Jumat, 02 Juni 2017

BOHONG SAAT PUASA, APAKAH MEMBATALKAN PUASA?

01.28.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Apakah bohong saat puasa bisa membatalkan puasa?

Berbohong Saat Puasa

Larangan berbohong saat berpuasa telah disebutkan dalam hadits berikut ini..

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no.1903)

Zuur yang dimaksud dalam hadits di atas adalah dusta. Berdusta dianggap jelek setiap waktu. Namun semakin teranggap jelek jika dilakukan di bulan Ramadhan. Hadits di atas menunjukkan tercelanya dusta. Seorang muslim tentu saja harus menjauhi hal itu.

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa larangan yang dimaksud dalam hadits di atas adalah larangan haram, namun bukan termasuk pembatal puasa. Pembatal puasa hanyalah makan, minum dan jima’ (hubungan intim). (Fath Al Bari 4: 117)

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul ‘Arabi,

مُقْتَضَى هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّ مَنْ فَعَلَ مَا ذُكِرَ لَا يُثَابُ عَلَى صِيَامِهِ ، وَمَعْنَاهُ أَنَّ ثَوَاب الصِّيَام لَا يَقُومُ فِي الْمُوَازَنَةِ بِإِثْم الزُّور وَمَا ذُكِرَ مَعَهُ

“Konsekuensi dari hadits tersebut, siapa saja yang melakukan dusta yang telah disebutkan, balasan puasanya tidak diberikan. Pahala puasa tidak ditimbang dalam timbangan karena telah bercampur dengan dusta dan yang disebutkan bersamanya.” (Fath Al Bari 4: 117)

Al Baidhawi menyatakan,

لَيْسَ الْمَقْصُود مِنْ شَرْعِيَّةِ الصَّوْمِ نَفْس الْجُوعِ وَالْعَطَشِ ، بَلْ مَا يَتْبَعُهُ مِنْ كَسْرِ الشَّهَوَات وَتَطْوِيعِ النَّفْسِ الْأَمَّارَةِ لِلنَّفْسِ الْمُطْمَئِنَّةِ ، فَإِذَا لَمْ يَحْصُلْ ذَلِكَ لَا يَنْظُرُ اللَّه إِلَيْهِ نَظَر الْقَبُولِ

“Bukanlah maksud syari’at puasa adalah menahan lapar dan dahaga saja. Dalam puasa haruslah bisa mengendalikan syahwat dan mengatur jiwa agar memiliki hati yang tenang. Jika tidak bisa melakukan seperti itu, maka Allah tidaklah menerima puasa tersebut.”
(Fath Al Bari 4: 117)

Dampak Jelek Berbohong

1. Berbohong memang teramat bahaya yang dapat mengantarkan pada sifat² jelek lainnya.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati²lah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no.2607)

2. Berbohong selalu menggelisahkan jiwa, berbeda dengan sifat jujur yang selalu menenangkan.

Dari Al Hasan bin Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ

“Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta akan menggelisahkan jiwa.”
(HR. Tirmidzi no.2518 dan Ahmad 1: 200. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

3. Berbohong merupakan tanda kemunafikan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Ada tiga tanda munafik: jika berkata, ia dusta, jika berjanji, ia mengingkari, dan jika diberi amanat, ia khianat.” (HR. Bukhari no.33)

Asy Sya’bi berkata,

مَنْ كَذَبَ ، فَهُوَ مُنَافِقٌ

“Siapa yang berdusta, maka ia adalah munafik.” (Jami’ Al Ulum wa Al Hikam 2: 493)

Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata,

الكَذِبُ جِمَاعُ النِّفَاقُ

“Dusta dapat mengumpulkan sifat kemunafikan.” (Ramadhan Durusun wa ‘Ibarun hal.39).

Mengajarkan Anak untuk Berbohong

Ada perkataan dari Az Zuhri, dari Abu Hurairah walau sanad riwayat ini munqathi’ (terputus), ia berkata, “Siapa yang mengatakan pada seorang bocah, ‘Mari sini, ada kurma untukmu.’ Kemudian ia tidak memberinya sedikit kurma pun, maka ia telah berdusta.” (Jami’ Al Ulum wa Al Hikam 2 :485).

Tidak sedikit dari orang tua yang membohongi anaknya seperti yang dinyatakan dari Abu Hurairah di sini.

Syech Musthofa Al Adawi hafizhahullah berkata, “Jika orang tua sudah mengingkari janji yang ia katakan pada anaknya, maka hilanglah kepercayaan dari anak pada orang tua. Bagaimana lagi jika orang tua sampai mengajarkan secara langsung untuk mengingkari janji? Tentu nantinya anak tidak lagi percaya pada orang tuanya sendiri.

Begitu pula didikan yang keliru adalah jika ada seseorang yang datang mencari orang tua, lalu ia katakan pada anaknya, ‘Beritahu saja, bapak tidak ada di rumah.’ Ini termasuk dosa dan telah mendidik anak untuk berbohong tanpa orang tua sadari.” (Fiqh Tarbiyah Al Abna hal.243).

Berbohong Saat Bercanda

Tidak boleh berbohong pula dalam bercanda, bersandiwara atau hanya ingin membuat orang lain tertawa. Dari Bahz bin Hakim, ia berkata bahwa ayahnya, Hakim telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” (HR. Abu Daud no.4990 dan Tirmidzi no.3315. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Di antara faktor yang mendorong seseorang biasa berbohong:
  • Jauh dari agama
  • Tidak takut akan siksa atau hukuman dari Allah di akhirat
  • Ingin mendapatkan kebaikan yang cepat diperoleh di dunia
  • Sudah jadi kebiasaan
  • Hasil didikan yang jelek.

Marilah jadikan bulan Ramadhan sebagai ajang untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..

BUKA PUASA DALAM KEADAAN RAGU KELUAR DARAH HAIDH

01.18.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Bagaimana jika ada wanita yang masuk waktu Maghrib (buka puasa) dalam keadaan ragu apakah haidh yang ia temui saat Maghrib keluarnya sebelum buka puasa ataukah sesudahnya? Misal kebiasaan haidhnya hari tersebut, jam 4 sore ketika dicek tidak keluar darah haidh. Saat berbuka puasa (jam 6) baru ketahuan darah haidh ada. Kalau ternyata keluar sebelumnya, tentu saja puasanya jadi batal dan harus diganti di hari yang lain. Sedangkan kalau darah haidh keluar ketika waktu berbuka tiba, puasanya berarti tidak diqadha’.

Bagaimana jawaban untuk masalah di atas?

Perhatikan kaedah fikih dari para ulama dan penjelasan di bawah ini..

Pegang yang Yakin, Tinggalkan Yang Ragu²

Dalam shahih Bukhari Muslim disebutkan hadits dari Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia pernah mengadukan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai seseorang yang biasa merasakan sesuatu dalam shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,

لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا

“Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” (HR. Bukhari no.177 dan Muslim no.361).

Imam Nawawi rahimahullah berkata mengenai hadits di atas,

مَعْنَاهُ يَعْلَم وُجُود أَحَدهمَا وَلَا يُشْتَرَط السَّمَاع وَالشَّمّ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ . وَهَذَا الْحَدِيث أَصْل مِنْ أُصُول الْإِسْلَام وَقَاعِدَة عَظِيمَة مِنْ قَوَاعِد الْفِقْه ، وَهِيَ أَنَّ الْأَشْيَاء يُحْكَم بِبَقَائِهَا عَلَى أُصُولهَا حَتَّى يُتَيَقَّن خِلَاف ذَلِكَ . وَلَا يَضُرّ الشَّكّ الطَّارِئ عَلَيْهَا

“Makna hadits tersebut adalah ia boleh berpaling sampai ia menemukan adanya suara atau mencium bau, dan tidak mesti ia mendapati kedua-duanya sekaligus sebagaimana hal ini disepakati oleh para ulama kaum muslimin (ijma’). Hadits ini menjadi landasan suatu kaedah dalam Islam dan menjadi kaedah fiqih, yaitu sesuatu tetap seperti aslinya sampai datang suatu yang yakin yang menyelisihinya. Jika ada ragu² yang baru saja datang, tidaklah masalah.” (Syarh Shahih Muslim 4: 49).

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

كُلُّ احْتِمَالٍ لَا يَسْتَنِدُ إلَى أَمَارَةٍ شَرْعِيَّةٍ لَمْ يُلْتَفَتْ إلَيْهِ

“Setiap yang masih mengandung sangkaan (keraguan) yang tidak ada patokan syar’i sebagai pegangan, maka tidak perlu diperhatikan.” (Majmu’ah Al Fatawa 21: 56)

Jawaban Masalah

Ada kaedah yang bisa menjawab masalah di atas,

أَنَّ كُلَّ مَشْكُوكٍ فِيهِ مُلْغًى فَكُلُّ سَبَبٍ شَكَكْنَا فِي طَرَيَانِهِ لَمْ نُرَتِّبْ عَلَيْهِ مُسَبَّبَهُ ، وَجَعَلْنَا ذَلِكَ السَّبَبَ كَالْعَدَمِ الْمَجْزُومِ بِعَدَمِهِ فَلَا نُرَتِّبُ الْحُكْمَ ، وَكُلُّ شَرْطٍ شَكَكْنَا فِي وُجُودِهِ جَعَلْنَاهُ كَالْمَجْزُومِ بِعَدَمِهِ فَلَا نُرَتِّبْ الْحُكْمَ ، وَكُلُّ مَانِعٍ شَكَكْنَا فِي وُجُودِهِ جَعَلْنَاهُ مُلْغًى كَالْمَجْزُومِ بِعَدَمِهِ فَيَتَرَتَّبُ الْحُكْمُ إنْ وُجِدَ سَبَبُهُ فَهَذِهِ الْقَاعِدَةُ مُجْمَعٌ عَلَيْهَا مِنْ حَيْثُ الْجُمْلَةُ

“Setiap yang meragukan dianggap seperti tidak ada. Setiap sebab yang kita ragukan kapan munculnya, maka tidak ada hukum pada yang akibatnya. Sebab tersebut seperti sesuatu yang dipastikan tidak ada, maka tidak dikenakan hukum ketika itu. Begitu pula setiap syarat yang diragukan keberadaannya, maka dianggap seperti tidak ada sehingga tidak diterapkan hukum untuknya. Begitu pula setiap mani’ (penghalang) yang diragukan keberadaannya, dianggap seperti tidak ada. Hukum baru ada apabila sebab itu ada. Perlu diketahui, kaedah ini disepakati secara umum.” (Anwar Al Buruq fi Anwa’ Al Furuq 4: 94)

Dari kaedah di atas dapat dipahami bahwa keadaan yang yakin yang dipegang adalah masih dalam keadaan suci. Sedangkan keadaan ragu² adalah dalam keadaan tidak suci. Sehingga ketika berbuka baru didapati darah haidh dan tidak diketahui keluarnya baru saja ataukah sebelum berbuka puasa, maka keadaan yang dipegang adalah keadaan suci.

Jadi kesimpulannya, masalah di atas tetap dianggap masih dalam keadaan suci ketika masuk buka puasa. Sehingga puasanya tidak perlu diqadha’, alias tetap sah. Wallahu a’lam bish shawwab..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..