Senin, 05 September 2016

SHALAT ITU LEBIH UTAMA DARI DZIKIR

07.23.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum, Pagi Akhi Ukhti'..

Shalat itu lebih utama dari dzikir. Namun sebagian kalangan menempatkan dzikir sesudah shalat itu lebih utama dari shalat. Yang terjadi, mereka berdzikir bisa sampai satu jam setelah shalat wajib. Sedangkan shalatnya saja cepat, hanya 5 menitan. Malah ada yang dzikirnya sampai ribuan namun sayang tidak shalat. Wallahul musta’an..

Allah Ta’ala berfirman,

اَتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ankabut: 45)

Penjelasan berikut ane sarikan dari penjelasan Syech As Sa’di dalam Tafsir Al Karim Ar Rahman (hal.669) mengenai ayat di atas.

Fahsya’ dan Munkar

Dalam ayat disebutkan bahwa shalat dapat mencegah perbuatan fahsya’ dan munkar. Apa yang dimaksud fahsya’ dan munkar?

Fahsya’ artinya maksiat yang sangat disukai oleh jiwa. Sedangkan Munkar adalah maksiat yang akal dan fitrah tidak menyetujuinya.

Shalat Mencegah Fahsya’ dan Munkar

Shalat yang bagaimana yang dapat mencegah perbuatan keji dan munkar? Yaitu shalat yang dikerjakan dengan memenuhi rukun, syarat, dan khusyu’nya. Hati jadi bersinar dan bersih ketika melaksanakannya. Iman pun semakin bertambah ketika shalat tersebut dijalankan. Shalat tersebut pun semakin mendorong orang untuk semangat dalam kebaikan. Shalat tersebut dapat membuat kejelekan (dosa) diminimalkan atau bahkan dinihilkan.
Shalat yang dikerjakan seperti yang disebut di atas, itulah yang dapat mencegah perbuatan fahsya’ dan munkar. Itulah hasil dan buah shalat yang paling utama.

Shalat itu Lebih Utama dari Dzikir

Ada shalat yang lebih utama yaitu shalat yang di dalamnya terdapat dzikir pada Allah dengan hati, lisan dan badan. Karena Allah Ta’ala menciptakan makhluk untuk beribadah. Ibadah yang paling utama adalah shalat. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam shalat terdapat ibadah dengan seluruh jawarih (anggota badan) yang tidak terdapat pada ibadah lainnya. Oleh karena itu disebut dalam ayat dengan _*‘wa ladzikrullahi akbar’*_, yaitu shalat lebih utama dari ibadah lainnya.
Setelah menyebutkan keutamaan shalat dalam ayat ini, kebanyakan pakar tafsir menyatakan bahwa dzikir setelah shalat lebih utama daripada shalat itu sendiri. Namun menurut Syech As Sa’di, pernyataan yang awal disebutkan bahwa shalat itu lebih utama dari ibadah lainnya menunjukkan bahwa shalat itu sendiri lebih utama dari dzikir sesudah shalat. Karena shalat sendiri adalah akbarudz dzikr (dzikir yang paling besar).

Demikian intisari pernyataan dari Syech As Sa’di rahimahullah.
Ada pendapat dari ulama lain yang dinukil oleh Imam Asy Syaukani yang menyatakan sama seperti pendapat Syech As Sa’di di atas bahwa dzikir yang dimaksud dalam ayat adalah shalat. Karena dalam ayat lainnya shalat dinyatakan dengan dzikir seperti pada ayat,

فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ

“Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (yaitu shalat).” (QS. Al-Jumu’ah: 9).

Yang jelas dalam shalat terdapat dzikir yang menunjukkan keutamaan shalat itu sendiri dari ibadah lainnya. (Fath Al Qadir, 4: 269)

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad..

"Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat"

LALAI DARI DZIKIR MUDAH DI DEKATI SETAN (Bag.2)

07.15.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum, Malem Akhi Ukhti'..
Melanjutkan bahasan mengenai Lalai dari dzikir mudah di dekati setan, Berikut nya dalam bahasan ini, ane sertakan bukti bahwa lalai dari dzikir memang akan membuat setan mudah mendekat dan menggoda manusia.  
Sifat setan ada dua: memberi godaan ketika manusia lalai dari dzikir, lalu bersembunyi ketika manusia rajin berdzikir.

