Rabu, 12 April 2017

ORANG YANG BIASA KE MASJID ITULAH AHLI IMAN

00.47.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Inilah hadits yang menyatakan bahwa orang yang terbiasa ke masjid, itulah ahli iman.

Hadits no.1060 dari Kitab Riyadhus Sholihin karya Imam Nawawi..

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسَاجِدَ فَاشْهَدُوا لَهُ بِالإِيمَانِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى (إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ) الآيَةَ

“Apabila kalian melihat seseorang biasa ke masjid, maka saksikanlah bahwa ia beriman. Allah Ta’ala berfirman, Orang yang memakmurkan masjid² Allah adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. At Taubah: 18). (HR. Ibnu Majah no.802, Tirmidzi no.3093. Al Hafih Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syech Salim bin ‘Ied Al Hilali menyatakan sanad hadits ini dha’if)

Kesimpulan Hadits

1. Makna hadits di atas sudah ditunjukkan dalam ayat yang disebut (surat At Taubah ayat 18), sehingga maknanya tetap benar (shahih). Siapa saja yang memakmurkan masjid dengan dzikir, shalat dan membaca Al Qur’an, merekalah orang yang beriman (ahli iman).

2. Hadits ini menunjukkan perintah shalat berjama’ah. Melaksanakan shalat berjamaah itu termasuk sunanul huda (petunjuk Rasul) yang diperintahkan untuk dilaksanakan di masjid.

3. Memakmurkan masjid termasuk amalan paling mulia dalam Islam.
Memakmurkan masjid ada dua bentuk yaitu memperhatikan luarnya (seperti memakmurkan dan menjaga kebersihan masjid) dan memperhatikan ruh di dalamnya (seperti menjaga agar masjid digunakan untuk shalat, dzikir, amalan sunnah hingga diadakannya majelis ilmu).

4. Ingatlah, iman itu sumber kebahagiaan.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

MERAIH SURGA DENGAN AMALAN TAQWA

00.33.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Allah Taala berfirman,

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang² yang bertaqwa, (yaitu) orang² yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang² yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang² yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imron : 133-134)

Dalam ayat yang mulia ini Allah memerintahkan untuk bersegera dalam dua hal yaitu:

1. Meraih ampunan Allah

2. Meraih surga-Nya yang lebarnya selebar langit dan bumi. Apalagi panjangnya!! Surga ini Allah sediakan bagi orang² yang bertaqwa.

Memahami Taqwa

Sebenarnya apa taqwa itu?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (XX/132) bahwa taqwa bukanlah hanya meninggalkan maksiat (kejelekan) namun taqwa sebagaimana ditafsirkan oleh ulama² dahulu dan belakangan adalah melakukan apa yang Allah perintahkan dan meninggalkan apa yang Allah larang.

Tholaq bin Habib rahimahullah mengatakan,

أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَرْجُوْ ثَوَابَ اللهِ وَ أَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَخَافُ عَذَابَ اللهِ

"Taqwa adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allah, di atas cahaya dari Allah (yaitu di atas ilmu) dengan harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah dan engkau menjauhi maksiat atas cahaya dari Allah (yaitu di atas ilmu) karena takut akan ’adzab Allah.
(Jami’ul Ulum wal Hikam hal.211)

Di antara bentuk ketaqwaan adalah _menjaga shalat lima waktu_ di mana Allah memerintahkan hal ini pada kita,

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى

“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (shalat Ashar atau Shubuh).” (QS. Al Baqarah : 238)

Dan Allah melarang meninggalkan perkara agung ini karena inilah amalan yang pertama kali akan dihisab (diperhitungkan) di hari kiamat kelak di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ الصَّلَاةُ وَأَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِي الدِّمَاءِ

”Amalan pertama yang akan dihisab dari seorang hamba adalah shalat. Yang perkara pertama kali yang akan diputuskan adalah urusan darah.” (HR. An Nasa’i dan Ath Thobroni, dikatakan shohih oleh Syech Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.1748).

