Minggu, 26 Maret 2017

MENGAZANI BAYI LAHIR LEWAT TELEPON

02.57.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ada salah seorang Ikhwan yang menanyakan, Bolehkah mengazani bayi yang baru lahir lewat telepon? Misal, karena bapak si bayi tidak bisa hadir ketika bayi tersebut lahir..?/

Mengazani Bayi yang Baru Lahir

Ane pernah bertanya kepada salah satu guru ane, Syech Hammad Ad Dabbas rahimahullah mengenai keshahihan hadits adzan dan iqamah pada bayi ketika lahir. Beliau menjawab, “Hadits yang menjelaskan tentang adzan pada telinga bayi ketika lahir tidaklah shahih. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Abu Daud dalam sunannya, Tirmidzi dan Al Bazzar dalam musnadnya, Ath Thabrani dalam Majmu’nya, Al Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman, Abdurrozaq dalam Mushannafnya dari jalur Ashim bin Ubaidillah, dari Ubaidillah bin Abu Rofi’, dari ayahnya, ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadzani di telinga Al Hasan bin Ali ketika dilahirkan oleh Fathimah seperti adzan untuk shalat.”

Dalam rantai sanadnya terdapat Ashim bin Ubaidillah, di mana Abu Hatim menilainya, ” ‘Ashim itu munkarul hadits, mudhthorib hadits, hadits yang ia riwayatkan tidak bisa dijadikan sandaran. Ibnu Ma’in mendhaifkan haditsnya. Imam Bukhari menilai, dia itu munkarul hadits.”

Dikeluarkan pula oleh Abu Ya’la dari Husain, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bayi mana saja yang dilahirkan lalu diadzankan di telinga kanan dan diiqamahkan di telinga kiri, maka setan pun tidak akan mendatangkan mudharat untuknya.” (HR. Abu Ya’la dalam musnadnya 6780).

Di dalam rantai sanad tersebut terdapat Marwan bin Salim Al Ghifariy, ia adalah perawi matruk.

Hadits tersebut dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman, dari jalur Al Hasan bin ‘Amr, dari Al Qasim bin Muth’im, dari Manshur bin Shafiyah, dari Abu Ma’bad, dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengadzani Al Hasan bin Ali ketika hari lahirnya. Beliau mengadzankannya di telinga kanan dan mengiqamahkan di telinga kiri.

Hadits di atas pun munkar. AlHasan bin ‘Amr dikatakan pendusta oleh Imam Bukhari.

Intinya, tidak ada hadits shahih yang mendukung tuntunan adzan di telinga bayi.”

Kesunnahan mengadzankan bayi saat lahir bukanlah suatu hal yang disepakati oleh para ulama. Sebagian ulama menyatakan makruh (terlarang) mengadzankan. Inilah pendapat dari Imam Malik rahimahullah.

Telah disebutkan dalam Mawahibul Jalil karya Al Hithab Al Maliki rahimahullah, “Imam Malik memakruhkan adzan di telinga bayi saat lahir.”

Disebutkan pula dalam An Nawadir tentang masalah akikah pada permasalahan khitan dan khidhob, “Imam Malik mengingkari adanya adzan di telinga bayi saat lahir.”

Al Jazuli menyebutkan dalam Syarh Ar Risalah bahwa sebagian ulama menganjurkan adzan di telinga bayi saat lahir, begitu pula iqamah. Telah ada amalan dari kaum muslimin mengenai hal itu.

Lewat Telepon / Handphone

Adapun mengazani bayi yang baru lahir bagi yang meyakini ada sunnahnya, hendaklah mengazani secara langsung di telinga. Di sini tidak disyaratkan orang tua, bisa jadi orang lain untuk menggantikan.

Namun kalau mau mengazani via telepon (handphone) tidaklah masalah. Misalnya karena orang tua bayi berada di daerah yang berbeda. Tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun perlu jadi catatan penting, tidak boleh ada keyakinan hanya orang tertentu saja yang boleh mengazani dan punya keistimewaan khusus dibanding lainnya. (Syech Muhammad Shalih Al Munajjid, Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no.1964)

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

FAEDAH SURAT AL MULK: MELIMPAHNYA KEBERKAHAN DARI SISI ALLAH

02.47.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Allah Ta’ala berfirman,

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (1)

“Melimpahnya keberkahan dari sisi Allah Yang di tangan-Nya lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Mulk: 1)

Beberapa faedah dari ayat ini: 

Melimpahnya Keberkahan dari Sisi Allah

Tabaaroka bermakna banyaknya keberkahan dan kebaikan dari sisi Allah, semakin bertambah pemberian-Nya dan nikmat tersebut terus tetap ada. Juga tabaaroka bermakna Maha Suci Allah (dari berbagai kekurangan) dan Maha Besar. Berkah sendiri diartikan dengan sesuatu yang bertambah dan terus tetap ada.

