Selasa, 16 Agustus 2016

PANDANGAN ISLAM TERHADAP PENYAKIT DENGKI

08.49.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..
Dengki merupakan salah satu penyakit hati yang harus dihindari. Karena dengki merujuk kepada kebencian dan kemarahan yang timbul akibat perasaan cemburu atau iri hati yang sangat besar. Dengki amat dekat dan berhubungan dengan unsur jahat, benci, fitnah dan perasaan dendam yang terpendam.

Dengki (hasad), kata Imam Al-Ghazali, adalah membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain dan ingin agar orang tersebut kehilangan kenikmatan itu. Dengki dapat merayapi hati orang yang sakit, karena orang dengki itu merasa lebih hebat, tidak ingin kalah, ingin dianggap  ataupun membesar-besarkan diri. Tidak mungkin seseorang merasa iri kepada orang yang dianggapnya lebih “kecil” atau lebih lemah. Sebuah pepatah Arab mengatakan, “Kullu dzi ni’matin mahsuudun.” (Setiap yang mendapat kenikmatan pasti didengki).

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling menfitnah (untuk suatu persaingan yang tidak sehat), saling membenci, saling memusuhi dan jangan pula saling menelikung transaksi orang lain. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslimnya yang lain, ia tidak menzaliminya, tidak mempermalukannya, tidak mendustakannya dan tidak pula melecehkannya. Takwa tempatnya adalah di sini, seraya Nabi shallallahu alaihi wassalam menunjuk ke dadanya tiga kali. Telah pantas seseorang disebut melakukan kejahatan, karena ia melecehkan saudara muslimnya. Setiap muslim atas sesama muslim yang lain adalah haram darahnya, hartanya dan kehormatannya. ” (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra)

Allah subhanuhu wata’ala  berfirman: Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki. (AI Falaq : 1, 2 dan 5).

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Ada tiga hal yang menjadi akar semua dosa. Jagalah dirimu dan waspadalah terhadap ketiganya. Waspadalah terhadap kesombongan, sebab kesombongan telah menjadikan iblis menplak bersujud kepada Adam. Waspadalah terhadap kerakusan, sebab kerakusan telah menyebabkan Adam memakan buah dari pohon terlarang. Dan jagalah dirimu dari dengki, sebab dengki telah menyebabkan salah seorang anak Adam membunuh saudaranya.” (HR Ibnu Asakir).

Perhatikan juga sabda Rasulullah shallallahu alaihi wassalam yang lainnya, Rasulullah shallallahu alaihi wassalam Bersabda: “Hindarilah dengki karena dengki itu memakan (menghancurkan) kebaikan sebagaimana api memakan (menghancurkan) kayu bakar.” (Abu Daud).

Hadits itu menegaskan kepada kita bahwa dengki itu merugikan. Yang dirugikan bukanlah orang yang didengki, melainkan si pendengki itu sendiri. Di antara makna memakan kebaikan, seperti yang disebutkan dalam hadits di atas, dijelaskan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, “Memusnahkan dan menghilangkan (nilai) ketaatan pendengki sebagaimana api membakar kayu bakar. Sebab kedengkian akan mengantarkan pengidapnya menggunjing orang yang didengki dan perbuatan buruk lainnya. Maka berpindahlah kebaikan si pendengki itu pada kehormatan orang yang didengki. Maka bertambahlah pada orang yang didengki kenikmatan demi kenikmatan sedangkan si pendengki bertambah kerugian demi kerugian.

Hilangnya pahala itu hanyalah salah satu bentuk kerugian pendengki. Masih banyak kebaikan-kebaikan atau peluang-peluang kebaikan yang akan hilang dari pendengki, antara lain :

Orang yang dengki perilakunya sering tidak terkendali. cenderung terjebak dalam tindakan merusak nama baik, mendiskreditkan, dan menghinakan orang yang didengkinya. Dengan cara itu ia membayangkan akan merusak citra, kredibilitas, dan daya tarik orang yang didengkinya. Dan sebaliknya, mengangkat citra, nama baik dan kredibilitas pihaknya. Namun kehendak Allah tidaklah demikian. Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Berikut ini: Dari Jabir dan Abu Ayyub Al-Anshari, mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wassalam  bersabda, “Tidak ada seorang pun yang menghinakan seorang muslim di satu tempat yang padanya ia dinodai harga dirinya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan menghinakan orang (yang menghina) itu di tempat yang ia inginkan pertolongan-Nya. Dan tidak seorang pun yang membela seorang muslim di tempat yang padanya ia dinodai harga dirinya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan membela orang (yang membela) itu di tempat yang ia menginginkan pembelaan-Nya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ath-Thabrani)

