Selasa, 20 Desember 2016

ANAK DURHAKA SAAT ORANG TUA STROKE

00.48.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Cukup sedih saja lihat ada anak yang merawat orang tua yang sudah kena stroke. Saat memandikan orang tuanya, ia malah memukul badan orang tuanya hingga memar². Itu terjadi karena anak tidak sabar merawat orang tuanya yang sudah berusia lanjut dan berpenyakitan.
Ane cuma bisa bilang, hidup anak ini tidak akan selamat, hidupnya tidak akan berkah.

Itu Durhaka

Anak tersebut disebut anak yang durhaka. Kenapa?
Imam Nawawi dalam Shahih Muslim (2: 77) berkata: ”Uququl walidain atau durhaka pada orang tua adalah segala bentuk menyakiti orang tua.”

Kata Kasar, Keras, dan Menyakitkan

Orang tua kita yang kena stroke pun punya hak dari kita sebagai anak untuk berbakti padanya.

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik²nya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua²nya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al Isra’: 23)

Kata Imam Ibnu Jarir Ath Thabari yang dimaksud dengan ayat di atas,

 فلا تؤفف من شيء تراه من أحدهما أو منهما مما يتأذّى به الناس، ولكن اصبر على ذلك منهما، واحتسب في الأجر صبرك عليه منهما، كما صبرا عليك في صغرك

“Janganlah berkata ah, jika kalian melihat sesuatu dari salah satu atau sebagian dari keduanya yang dapat menyakiti manusia. Akan tetapi bersabarlah dari mereka berdua. Lalu raihlah pahala dengan bersabar pada mereka sebagaimana mereka bersabar merawatmu kala kecil.”

Mengenai maksud berkata uff (ah) dalam ayat, dikatakan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari,

كلّ ما غلظ من الكلام وقبُح

“Segala bentuk perkataan keras dan perkataan jelek (pada orang tua)”

Lihatlah pada ayat di atas, berkata kasar semacam itu tidak boleh dilakukan saat orang tua berusia lanjut. Karena memang anak ketika itu tidak sabar untuk mengurus orang tuanya sendiri. Maka Allah peringatkan.

Ingatlah orang tua yang berusia lanjut (walau stroke) tetap masih bisa mendoakan jelek pada anaknya kalau ia dalam keadaan kecewa berat.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدَيْنِ عَلىَ وَلَدِهِمَا

“Ada tiga jenis doa yang mustajab (terkabul), tidak diragukan lagi, yaitu doa orang yang dizalimi, doa orang yang bepergian dan doa kejelekan kedua orang tua kepada anaknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syech Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dosa Durhaka pada Orang Tua

Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata,

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ؟) ثَلاَثًا، قَالُوْا : بَلىَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : ( الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ ) وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا ( أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرُ ) مَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتىَّ قُلْتُ لَيْتَهُ سَكَتَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian mau kuberitahu mengenai dosa yang paling besar?” Para sahabat menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.”Beliau lalu bersabda, “(Dosa terbesar adalah) mempersekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Beliau mengucapkan hal itu sambil duduk bertelekan [pada tangannya]. (Tiba² beliau menegakkan duduknya dan berkata), “Dan juga ucapan (sumpah) palsu.” Beliau mengulang-ulang perkataan itu sampai saya berkata (dalam hati), “Duhai, seandainya beliau diam.” (HR. Bukhari-Muslim)

Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ مِنَ الْبَغِى وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ

“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya di dunia ini (berikut dosa yang disimpan untuknya diakhirat) daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi. Syech Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Bentuk Durhaka

Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma berkata,

إبكاء الوالدين من العقوق

”Membuat orang tua menangis termasuk bentuk durhaka pada orang tua.”

Mujahid rahimahullah mengatakan,

لا ينبغي للولد أن يدفع يد والده إذا ضربه، ومن شد النظر إلى والديه لم يبرهما، ومن أدخل عليهما ما يحزنهما فقد عقهما

“Tidak sepantasnya seorang anak menahan tangan kedua orang tuanya yang ingin memukulnya. Begitu juga tidak termasuk sikap berbakti adalah seorang anak memandang kedua orang tuanya dengan pandangan yang tajam. Barangsiapa yang membuat kedua orang tuanya sedih, berarti dia telah mendurhakai keduanya.”

Ka’ab Al-Ahbar pernah ditanyakan mengenai perkara yang termasuk bentuk durhaka pada orang tua, beliau mengatakan,

إذا أمرك والدك بشيء فلم تطعهما فقد عققتهما العقوق كله

“Apabila orang tuamu memerintahkanmu dalam suatu perkara (selama bukan dalam maksiat) namun engkau tidak mentaatinya, berarti engkau telah melakukan berbagai macam kedurhakaan terhadap keduanya.” (Birrul Walidain hlm.8 karya Ibnul Jauziy)

Mumpung Masih Terbuka Pintu Itu

Dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ

“Orang tua adalah pintu surga paling tengah. Kalian bisa sia²kan pintu itu atau kalian bisa menjaganya.” (HR. Tirmidzi no.1900, Ibnu Majah no.3663, Ahmad 6: 445. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Al Qadhi Baidhawi mengatakan, “Bakti pada orang tua adalah pintu terbaik dan paling tinggi untuk masuk surga. Maksudnya, sarana terbaik untuk masuk surga dan yang mengantarkan pada derajat tertinggi di surga adalah lewat mentaati orang tua dan berusaha mendampinginya. Ada juga ulama yang mengatakan, ‘Di surga ada banyak pintu. Yang paling nyaman dimasuki adalah yang paling tengah. Dan sebab untuk bisa masuk surga melalui pintu tersebut adalah melakukan kewajiban kepada orang tua.’ (Tuhfah Al Ahwadzi 6: 8-9).

Semoga Allah Ta'alaa memberikan taufik dan hidayah-Nya pada kita semua untuk bisa berbakti pada orang tua kita, juga bersabar dalam menghadapi mereka di usia tua, Dan semoga Allah juga membukakan pintu surga pada kita semua karena bentuk bakti tersebut..

Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..

MENAFKAHI ORANG TUA YANG TIDAK MAMPU

00.42.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Apakah sebagai anak wajib memberi nafkah pada orang tua?

Al Qadhi Abu Syuja rahimahullah telah membahas tentang masalah nafkah untuk kerabat. Beliau rahimahullah menyebutkan hal ini dalam kitab fikih dasar madzhab Syafi’i, Matan Al Ghayah wa At Taqrib.

Abu Syuja’ menyatakan bahwa nafkah untuk kedua orang tua dan anak² itu wajib.

Nafkah anak untuk kedua orang tua dihukumi wajib ketika memenuhi dua syarat:

1. Miskin dan tidak kuat dalam mencari nafkah,

2. Miskin dan gila (hilang ingatan).

Nafkah seseorang pada anak²nya dihukumi wajib ketika memenuhi tiga syarat:

1. Miskin dan masih kecil (belum baligh),

2. Miskin dan belum kuat untuk bekerja,

3. Miskin dan gila (hilang ingatan).

Disebutkan oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi, dasar wajibnya nafkah untuk orang tua dan anak adalah dalil Al Qur’an, As Sunnah dan ijma’ (kesepatan para ulama).

Dalil dari Al Qur’an,

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak²)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath-Thalaq: 6)

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 233)

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik²nya.” (QS. Al-Isra’: 23)

Termasuk dalam bentuk ihsan adalah menafkahi kedua orang tua ketika mereka butuh..
Adapun dalil dari hadits adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Hindun dalam hadits berikut ini..

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Hindun binti Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberikan kepadaku nafkah yang mencukupi dan tidak pula mencukupi anak²ku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ

“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak²mu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari no.5364, Muslim no.1714)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

“Sesungguhnya sebaik-baik yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya, sedangkan anak itu adalah hasil usaha orang tua.” (HR. Abu Daud no.3528, An Nasai dalam Al Kubra 4: 4. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Adapun dalil ijma’ (sepakat ulama) disebutkan oleh Ibnul Mundzir. Ibnul Mundzir menyatakan bahwa para ulama sepakat, wajib bagi anak memberi nafkah untuk kedua orang tuanya yang fakir yaitu tidak punya pekerjaan apa² dan juga tidak punya harta. Begitu pula wajib bagi seseorang memberikan nafkah pada anak yang tidak punya harta. Karena anak merupakan bagian dari orang tuanya. Karenanya ia wajib menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya, begitu pula memberi nafkah pada anak dan orang tua (ashlu-nya). Oleh karenanya jika seorang ibu tidak lagi memiliki suami, maka ia wajib memberikan nafkah untuk anaknya. Demikian pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. (Al Mughni karya Ibnu Qudamah Al Maqdisi 11: 373).

Wallahu Waliyyut Taufiq'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..