Di Tangan-Nya Segala Kerajaan

Maksud di tangan-Nya segala kerajaan yaitu seluruh kerajaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah adalah pengatur seluruh makhluk sesuai dengan kehendak-Nya dan tidak ada yang dapat melawan ketetapan-Nya. Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia kerjakan. Karena Dia lah yang Maha Menundukkan, segala perbuatan-Nya dibangun di atas hikmah dan Dia Maha Adil.

Allah Memiliki Tangan yang Layak bagi-Nya dan sesuai dengan Kemuliaan-Nya

Dalam ayat ini menunjukkan bahwa Allah memiliki tangan sesuai dengan kemuliaan-Nya dan tidak serupa dengan makhluk. Adapun tangan Allah dalam Al Qur’an kadang disebut dengan menggunakan bentuk tunggal (mufrod), kadang dengan menyebutkan dua tangan dan kadang pula disebut dengan bentuk jama’.

Namun perlu diketahui bahwa Allah memiliki dua tangan berdasarkan dalil² berikut ini: 

Pertama, ayat yang menjelaskan bahwa Allah mencela Iblis yang enggan sujud kepada Adam yang telah Dia ciptakan dengan kedua tangan-Nya. Allah berfirman,

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ 

“Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (QS. Shaad: 38) 

Kedua, ayat yang menjelaskan perbuatan orang Yahudi yang selalu menghina Allah. Allah berfirman,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ 

“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua  tangan Allah terbuka, Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki.” (QS. Al Maidah: 64) 

Ketiga, hadits dari Abdullah bin Umar yang menunjukkan bahwa Allah memiliki tangan kanan dan tangan kiri yang sesuai dengan kemuliaan-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَطْوِى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ ثُمَّ يَطْوِى الأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ 

“Allah azza wa jalla akan melipat langit pada hari kiamat nanti kemudian Dia akan memegang langit tersebut dengan tangan kanan-Nya. Allah pun berkata, “Aku adalah Raja. Manakah mereka yang sering bertindak lalim dan manakah orang² yang sombong?” Kemudian Allah melipat bumi dengan tangan kiri-Nya. Allah pun berkata, “Aku adalah Raja. Manakah mereka yang sering bertindak lalim dan manakah orang² yang sombong?”. (HR. Muslim no.2788)

Dalil² ini menunjukkan bahwa Allah memiliki dua tangan. Adapun ayat yang menyebutkan tangan Allah dengan bentuk tunggal (sebagaimana dalam surat Al Mulk ayat 1), maksudnya adalah untuk menunjukkan keumuman. Karena apabila kata tunggal disandarkan pada kata lain yang dalam bahasa arab diistilahkan dengan bentuk “mudhof² ilaih”, maka akan menunjukkan makna umum. Sehingga apabila tangan dalam bentuk tunggal disandarkan pada Allah, maka itu juga menunjukkan makna umum. Dari sini menunjukkan bahwa tangan Allah tidak dibatasi satu saja.

Adapun beberapa ayat kadang pula menyebut tangan Allah dengan bentuk jamak seperti firman Allah,

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِمَّا عَمِلَتْ أَيْدِينَا أَنْعَامًا فَهُمْ لَهَا مَالِكُونَ

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan tangan Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?” (QS. Yaasin: 71).

Bentuk jamak di sini dimaksudkan untuk pengagungan dan bukan menunjukkan bahwa tangan Allah itu banyak lebih dari dua.

Tidak Ada yang Satu Pun Yang Dapat Menentang Kehendak-Nya

Makna ayat “Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu” adalah segala perbuatan yang Allah kehendaki, Dia Maha Mampu, tidak ada satupun yang dapat menghalangi perbuatan-Nya. Tidak ada ketidak mampuan atau kelemahan yang menghalangi Allah untuk berbuat. Allah memberi dan memuliakan siapa saja yang Dia kehendaki. Dia pun menyiksa dan menterlantarkan siapa saja yang Dia kehendaki.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

SHALAT DI MASJID DEKAT ATAUKAH DI MASJID JAUH YANG SUNNAH?

02.29.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ada pilihan, ada masjid dekat namun imamnya kurang bagus. Ada masjid yang jauh, imamnya bagus, selain itu punya manfaat lain jika shalat di sana (karena lebih nyunnah katanya), mana yang harus dipilih?

Ada pertanyaan yang pernah diajukan pada Syech Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah,

“Bolehkah seseorang memilih shalat Jumat dengan meninggalkan masjid di daerahnya dan memilih masjid yang jauh jaraknya? Hal ini dikarenakan khatib di tempatnya khutbahnya terlalu panjang.”

Syech Ibnu Utsaimin menjawab,

Lebih baik baginya shalat di masjid kampungnya supaya saling mengenal dan menjalin kasih dengan orang² sekitarnya. Begitu pula kalau shalat di masjid kampungnya bisa untuk menyemangati lainnya.

