Jumat, 17 Februari 2017

MERAIH KEBERKAHAN HIDUP DENGAN TAWAKAL

08.14.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Di antara keistimewaan Nabi Isa adalah beliau dianugerahi keberkahan di mana pun berada. Hal ini disebutkan dalam surat Maryam ayat: 31,

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيۡنَ مَا كُنتُ

“Dan Dia (Allah) menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.”

Tentu ini merupakan nikmat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang sangat besar untuk Nabi Isa ‘alaihis salam. Keberkahan, yaitu tetapnya kebaikan, selalu menyertai Nabi Isa ‘alaihis salam dalam tutur kata dan perbuatannya. Bahkan, keberkahan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala tak pernah lepas darinya di kala senang ataupun susah.

Nikmat yang agung seperti ini tidak semua orang mendapatkannya. Bisa jadi di sana ada orang yang diberkahi ketika duduk di majelis ilmu. Namun, dia tidak diberkahi saat berada di tengah² keluarganya dengan berbuat zalim kepada anak dan istrinya.

Sebagian orang diberkahi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk beramal kebaikan saat lapang, namun tidak diberkahi saat sulit. Padahal apabila keberkahan hidup menyertai seseorang, sesuatu yang sedikit bisa menjadi banyak, perubahan kondisi pun tidak akan mengubah semangatnya menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Kiat Agar Keberkahan Hidup Selalu Menyertai Hamba

Tanpa bantuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, manusia selalu diliputi oleh kelemahan dalam segala sisi kehidupannya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا ٢٨

“Dan manusia diciptakan bersifat lemah.” (QS. An Nisa: 28)

Tak terkecuali dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup sehari². Oleh karena itu, sebagai orang yang beriman kita mesti senantiasa bergantung pada Sang Pencipta alam semesta, dengan selalu memohon kepada-Nya agar dimudahkan dalam segala urusan. Tentu saja dengan diiringi usaha yang maksimal.

Orang yang berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala (tawakal) tidak akan pernah kecewa karena ia yakin dengan janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ

“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” ( QS. Ath Thalaq: 3)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan dalam suatu haditsnya,

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْبِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ

“Bersemangatlah engkau terhadap sesuatu yang bermanfaat bagimu, dan mintalah bantuan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, janganlah melemah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Syech As Sa’di rahimahullah berkata, “Urusan yang bermanfaat ada dua macam, yaitu urusan agama dan urusan dunia. Sebagaimana halnya memerlukan urusan dunia, seorang hamba juga memerlukan urusan agama. Sementara itu, rahasia keberhasilan hamba dan diberinya petunjuk terletak pada semangat dan kesungguhannya dalam mewujudkan dua macam urusan yang bermanfaat tersebut, sembari memohon pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Manakala seorang hamba bersungguh² dalam urusan yang bermanfaat, dengan menelusuri jalan (keberhasilan) serta senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar hal tersebut terwujud, ini menjadi pertanda kesempurnaan dan keberhasilannya. Apabila salah satu dari tiga faktor ini (semangat mencari sesuatu yang bermanfaat dan meminta bantuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala) tidak terpenuhi, sebatas itu pula ia terlewatkan dari kebaikan.

Oleh karena itu, orang yang tidak bersemangat dalam urusan yang bermanfaat, justru bermalas²an, ia tidak menggapai apa pun (dari kebaikan) karena kemalasan adalah pangkal kegagalan. Orang yang pemalas tidak akan meraih kebaikan dan kemuliaan. Ia bukan orang yang memperoleh keberuntungan, baik dari sisi agama maupun sisi dunia.

(Seperti itu pula) orang yang bersemangat namun pada urusan² yang tidak ada manfaatnya, baik sesuatu yang jelas² bermudhorot maupun sesuatu yang bisa menghambat kesempurnaan (dirinya).

Hasil dari semangat yang seperti ini hanyalah penyesalan, terlewat dari kebaikan, dan mendapat kejelekan, serta sesuatu yang membahayakan. Sungguh, betapa banyak orang yang bersemangat menempuh cara dan metode yang tidak berguna lantas tidak memetik dari semangatnya selain letih dan sengsara.

Berikutnya, apabila seorang hamba telah menempuh usaha yang bermanfaat dengan penuh semangat, belum dikatakan sempurna hingga dia benar² bergantung pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan meminta bantuan-Nya guna tercapai dan terpenuhinya (kebutuhannya).