Oleh karena itu, janganlah menganggap remeh shalat ini dan janganlah meninggalkannya karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya di antara pembeda antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)

Yaitu yang menghalangi seseorang dari kekafiran adalah tidak meninggalkan shalat (yaitu melakukan shalat). Apabila seseorang meninggalkan shalat tidak lagi tersisa penghalang antara keislaman dan kesyirikan bahkan dia telah jatuh dalam dosa kekafiran. Perhatikanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يَجْتَمِعُ الإِيْمَانَ وَالكُفْرَ فِي قَلْبِ امْرِىءٍ

“Tidak mungkin keimanan dan kekufuran itu bersatu dalam hati seseorang.”
(Silsilah Ash Shohihah no.1050).

Imam Syafi’i dan Imam Malik mengatakan orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang fasik dan dia akan dihukum sebagaimana orang yang berzina.

Ibnul Qayyim dalam kitab Ash Sholatu wa Hukmu Tarikiha berkata,

”Kaum muslimin sepakat bahwa meninggalkan shalat yang wajib dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”

Meraih Surga Melalui Amalan Taqwa

Surga ini Allah sediakan bagi orang yang bertaqwa dan mereka ini adalah penghuninya. Amalan taqwa adalah amalan yang mengatarkan padanya. Kemudian selanjutnya Allah mensifati orang yang bertakwa dan amalannya: 

Pertama:

الذين ينفقون في السراء والضراء

Gemar Berinfak Yaitu orang² yang banyak berinfak dalam keadaan susah maupun mudah, lapang atau sempit, senang maupun sulit, sehat ataupun sakit dan dalam segala kondisi. Jika dalam keadaan mudah dan kelebihan mereka berinfak, begitu juga dalam keadaan sempit (susah), mereka tetap berinfak walaupun sedikit. 

Kedua:

والكاظمين الغيظ

Menahan Amarah, Orang yang bertaqwa ini adalah orang yang menahan amarah. Apabila ada yang menyakitinya, maka normalnya manusia, dalam hatinya akan dongkol, dan akan membalas dengan kata² maupun perbuatan. Inilah kebiasaan orang ketika disakiti. Namun orang yang bertaqwa yang akan dijanjikan memasuki surga Allah akan menahan hatinya dari amarah, berusaha untuk sabar walaupun telah disakiti.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرُعة، وَلَكِنَّ الشَّدِيدَ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ. وقد رواه الشيخان من حديث مالك.

“Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergelut. Namun, orang yang kuat adalah yang pandai menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الغَضَبُ يَجْمَعُ الشَّرَّ كُلَّهُ.

“Kemarahan itu akan mengumpulkan seluruh kejelekan.” (HR. Ahmad, Dishahihkan Syech Al Albani dalam Shohih Targhib wa Tarhib)

Ketiga

والعافين عن الناس

Memaafkan Orang Lain, Termasuk dalam memaafkan orang lain adalah memberi maaf kepada semua orang yang telah menyakiti dengan perkataan dan perbuatan.

Memaafkan orang lain ini lebih utama dari menahan amarah karena memaafkan orang lain berarti tidak balas dendam terhadap orang yang telah menyakiti dan bermurah hati kepadanya.

Inilah orang² yang menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang tercela karena memaafkan hamba Allah sebagai rahmat (kasih sayang) kepada mereka, berbuat baik kepada mereka, dan tidak senang menyakiti mereka.Semoga Allah mengampuni orang² seperti ini. Dan ingatlah balasannya adalah di sisi Allah yang Maha Mulia dan balasannya bukanlah di sisi hamba yang fakir yang tidak dapat memberikan apa².

Ingatlah firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

”Barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya adalah di sisi Allah.”
(QS. Asyura : 40)

ثلاث أُقْسِمُ عليهن: ما نقص مال من صدقة، وما زاد الله عبدا بعفو إلا عِزا، ومن تواضع لله رفعه الله

”Tiga hal yang Allah bersumpah dengannya : [1]. Harta tidaklah berkurang dengan shodaqoh, [2]. Tidaklah Allah menambahkan kepada orang yang memberi maaf kecuali kemuliaan, [3]. Barangsiapa yang tawadhu (rendah diri) karena Allah maka Allah akan meninggikan (derajatnya).” (HR. Tirmidzi, Tafsir Ibnu Katsir)

Semoga Allah Ta'alaa senantiasa membekali kita semua dengan sifat² taqwa agar bisa dengan mudah memasuki surganya Allah'..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

YANG MENGINGKARI SAMPAINYA DOA PADA SI MAYIT, ITULAH AHLI BID'AH SEBENARNYA

00.23.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Pernyataan ini dari perkataan Syaikhu Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa doa pada mayit atau orang yang sudah mati itu sampai dan bermanfaat. Siapa yang mengingkarinya maka ia adalah ahli bid’ah. Nukilannya sebagai berikut..

Ada pertanyaan dalam Majmu’ Al Fatawa, bagaimana dengan ayat,

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39).

Bagaimana pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang shaleh” (HR. Muslim no.1631)

Apakah itu berarti amalan kebaikan apa pun tidak sampai pada mayit?

Ibnu Taimiyah menjawab,

لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ

“Tidak ada dalam ayat atau hadits yang dimaksud yang menunjukkan bahwa mayit tidak mendapatkan manfaat dengan doa yang lain untuknya, begitu pula dengan amalan kebaikan yang lain untuknya. Bahkan kaum muslimin sepakat akan manfaatnya doa dan amalan kebaikan untuk mayit. Hal ini sudah diketahui secara pasti. Dalil Al Qur’an dan As Sunnah serta ijma’ (kesepakatan para ulama) telah mendukung hal ini. Siapa yang menyelisihi pendapat tersebut, maka ia adalah AHLUL BID’AH.” (Majmu’ Al Fatawa 24: 306)

Bagaimana dengan bacaan Al Qur’an, apakah sampai pada mayit ataukah bermanfaat bagi yang sudah mati?

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa untuk bacaan Al Qur’an apakah sampai atau tidak, para ulama berselisih pendapat. Ibnu Taimiyah berkata,

وَالْأَئِمَّةُ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ تَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ وَكَذَلِكَ الْعِبَادَاتُ الْمَالِيَّةُ : كَالْعِتْقِ . وَإِنَّمَا تَنَازَعُوا فِي الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ : كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْقِرَاءَةِ

“Para ulama sepakat bahwa sedekah pada mayit itu sampai, begitu pula ibadah maliyah (yang terkait dengan harta) seperti memerdekakan budak. Para ulama berselisih pendapat dalam amalan badaniyah (yang terkait dengan amalan badan) seperti shalat, puasa dan bacaan Al Qur’an apakah sampai atau tidak pada mayit.” (Majmu’ Al-Fatawa 24: 308)

Terus bagaimana dengan ayat dan hadits yang disebutkan di atas, apa berarti amalan orang lain tidak bermanfaat bagi orang mati sama sekali?

Amalan seseorang ketika meninggal dunia memang terputus ketika ia mati kecuali amalan yang ia usahakan yang masih tersisa seperti do’a anak shaleh, sedekah jariyah, dan ilmu yang diambil manfaatnya. Itu yang dimaksudkan dalam ayat dan hadits. Namun bukan berarti amalan orang lain untuk orang mati tidak manfaat sama sekali.

Ibnu Taimiyah mengatakan,

لَمْ يَقُلْ : إنَّهُ لَمْ يَنْتَفِعْ بِعَمَلِ غَيْرِهِ . فَإِذَا دَعَا لَهُ وَلَدُهُ كَانَ هَذَا مِنْ عَمَلِهِ الَّذِي لَمْ يَنْقَطِعْ وَإِذَا دَعَا لَهُ غَيْرُهُ لَمْ يَكُنْ مِنْ عَمَلِهِ لَكِنَّهُ يَنْتَفِعُ بِهِ

“Dalam hadits tidak disebutkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat bagi orang yang telah mati. Jika anak mendo’akan orang tuanya, maka itu bagian dari amalan (usaha) orang tua yang telah tiada. Sedangkan jika orang lain mendoakan orang mati, itu pun tetap manfaat walau tidak termasuk usaha orang mati itu sendiri. ” (Majmu’ Al Fatawa 24: 312)

Adapun rincian amalan yang sampai pada mayit para ulama berselisih pendapat. Namun untuk do’a dan sedekah sudah disinggung oleh Ibnu Taimiyah bahwa keduanya disepakati sampai pada mayit. Wallahu a’lam..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..