Sedangkan pembahasan sebelumnya menunjukkan orang yang lalai dari dzikir (peringatan) Al-Qur’an, maka akan disesatkan oleh setan dari jalan yang lurus.
Yang patut direnungkan adalah ayat berikut,

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5)

“Katakanlah: “Aku berlidung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” (QS. An Naas: 1-5)

Dalam Al Kalim Ath-Thayyib, Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa kita diperintahkan oleh Allah untuk berdzikir. Fungsi dzikir adalah seperti seseorang yang mengusir musuhnya dengan cepat. Sampai² jika musuh itu datang pada benteng, maka akan terlindungi.

Demikianlah fungsi dzikir bagi diri. Diri seseorang akan semakin terlindungi dari setan hanyalah dengan dzikir pada Allah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika keutamaan dzikir hanyalah ini, tentu seorang hamba akan terus membasahi lisannya dengan dzikir pada Allah Ta’ala dan terus teguh dengan dzikir tersebut. Karena yang dapat melindunginya dari musuh (yaitu setan) hanyalah dengan dzikir. Musuhnya pun baru bisa menyerang ketika ia lalai dari dzikir. Musuh tersebut baru akan menangkap dan memburunya ketika ia lalai dari dzikir. Namun jika dirinya disibukkan dengan dzikir pada Allah, musuh tersebut akan bersembunyi, menjadi kerdil dan hina. Sampai² ia seperti burung pipit atau seperti lalat (binatang kecil yang tak lagi menakutkan). Karenanya setan memiliki sifat waswasil khannas. Maksudnya, menggoda hati manusia ketika manusia itu lalai. Namun ketika manusia mengingat Allah, setan mengerut (mengecil).” (Al Wabil Ash Shayyib hlm.83)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

الشَّيْطَانُ جَاثَمَ عَلَى قَلْبِ اِبْنِ آدَمَ فَإِذَا سَهَا وَغَفَلَ وَسْوَسَ فَإِذَا ذَكَرَ اللهَ تَعَالَى خَنَّسَ

“Setan itu mendekam pada hati manusia. Jika ia luput dan lalai, setan menggodanya. Jika manusia mengingat Allah, setan akan bersembunyi.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 13: 469-470, Adh-Dhiya’ dalam Al Mukhtar 10: 367 dengan sanad yang shahih)

Kesimpulannya, sifat setan adalah penggoda. Saat kapan jadi penggoda manusia? Yaitu saat manusia lalai dari dzikrullah.

Semoga Allah melindungi kita dari gangguan setan..

Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin..

"Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat"

LALAI DARI DZIKIR MUDAH DI DEKATI SETAN (Bag.1)

07.08.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..
Ayat yang dikaji kali ini menerangkan orang yang lalai dari dzikir. Namun maksud bahasan adalah orang yang lalai dari Al Qur’an atau peringatan Al Qur’an..
Hukuman baginya adalah akan mudah didekati setan. Apa maksud mudah didekati oleh setan?

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. Az-Zukhruf: 36)

Ayat di atas menerangkan tentang orang yang berpaling dari peringatan Ar Rahman yaitu Al Qur’an Al ‘Azhim. Al Qur’an adalah sebesar²nya rahmat yang Allah berikan pada hamba-Nya. Siapa yang menerima peringatan Al-Qur’an, berarti ia telah menerima anugerah yang besar. Sedangkan yang berpaling dan menolak peringatan Al Qur’an, maka ia sangat² merugi dan tidak akan bahagia selamanya.
Akhirnya, setan pun akan menjadi teman dekatnya. Demikian keterangan dari Syech As-Sa’di dalam kitab tafsirnya.

Ternyata, yang berpaling dari dzikir dalam ayat tersebut bukanlah dzikir biasa, namun berpaling dari Al Qur’an. Kata Ibnu Katsir ayat di atas serupa dengan ayat-ayat berikut..