Seseorang hendaknya tidak mengandalkan kemampuan diri, usaha, dan kekuatannya. Akan tetapi, hendaknya ia bersandar secara penuh, lahir dan batin, kepada Rabbnya. Dengan cara ini, hal² yang sulit akan terasa mudah, dan kondisi menjadi ringan, serta hasil yang maksimal bisa diraih.” (Bahjatu Qulubil Abrar hlm.25)

Amal Shaleh Membawa Keberkahan Hidup

Usaha yang keras dan tekun dengan menempuh sebab² keberhasilan, secara teori duniawi bukanlah satu²nya jalan untuk menggapai cita². Ada sebuah faktor utama untuk mendapatkan keberkahan hidup, yaitu menjalankan beragam ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini dinyatakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya,

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٖ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ

“Jikalau penduduk negeri² beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al A’raf: 96)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Sesungguhnya amal kebaikan akan menjadikan wajah bercahaya, hati bersinar, rezeki luas, badan kuat, dan kecintaan pada hati para hamba. Sebaliknya, sesungguhnya kemaksiatan akan membuat wajah menjadi kelam, hati menjadi gelap, badan menjadi lemah, rezeki berkurang, dan kebencian pada hati para hamba.”(Nurul Taqwa hlm.4—5 karya Al Qahthani)

Di antara amal ketaatan tersebut adalah menyambung tali kekerabatan (silaturrahmi). Al Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali kekerabatannya.”

Memang, balasan itu setimpal dengan perbuatan. Sebagaimana seseorang telah menyambung karib kerabatnya dengan beragam kebaikan serta menyisipkan kebahagiaan kepada mereka, Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga akan membalas dengan menyambung umur orang tersebut dan rezekinya, membukakan baginya pintu² rezeki dan barokahnya. Sesuatu yang tidak bisa diraih kecuali dengan sebab yang mulia (silaturrahmi) ini. Sebagaimana kesehatan yang terjaga, udara yang sejuk, makanan yang bergizi, serta melakukan hal² yang bisa memperkuat tubuh dan hati termasuk sebab panjangnya umur, demikian pula silaturrahmi.

Sesungguhnya cara untuk diperolehnya hal² duniawi yang disukai oleh hamba ada dua: satu cara yang bisa dijangkau oleh indra, dan cara yang lain adalah upaya² syar’i berupa amal ketaatan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ

“Barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath Thalaq: 2—3)

Sabar Kunci Keberhasilan

Sabar dalam agama Islam kedudukannya seperti kepala bagi tubuh. Apabila kepala itu hilang, mungkinkah seseorang itu hidup?!

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَمِنَ الصَّبْرِ

“Tidaklah seorang diberi (oleh Allah Subhanahu wa ta’ala) sebuah pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (Muttafaqun ‘alaih)

Sabar dengan tiga macamnya yaitu bersabar menjalankan perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bersabar meninggalkan larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta bersabar menghadapi musibah dan cobaan, merupakan kunci kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberi janji² yang mulia bagi orang yang bersabar. Di antara janji tersebut ialah orang yang sabar akan dibantu dalam segala urusannya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencintainya, mengokohkan hati dan kakinya, memberikan ketenteraman, memudahkannya untuk berbuat ketaatan, dijaga dari dosa, ditinggikan derajatnya dan beragam janji mulia dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Bahkan, derajat kemuliaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan kepemimpinan dalam agama didapat dengan kesabaran, sebagaimana firman-Nya,

وَجَعَلۡنَا مِنۡهُمۡ أَئِمَّةٗ يَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا لَمَّا صَبَرُواْۖ وَكَانُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَا يُوقِنُونَ ٢٤

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin² yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat² Kami.” (QS. As Sajdah: 24)

Apabila seseorang telah menghiasi dirinya dengan tiga bentuk kesabaran, ia akan istiqamah di atas jalan kebenaran. Amal ketaatan akan dia kerjakan, apa pun keadaannya. Kemaksiatan akan dia jauhi, sebesar apa pun dorongan hawa nafsunya. Musibah dunia akan dihadapinya dengan ketabahan, sepahit apa pun rasanya.

Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Kita dapatkan sebaik-baik kehidupan kita dalam kesabaran.”

Ali radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya kedudukan sabar terhadap iman seperti kepala bagi tubuh. Tidak ada iman bagi yang tidak punya sifat sabar.” (Nurul Iqtibas karya Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah)

Merasa Cukup dengan Pemberian Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Menurut agama, orang yang kaya bukan yang melimpah hartanya. Orang yang kaya adalah yang hatinya merasa cukup dengan pemberian Allah Subhanahu Wa Ta’ala (qana’ah).