Ketika seorang pendengki melampiaskan kebencian dan kedengkian dengan melakukan hasutan kepada pihak lain, jangan beranggapan bahwa semua orang akan terpengaruh olehnya. Yang terpengaruh hanyalah orang-orang yang tidak membuka mata terhadap realitas, tidak dapat berpikir objektif. Akan tetapi banyak juga yang akan mencoba mencari informasi pembanding dan berusaha berpikir objektif. Sesungguhnya kedengkian merupakan penyakit yang dapat mencukur habis atau mencukur gundul agama. Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wassalam berikut ini: “Menjalar kepada kalian penyakit umat-umat (terdahulu): kedengkian dan kebencian. Itulah penyakit yang akan mencukur gundul. Aku tidak mengatakan bahwa penyakit itu mencukur rambut, melainkan mencukur agama.” (At-Tirmidzi)

Perilaku dan sikap pendengki mirip perilaku orang-orang munafik. Di antara perilaku orang munafik adalah selalu mencerca dan mencaci apa yang dilakukan orang lain terutama yang didengkinya. Jangankan yang tampak buruk, yang nyata-nyata baik pun akan dikecam dan dianggap buruk. Orang yang dengki itu hanya melihat dirinya, dan akan mencari keambing hitam atas kegagalan atau kekecewaan atas hal yang sudah ditetapkan Allah. Penyakit dengki tidak ada urusan apakah seseorang tersebut fasih berbahasa arab atau pandai mengutip hadist atau bangga dengan gelar dan titel, ini tanda orang yang belum sampai kepada ilmu, ada yang lebih besar dari Allah di dalam dirinya, dengki.

Allah subhanuhu wata’ala. menggambarkan perilaku itu sebagai perilaku orang munafik. Abi Mas’ud Al-Anshari mengatakan, saat turun ayat tentang infak para sahabat mulai memberikan infak. Ketika ada orang muslim yang memberi infaq dalam jumlah besar, orang-orang munafik mengatakan bahwa dia riya. Dan ketika ada orang muslim yang berinfak dalam jumlah kecil, mereka mengatakan bahwa Allah tidak butuh dengan infak yang kecil itu. Maka turunlah ayat 79 At-Taubah. (Bukhari dan Muslim).

Perhatikan firman Allah subhanuhu wata’ala berikut ini: ”Orang-orang munafik itu yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.” (QS. At Taubah [9] : 79)

Orang yang membiarkan dirinya dikuasai oleh iri hati dan dengki akan menanggung beban berat yang tidak seharusnya. Karena setiap kali ia melihat orang yang didengkinya dengan semua kesuksesannya, hati dan persaannya menderita dan hatinya semakin penuh dengan dengki, marah, benci, curiga, kesal, kecewa, resah, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Sungguh sangat tidak enak menjalani kehidupan seperti itu. Seperti layaknya penyakit, ketika dipelihara akan mendatangkan penyakit lainnya, seperti penyakit hati yang bernama iri hati dan dengki. Bila tidak segera dihilangkan akan mengundang penyakit-penyakit lainnya. Sebagaimana tertulis dalam firman Allah subhanuhu wata’ala berikut ini: “ Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta .” (QS.Al-Baqarah [2]: 10).

Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian” (Shahih Muslim, Muqaddimah kitab Shahih).

Dari penjelasan di atas kita dapatkan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam serta para shahabat dan tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar kita mengambil ilmu dari orang yang alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah, serta melarang mengambil ilmu dari orang-orang jahil dan fasiq. Al-Imam Malik bin Anas menambahkan : ”Ilmu tidaklah diambil dari empat orang : ”(1) Orang yang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari manusia, (2) Pendusta yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (dalam hadits), (3) Orang yang menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan (4) Orang yang mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya (yaitu tidak faqih)” [Al-Kifaayah 1/77-78]

Semoga Allah menambahkankan petunjuk jalan yang lurus kepada kita semua dan dikumpulkan selalu  bersama para salihin, arifin, shidiqqin dan yang terkasih Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, Aamiin'..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

TIPS IBNU QAYYIM DALAM MENGHADAPI TAKDIR YANG BURUK

08.40.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..

Bukanlah yang dimaksud dengan kata takdir dalam frasa “takdir buruk” pada judul di atas adalah perbuatan Allah menakdirkan suatu peristiwa. Karena Allah Maha Indah, baik dzat, nama, sifat, maupun perbuatan-Nya. Allah Maha Indah ditinjau dari segala sisi. Tidak ada satupun keburukan yang terdapat pada diri Allah. Tidak boleh satupun keburukan disandarkan kepada dzat, nama, sifat, maupun perbuatan-Nya.

Yang dimaksudnya adalah peristiwa pahit yang Allah takdirkan terjadi pada makhluk-Nya. Dalam menjalani kehidupan terkadang seorang mukmin menghadapi takdir yang baik, yaitu peristiwa yang menyenangkan dirinya. Sebagai contoh, seorang menikah, berhasil melakukan kebaikan, dan mendapatkan keuntungan dalam bisnisnya yang halal. Ini adalah takdir baik dan menggembirakan.

Namun, terkadang dalam hidupnya seorang mukmin harus menghadapi takdir yang buruk, misalnya sakit keras, ibunya meninggal, dizalimi temannya, dan disebarkan fitnah buruk tentang dirinya (difitnah) sampai merasa sakit hati. Nah, bagaimana sikap seorang mukmin yang baik dalam menyingkapi takdir buruk?
Berikut akan ane jabarin tips dari Ibnu Qayyim dalam menyingkapi takdir buruk,

Tips 1

Di dalam kitab Al-Fawaid, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur

إذا جرى على العبد مقدور يكرهه فله فيه ستّة مشاهد

Jika sebuah takdir yang buruk menimpa seorang hamba, maka ia memiliki enam sikap dan sisi pandang:

الأوّل: مشهد التوحيد، وأن الله هو الذي قدّره وشاءه وخلقه، وما شاء الله كان وما لم يشأ لم يكن

Pertama: Pandangan (kaca mata) Tauhid. Bahwa Allahlah yang menakdirkan, menghendaki dan menciptakan kejadian tersebut. Segala sesuatu yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan  segala sesuatu yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.

Seorang mukmin yang di dalam hatinya mengakar kuat keimanan terhadap Rabbnya akan memandang segala sesuatu dengan kaca mata iman dan tauhid, terlepas apapun yang dihadapi dan dialaminya. Hatinya meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi, pastilah Allah yang menghendakinya terjadi dan Dialah yang menakdirkannya, baik peristiwa tersebut sebuah kebaikan ataupun keburukan. Namun setiap yang Allah takdirkan terjadi, pastilah ada hikmahnya, baik kita ketahui atau tidak.

Oleh karena itu, ketika mendapatkan musibah, Anda dizalimi orang lain atau difitnah misalnya, maka pandanglah peristiwa itu dengan kacamata iman, Allahlah yang menakdirkan musibah ini menimpa diri saya, Allah lah yang memilih saya untuk menjadi orang yang tertimpa musibah ini ,

Allah lah yang memilih saya menjadi korban fitnah ini. Radhiitu billahi Rabbaa, saya ridha Allah menjadi Rabbku dan Sang Pengaturku. Saya tidak akan memprotes takdir-Nya. Karena setiap hari seorang hamba berpeluang tertimpa musibah, maka pantaslah prinsip hidup yang seperti ini dalam Islam disyari’atkan untuk diwujudkan dalam ucapan dzikir pagi dan sore, bahkan disyari’atkan untuk diucapkan 3 kali,

رضيت بالله رباً، وبالإسلام ديناً، وبمحمد صلى الله عليه و سلم نبيا

“Aku rela Allah sebagai Rabb-ku, Islam sebagai agamaku dan Nabi Muhammad shalllallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabiku” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi).

Dengan demikian, setiap kali seorang hamba tertimpa musibah, ia menghadapinya dengan lapang dada dan menggantungkan harapan hatinya semata-mata kepada Sang Pengaturnya agar ia  mendapatkan jalan keluar dan mampu bersabar dalam menghadapinya dengan mengharapkan pahala dari-Nya.

Tips 2

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah melanjutkan

الثاني: مشهد العدل، وأنه ماض فيه حكمه، عدل فيه قضاؤه

Kedua: Kacamata keadilan. Bahwa dalam kejadian tersebut berlaku hukum-Nya dan adil ketentuan takdir-Nya.

