Sabtu, 13 Mei 2017

WAJIB HANYA BISA DIKALAHKAN DENGAN YANG WAJIB

01.19.00 Posted by Admin No comments


Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

"Perkara wajib tidaklah ditinggalkan kecuali karena perkara wajib.."

Ada kaedah yang sangat membantu dalam memahami hukum Islam dan ibadah dalam agama kita ini. Kaedah ini dibawakan oleh Imam As Suyuthi dalam kitabnya Al Asybah wa An Nazhair, kaedah no.23 pada halaman 329.

Imam As Suyuthi rahimahullah menyatakan,

الوَاجِبُ لاَ يُتْرَكُ إِلاَّ لِوَاجِبٍ

“Perkara wajib tidaklah ditinggalkan kecuali karena perkara wajib.”

Ulama lain mengibaratkan dengan istilah,

الوَاجِبُ لاَ يُتْرَكُ لِسُنَّةٍ

“Perkara wajib tidaklah ditinggalkan cuma karena adanya perkara sunnah.”

Ada lagi istilah lain,

مَا كَانَ مَمْنُوْعًا إِذَا جَازَ وَجَبَ

“Sesuatu yang terlarang jika dibolehkan, berarti menunjukkan wajibnya.”

Contoh Kaedah
  1. Memotong tangan dalam hukum Islam untuk kasus pencurian dikatakan wajib (jika yang menjalankannya adalah yang punya kuasa yaitu pemerintah). Karena asalnya memotong tangan orang itu dilarang. Namun dalam rangka menegakkan hukum, maka dibolehkan. Berarti penegakkan hukum potong tangan dalam hal ini dihukumi wajib.
  2. Menegakkan hukuman had bagi pelaku pidana termasuk wajib. Karena hukuman had berarti melukai orang lain dan itu haram. Namun dibolehkan dalam rangka menegakkan keadilan, berarti menegakkannya dihukumi wajib.
  3. Makan bangkai dalam keadaan darurat dihukumi wajib. Karena sesuatu yang haram jika dibolehkan berarti menunjukkan wajibnya.
  4. Khitan dihukumi wajib. Padahal asalnya memotong sebagian anggota tubuh itu tidak dibolehkan. Namun dalam hal ini dibolehkan, maka menunjukkan bahwa khitan itu wajib. Karena yang wajib tidaklah dikalahkan kecuali dengan yang wajib pula atau sesuatu yang terlarang jika dibolehkan berarti menunjukkan wajibnya.
  5. Jika imam atau munfarid (yang shalat sendirian) sudah berdiri di raka’at ketiga dan lupa melakukan tahiyat awal, maka ia tidak boleh kembali ke tahiyat awal. Karena kita ketahui bersama bahwa tahiyat awal dalam madzhab Syafi’i termasuk perkara sunnah (ab’adh). Sedangkan berdiri di raka’at ketiga sudah masuk dalam rukun (wajib). Kaedahnya, perkara wajib tidaklah bisa ditinggalkan cuma lantaran mengejar suatu yang sunnah. Perkara wajib hanya bisa ditinggalkan karena bertemu dengan yang wajib.
  6. Jika imam sudah berdiri ke raka’at ketiga padahal lupa melakukan tahiyat awal, lalu ia kembali ke tahiyat awal, maka wajib bagi makmum untuk mengikuti imam. Karena mengikuti imam itu wajib. Sesuai kaedah, perkara wajib tidaklah ditinggalkan kecuali karena perkara wajib.
  7. Jika imam sudah sujud dan meninggalkan qunut shubuh (bagi yang punya keyakinan adanya qunut shubuh setiap shalatnya), maka ia tidak boleh kembali ke keadaan qunut dikarenakan qunut Shubuh dalam madzhab Syafi’i termasuk sunnah (ab’adh). Sedangkan perkara wajib (sudah masuk sujud) tidaklah boleh ditinggalkan hanya karena mengejar sunnah.

Sekarang pertanyaannya, bagaimana jika suami istri sama² melakukan sa’i saat haji atau umrah (melintas antara Shafa dan Marwah) lantas melewati lampu hijau yang disunnahkan bagi pria untuk berlari sekencang-kencangnya. Namun sayangnya suami tersebut berbarengan dengan istri saat sa’i. Bolehkah ia meninggalkan istrinya cuma karena mengejar sunnah?

Pertanyaan lainnya, seorang suami ingin menjalankan sunnah Poligami. Namun jika ia memutuskan berpoligami adalah rumah tangga awal menjadi rusak dan anak² menjadi terlantar. Pantaskah berpoligami dalam keadaan seperti ini?