Orang yang hatinya selalu rakus dengan dunia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan. Ia selalu melihat kepada orang yang lebih tinggi darinya dalam urusan dunia. Akhirnya, ia meremehkan nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam qalbunya tumbuh rasa hasad dan iri terhadap orang lain.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُغِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ،وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْكَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُبَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ، وَلَمْيَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ

“Barang siapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala jadikan rasa kecukupannya dalam hatinya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan kumpulkan baginya urusan²nya yang berceceran. Dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina dan mudah didapat. Sebaliknya, barang siapa yang dunia menjadi tujuannya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala jadikan kefakirannya terpampang di hadapan kedua matanya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala cerai-beraikan urusannya, dan dunia tidaklah sampai kepadanya kecuali apa yang telah ditakdirkan untuknya.” (HR. Tirmidzi dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Syaikh Al Albani menyatakan sahih dalam Shahih Al Jami’ no.6510)

Orang yang kefakirannya selalu terpampang di hadapannya, bagaimana akan merasa bahagia? Orang yang tidak pernah puas dengan pemberian Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bagaimana ia tidak tersiksa?

Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Apabila kita memiliki hati yang merasa puas dengan pemberian Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kita sama dengan raja dunia."

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا قَلَّ وَكَفَى خَيْرٌ مِمَّا كثُرَ وَأَلْهَى

“Sesungguhnya yang sedikit dan mecukupi lebih baik daripada yang banyak namun melalaikan.” (HR. Abu Ya’la dan Adh Dhiya. Shahih Al Jami’ no.5653)

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..

RIDHA ALLAH ADA DALAM RIDHA KEDUA ORANG TUA

08.01.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Salah satu syariat Islam terpenting adalah berbuat bagus terhadap kedua orang tua. Berbuat baik kepada ayah dan ibu bersifat mutlak tanpa syarat, apakah orang tua kita itu orang beriman atau tidak, apakah mereka itu orang kaya yang dapat memanjakan anaknya ataukah mereka orang biasa yang tidak dapat mencukupi kebutuhan anak²nya. Hanya satu batas dalam birul walidaini yaitu apabila orang tua mengajak kemaksiatan atau menghalangi kita untuk bertaqwa pada Allah maka kita tidak boleh mentaatinya.

Saking wajibnya seorang anak berbakti kepada kedua orang tua, Allah Azza wa Jalla menggandeng perintah berbuat baik kepada orang tua dengan perintah beribadah kepada-Nya. Bahkan Rasulullah SAW menjamin bahwa ridha Allah ada di dalam ridho kedua orang tua. Sebaliknya murka ayah dan ibu berarti murka Allah pula.

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا…

"Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua dengan sungguh².." [QS. An Nisa’ (4): 36]

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (15)

"Dan Aku (Allah) berwasiat (memerintahkan) kepada manusia terhadap kedua orang tuanya agar berbuat baik, ibunya telah mengandungnya dengan berat dan melahirkannya dengan berat, dan ibunya mengandung dan menyapihnya hingga tiga puluh bulan. Sehingga ketika sampai dewasanya sampai usia empat puluh tahun. Manusia itu (Abu Bakar) berdoa,”Ya Tuhanku berilah saya ilham agar selalu bersyukur terhadap nikmat²-Mu yang telah engkau berikan kepada saya dan kepada kedua orang tuaku dan agar saya dapat mengamalkan kebaikan yang engkau ridhoi dan bagusilah keturunanku. Sesungguhnya saya bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya saya tergolong orang Islam.." [QS. Al Ahqoof (46): 15]

1899 – حَدَّثَنَا أَبُو حَفْصٍ عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ: حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الحَارِثِ قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنِ النَّبِيِّ [ص:311] صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ» …
__________
[حكم الألباني] : صحيح

"… dari Abdillah bin Amri, dari Rasulullah SAW bersabda, “Ridho Allah ada dalam ridho orang tua dan murka Allah ada pada kemurkaan orang tua.." [HR. Thirmizi No.1899 Abwabu Birri wa Sholah]

Praktek Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua

Jelas, berbuat baik kepada kedua orang tua adalah kewajiban mutlak bagi setiap orang Islam. Seorang beriman yang dapat berbakti kepada orang tua akan mendapatkan kemuliaan baik di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya seseorang yang menyia-nyiakan ayah ibunya diancam siksa Allah dunia akhirat.

Orang tua, bapak dan ibu adalah salah satu jembatan ke Surga bagi seorang anak. Celakalah seseorang yang menjumpai kedua orang tuanya sudah tua renta tapi tidak dapat dijadikan jalan ke Surga.

Karena itu setiap Muslim mesti menyadari kewajiban atau amalan² yang harus dikerjakan untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya.

Berikut adalah rangkuman sikap perbuatan sebagai wujud birul walidain..

• Selalu bersyukur kepada Allah dan kepada kedua orang tua

Keberadaan kita di dunia ini adalah lantaran perjuangan orang tua. Tidak ada kasih sayang yang diperoleh seorang anak melebihi kasih sayang orang tua. Maka sudah sepatutnya seorang anak selalu bersyukur kepada kedua orang tuanya. Sebagai seorang anak hendaknya mencintai, sayang dan berterima kasih kepada ayah dan ibu.

Sebaliknya tidak sepatutnya seorang anak merendahkan atau mencela orang tua sebab kekurangan bapak dan ibunya. Sekecil apapun pemberian orang tua wajib disyukuri tidak boleh diremehkan. Begitu juga seorang anak tidak boleh meminta atau menuntut yang diluar batas kemampuan orang tua.

Sesuai Firman Allah dalam Surah Lukman ayat 14,

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)

"Dan Aku (Allah) perintahkan kepada manusia (berbuat bagus) kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang terus menerus dan menyapihnya dalam dua tahun. Maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku lah tempat kembali.." [QS. Lukman (31): 14]

• Hormat, patuh dan berbakti kepada kedua orang tua

Salah satu bentuk berbuat baik kepada orang tua (birul walidain) adalah bersikap hormat, taat / patuh dan berbakti kepada ayah dan ibu. Adalah dosa besar bila seorang anak berkata kasar atau membentak kedua orang tuanya, terutama terhadap orang tua yang sudah tua renta.

Ini sesuai dengan firman Allah dalam Surah Al Isro’ ayat 23,

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا ,ظيهر.

"Dan Tuhanmu telah mewajibkan supaya kalian jangan menyembah selain Dia (allah) dan hendaknya kalian berbuat baik pada kedua orang tua kalian dengan sungguh², jika salah seorang diantara keduannya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam peramutanmu, maka sekali² janganlah kamu mengatkan “hus!” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka dengan perkataan yang mulia.." [QS. Al Isro’ (17): 23]

Berbuat baik kepada kedua orang tua derajatnya melebihi Jihad fii Sabilillah. Dikisahkan dalam hadist Sunan Abu Daud No.2530 Kitabul Jihad, seorang sahabat yang hijrah untuk jihad pada masa Rasulullah namun Nabi memerintahkannya kembali pulang untuk merawat orang tuanya..

2530 – حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي [ص:18] عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، أَنَّ دَرَّاجًا أَبَا السَّمْحِ حَدَّثَهُ، عَنْ أَبِي الْهَيْثَمِ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، أَنَّ رَجُلًا هَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْيَمَنِ فَقَالَ: «هَلْ لَكَ أَحَدٌ بِالْيَمَنِ؟» ، قَالَ: أَبَوَايَ، قَالَ: «أَذِنَا لَكَ؟» قَالَ: «لَا» ، قَالَ: «ارْجِعْ إِلَيْهِمَا فَاسْتَأْذِنْهُمَا، فَإِنْ أَذِنَا لَكَ فَجَاهِدْ، وَإِلَّا فَبِرَّهُمَا»
__________
[حكم الألباني] : صحيح

"… dari Abi Said AlHudriyi: Sesungguhnya ada seorang laki² dari Yaman hijrah pada Nabi, maka Nabi bertanya: “Apakah engkau memiliki seseorang di Yaman?”
Laki² itu menjawab, “Kedua orang tuaku”.
Lalu Nabi bertanya kembali, “Apakah keduanya memberi izin engaku.”
Laki² itu menjawab, “Tidak”.
Nabi bersabda: “Kembalilah kamu pada keduanya, maka mintalah izin pada keduanya, jika mereka memberi izin maka berjihadlah, namun bila tidak memberi izin maka berbuat baiklah kamu kepada mereka.." [HR. Abu Daud No.2530 Kitabul Jihad]

• Berupaya menjadi anak sholeh dan selalu berdoa untuk kebaikan orang tua

Pengharapan terbesar dari kedua orang tua tidak ada lain kecuali agar anak²nya menjadi anak sholeh, orang² yang bertaqwa kepada Allah. Anak sholeh akan dapat mengangkat derajat kedua orang tua baik di dunia maupun di akhirat. Tidak ada yang dapat membalas budi kedua orang tua kecuali doa anak sholeh kepada kedua orang tuanya.

2880 – حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمُؤَذِّنُ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ يَعْنِي ابْنَ بِلَالٍ، عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أُرَاهُ عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ: مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ ”
__________
[حكم الألباني] : صحيح

"… dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Ketika manusia mati putuslah darinya amalannya kecuali tiga perkara: dari shodaqoh jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya.." [HR. Abu Daud No.2880 Kitabul Washoya]

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..