

حُسنُ الخلق أنْ لا تَغضَبَ ولا تحْتدَّ ، وعنه أنَّه قال : حُسنُ الخلق أنْ تحتملَ ما يكونُ من الناس

“Akhlak yang baik adalah jangan engkau marah dan cepat naik darah.” Beliau juga berkata, “Berakhlak yang baik adalah bisa menahan amarah di hadapan manusia.”

Ishaq bin Rohuwyah berkata tentang akhlak yang baik,

هو بسطُ الوجهِ ، وأنْ لا تغضب

“Bermuka manis dan jangan marah.” (Jaami’ul Ulum wal Hikam 1: 457-458).

Semoga Allah Ta'alaa mengaruniakan kepada kita sifat taqwa dan akhlak yang mulia'..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..