Setelah memahami kaedah dari Imam As Suyuthi, ane yakin kita semua bisa menjawab dua pertanyaan yang ane ajukan.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

PUASA SEMINGGU SEBELUM BULAN RAMADHAN

01.02.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Bolehkah berpuasa sunnah seminggu sebelum Ramadhan?

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Abu Daud no.2335, An Nasai no.2173, Tirmidzi no.687 dan Ahmad 2: 234. Syech Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Sebagaimana dijelaskan oleh Syech Muhammad bin Shalih Al Utsaimin bahwa berdasarkan hadits di atas bisa kita tarik beberapa faedah di antaranya larangan berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan.
Sekaligus hadits tersebut jadi dalil bahwa berpuasa setelah pertengahan Sya’ban masih dibolehkan.

Sedangkan dalil yang menyatakan,

إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Tirmidzi no.738 dan Abu Daud no.2337).

Hadits ini tidak menunjukkan keharaman. Ditambah lagi hadits tersebut adalah hadits dho’if. 

Imam Ahmad telah mengingkari hadits tersebut namun ulama lainnya ada yang menshahihkan atau menghasankannya, serta dijadikan juga sebagai dalil. Namun yang tepat masih tetap boleh berpuasa setelah pertengahan Sya’ban sampai satu atau dua hari sebelum Ramadhan.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram 7: 23).

Di samping itu setelah pertengahan Syaban masih tetap berpuasa dikarenakan ada anjuran banyak berpuasa di bulan Sya'ban. Kalau dikatakan banyak berarti masih dibolehkan pula setelah pertengahan Syaban untuk berpuasa.

Sebagaimana kata Aisyah radhiyallahu ‘anha,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no.1970 dan Muslim no.1156)

Jadi sudah terjawab pertanyaan di atas. Seminggu sebelum Ramadhan masih boleh berpuasa, apalagi punya kebiasaan puasa Senin Kamis atau Puasa Daud, atau hendak menunaikan qadha’ puasa.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

PELAJARAN DARI AYAT WUDHU DAN TAYAMUM (Bag.1)

00.56.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ternyata dari ayat Al Qur'an yang membicarakan wudhu dan tayamum kita bisa ambil pelajaran fiqih berharga. Bagaimana pelajaran tersebut?

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hai orang² yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6)

Dalam ayat ini Allah menggabungkan antara bersuci dengan air dan bersuci dengan tayamum. Dalam ayat di atas dijelaskan mengenai syarat² dan tata cara bersuci dengan air dan tayamum. Banyak pula berbagai macam hukum yang bisa kita gali dari ayat tersebut.

Saat ini ane akan menyebutkan faedah² atau pelajaran penting yang bisa diambil dari ayat wudhu dan tayamum yang ane cuplik dari pembahasan Syech Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah:

1. Bersuci dari hadats besar dan kecil merupakan syarat sah shalat. Karena Allah Ta’ala berfirman,

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا

“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah …”

2. Bersuci tersebut berlaku untuk shalat secara umum baik shalat fardhu maupun shalat sunnah. Setiap shalat dipersyaratkan bersuci.

3. Dibutuhkan niat kala bersuci karena Allah Ta’ala berfirman,

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu”. Ayat ini menunjukkan bahwa niat bersucinya adalah karena ingin melaksanakan shalat. Bisa jadi orang yang bersuci berniat untuk menghilangkan hadats atau bersuci dengan niatan untuk melaksanakan shalat atau punya niatan kedua-duanya.

4. Ketika berwudhu untuk mensucikan hadats ashgor (hadats kecil), maka batasan wajah adalah dari bagian yang menonjol di samping telinga kanan ke kiri dan dari tumbuhnya rambut kepala (yang normal) sampai dagu tempat tumbuhnya jenggot.

Adapun tangan yang dibasuh adalah hingga siku (siku terkena basuhan) sedangkan kaki hingga mata kaki (mata kaki terkena basuhan).

Sedangkan kepala diusap seluruhnya karena perintah inilah yang ada dalam ayat. Dan yang dimaksud adalah mengusap seluruh kepala bukan sebagiannya.

5. Berurutan dalam membasuh dan mengusap yaitu dari membasuh wajah, membasuh tangan hingga siku, mengusap kepala dan mencuci kaki hingga mata kaki, keempat anggota wudhu ini mesti berurutan, itu syarat. Karena Allah menjadikan dua basuhan di antara satu usapan, ini menunjukkan mesti berurutan tatkala membasuh anggota wudhu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ

“Mulailah dengan apa yang Allah dahulukan.” (HR. Muslim no.1218).

Walaupun hadits ini sebenarnya membicarakan masalah haji, namun bisa juga menunjukkan pada kita bahwa wudhu mesti berurutan.

Bersambung Insyaa Allah'..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..