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang² mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk² tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ

“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.” (QS. Ash-Shaf: 5)

وَقَيَّضْنَا لَهُمْ قُرَنَاءَ فَزَيَّنُوا لَهُمْ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَحَقَّ عَلَيْهِمُ الْقَوْلُ فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ إِنَّهُمْ كَانُوا خَاسِرِينَ

“Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka dan tetaplah atas mereka keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka dari jin dan manusia, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (QS. Fushshilat: 25)

Oleh karena itu, Allah katakan pada ayat selanjutnya,

وَإِنَّهُمْ لَيَصُدُّونَهُمْ عَنِ السَّبِيلِ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُونَ

“Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. Az-Zukhruf: 37)

Ibnu Katsir mengatakan, “Inilah orang yang berpaling dari petunjuk, maka ia akan terus didekati oleh setan untuk menyesatkannya. Setan akan menunjuki dia pada jalan kesesatan.”

Wallahu waliyyut taufiq..

"Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat"

NIKMAT SEHAT DAN WAKTU LUANG YANG MEMBUAT MANUSIA TERTIPU

06.58.00 Posted by Admin No comments




Assalamu'alaikum, Siang Akhi Ukhti..

Untuk tauziah siang ini sebagai pengisi waktu istirahat siang, ane akan mengulas dua nikmat Allah yang biasa manusia sering lupa dan bahkan sering tertipu..

Dua nikmat ini seringkali dilalaikan oleh manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari no.6412 dari Ibnu ‘Abbas)

Ibnu Baththol mengatakan, ”Seseorang tidaklah dikatakan memiliki waktu luang hingga badannya juga sehat. Barangsiapa yang memiliki dua nikmat ini (yaitu waktu senggang dan nikmat sehat), hendaklah ia bersemangat, jangan sampai ia tertipu dengan meninggalkan syukur pada Allah atas nikmat yang diberikan. Bersyukur adalah dengan melaksanakan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan Allah. Barangsiapa yang luput dari syukur semacam ini, maka dialah yang tertipu.”

Ibnul Jauzi mengatakan, ”Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun ia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dengan urusan dunianya. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun ia dalam kondisi tidak sehat. Apabila terkumpul pada manusia waktu luang dan nikmat sehat, sungguh akan datang rasa malas dalam melakukan amalan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terperdaya).”

Ibnul Jauzi juga mengatakan nasehat yang sudah semestinya menjadi renungan kita, “Intinya, dunia adalah ladang beramal untuk menuai hasil di akhirat kelak. Dunia adalah tempat kita menjajakan barang dagangan, sedangkan keuntungannya akan diraih di akhirat nanti. Barangsiapa yang memanfaatkan waktu luang dan nikmat sehat dalam rangka melakukan ketaatan, maka dialah yang akan berbahagia. Sebaliknya, barangsiapa memanfaatkan keduanya dalam maksiat, dialah yang betul-betul tertipu. Sesudah waktu luang akan datang waktu yang penuh kesibukan. Begitu pula sesudah sehat akan datang kondisi sakit yang tidak menyenangkan.”

‘Umar bin Khottob mengatakan,

إنِّي أَكْرَهُ الرَّجُلَ أَنْ أَرَاهُ يَمْشِي سَبَهْلَلًا أَيْ : لَا فِي أَمْرِ الدُّنْيَا ، وَلَا فِي أَمْرِ آخِرَةٍ .

“Aku tidak suka melihat seseorang yang berjalan seenaknya tanpa mengindahkan ini dan itu, yaitu tidak peduli penghidupan dunianya dan tidak pula sibuk dengan urusan akhiratnya.”

Ibnu Mas’ud mengatakan,

إنِّي لَأَبْغَضُ الرَّجُلَ فَارِغًا لَا فِي عَمَلِ دُنْيَا وَلَا فِي عَمَلِ الْآخِرَةِ

“Aku sangat membenci orang yang menganggur, yaitu tidak punya amalan untuk penghidupan dunianya ataupun akhiratnya.”

Semoga Allah selalu memberi kita taufik dan hidayah-Nya untuk memanfaatkan dua nikmat ini dalam ketaatan, dan semoga kita tidak termasuk orang² yang tertipu dan terperdaya..

Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin..

"Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang manfaat"

BOLEHKAH BERQURBAN DENGAN CARA KOLEKTIF

06.47.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..

2 hari yang lalu ada sodara kita yang bernama Nunu dari Cirebon nanya,  
"Apakah di perbolehkan bila berqurban dengan cara patungan?"

Sebenarnya tidak mengapa berqurban dengan cara patungan/iuran/ditanggung bersama  antara 2 orang, 3,5,6 dan maksimal sampai 7 (tujuh) orang, tanpa membedakan apakah anggota yang berpatungan itu satu rumah ataukah berbeda rumah, memiliki hubungan kerabat  maupun tidak.
Semuanya sah selama hewan yang diqurbankan adalah unta atau sapi. Adapun jika hewan yang dikurbankan adalah kambing, maka hanya boleh untuk satu orang dan tidak sah jika dengan cara patungan.
Terkait orang yang diikutkan/diserikatkan dalam pahala, maka tidak ada batasan. Boleh  tujuh orang, sepuluh, seratus, sampai tak terbatas.

Yang di maksud dengan patungan berqurban di sini adalah kesepakatan sejumlah orang  untuk bersama-sama membeli hewan qurban, kemudian hewan tersebut disembelih atas nama  mereka dengan niat berqurban. Mereka membeli hewan qurban itu dengan harta masing-masing sehingga kepemilikan atas hewan qurban itu adalah kepemilikan bersama (الْمِلْكُ الْمُشْتَرَكُ). Jika yang melakukan patungan adalah 5 orang, maka kepemilikan hewan kurban bagi masing-masing anggota adalah 1/5 hewan qurban tersebut, jika yang berpatungan 6 berarti kepemilikan masing-masing 1/6, jika yang berpatungan 7 orang berarti kepemilikan masing -masing 1/7 dan seterusnya. Berkurban dengan cara patungan seperti ini adalah berqurban yang sah selama hewan yang diqurbankan adalah unta atau sapi, dan anggota yang berpatungan maksimal berjumlah 7 (tujuh).

Dalil yang menunjukkan keabsahannya adalah hadits berikut ini..

صحيح مسلم (6/ 476)

عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ اشْتَرَكْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ كُلُّ سَبْعَةٍ فِي بَدَنَةٍ فَقَالَ رَجُلٌ لِجَابِرٍ أَيُشْتَرَكُ فِي الْبَدَنَةِ مَا يُشْتَرَكُ فِي الْجَزُورِ قَالَ مَا هِيَ إِلَّا مِنْ الْبُدْنِ وَحَضَرَ جَابِرٌ الْحُدَيْبِيَةَ قَالَ نَحَرْنَا يَوْمَئِذٍ سَبْعِينَ بَدَنَةً اشْتَرَكْنَا كُلُّ سَبْعَةٍ فِي بَدَنَةٍ

dari Ibnu Juraij telah mengabarkan kepadaku Abu Zubair bahwa ia mendengar Jabir bin Abdullah berkata; “Kami bersekutu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam haji dan umrah, yakni tujuh orang berqurban seekor Badanah (unta  yang  disiapkan untuk qurban saat haji) atau seekor Sapi.” Kemudian seorang laki-laki bertanya kepada Jabir, “Bolehkah bersekutu dalam Jazur (unta yang sudah siap disembelih) sebagaimana bolehnya bersekutu dalam Badanah (unta  yang  disiapkan untuk kurban saat haji) atau sapi?” Jabir menjawab, “Jazur itu sudah termasuk Badanah.” Jabir juga turut serta dalam peristiwa Hudaibiyah. Ia berkata, “Di hari itu, kami menyembelih tujuh puluh ekor Badanah. Setiap tujuh orang dari kami bersekutu untuk qurban seekor Badanah.” (H.R.Muslim)

Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa berqurban unta bisa dilakukan dengan patungan sampai dengan tujuh orang. Badanah bermakna unta yang disiapkan untuk diqurbankan dalam Haji, sedangkan Jazur bermakna unta yang disiapkan untuk disembelih. Setiap Badanah mestilah Jazur.