Setiap peristiwa yang ditakdirkan terjadi pada diri seorang hamba pastilah Allah selalu adil dan tidak pernah zalim kepadanya, karena Allah menentukan takdir bagi seorang hamba selalu sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya dan sesuai dengan ilmu-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِᄉ

“Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya” (Fushshilat:46).

Bukankah setiap musibah yang ditakdirkan menimpa kita karena akibat dosa kita?

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian)” (Asy-Syuuraa: 30).

Tips 3

Kemudian Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:

الثالث: مشهد الرحمة،وأن رحمته في هذا المقدور غالبة لغضبه وانتقامه، ورحمته حشوه

Ketiga: Kacamata kasih sayang. Bahwa rahmat-Nya dalam peristiwa pahit tersebut mengalahkan kemurkaan dan siksaan-Nya yang keras, serta rahmat-Nya memenuhinya.

Tidaklah Allah menakdirkan atas diri seorang mukmin sebuah peristiwa yang pahit, kecuali didasari kasih sayang-Nya kepada hamba tersebut. Dan kasih sayang-Nya mengalahkan murka-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ

“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu” (Al-A’raaf:156).

Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah berfirman,

إن رحمتي سبقت غضبي

“Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku” (HR. Bukhari dan Muslim) .

 Tips 4

Selanjutnya, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur

الرابع: مشهد الحكمة، وأن حكمته سبحانه اقتضت ذلك، لم يقدّره سدى ولا قضاه عبثا

Keempat: Kacamata hikmah. Hikmah-Nya Subhanahu menuntut menakdirkan kejadian itu, tidaklah Dia menakdirkan begitu saja tanpa tujuan dan tidaklah pula Dia memutuskan suatu ketentuan takdir dengan tanpa hikmah.

Hikmah pentakdiran pastilah ada. Namun hikmah tersebut terkadang kita tahu, namun terkadang pula kita tidak tahu. Namun, ketidaktahuan kita terhadap suatu hikmah dari kejadian tertentu , tidaklah menghalangi kita berbaik sangka kepada Allah Ta’ala. Bahwa dengan hikmah Allah, Allah memutuskan suatu takdir. Jadi, kita meyakini bahwa Allah Ta’ala Maha Bijaksana dalam menetapkan takdir-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mukminuun: 115).

Allah Ta’ala juga berfirman,

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Al-Qiyaamah: 36).

Tips 5

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah bertutur:

الخامس: مشهد الحمد، وأن له سبحانه الحمد التام على ذلك من جميع وجوهه

Kelima: Kacamata pujian. Bahwa Dia Subhanahu terpuji dengan pujian sempurna atas penakdiran kejadian tersebut, dari segala sisi.

Allah terpuji dari segala sisi, terpuji dzat, nama, sifat maupun perbuatan-Nya, termasuk terpuji saat menakdirkan suatu takdir yang pahit, karena semua itu berdasarkan ilmu dan tuntutan hikmah-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Do’a mereka di dalamnya ialah subhanakallahumma dan salam penghormatan mereka ialah salam. Dan penutup doa mereka ialah segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam.” (Yuunus: 10).

Tips 6

Terakhir, Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah Menjelaskan

السادس: مشهد العبوديّة، وأنه عبد محض من كل وجه تجري عليه أحكام سيّده وأقضيته بحكم كونه ملكه وعبده، فيصرفه تحت أحكامه القدريّة كما يصرفه تحت أحكامه الدينيّة, فهو محل لجريان هذه الأحكام عليه

Keenam: Kacamata peribadatan. Bahwa orang yang menjalani takdir yang buruk itu adalah sekedar hamba semata dari segala sisi, maka berlaku atasnya hukum-hukum Sang Pemiliknya, dan berlaku pula takdir-Nya atasnya sebagai milik dan hamba-Nya, maka Dia mengaturnya di bawah hukum takdir-Nya sebagaimana mengaturnya pula di bawah hukum Syar’i-Nya. Jadi, orang tersebut merupakan hamba yang berlaku atasnya hukum-hukum ini semuanya.

Sebagai seorang mukmin yang meyakini bahwa ia hanyalah milik Allah dan hamba-Nya, maka ia sadar dan mengakui kepemilikan Allah atas dirinya sehingga Dia berhak mengaturnya dengan bentuk pengaturan bagaimanapun juga, semua terserah Dia, Sang Pemilik alam semesta, maka ia ridha dengan pengaturan Rabbnya tersebut dan benar-benar menghamba kepada-Nya saja.

Seorang mukmin juga sadar bahwa dalam keadaan bagaimanapun juga, sebagai seorang hamba, ia tetap tertuntut untuk mempersembahkan peribadatan dan penghambaan kepada Sang Pemiliknya, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla. Sebagaimana dalam keadaan senang dan lapang, ada tuntutan peribadatan atasnya, maka begitu juga dalam keadaan susah dan tertimpa musibah, ada tuntutan peribadatan atasnya pula. Ia adalah hamba Allah, baik dalam keadaan sedih maupun senang.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَٰنِ عَبْدًا

“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba” (Maryam: 93).

Allah Ta’ala berfirman,

وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (Al-Furqaan: 63).

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

DAHSYATNYA PAHALA MEMBERI MAKAN ORANG YANG PUASA

08.31.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..
Bulan Ramadhan benar-benar kesempatan terbaik untuk beramal. Bulan Ramadhan adalah kesempatan menuai pahala melimpah. Banyak amalan yang bisa dilakukan ketika itu agar menuai ganjaran yang luar biasa. Dengan memberi sesuap nasi, secangkir teh, secuil kurma atau snack yang menggiurkan, itu pun bisa menjadi ladang pahala. Maka sudah sepantasnya kesempatan tersebut tidak terlewatkan.
Inilah janji pahala yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”

Al Munawi rahimahullah menjelaskan bahwa memberi makan buka puasa di sini boleh jadi dengan makan malam, atau dengan kurma. Jika tidak bisa dengan itu, maka bisa pula dengan seteguk air.
Ath Thobari rahimahullah menerangkan, “Barangsiapa yang menolong seorang mukmin dalam beramal kebaikan, maka orang yang menolong tersebut akan mendapatkan pahala semisal pelaku kebaikan tadi. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kabar bahwa orang yang mempersiapkan segala perlengkapan perang bagi orang yang ingin berperang, maka ia akan mendapatkan pahala berperang. Begitu pula orang yang memberi makan buka puasa atau memberi kekuatan melalui konsumsi makanan bagi orang yang berpuasa, maka ia pun akan mendapatkan pahala berpuasa.”

Di antara keutamaan lainnya bagi orang yang memberi makan berbuka adalah keutamaan yang diraih dari do’a orang yang menyantap makanan berbuka. Jika orang yang menyantap makanan mendoakan si pemberi makanan, maka sungguh itu adalah do’a yang terkabulkan. Karena memang do’a orang yang berbuka puasa adalah do’a yang mustajab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi.”

Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.
Apalagi jika orang yang menyantap makanan tadi mendo’akan sebagaimana do’a yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam praktekkan, maka sungguh rizki yang kita keluarkan akan semakin barokah.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minum, beliau pun mengangkat kepalanya ke langit dan mengucapkan,

اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِى وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِى

“Allahumma ath’im man ath’amanii wa asqi man asqoonii” [Ya Allah, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku]

Tak lupa pula, ketika kita memberi makan berbuka, hendaklah memilih orang yang terbaik atau orang yang sholih. Carilah orang-orang yang sholih yang bisa mendo’akan kita ketika mereka berbuka. Karena ingatlah harta terbaik adalah di sisi orang yang sholih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada ‘Amru bin Al ‘Ash,

يَا عَمْرُو نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

“Wahai Amru, sebaik-baik harta adalah harta di tangan hamba yang Shalih.”

Dengan banyak berderma melalui memberi makan berbuka dibarengi dengan berpuasa itulah jalan menuju surga.
Dari ‘Ali, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا ». فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ »

“Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari di waktu manusia pada tidur.”
Seorang yang semangat dalam kebaikan pun berujar, “Seandainya saya memiliki kelebihan rizki, di samping puasa, saya pun akan memberi makan berbuka. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan tersebut. Sungguh pahala melimpah seperti ini tidak akan saya sia-siakan. Mudah-mudahan Allah pun memudahkan hal ini.”

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

APAKAH HUKUMNYA WANITA SATU MOBIL DENGAN SUPIR YANG BUKAN MAHRAM NYA

08.17.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..

Ada yang bertanya, APAKAH HUKUMNYA WANITA SATU MOBIL DENGAN SUPIR YANG BUKAN MAHRAM NYA, berikut penjabaran nye..

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan yang tidak bersama mahramnya, karena yang ketiganya ialah syaitan.” (Riwayat Ahmad)

Ukhtie, saat ini kita sering berhadapan dengan dilema, bolehkah dibonceng motor oleh laki-laki non mahram? Termasuk tukang ojeg, tetangga, atau teman kantor?

Hadits no. 4849 dalam kitab Shahih Bukhari; dan hadits no. 2182 dalam kitab Shahih Muslim meriwayatkan tentang Asma binti Abu Bakar (saudari Aisyah dan ipar Nabi) yang pernah diajak naik unta bersama Nabi (boncengan bersama dalam satu kendaraan):

“Dari Asma bin Abu Bakar ... Suatu hari saya datang ke kebun Zubair (suami saya) dan memanggul benih di atas kepala saya. Di tengah jalan saya bertemu Rasulullah bersama sekolompok orang dari Sahabat Anshar. Lalu Nabi memanggilku dan menyuruh untanya (dengan mengatakan "ikh ... ikh") agar merunduk untuk membawaku di belakang Nabi.”

Dalam menganalisa hadits ini, Imam Nawawi dalam Syarh Muslim menyatakan XIV/166:

Hadits ini menunjukkan bolehnya berboncengan (antara lelaki dan perempuan bukan mahram) pada satu kendaraan apabila wanita itu seorang yang taat agamanya. Dalam soal hadits ini ada banyak pendapat ulama yang berbeda antara lain:

(a) adanya sifat belas kasih Nabi pada umat Islam baik laki-laki dan perempuan dan berusaha membantu sebisa mungkin

(b) Pendapat lain menyatakan bolehnya membonceng perempuan yang bukan mahram apabila dia ditemukan di tengah jalan dalam keadaan kecapean. Apalagi kalau bersama sejumlah laki-laki lain yang saleh. Dalam konteks ini maka tidak diragukan kebolehannya.

(c) Menurut Qadhi Iyad bolehnya ini khusus untuk Nabi saja, tidak yang lain. (Karena) Nabi telah menyuruh kita agar laki-laki dan perempuan saling menjauhkan diri.

Dan biasanya Nabi menjauhi para perempuan dengan tujuan supaya dikuti umatnya. Kasus ini adalah kasus khusus karena Asma adalah putri AbuBakar, saudari Aisyah alias ipar dan istri dari Zubair. Maka, seakan Asma itu seperti salah satu keluarganya. Adapun lelaki membonceng wanita mahram maka hukumnya boleh secara mutlak dalam segala kondisi.

Kesimpulan dari hadits dan tafsir tersebut adalah haramnya berboncengan antara laki-laki dan perempuan non mahram jika menimbulkan syahwat. Artinya, berboncengan diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu.

Adapun syarat-syarat diperbolehkannya antara lain:

1. Tidak terjadi persinggungan badan

Jika Sahabat Ummi berada dalam kondisi harus naik ojek atau dibonceng seseorang yang bukan mahram, usahakan tidak terjadi persentuhan kulit, apalagi sampai memeluk pinggang pembonceng.

Taruhlah tas di tengah-tengah antara pembonceng dengan yang dibonceng. Dan berpeganganlah pada ujung motor, biasanya ada tempat pegangan sehingga kita tetap aman meskipun kecepatan motor agak tinggi.

2. Tidak terjadi khalwat (berdua-duaan di tempat sepi)

Upayakan tidak berboncengan di daerah yang sepi atau di malam hari. Lebih baik dibonceng oleh mahram kita, entah suami, ayah, atau saudara laki-laki kandung jika terjadinya di malam hari.

3. Tidak memiliki maksud buruk atau kecenderungan ke arah syahwat

Kalau kebetulan yang mengajak berboncengan adalah teman kantor, dan kita memiliki kecenderungan suka kepadanya, lebih baik jangan berboncengan dengannya, karena akan menimbulkan hal yang buruk, entah itu berupa penyakit hati, maupun hal lain yang tidak diinginkan..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

SUBHANALLAH & MASYA ALLAH

08.06.00 Posted by Admin No comments


Dari Abdillah bin Amir bin Rabiah, bahwa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيهِ أَوْ مِنْ نَفْسِهِ أَوْ مِنْ مَالِهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيُبَرِّكْهُ فَإِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ

Apabila kalian melihat ada sesuatu yg mengagumkan pada saudaranya atau dirinya atau hartanya, hendaknya dia mendoakan keberkahan untuknya. Karena serangan ain itu benar.
(HR. Ahmad 15700, Bukhari dalam at-Tarikh 2/9).

Kapan Dianjurkan Mengucapkan Subhanalloh?

Terdapat beberapa keadaan, dimana kita dianjurkan mengucapkan Subhanallah. Diantaranya,

Pertama, ketika kita keheranan terdapat sikap.

Tidak ada kaitannya dengan keheranan terhadap harta atau fisik atau apa yg dimiliki orang lain. Tapi keheranan terhadap sikap.

Misalnya, terlalu bodoh, terlalu kaku, terlalu aneh, dst.

Kita lihat beberapa kasus berikut,

Kasus pertama, Abu Hurairoh pernah ketemu Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi junub. Lalu Abu Hurairoh pergi mandi tanpa pamit. Setelah balik, Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam bertanya, mengapa tadi dia pergi. Kata Abu Hurairoh, “Aku junub, dan aku tidak suka duduk bersama engkau dalam keadaan tidak suci.” Kemudian Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لاَ يَنْجُسُ

Subhanalloh, sesungguhnya muslim itu tidak najis. (HR. Bukhari 279)

Kasus kedua, ada seorang wanita yg datang kepada Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam menanyakan bagaimana cara membersihkan bekas haid setelah suci. Beliau menyarankan, “Ambillah kapas yg diberi minyak wangi dan bersihkan.”

Wanita ini tetap bertanya, “Lalu bagaimana cara membersihkannya.”

Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam merasa malu untuk menjawab dengan detail, sehingga beliau hanya mengatakan,

سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِى بِهَا

“Subhanalloh.., ya kamu bersihkan pakai kapas itu.”

Aisyah paham maksud Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, beliau pun langsung menarik wanita ini dan mengajarinya cara membersihkan darah ketika haid. (HR. Bukhari 314 & Muslim 774)

Kasus ketiga, Aisyah pernah ditanya seseorang,

“Apakah Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Allah?”

Aisyah langsung mengatakan,

سُبْحَانَ اللَّهِ لَقَدْ قَفَّ شَعْرِى لِمَا قُلْت

Subhanalloh, merinding bulu romaku mendengar yg kamu ucapkan. (HR. Muslim 459).

An-Nawawi mengatakan,

أن سبحان الله في هذا الموضع وأمثاله يراد بها التعجب وكذا لااله إلا الله ومعنى التعجب هنا كيف يخفى مثل هذا الظاهر الذي لايحتاج الإنسان في فهمه إلى فكر وفي هذا جواز التسبيح عند التعجب من الشيء واستعظامه

Bahwa ucapan Subhanalloh dalam kondisi semacam ini maksudnya adalah keheranan. Demikian pula kalimat LAA ILAAHA ILLALLOOH. Makna keheranan di sini, bagaimana mungkin sesuatu yg sangat jelas semacam ini tidak diketahui. Padahal seseorang bisa memahaminya tanpa harus serius memikirkannya. Dan dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya membaca tasbih ketika keheranan terhadap sesuatu atau menganggap penting kasus tertentu. (Syarh Shahih Muslim, 4/14).

Kedua, Keheranan ketika ada sesuatu yg besar terjadi

Misalnya melihat kejadian yg luar biasa.

Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam terkadang tersentak bangun di malam hari, karena keheranan melihat sesuatu yg turun dari langit.

Dari Ummu Salamah Rodhiyallahu ‘anha, bahwa pernah suatu malam, Rasululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam terbangun dari tidurnya.

سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتَنِ

“Subhanalloh, betapa banyak fitnah yg turun di malam ini.” (HR. Bukhari 115).

Dalam kasus lain, beliau juga pernah merasa terheran ketika melihat ancaman besar dari langit. Terutama bagi orang yg memiliki utang,

Dari Muhammad bin Jahsy rodhiallohu ‘anhu, “Suatu ketika, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam melihat ke arah langit, kemudian beliau bersabda,

سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا نُزِّلَ مِنَ التَّشْدِيدِ

“Subhanalloh, betapa berat ancaman yg diturunkan ….”

Kemudian, keesokan harinya, hal itu saya tanyakan kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Risululloh, ancaman berat apakah yg diturunkan?’

Beliau menjawab,

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلاً قُتِلَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ ثُمَّ أُحْيِىَ ثُمَّ قُتِلَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ

‘Demi Allah, yg jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya ada seseorang yg terbunuh di jalan Alloh, lalu dia dihidupkan kembali, kemudian terbunuh lagi (di jalan Allah), lalu dia dihidupkan kembali, kemudian terbunuh lagi (di jalan Allah), sementara dia masih memiliki utang, dia tidak masuk surga sampai utangnya dilunasi.’” (HR. Nasa’i 4701 dan Ahmad 22493).

Kata Ali Qori, Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam mengucapkan Subhanalloh karena takjub (keheranan) melihat peristiwa besar yg turun dari langit.

Terus bagaimane dengan kata Masya Allah'?

Selama ini kaum Muslim sering “salah kaprah” dalam mengucapkan Subhanalloh (Maha Suci Alloh), tertukar dengan ungkapan Masya Alloh (Itu terjadi atas kehendak Alloh). Kalau kita takjub, kagum, atau mendengar hal baik dan melihat hal indah, biasanya kita mengatakan Subhanallih. Padahal, seharusnya kita mengucapkan Masya Alloh yg bermakna “Hal itu terjadi atas kehendak Alloh”.

Ungkapan Subhanalloh tepatnya digunakan untuk mengungkapkan “ketidaksetujuan atas sesuatu”. Misalnya, begitu mendengar ada keburukan, kejahatan, atau kemaksiatan, kita katakan Subhanalloh (Maha Suci Alloh dari keburukan yg demikian).

Ucapan Masya Alloh

Masya Alloh artinya “Alloh telah berkehendak akan hal itu”. Ungkapan kekaguman kepada Alloh dan ciptaan-Nya yg indah lagi baik. Menyatakan “semua itu terjadi atas kehendak Alloh”.

Masya Alloh diucapkan bila seseorang melihat hal yg baik dan indah. Ekspresi penghargaan sekaligus pengingat bahwa semua itu bisa terjadi hanya karena kehendak-Nya. Sebagaimana firman Alloh Subhanahu wa Ta”ala sbb:

وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالا وَوَلَدًا

“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu, ‘Maasya Allah laa quwwata illa billah‘ (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan?” (QS. Al-Kahfi: 39).

Penggunaan kalimat tersebut dikarenakan kalimat “Masya Alloh” (ما شاء الله) bisa di-i’robkan dengan dua cara di dalam bahasa Arab:

I’rob yg pertama dari “Masya Alloh” (ما شاء الله) adalah dengan menjadikan kata “maa” (ما) sebagai isim maushul (kata sambung) dan kata tersebut berstatus sebagai khobar (predikat). Mubtada’ (subjek) dari kalimat tersebut adalah mubtada’ yg disembunyikan, yaitu “hadza” (هذا). Dengan demikian, bentuk seutuhnya dari kalimat “Masya Alloh” adalah :

هذا ما شاء الله

(Hadza Masya Allah)

Jika demikian, maka artinya dalam bahasa Indonesia adalah: “inilah yg dikehendaki oleh Alloh”.

Adapun i’rob yg kedua, kata “maa” (ما) pada “Masya Alloh” merupakan maa syarthiyyah (kata benda yg mengindikasikan sebab) dan frase “syaa Alloh” (شاء الله) berstatus sebagai fi’il syarat (kata kerja yg mengindikasikan sebab). Sedangkan jawab syarat (kata benda yg mengindikasikan akibat dari sebab) dari kalimat tersebut tersembunyi, yaitu “kana” (كان). Dengan demikian, bentuk seutuhnya dari kalimat “Masya Alloh” adalah:

ما شاء الله كان

(Masya Allohu kana)

Jika demikian maka artinya dalam bahasa Indonesia adalah: “apa yg dikehendaki oleh Alloh, maka itulah yg akan terjadi”.

Ringkasnya, “Masya Allah” bisa diterjemahkan dengan dua terjemahan, “inilah yg diinginkan oleh Alloh apa yg dikehendaki oleh Alloh, maka itulah yg akan terjadi”. Maka ketika melihat hal yg menakjubkan, lalu kita ucapkan “Masya Alloh” (ما شاء الله), artinya kita menyadari dan menetapkan bahwa hal yg menakjubkan tersebut semata-mata terjadi karena kuasa Alloh..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"