Namun jika ia pergi ke masjid lain dengan pertimbangan maslahat diniyyah yaitu mudah mendapatkan ilmu, khutbahnya lebih mudah diresapi, ilmu yang diperoleh lebih banyak, maka dengan pertimbangan seperti ini tidaklah masalah. Dahulu sahabat memilih shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid beliau untuk mendapatkan keutamaan bermakmum di belakang nabi, juga untuk mendapatkan shalat di masjid nabi (Masjid Nabawi). Lalu setelah shalat bersama nabi, mereka shalat kembali di kampung mereka seperti yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan Nabi itu mengetahui dan tidak mengingkarinya. (Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no.143905)

Syech Muhammad Shalih Al Munajjid hafizahullah juga menyatakan bahwa lebih utama melaksanakan shalat (Jum’at) di masjid kampung kecuali ada maslahat jika harus memilih masjid lain.

Tentang hadits yang dimaksudkan oleh Syech Muhammad bin Shalih Al Utsaimin adalah hadits berikut dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,

أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ – رضى الله عنه – كَانَ يُصَلِّى مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثُمَّ يَأْتِى قَوْمَهُ فَيُصَلِّى بِهِمُ الصَّلاَةَ ، فَقَرَأَ بِهِمُ الْبَقَرَةَ – قَالَ – فَتَجَوَّزَ رَجُلٌ فَصَلَّى صَلاَةً خَفِيفَةً ، فَبَلَغَ ذَلِكَ مُعَاذًا فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ . فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ ، فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَوْمٌ نَعْمَلُ بِأَيْدِينَا ، وَنَسْقِى بِنَوَاضِحِنَا ، وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى بِنَا الْبَارِحَةَ ، فَقَرَأَ الْبَقَرَةَ فَتَجَوَّزْتُ ، فَزَعَمَ أَنِّى مُنَافِقٌ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ – ثَلاَثًا – اقْرَأْ ( وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا ) وَ ( سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى ) وَنَحْوَهَا »

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ia mendatangi kaumnya untuk melaksanakan shalat lagi. Ketika itu Mu’adz membacakan surat Al Baqarah. Lantas ada seseorang yang keluar dan ia melakukan shalat sendirian dengan ringkas. Hal tersebut sampai pada telinga Mu’adz dan Mu’adz menyebut orang tersebut munafik. Sebutan Mu’adz tadi sampai pada orang yang digelari, hingga akhirnya ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah kami adalah kaum yang bekerja dengan tangan² kami di samping menggembala ternak. Saat itu Mu’adz shalat mengimami kami semalam itu membaca surat Al Baqarah. Maka Aku memutus shalatku, lalu dia menuduh saya munafik.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Mu’adz, apakah kamu akan tukang pembuat fitnah (memicu orang enggan shalat)?” hingga 3 kali, “Baiknya engkau membaca surat Asy Syamsy dan Al A’la atau yang semisalnya.” (HR. Bukhari no.6106 dan Muslim no.465)

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa yang dimaksud adalah shalat Isya. Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata,

صَلَّى مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ الأَنْصَارِىُّ لأَصْحَابِهِ الْعِشَاءَ فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ فَانْصَرَفَ رَجُلٌ مِنَّا فَصَلَّى فَأُخْبِرَ مُعَاذٌ عَنْهُ فَقَالَ إِنَّهُ مُنَافِقٌ. فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَخْبَرَهُ مَا قَالَ مُعَاذٌ فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَتُرِيدُ أَنْ تَكُونَ فَتَّانًا يَا مُعَاذُ إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا. وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى. وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ. وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى »

“Mu’adz bin Jabal Al Anshari pernah memimpin shalat Isya. Ia pun memperpanjang bacaannya. Lantas ada seseorang di antara kami yang sengaja keluar dari jama’ah. Ia pun shalat sendirian. Mu’adz pun dikabarkan tentang keadaan orang tersebut. Mu’adz pun menyebutnya sebagai seorang munafik. Orang itu pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan pada beliau apa yang dikatakan oleh Mu’adz padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menasehati Mu’adz, “Apakah engkau ingin membuat orang lari dari agama, wahai Mu’adz? Jika engkau mengimami orang², bacalah surat Asy Syams, Adh Dhuha, Al A’laa, Al-Alaq, atau Al Lail.” (HR. Muslim no.465)

Dalam riwayat lain dari Ibnu Abi Syaibah (3625) disebutkan bahwa yang dilaksanakan oleh Mu’adz adalah shalat Maghrib. (Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no.184724)

Saran ane, tetap memilih masjid terdekat lebih utama dibanding memilih masjid jauh yang nyunnah. Dakwah pada orang terdekat akan lebih tersampaikan kalau kita bisa bergaul dengan baik. Silahkan buktikan!

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..