Dalil yang lain adalah hadits berikut ini..

مسند أحمد (47/ 425)

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ شَرَّكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّتِهِ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْبَقَرَةِ عَنْ سَبْعَةٍ

dari Hudzaifah berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam menserikatkan  tujuh orang diantara kaum muslimin untuk satu ekor sapi saat beliau haji. (H.R.Ahmad)

Hadits ini juga cukup jelas menunjukkan bahwa sapi bisa diqurbankan dengan cara patungan sampai dengan tujuh orang.

Riwayat² lain yang menguatkan adalah hadits² berikut ini..

صحيح مسلم (6/ 473)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

dari Jabir bin Abdullah ia berkata; “Kami pernah menyembelih kurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tahun perjanjian Hudaibiyah, untuk kurban seekor unta atau seekor sapi, kami bersekutu tujuh orang.” (H.R.Muslim)

صحيح مسلم (6/ 475)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحَرْنَا الْبَعِيرَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

dari Jabir bin Abdullah ia berkata; “Kami naik haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu kami menyembelih seekor unta untuk  tujuh orang yang bersekutu, dan seekor sapi juga hasil dari tujuh orang yang bersekutu.” (H.R.Muslim)

سنن أبى داود (7/ 473)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبَقَرَةُ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْجَزُورُ عَنْ سَبْعَةٍ

dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Satu ekor sapi untuk tujuh orang, dan satu ekor unta untuk tujuh orang.” (H.R.Abu Dawud)

Semua riwayat² ini dan yang semakna dengannya, menguatkan bahwa berqurban dengan cara patungan untuk hewan unta dan sapi sah secara Syar’i asalkan anggota yang berpatungan tidak melampaui jumlah tujuh.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa berqurban dengan cara patungan adalah tidak sah dengan berargumen riwayat Ibnu Syihab berikut ini..

موطأ مالك (3/ 694)

عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّهُ قَالَ مَا نَحَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ إِلَّا بَدَنَةً وَاحِدَةً أَوْ بَقَرَةً وَاحِدَةً

dari Ibnu Syihab berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyembelih untuk dirinya dan keluarganya kecuali satu ekor unta atau satu ekor sapi.” (H.R.Malik)

Maka pendapat ini perlu ditinjau ulang berdasarkan sejumlah argumen..

Pertama:
Hadits di atas adalah hadis lemah karena keterputusan sanad antara Ibnu Syihab dengan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Ibnu Syihab bukan shahabat, sehingga tidak mungkin meriwayatkan langsung dari Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Al Istidzkar menegaskan bahwa hadits ini tidak sah dijadikan sebagai Hujjah.

Kedua:
Dengan asumsi riwayat Ibnu Syihab tersebut di terima, perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak bermakna dilarangnya perbuatan tersebut, terlebih jika perbuatan tersebut jelas ditunjukkan dalam Sunnah Qouliyyah. Ketika Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ tidak melakukan Dawud  atau puasa Tasu’ah tetapi Sunnah Qouliyyah menunjukkan bahwa puasa Dawud adalah ma’ruf sebagaimana puasa Tasu’ah maka Sunnah Qouliyyah tersebut wajib diamalkan.

Ketiga:
Nash-Nash Shahih menunjukkan  bolehnya berpatungan untuk berqurban sehingga informasi Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ atau shahabat berqurban dengan satu unta atau satu sapi tanpa berpatungan dengan yang lain tidak bermakna dilarangnya untuk berpatungan, tetapi maksimal hanya menunjukkan kondisi afdhol. Maksudnya, berqurban yang afdhol adalah satu unta atau satu sapi untuk satu orang, dan boleh satu unta/sapi untuk beberapa orang maksimal sampai tujuh.

Imam An Nawawi berkata terkait keabsahan berqurban dengan cara patungan sebagai berikut;

شرح النووي على مسلم (9/ 67)

في هذه الاحاديث دلالة لجواز الاشتراك في الهدى …. وأجمعوا على أن الشاة لا يجوز الاشتراك فيها وفي هذه الاحاديث أن البدنة تجزى عن سبعة والبقرة عن سبعة

Dalam hadits² ini ada penunjukan makna bolehnya berpatungan dalam berqurban. Para ulama  juga bersepakat bahwa kambing tidak boleh diqurbankan dengan cara patungan. Dalam hadits² ini juga bisa difahami bahwa  unta sah untuk berqurban tujuh orang sebagaimana sapi juga sah untuk tujuh orang (Sayarah An-Nawawy ‘Ala Shohih Muslim vol.9 hlm.67)

Sebagian ulama seperti Ishaq bin Rohawaih, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hazm, dan Al-‘Itroh berpendapat untuk unta jumlah maksimalnya adalah sepuluh berdasarkan riwayat berikut ini..

سنن الترمذى – مكنز (4/ 41، بترقيم الشاملة آليا)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ. فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِى الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِى الْجَزُورِ عَشَرَةً

dari Ibnu Abbas berkata; “Suatu ketika kami bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Hari Raya Idul Adha tiba. Kami menyembelih seekor sapi untuk tujuh orang dan seekor unta untuk sepuluh orang.” (H.R.At-Tirmidzi)

Riwayat Ibnu Hibban berbunyi..

صحيح ابن حبان – ث (9/ 318)

عن ابن عباس قال : كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم في سفر قحضر النحر فاشتركنا في البقرة سبعة وفي البعير سبعة أو عشرة

Dari Ibnu Abbas beliau berkata; kami  bersama Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dalam sebuah perjalanan. Kemudian tiba waktu penyembelihan. Maka kami berserikat tujuh orang untuk sapi dan tujuh atau sepuluh untuk unta. (H.R.Ibnu Hibban)

Riwayat Ahmad berbunyi..

مسند أحمد (4/ 287)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ النَّحْرُ فَذَبَحْنَا الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَعِيرَ عَنْ عَشَرَةٍ

dari Ibnu Abbas, ia berkata; “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah perjalanan, tibalah waktu berqurban, maka kami menyembelih seekor sapi untuk  tujuh orang dan seekor unta untuk  sepuluh orang.” (H.R.Ahmad)

Riwayat Ibnu Majah berbunyi..

سنن ابن ماجه (9/ 287)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ الْأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي الْجَزُورِ عَنْ عَشَرَةٍ وَالْبَقَرَةِ عَنْ سَبْعَةٍ

dari Ibnu Abbas dia berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan, kemudian beliau mendatangi hewan qurban (menyembelih). Maka kami turut berqurban dengan seekor unta untuk sepuluh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (H.R.Ibnu Majah)

Hadis riwayat Rofi’ bin Khodij dianggap menguatkan batasan maksimal 10 ini. Haditsnya berbunyi..

صحيح البخاري (8/ 420)

عَنْ عَبَايَةَ بْنِ رِفَاعَةَ عَنْ جَدِّهِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ مِنْ تِهَامَةَ فَأَصَبْنَا غَنَمًا وَإِبِلًا فَعَجِلَ الْقَوْمُ فَأَغْلَوْا بِهَا الْقُدُورَ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ بِهَا فَأُكْفِئَتْ ثُمَّ عَدَلَ عَشْرًا مِنْ الْغَنَمِ بِجَزُورٍ

dari ‘Abayah bin Rifa’ah dari kakeknya, Rafi’ bin Khadij radliallahu ‘anhu berkata; “Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Dzul Hulaifah dari Tihamah lalu kami mendapatkan kambing dan unta (sebagai harta rampasan perang). Lalu orang² bersegera  menyembelih hewan² tersebut hingga memenuhi kuali besar. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan memerintahkan agar kuali tersebut ditumpahkan isinya. Kemudian Beliau membagi rata dengan menyamakan  sepuluh kambing sama dengan satu ekor unta. “. (H.R.Bukhari)

Riwayat² di  atas menyebut bahwa jumlah maksimal untuk patungan unta  bukan tujuh tetapi sepuluh, sehingga difahami anggota patungan maksimal adalah sepuluh orang bukan tujuh orang. Hanya saja Jumhur ulama memandang hadits² yang menerangkan jumlah maksimal tujuh lebih kuat dari riwayat-riwayat ini, sehingga riwayat yang menerangkan jumlah maksimal sepuluh  dipandang ada masalah dari sisi ketelitian sebagian perawinya. As-Syaukani yang menshahihkan riwayat-riwayat yang menerangkan jumlah maksimal 10 orang (sebagaimana juga Al-Albani) berusaha mengkompromikan dengan menjelaskan; Jika unta itu disiapkan untuk qurban bagi orang yang berhaji (unta sebagai Al-Hadyu) maka jumlah maksimal yang boleh patungan adalah tujuh orang.  Adapun jika unta itu diqurbankan oleh selain yang berhaji (unta sebagai Udh-hiyah) maka jumlah maksimalnya adalah sepuluh orang.

Adapun ketidak bolehan patungan untuk berkurban jika hewannya adalah kambing, maka hal itu dikarenakan tidak ada Nash yang menunjukkan bolehnya patungan untuk kambing sebagaimana bolehnya patungan untuk hewan qurban berupa unta dan sapi. Nash yang ada, pelaksanaan qurban dengan kambing di masa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ dan shahabat adalah satu kambing untuk satu orang, tanpa patungan. At-Tirmidzi meriwayatkan..

سنن الترمذى (5/ 465)

عُمَارَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَال سَمِعْتُ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ يَقُولُ سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ

كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَتْ كَمَا تَرَى

Umarah bin Abdullah ia berkata; Aku mendengar Atha bin Yasar berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Ayyub Al Anshari, bagaimana qurban yang dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, ia menjawab; “Seorang laki-laki menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya, mereka makan daging kurban tersebut dan memberikannya kepada orang lain. Hal itu tetap berlangsung hingga manusia berbangga-bangga, maka jadilah qurban itu seperti sekarang yang engkau saksikan (hanya untuk berbangga-bangga).” (At-Tirmidzi)

Dalil lain yang semakna;

صحيح البخاري (22/ 153)

 أَبُو عَقِيلٍ زُهْرَةُ بْنُ مَعْبَدٍ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هِشَامٍ

وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَهَبَتْ بِهِ أُمُّهُ زَيْنَبُ بِنْتُ حُمَيْدٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَايِعْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ صَغِيرٌ فَمَسَحَ رَأْسَهُ وَدَعَا لَهُ وَكَانَ يُضَحِّي بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ عَنْ جَمِيعِ أَهْلِهِ

Abu Uqail Zuhraj bin ma’bad dari kakeknya, Abdullah bin Hisyam, yang mana dia pernah bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ibunya, Zainab binti Muhammad, pernah membawanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam dan berujar; ‘Wahai Rasulullah, tolong bai’atlah dia.’ Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “dia masih kecil!” Maka Nabi mengusap kepalanya. Adalah Abdullah bin Hisyam  menyembelih satu kambing untuk semua keluarganya. (H.R.Bukhari)

Jadi, tidak adanya Nash yang menunjukkan bahwa berqurban dengan kambing boleh dengan cara patungan, juga praktek yang dilakukan Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ termasuk para shahabat yang tidak pernah berpatungan untuk berqurban kambing, sementara ibadah adalah Tauqifi, semuanya menunjukkan bahwa khusus untuk kambing tidak boleh berqurban dilakukan dengan cara patungan. Jika qurban kambing dilakukan dengan cara patungan, maka qurban tersebut tidak sah secara Syar’i.

Ini adalah penjelasan hukum berqurban dengan cara patungan oleh beberapa orang yang masing² mengeluarkan harta untuk memperoleh hewan qurban.

Adapun terkait dengan ketentuan jumlah orang yang boleh diikutkan untuk diharapkan mendapatkan pahala berqurban, maka ini tidak ada batasan lagi. Seseorang yang berqurban dengan unta, sapi atau kambing, baik sendirian maupun patungan dengan yang lain, boleh meniatkan orang-orang tertentu dengan harapan orang tersebut juga mendapatkan pahala berqurban sebagaimana dirinya. Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pernah berqurban dengan niat mengikutsertakan keluarga dan umatnya agar mendapat pahala berkurban yang beliau lakukan. Imam Muslim meriwayatkan;

صحيح مسلم (10/ 149)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyuruh untuk diambilkan dua ekor domba bertanduk yang di kakinya berwarna hitam, perutnya terdapat belang hitam, dan di kedua matanya terdapat belang hitam. Kemudian domba tersebut di serahkan kepada beliau untuk diqurbankan, lalu beliau bersabda kepada ‘Aisyah: “Wahai ‘Aisyah, bawalah pisau kemari.” Kemudian beliau bersabda: “Asahlah pisau ini dengan batu.” Lantas ‘Aisyah melakukan apa yang di perintahkan beliau, setelah di asah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya lalu beliau menyembelihnya.” Kemudian beliau mengucapkan: “Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan ummat Muhammad.” Kemudian beliau berqurban dengannya.” (H.R.Muslim)

Permohonan beliau agar Allah menerima amal berqurban dari beliau dengan  menyertakan keluarganya dan umatnya menunjukkan beliau mengikut sertakan sejumlah orang dengan bilangan yang tak terbatas agar juga mendapat bagian pahala.

Riwayat yang senada dari Abu Dawud berbunyi..

سنن أبى داود – م (3/ 56)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِىَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِيَدِهِ وَقَالَ « بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّى وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِى ».

dari Jabir bin Abdullah, ia berkata; saya menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Shalat Adha di lapangan, kemudian tatkala menyelesaikan khutbahnya beliau turun dari mimbarnya, dan beliau diberi satu ekor domba kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelihnya, dan mengucapkan: “BISMILLAAHI WALLAAHU AKBAR, HAADZA ‘ANNII WA ‘AN MAN LAM YUDHAHHI MIN UMMATI” (Dengan nama Allah, Allah Maha Besar, ini (kurban) dariku dan orang-orang yang belum berqurban dari umatku). (H.R.Abu Dawud)

Riwayat lain dari Ahmad berbunyi..

مسند أحمد (52/ 356)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ اشْتَرَى كَبْشَيْنِ عَظِيمَيْنِ سَمِينَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ مَوْجُوأَيْنِ فَيَذْبَحُ أَحَدَهُمَا عَنْ أُمَّتِهِ مِمَّنْ شَهِدَ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لَهُ بِالْبَلَاغِ وَذَبَحَ الْآخَرَ عَنْ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَآلِ مُحَمَّدٍ

dari Abu Hurairah, apabila Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ingin berqurban, beliau membeli dua kambing besar, gemuk, warna putihnya lebih dominan, bertanduk, dan gemuk. Beliau menyembelih salah satu dari keduanya untuk umatnya yang bersaksi akan keesaan Allah dan bersaksi bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ telah menyampaikan Risalah, dan beliau menyembelih yang lainnya untuk Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam dan keluarga Muhammad.” (H.R.Ahmad)

Riwayat² shahabat yang berqurban untuk dirinya dan juga keluarganya semuanya bermakna seperti ini, yaitu bukan patungan dalam berqurban, tetapi diserikatkan/diikutkan dalam niat berqurban dengan harapan mendapat bagian pahala berqurban. Setiap muslim boleh meniatkan orang lain mendapatkan pahala kurbannya tanpa dibatasi jumlah angka tertentu.

Atas dasar ini, boleh hukumnya berqurban dengan cara patungan selama hewan yang diqurbankan adalah unta dan sapi dengan jumlah maksimal anggota tujuh orang. Kambing tidak boleh diqurbankan dengan cara patungan, dan boleh meniatkan berqurban dengan mengikutkan orang lain dengan harapan mereka mendapat bagian pahala berqurban..

"Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat"