Minggu, 11 September 2016

HARI ARAFAH APAKAH WAKTU BERDOA YANG MUSTAJAB BAGI YANG TIDAK SEDANG BERHAJI?

15.42.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ada beberapa Ikhwan dan Akhwat yang bertanya,  
Apakah saat hari arofah bagi yang tidak melaksanakan ibadah haji adalah waktu mustajab untuk berdoa sebagaimana jemaah haji yg sedang wukuf di arafah?

Akhi Ukhti, Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan keutamaan berdoa di hari arafah, diantaranya..

Hadits dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ، مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو، ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمِ الْمَلَائِكَةَ، فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ؟

“Tidak ada hari dimana Allah paling banyak membebaskan hamba dari neraka selain hari Arafah. Dia mendekati mereka, lalu dia banggakan mereka di hadapan para malaikat, dengan berfirman: Apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim no.1348).

Kemudian, hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ

”Sebaik-baik doa adalah doa hari arafah.” (HR. Tirmidzi no.3585 dan dihasankan oleh Syech al Albani dalam Shahih at Targhib no.1536)

Juga diriwayatkan dari Thalhah bin Ubaid bin Kuraiz, beliau mengatakan,

أَفْضَلُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ

“Doa yang paling utama adalah doa hari arafah.” (HR. Malik dalam al Muwatha’ 2/300, dan al Jauhari mengatakan, Hadits ini mursal keterangan tabiin).

Apakah ini khusus jamaah haji atau Umum untuk semua Muslim?

Ulama berbeda pendapat tentang keutamaan doa pada hari arafah, apakah keutamaan doa ini khusus berlaku untuk jamaah haji ataukah berlaku umum untuk semua kaum muslimin di selurun penjuru dunia?

Sebagian Malikiyah menyatakan bahwa keutamaan ini khusus berlaku untuk jamaah haji yang sedang wukuf di arafah. Imam al Baji (ulama madzhab Maliki) mengatakan,

قوله : ” أفضل الدعاء يوم عرفة ” يعني : أكثر الذكر بركة وأعظمه ثوابا وأقربه إجابة ، ويحتمل أن يريد به الحاج خاصة ؛ لأن معنى دعاء يوم عرفة في حقه يصح ، وبه يختص ، وإن وصف اليوم في الجملة بيوم عرفة فإنه يوصف بفعل الحاج فيه

”Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ’Sebaik-baik doa adalah doa arafah’, artinya dzikir yang paling berkah, yang paling besar pahalanya, dan yang paling berpeluang mustajab adalah doa ketika arafah. Kemungkinan yang dimaksud di sini adalah jamaah haji secara khusus. Karena makna ’doa hari arafah’ untuk para jamaah haji sangat tepat, dan itu khusus untuk mereka. Dan karena hari itu disebut dengan hari arafah, disimpulkan dari aktivitas jamaah haji di sana.” (al Muntaqa Syarh Al Muwatha’ 2/1).

Sementara ulama lain berpendapat bahwa keistimewaan ini berlaku untuk jamaah haji dan selain jamaah haji. Al Hafidz Ibnu Rajab menyebutkan sebuah riwayat dari jalur Nufai’ Abi Daud, bahwa Ibnu Umar mengatakan,

إذا كان يوم عرفة لم يبق أحد في قلبه مثقال ذرة من إيمان إلا غفر له قيل له: أللمعروف خاصة أم للناس عامة؟ قال: بل للناس عامة”

“Ketika hari arafah, setiap orang yang memiliki iman seberat telur semut maka dia akan diampuni.” ada yang bertanya kepada beliau, ’Apakah khusus untuk yang sedang wukuf di arafah ataukah umum mencakup semua orang?’ “Umum untuk semua manusia.” Jawab Ibnu Umar. (Lathaif Al Ma’arif, hlm.492).

Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Syech Sholih Al Fauzan. Ketika beliau ditanya, apakah keutamaan doa pada hari ‘Arafah khusus bagi para jamaah haji ataukah umum untuk semua manusia?

Jawaban beliau

الدعاء يوم عرفة عام للحجاج وغيرهم لكن الحجاج على وجه أخص لأنهم في مكان فاضل وهم متلبسون بالإحرام وواقفون بعرفة فهم يعني يتأكد الدعاء في حقهم والفضل في حقهم أكثر من غير الحجاج وأما بقية الناس الذين لم يحجوا فإنهم يشرع لهم الدعاء والاجتهاد بالدعاء في هذا اليوم ليشاركوا إخوانهم الحجاج في هذا الفضل

“Doa pada hari ‘Arafah berlaku umum untuk para jamaah haji dan selain jamaah haji. Akan tetapi, para jamaah haji lebih khusus karena mereka berada di tempat yang mulia, sedang melaksanakan ihram dan melakukan wuquf di arafah. Doa untuk mereka menjadi sangat ditekankan. Keutamaan untuk mereka lebih banyak dari pada selain jamaah haji. Adapun masyarakat lain yang tidak berhaji, disyariatkan untuk mereka berdoa serta bersungguh-sungguh dalam berdoa pada hari ini, agar sama² mendapatkan keutamaan sebagaimana saudara-saudara mereka, para jamaah haji.

Selanjutnya Syech Sholih menyebutkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan doa ketika hari arafah, kemudian beliau menegaskan,

فالدعاء مشروع في يوم عرفة للحاج ولغيره لكنه في حق الحاج آكد وأفضل لما هو متلبس به من المناسك ولما هو فيه من المكان العظيم الفاضل وأما الزمان وفضل الزمان فيشترك فيه الحجاج وغير الحجاج وأما المكان فيختص به الحجاج وهو الوقوف بعرفة.

Oleh karena itu, doa pada hari Arafah disyariatkan untuk orang yang berhaji dan selainnya. Akan tetapi, bagi orang yang berhaji, lebih ditekankan dan lebih utama, karena mereka sedang melaksanakan berbagai manasik dan karena mereka berada di tempat yang agung nan utama. Adapun tentang batas waktu (hari arafah) dan keutamaan waktu, jama’ah haji dan selain jamaah haji sama² mendapatkannya. Sementara tempat (arafah) hanya khusus untuk jamaah haji, yaitu wuquf di arafah.”

Semua kaum muslimin bisa mendapatkan keutamaan hari arafah, sementara keutamaan padang arafah, hanya dimiliki oleh para jamaah haji yang sedang wukuf di arafah.

Semoga Allah Ta'ala senantiasa memberikan kita semua kesempatan agar bisa merasakan nikmatnya ibadah haji dan berdoa di padang Arafah..

Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin..

"Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat"

DOA DAN DZIKIR YANG DIANJURKAN UNTUK DI BACA SAAT HARI ARAFAH

15.38.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Hari ini tepat tanggal 9 Dzulhijjah, sebagai mana kita sudah ketahui semua, sangat di anjurkan untuk puasa Arafah bagi yang tidak melaksanakan ibadah haji.
Disunnahkan bagi kaum muslimin secara umum, selain berpuasa pada hari Arafah, untuk lebih memperbanyak do’a dan dzikir pada hari Arafah. Terutama bagi jama’ah haji, sehingga pada hari Arafah tidak disyari’atkan bagi jama’ah haji untuk berpuasa agar mereka bisa lebih kuat untuk memperbanyak do’a dan dzikir kepada Allah ta’ala.

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ

“Tidaklah ada satu hari yang Allah membebaskan hamba dari api neraka lebih banyak dari hari Arafah. Sesungguhnya Allah mendekat, kemudian membanggakan hamba²-Nya kepada para malaikat, seraya berfirman, apa yang mereka inginkan.” [HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu’anha]

Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah. Dan sebaik-baik dzikir yang aku ucapkan dan juga diucapkan para nabi sebelumku adalah,

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

“Laa ilaaha illallahu wahdahu, laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli syaiin Qodiir”

(Tidak ada yang berhak disembah selain Allah yang satu saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kekuasaan dan milik-Nya segala pujian, dan Dia Maha Mampu atas segala sesuatu).” [HR. At Tirmidzi no.3585 dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya radhiyallahu’anhu, dihasankan Asy Syech Al Albani]

Hal tersebut didukung juga dengan satu riwayat Al Imam Ahmad dari ‘Amr bin Syu’aib dari Bapaknya dari Kakeknya:

كان أكثر دعاء النبي صلى الله عليه وسلم يوم عرفة لا إله إلا الله

“Kebanyakan doa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di hari Arafah adalah: Laa ilaaha illallah.”

Al Husain bin Al Hasan Al Marudzi rahimahullah berkata,

سألت سفيان بن عيينة عن أفضل الدعاء يوم عرفة فقال : لا إله إلا الله

“Aku bertanya kepada Sufyan bin ‘Uyainah tentang doa yang paling afdhal di hari Arafah. Beliau berkata: Laa ilaaha illallah.” [Mir’atul Mafatih 9/140]

Dzikir tersebut adalah dzikir yang paling afdhal karena mengandung tauhid, memurnikan ibadah hanya kepada Allah ta’ala dan menafikan semua bentuk ibadah kepada selain-Nya, sedang tauhid adalah kewajiban hamba terbesar dan amalan yang paling dicintai Allah ta’ala..

"Semoga bisa menjadi ilmu dan amalan yang manfaat"

WANITA HAID APAKAH DIANJURKAN BERWUDHU SEBELUM TIDUR?

15.27.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum, sore Akhi Ukhti'..

Sebagaimana diketahui bahwa sebelum tidur disunnahkan (dianjurkan) untuk berwudhu terlebih dahulu, agar tidurnya lebih berkah dan membawa kebaikan. Hal ini sebagaimana mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini..

Dari hadits Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الأَيْمَنِ

“Jika kamu mendatangi tempat tidurmu maka wudhulah seperti wudhu untuk shalat, lalu berbaringlah pada sisi kanan badanmu.” (HR. Bukhari no.247 dan Muslim no.2710)

Lantas bagaimana dengan wanita haidh yang darahnya masih mengalir, apakah sebelum tidur dianjurkan pula untuk berwudhu?
Yang jelas kalau orang dalam keadaan junub dan belum langsung mandi, maka ia dianjurkan untuk berwudhu terlebih dahulu.

Misalnya, sehabis hubungan intim di malam hari, lantas belum sempat mandi, maka disunnahkan berwudhu sebelum tidur.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهْوَ جُنُبٌ ، غَسَلَ فَرْجَهُ ، وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa jika dalam keadaan junub dan hendak tidur, beliau mencuci kemaluannya lalu berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.” (HR. Bukhari no.288).

‘Aisyah pernah ditanya oleh ‘Abdullah bin Abu Qais mengenai keadaan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,

كَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ فِى الْجَنَابَةِ أَكَانَ يَغْتَسِلُ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ أَمْ يَنَامُ قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَتْ كُلُّ ذَلِكَ قَدْ كَانَ يَفْعَلُ رُبَّمَا اغْتَسَلَ فَنَامَ وَرُبَّمَا تَوَضَّأَ فَنَامَ. قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى جَعَلَ فِى الأَمْرِ سَعَةً.

“Bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum mandi?” ‘Aisyah menjawab, “Semua itu pernah dilakukan oleh beliau. Kadang beliau mandi, lalu tidur. Kadang pula beliau wudhu, barulah tidur.” ‘Abdullah bin Abu Qais berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan segala urusan begitu lapang.” (HR. Muslim no.307).

Apakah wanita haidh keadaannya sama dengan orang junub?

Jawabannya tidak sama. Kalau orang junub berwudhu, itu untuk memperingan junubnya. Sedangkan untuk wanita haidh berwudhu, maka itu tidak manfaat apa-apa. Bahkan ketika ia mandi besar (mandi wajib) pun saat darah haidhnya mengalir, tidak dikatakan hadatsnya hilang. Sehingga dari sini tidaklah sama.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil perkataan Ibnu Daqiq Al-‘Ied, Imam Syafi’i menyatakan bahwa anjuran (berwudhu sebelum tidur) tidaklah berlaku pada wanita haidh. Karena meskipun ia mandi, hadatsnya tidak akan hilang (jika masih terus keluar darah). Hal ini berbeda dengan orang junub. Namun jika darah haidh berhenti, namun belum langsung mandi wajib, maka statusnya sama seperti orang junub. (Fath Al-Bari 1: 395)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, menurut ulama Syafi’iyah disepakati bahwa tidak dianjurkan bagi wanita haidh untuk berwudhu (sebelum tidur) karena wudhu tidak berpengaruh apa-apa. Namun jika darah haidh berhenti, maka statusnya sama seperti orang junub. Wallahu a’lam. (Syarh Shahih Muslim 3: 218)

"Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat"

TINGKATAN HASAD, WASPADALAH

15.19.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum, Siang Akhi Ukhti'..

Ada berbagai macam bentuk hasad dan urutannya yang akan ane sebutkan kali ini menunjukkan urutan dari yang paling parah hingga yang paling ringan, bahkan yang terakhir dibolehkan.

Merasa tidak suka terhadap nikmat yang ada pada orang lain, sudah disebut hasad oleh Ibnu Taimiyah, walau tidak menginginkan nikmat tersebut hilang. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

الْحَسَدَ هُوَ الْبُغْضُ وَالْكَرَاهَةُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حُسْنِ حَالِ الْمَحْسُودِ

“Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada orang yang dihasad.” (Majmu’ Al Fatawa, 10: 111).

Tingkatan hasad yang ane maksudkan di atas:

1. Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang meski tidak berpindah padanya.
Orang yang hasad lebih punya keinginan besar nikmat orang lain itu hilang, bukan bermaksud nikmat tersebut berpindah padanya.
Seharusnya setiap orang memperhatikan bahwa setiap nikmat sudah pas diberikan oleh Allah pada setiap makhluknya sehingga tak perlu iri dan hasad.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An Nisa’: 32)

2. Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang lalu berkeinginan nikmat tersebut berpindah padanya.
Misalnya, ada wanita cantik yang sudah menjadi istri orang lain, ia punya hasad seandainya suaminya mati atau ia ditalak, lalu ingin menikahinya. Atau bisa jadi pula ada yang punya kekuasaan atau pemerintahan yang besar, ia sangat berharap seandainya raja atau penguasa tersebut mati saja biar kekuasaan tersebut berpindah padanya.
Tingkatan hasad kedua ini sama haramnya namun lebih ringan dari yang pertama.

3. Tidak punya maksud pada nikmat orang lain, namun ia ingin orang lain tetap dalam keadaannya yang miskin dan bodoh.
Hasad seperti ini membuat seseorang akan mudah merendahkan dan meremehkan orang lain.

4. Tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, namun ia ingin orang lain tetap sama dengannya.
 Jika keadaan orang lain lebih dari dirinya, barulah ia hasad dengan menginginkan nikmat orang lain hilang sehingga tetap sama dengannya. Yang tercela adalah keadaan kedua ketika menginginkan nikmat saudaranya itu hilang.

5. Menginginkan sama dengan orang lain tanpa menginginkan nikmat orang lain hilang.
Inilah yang disebut dengan ghibthoh sebagaimana terdapat dalam hadits berikut.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no.73 dan Muslim no.816)

Inilah maksud berlomba-lomba dalam kebaikan,

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al Muthoffifin: 26)

Wallahu Waliyyut Taufiq..
Hanya Allah lah yang memberikan taufiq dan hidayah..

"Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang manfaat"

KEYAKINAN IMAN MENURUT AHLUS SUNNAH

15.08.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum, Pagi Akhi Ukhti'..

Dalam keyakinan yang benar yaitu keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sesuai pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, iman itu tidak cukup keyakinan dalam hati, tetapi harus diucapkan di lisan dan dibuktikan dalam amal perbuatan anggota badan.

Jadi, ada tiga komponen di dalam iman. Jika seseorang mengucapkan laa ilaha illallah, namun tiada amalan dalam hidupnya, seperti enggan untuk shalat sama sekali, maka pengakuannya sebagai muslim hanyalah pengakuan yang dusta.

Dalam hadits dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Bukhari no.9 dan Muslim no.35).

Cabang Iman

Iman secara bahasa berarti tashdiq (membenarkan). Sedangkan secara istilah syar’i, iman adalah perkataan di lisan, keyakinan dalam hati, amalan dengan anggota badan, bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.

Disebutkan dalam hadits di atas bahwa cabang iman yang tertinggi ialah kalimat ‘laa ilaha illalah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah). Kalimat tersebut adalah pokok Islam dan Iman. Kalimat tersebut merupakan rukun pertama dari Islam dan yang bisa membuat seseorang masuk Islam.

Sedangkan cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, yang dimaksud di sini adalah menyingkirkan setiap gangguan apa pun. Sedangkan meletakkan gangguan di jalanan termasuk sesuatu yang terlarang. Semisal memarkir mobil di tengah jalan dan mengganggu kendaraan yang lalu lalang, ini termasuk meletakkan gangguan di jalan. Mengalirkan air sehingga mengganggu orang lain di jalan, ini pun termasuk yang terlarang. Begitu pula meletakkan batu sehingga mengganggu di jalan, ini pun terlarang. Apalagi jika sampai meletakkan bom di jalanan, meskipun disebut sebagai jihad! Jika seseorang menyingkirkan gangguan-gangguan tadi dari jalanan, itu menunjukkan keimanannya.

Malu pun termasuk cabang iman. Seseorang yang memiliki sifat malu, maka dirinya akan semakin mempesona dengan akhlaknya yang mulia tersebut. Malu ada dua macam sebagaimana dijelaskan oleh guru ane, Syech Sholih Al Fauzan:

1. Malu yang terpuji: Malu yang bisa mengantarkan pada kebaikan dan mencegah dari kejelekan.

2. Malu yang tercela: Malu yang menghalangi seseorang dari berbuat baik, dari menuntut ilmu dan malu bertanya dalam perkara yang dibingungkan.
Cabang iman sebenarnya amatlah banyak, sebagaimana disebutkan ada 60 atau 70 sekian cabang. Bahkan Imam Al Baihaqi memiliki karya tulis dalam masalah cabang-cabang iman ini, yaitu dalam kitab Syu’abul Iman dan kitab ringkasannya pun sudah ada yang tercetak (dalam versi Arabic).

Beberapa Keyakinan dalam Masalah Iman

1. Ahlus Sunnah wal Jama’ah: Iman adalah keyakinan dalam hati, perkataan dalam lisan dan amalan dengan anggota badan.

Dalil yang menunjukkan keyakinan ahlus sunnah adalah hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan di atas. Perkataan ‘laa ilaha illallah’ menunjukkan bahwa iman harus dengan ucapan di lisan. Menyingkirkan duri dari jalanan menunjukkan bahwa iman harus dengan amalan anggota badan. Sedangkan sifat malu menunjukkan bahwa iman harus dengan keyakinan dalam hati, karena sifat malu itu di hati. Inilah dalil yang menunjukkan keyakinan ahlu sunnah di atas. Sehingga iman yang benar jika terdapat tiga komponen di dalamnya yaitu:

(1) keyakinan dalam hati,

(2) ucapan di lisan, dan

(3) amalan dengan anggota badan.

Secara jelas keyakinan Ahlus Sunnah mengenai iman termaktub dalam perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah di mana beliau berkata,

فَصْلٌ : وَمِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَنَّ الدِّينَ وَالْإِيمَانَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ ، قَوْلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ ، وَعَمَلُ الْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ ، وَأَنَّ الْإِيمَانَ يَزِيدُ بِالطَّاعَةِ ، وَيَنْقُصُ بِالْمَعْصِيَةِ .

“Fasal: Di antara pokok akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwa agama dan iman terdiri dari: perkataan dan amalan, perkataan hati dan lisan, amalan hati, lisan dan anggota badan. Iman itu bisa bertambah dengan melakukan ketaatan dan bisa berkurang karena maksiat.”

2. Murji’ah: Iman adalah keyakinan dalam hati dan ucapan di lisan saja.

3. Karomiyah: Iman adalah ucapan di lisan saja.

4. Jabariyyah: Iman adalah pengenalan dalam hati saja.

5. Mu’tazilah: Iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dalam lisan dan amalan anggota badan. Namun ada sisi yang membedakan Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah.

Mu’tazilah menganggap bahwa pelaku dosa besar hilang darinya cap iman secara total dan kekal di neraka. Sedangkan Ahlus Sunnah, pelaku dosa besar masih diberi cap iman, akan tetapi ia dikatakan kurang imannya dan tidak kekal dalam neraka jika memasukinya.
Tidak seperti keyakinan sebagian kalangan bahwa iman itu hanya terus ajeg (tetap).

Semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk memahami iman dengan benar..

Wallahu Waliyyut Taufiq..

Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin..

"Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat"