Jumat, 05 Agustus 2016

DOA YANG MEMBUAT HATI LAPANG DAN IKHLAS

16.10.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum..
Melanjutkan pertanyaan dari Ibu Ria yang menanyakan 'Doa yang bagaimana agar hati lapang dan Ikhlas', Berikut penjabaran nye..

Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pernah mengajarkan sebuah doa sangat panjang kepada sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu. Lalu Zaid radhiyallahu ’anhu diperintahkan oleh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam untuk membacanya setiap hari, bahkan diharuskan kepadanya untuk menyuruh keluarganya membaca pula. Doa ini sangat panjang, namun ada bagian sangat penting dari doa tersebut yang berkaitan dengan sikap seorang beriman menghadapi berbagai realitas dunia, baik yang menyenangkan maupun yang terasa pahit. Sebab hidup kita di dunia senantiasa diwarnai oleh dinamika yang berubah-ubah. Kadang kita diberi senang, kadang mengalami derita. Kadang sehat kadang sakit. Kadang menang kadang kalah. Kadang lapang, kadang sempit. Ada perjumpaan, ada perpisahan. Ada kelahiran, ada kematian. Itulah dunia. Semua serba fana, tidak ada yang lestari.

Seorang yang beriman dikagumi oleh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Beliau sedemikian kagum akan karakter mu’min sehingga pernah suatu ketika beliau mengutarakan takjub akan fenomena orang beriman.



عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ



“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman! Sesungguhnya semua urusannya baik. Dan yang demikian tidak dapat dirasakan oleh siapapun selain orang beriman. Jika ia memperoleh kebahagiaan, maka ia bersyukur. Bersyukur itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa mudharat, maka ia bersabar. Dan bersabar itu baik baginya.” (HR Muslim 5318)

Akhie dan Ukhtie, berdasarkan hadits di atas berarti perjalanan hidup seorang mu’min adalah suatu rentetan penyesuaian sikap terhadap realitas yang Allah taqdirkan atas dirinya. Bila ia mengalami suatu hal yang menyenangkan, kemenangan, memperoleh karunia, nikmat, anugerah atau rezeki, maka pandai-pandailah ia mensyukurinya. Sebaliknya, bila ia ditimpa mudharat, kekalahan, duka, lara, nestapa atau kehilangan sesuatu atau seseorang, maka hendaklah ia kuat-kuat menyabarkan dirinya. Jadi inilah hakikat hidup seorang mu’min. Nah, agar kita memiliki kemampuan untuk senantiasa istiqomah dalam bersyukur kala senang dan bersabar kala sedih, doa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang diajarkan kepada sahabat Zaid radhiyallahu ’anhu mungkin dapat membantu kita. Doanya adalah sebagai berikut:

َ اللَّهُمَّ الرِّضَا بَعْدَ الْقَضَاءِ وَبَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ الْمَمَاتِ وَلَذَّةَ نَظَرٍ إِلَى وَجْهِكَ وَشَوْقًا إِلَى لِقَائِك

“Ya Allah, aku mohon ridho (dalam hatiku) sesudah keputusanMu, kesejukan hidup setelah kematian, kelezatan memandang wajahMu dan kerinduan berjumpa denganMu.” (HR Ahmad 20678)

Pertama, kita memohon kepada Allah agar sikap ridho selalu menghiasi hati kita. Ridho di sini maksudnya menghadapi segala keputusan Allah yang telah ditaqdirkan atas diri kita. Biasanya manusia mudah untuk ridho terhadap taqdir Allah yang menyenangkan. Mana ada orang menyesal ketika Allah kasih dia rezeki? Tapi jangan salah, Maksud ridho di sini ialah agar keridhoan itu tampil dalam bentuk pandai bersyukur ketika nikmat menyapa kita. Sebab tidak sedikit manusia yang ketika memperoleh suatu karunia lalu lupa mengkaitkan dengan taqdir Allah. Ia lupa untuk selalu menyadari bahwa tidak ada satupun kenikmatan yang sampai kepada manusia kecuali atas izin Allah. Nikmat mampir bukan karena kehebatan seseorang. Betapapun hebatnya seseorang, namun nikmat tidak akan bisa ia peroleh jika Allah tidak izinkan nikmat itu sampai kepada dirinya. Ia bisa memperoleh nikmat semata-mata karena Allah akhirnya mengizinkan nikmat itu sampai kepada dirinya.

Orang biasanya sulit ridho bila menyangkut taqdir Allah yang sifatnya pahit atau tidak menyenangkan. Oleh karenanya doa di atas juga kita baca saat ditimpa kekalahan, duka, lara, nestapa, mudharat agar keridhoan itu tampil dalam bentuk kemampuan untuk bersikap sabar menghadapi apapun yang Allah taqdirkan. Dan jika itu menyangkut suatu hal yang menyedihkan alias musibah jangan kita jadikan Allah sebagai –maaf– ”kambing hitam”nya. Salah satu bentuk sabar ialah seseorang sanggup mengambil pelajaran dari setiap musibah yang menimpa dirinya. Ia mendahulukan untuk menyalahkan dirinya sendiri daripada mencari fihak lain sebagai sebab musibah tersebut. Lalu ia selanjutnya mengkoreksi diri agar tidak jatuh kepada kekeliruan langkah seperti yang ia telah lakukan sebelumnya.



مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

”Apa saja ni`mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS An-Nisa ayat 79)

Kedua, lalu sisa doanya menyangkut perkara di luar dunia. Coba perhatikan:



أَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ الرِّضَا بَعْدَ الْقَضَاءِ وَبَرْدَ الْعَيْشِ بَعْدَ

الْمَمَاتِ وَلَذَّةَ نَظَرٍ إِلَى وَجْهِكَ وَشَوْقًا إِلَى لِقَائِكَ


“Ya Allah, aku mohon ridho (dalam hatiku) sesudah keputusanMu, kesejukan hidup setelah kematian, kelezatan memandang wajahMu dan kerinduan berjumpa denganMu.” (HR Ahmad 20678)

Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengarahkan Zaid radhiyallahu ’anhu untuk memohon kepada Allah ”…kesejukan hidup setelah kematian, kelezatan memandang wajah Allah dan kerinduan berjumpa dengan Allah.” Mengapa demikian? Karena, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam ingin mengingatkan Zaid radhiyallahu ’anhu dan kita semua untuk memandang bahwa apapun yang kita alami di dunia ini –senang maupun sedih– pada hakikatnya adalah perkara kecil dan tidak berarti jika dibandingkan dengan mengingat Allah Yang Maha Besar, mengingat kematian, mengingat perjumpaan dengan Allah. Dan tidak ada kenikmatan yang lebih utama bagi penghuni surga selain memperoleh kesempatan memandang wajah Allah…!



إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا

الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنْ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا

شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ


“Bila penghuni surga telah masuk surga, maka Allah berfirman (kepada mereka): ”Apakah kalian ingin sesuatu untuk Kutambahkan? ” Maka mereka menjawab: ”Bukankah Engkau telah putihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah masukkan kami ke dalam surga? Dan selamatkan kami dari api neraka?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Maka disingkaplah Al-Hijab (tabir). Sehingga ahli surga tidak memperoleh sesuatu yang lebih mereka sukai daripada memandang wajah Rabb mereka Allah’Azza wa Jalla.” (HR Muslim 266)

Subhanallah…! Penghuni surga memperoleh hak untuk memandang wajah Allah. Suatu kenikmatan yang mengalahkan segenap kenikmatan surga lainnya. Suatu kenikmatan yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai ”tambahan” alias bonus bagi ahli surga.



لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

”Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS Yunus ayat 26)

Akhie dan Ukhtie, bagi seorang mu’min yang sibuk berjuang agar kelak di akhirat berhak memandang wajah Allah, tentulah segenap pengalaman hidup di dunia menjadi terasa kecil. Jika ia mendapat nikmat dia tidak akan lupa diri, karena tidak ada apa-apanya dibandingkan nikmat memandang wajah Allah yang ia idam-idamkan selalu. Jika tertimpa kesulitan ia akan bersabar dengan meyakini bahwa semoga kesabaran itu akan menyebabkan ia berhak memandang wajah Allah disamping diselamatkan dari api neraka. Dan tentulah di antara modal utama untuk berhak memandang wajah Allah ialah ia selalu sibuk memastikan bahwa apapun yang ia kerjakan di dunia ini adalah semata-mata demi memperoleh wajah Allah alias ikhlas dalam berbuat apapun.. Insyaa Allah'..-

Semoga jadi ilmu yang manfaat' 🙏

Berikut tambahan doa yang biasa ane amalin tiap hari, yang ane dapet dari guru ane Syech Abdul Qadir Jaelani..

Do’a memohon perbaikan semua hal dan urusan..

اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِى دِينِىَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِى وَأَصْلِحْ لِى دُنْيَاىَ الَّتِى فِيهَا مَعَاشِى وَأَصْلِحْ لِى آخِرَتِى الَّتِى فِيهَا مَعَادِى وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِى فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ

“Allahumma ashlihlii diinii lladzii huwa ‘ishmatu amrii, wa ashlihlii dunyaya llatii fiihaa ma’asyii, wa ashlihlii akhirotii llatii fiihaa ma’adii, waj’alilhayaata ziyaadatan lii fii kulli khair, waj’alil mauta raahatan lii min kulli syarr.” (HR. Muslim)

Ya Allah perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng urusanku; perbaikilah bagiku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini penambah kebaikan bagiku dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala kejelekan.

Demikian juga dengan do’a berikut ini :

اَللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ

“Allahumma rahmataka arjuu falaa takilnii ilaa nafsii thorfata’ainin wa ashlihlii sya’nii kullahu, laa ilaha illa anta.”

Ya Allah hanya rahmatMu aku berharap mendapatkannya. karena itu, jangan Engkau biarkan diriku sekejap mata (tanpa pertolongan atau rahmat dari-Mu). Perbaikilah seluruh urusanku, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau..

"Semoga bisa menjadi amalan yang manfaat"

RIZKI DAN AJAL

16.02.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum..
Pagi Akhie Ukhtie.,

Ibnul Qayyim berkata,
▶“Fokuskanlah pikiranmu untuk memikirkan apapun yang diperintahkan Allah kepadamu.
▶Jangan menyibukkannya dengan rezeki yang sudah dijamin untukmu.
▶Karena rezeki dan ajal adalah dua hal yang sudah dijamin, selama masih ada sisa ajal, rezeki pasti datang.
▶ Jika Allah -dengan hikmahNya- berkehendak menutup salah satu jalan rezekimu, Dia pasti –dengan rahmatNya- membukan jalan lain yang lebih bermanfaat bagimu."

Ingatlah.......

▶Dialah Allah yg telah membuat kita tertawa dan menangis (Qs.AnNajm 43)

▶Dialah Allah yg telah menghidupkan dan mematikan (Qs AnNajm 44)

▶Dialah Allah yg telah menciptakan laki laki dan perempuan (Qs.AnNajm 45)

▶Dialah Allah yg telah menjadikan kekayaan dan kecukupan (Qs.AnNajm 48)

Maka:
Merasa cukuplah engkau dg karuniaNya.....
Niscaya engkau menjadi orang yg terkaya.
Merasa cukuplah engkau dg nikmatNya.....
Niscaya engkau menjadi hamba yg pandai bersyukur....

Yuk'..
Sambut matahari terbit dg ketaatan dan kesyukuran kepada Allah'..
Selamat beraktifitas.....
Bicaralah yg baik baik saja
Beramallah yg baik baik saja.
Semoga kitapun mendapatkan balasan yg terbaik...

MEMBACA AL FATIHAH BAGI MAKMUM DALAM SHOLAT BERJAMA'AH

16.00.00 Posted by Admin No comments

Berikut ane jabarin buat penjelasan nye..

Jumhur ulama menyatakan membaca Al Fatihah adalah termasuk rukun shalat. Tidak sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Diantara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

didukung juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

كلُّ صلاةٍ لا يُقرَأُ فيها بأمِّ الكتابِ ، فَهيَ خِداجٌ ، فَهيَ خِداجٌ

“setiap shalat yang di dalamnya tidak dibaca Faatihatul Kitaab, maka ia cacat, maka ia cacat” (HR. Ibnu Majah 693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Jadi, membaca Al Fatihah adalah rukun shalat dan inilah yang benar insya Allah.

Adapun Abu Hanifah, beliau berpendapat bahwa membaca Al Fatihah itu bukan rukun shalat, tidak wajib membacanya. Beliau berdalil dengan ayat:

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

“maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20)

Jawabannya, kata فَاقْرَءُو di sini adalah lafadz muthlaq, sedangkan terdapat qayd-nya dalam hadits-hadits Nabi yang sudah disebutkan bahwa di sana dinyatakan bacaan Al Qur’an yang wajib di baca dalam shalat adalah Al Fatihah. Sesuai kaidah ushul fiqh, yajibu taqyidul muthlaq bil muqayyad, wajib membawa makna lafadz yang muthlaq kepada yang muqayyad.

Al Fatihah wajib di baca pada setiap raka’at. Berdasarkan penjelasan Abu Hurairah radhiallahu’anhu berikut:

في كلِّ صلاةٍ قراءةٌ ، فما أَسْمَعَنَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم أَسْمَعْناكم ، وما أخفى منا أَخْفَيْناه منكم ، ومَن قرَأَ بأمِّ الكتابِ فقد أَجْزَأَتْ عنه ، ومَن زادَ فهو أفضلُ

“dalam setiap raka’at ada bacaan (Al Fatihah). Bacaan yang diperdengarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami, telah kami perdengarkan kepada kalian. Bacaan yang Rasulullah lirihkan telah kami contohkan kepada kalian untuk dilirihkan. Barangsiapa yang membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) maka itu mencukupinya. Barangsiapa yang menambah bacaan lain, itu lebih afdhal” (HR. Muslim 396)

Syech Shalih Al Fauzan mengatakan: “membaca Al Fatihah adalah rukun di setiap rakaat, dan telah shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau membacanya di setiap raka’at” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/127).

Hukum Membaca Al Fatihah Bagi Makmum

Apakah status rukun dan hukum wajib membaca Al Fatihah itu berlaku untuk semua orang yang shalat? Para ulama sepakat wajibnya membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Namun bagi makmum, hukumnya di perselisihkan oleh para ulama. Syech Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa war Rasail (13/119) mengatakan: “para ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca Al Fatihah menjadi beberapa pendapat:

Pendapat pertama: Al Fatihah tidak wajib baik bagi imam, maupun makmum, ataupun munfarid. Baik shalat sirriyyah maupun jahriyyah. Yang wajib adalah membaca Al Qur’an yang mudah dibaca. Yang berpendapat demikian berdalil dengan ayat (yang artinya) “maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20) dan juga dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada seseorang: ‘bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an‘” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397).

Pendapat kedua: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam, makmum, maupun munfarid. Baik shalat sirriyah maupun jahriyyah. Juga bagi orang yang ikut shalat jama’ah sejak awal.

Pendapat ketiga: membaca Al Fatihah itu rukun bagi imam dan munfarid, namun tidak wajib bagi makmum secara mutlak, baik dalam shalat sirriyyah maupun jahriyyah.

Pendapat keempat: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah. Namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak.”

Ada beberapa pendapat lain dalam masalah ini, namun khilafiyah dalam masalah ini berporos pada 3 hal:

Pertama: Adanya perintah untuk membaca Al Fatihah serta penafian shalat jika tidak membacanya

Syech Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “membaca Al Fatihah adalah rukun bagi semua orang yang shalat, tidak ada seorangpun yang dikecualikan, kecuali makmum masbuq yang mendapati imam sudah ruku’, atau mendapat imam masih berdiri namun sudah tidak sempat membaca Al Fatihah bersama imam. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab”

sabda beliau ‘tidak ada shalat‘ merupakan penafian. Asal penafian adalah menafikan wujud (keberadaan), jika tidak mungkin dimaknai penafian wujud maka maknanya penafian keabsahan. Dan penafian keabsahan itu artinya penafian wujud secara syar’i. Jika tidak mungkin dimaknai penafian keabsahan maka maknya penafian kesempurnaan. Inilah tingkatan penafian” (Syarhul Mumthi, 3/296).

Syech Al Utsaimin melanjutkan, “sabda Nabi ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘ jika kita terapkan pada tiga jenis penafian tadi, maka kita dapati ada orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah. Sehingga tidak mungkin maksudnya penafian wujud (keberadaan). Sehingga jika ada orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah, maka shalatnya tidak sah, karena tingkatan penafian yang kedua adalah penafian keabsahan, sehingga tidak sah shalatnya, Dan hadits ini umum, tidak dikecualikan oleh apapun. Maka pada asalnya, nash yang umum tetap pada keumumannya. Tidak bisa dikhususkan kecuali dengan dalil syar’i, yaitu nash lain, ijma, atau qiyas yang shahih. Dan tidak ditemukan satu dari 3 macam dalil ini yang mengkhususkan keumuman hadits ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘” (Syarhul Mumthi, 3/297).

Kedua: Adanya perintah untuk diam ketika mendengarkan bacaan Al Qur’an

Diantaranya firman Allah Ta’ala:

وَإِذَا قُرِىءَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al A’raf: 204).

Imam Ahmad mengomentari ayat ini, beliau berkata: “para ulama ijma bahwa perintah yang ada dalam ini maksudnya di dalam shalat” (Syarhul Mumthi, 3/297).

Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:

إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا

“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. An Nasa-i 981, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i, ashl hadits ini terdapat dalam Shahihain)

Tambahan وإذا قرَأ فأنصِتوا (jika ia membaca ayat, maka diamlah), diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama mengatakan ini adalah tambahan yang syadz, Abu Daud berkata: “tambahan ini ‘jika ia membaca ayat, maka diamlah‘ adalah tambahan yang tidak mahfuzh, yang masih wahm (samar) bagi saya adalah Abu Khalid”. Sebagian ulama mengatakan tambahan tersebut adalah tambahan yang tsabit (shahih). Yang rajih, tambahan tersebut tsabit, karena

Abu Khalid perawi hadits tersebut adalah Sulaiman bin Hayyan Al Ja’fari, ia statusnya shaduq. Abu Hatim berkata: “ia shaduq”, Ibnu Hajar berkata “shaduq yukhthi’”.
Tambahan tersebut memiliki jalan lain dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu yang menguatkannya.
Tambahan pada matan bisa menjadi syadz jika matannya menyelisihi periwayatan lain yang lebih banyak dan lebih tsiqah. Adapun tambahan tersebut tidak mengandung penyelisihan atau pertentangan terhadap periwayatan lain yang lebih tsiqah.
Sehingga menurut dalil-dalil ini, sebagian ulama mengatakan bahwa makmum wajib diam mendengarkan imam membaca Al Fatihah dan ayat Al Qur’an.

Ketiga: Dalam shalat sirriyyah makmum wajib membaca Al Fatihah

Syech Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “adapun dalam shalat sirriyyah, para sahabat telah menetapkan bahwa mereka biasa membaca Al Qur’an ketika itu. Jabir radhiallahu’anhu berkata:

كنا نقرأ في الظهر والعصر خلف الإمام في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب وسورة وفي الأخريين بفاتحة الكتاب

“kami biasa membaca ayat Al Qur’an dalam shalat zhuhur dan ashar di belakang imam di dua rakaat pertama bersama dengan Al Fatihah, dan di dua ayat terakhir biasa membaca Al Fatihah (saja)” (HR. Ibnu Maajah dengan sanad shahih dan terdapat dalam Al Irwa’ (506))” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 120).

Sehingga dalam shalat sirriyyah makmum tetap wajib membaca Al Fatihah secara lirih dan dalam hal ini masuk dalam keumuman hadits :

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ

“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

Tarjih Pendapat

Syech Al Albani memaparkan masalah ini dengan penjelasan yang bagus. Beliau mengatakan, “awalnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkan makmum untuk membaca Al Fatihah di belakang imam dalam shalat jahriyyah. Suatu ketika saat mereka shalat subuh, para sahabat membaca ayat Al Qur’an dalam shalat hingga mereka merasa kesulitan. Ketika selesai shalat subuh Nabi bersabda:

لعلَّكم تقرؤُون خلفَ إمامِكم ، قلنا: نعم يا رسولَ اللهِ ، قال : فلا تفعلوا إلَّا بفاتحةِ الكتابِ فإنَّه لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بها

“mungkin diantara kalian ada yang membaca Al Qu’ran dibelakangku? Ubadah bin Shamit menjawab: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: jangan kau lakukan hal itu, kecuali Al Fatihah. Karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya“ (HR. Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan Ad Daruquthni)

Namun kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang mereka membaca semua ayat Al Qur’an dalam shalat jahriyyah. Hal ini sebagaimana suatu ketika mereka selesai mengerjakan shalat jahriyyah (dalam suatu riwayat disebutkan itu adalah shalat shubuh), Nabi bersabda:

هل قرأَ معي منكم أحد آنفًا ؟ فقالَ رجلٌ : نعم أَنَا يا رسولَ اللَّه . قالَ : إنِّي أقولُ : ما لي أنازعُ ؟ قالَ أبو هريرة : فانتهى النَّاسُ عنِ القراءةِ مَعَ رسولِ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فيما جهرَ فيهِ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بالقراءةِ حينَ سمعوا ذلكَ مِن رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ ، وقرَؤوا فِي أنفسِهمْ سرًّا فيما لم يجهَرْ فيهِ الإمامُ

“apakah diantara kalian ada yang membaca Al Qur’an bersamaku dalam shalat barusan? Seorang sahabat berkata: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: saya bertanya kepadamu, mengapa bacaanku diselingi?”

Lalu Abu Hurairah mengatakan: “semenjak itu orang-orang berhenti membaca Al Qur’an bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dalam shalat yang beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengeraskan bacaannya, yaitu ketika para makmum mendengarkan bacaan dari Nabi tersebut. Dan mereka juga membaca secara sirr (samar) pada shalat yang imam tidak mengeraskan bacaannya”” (HR Malik, Al Humaidi, Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dan Al Mahamili, dihasankan oleh At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Abu Hatim Ar Razi dan Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim)

Beliau Shallallahu’alahi Wasallam menjadikan sikap diam mendengarkan bacaan imam sebagai bentuk i’timam yang sempurna terhadap imam. Beliau Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا

“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu ‘Awanah, Ar Ruyani dalam Musnad-nya)

Sebagaimana Nabi Shallallahu’alahi Wasallam juga menganggap istima‘ (mendengarkan bacaan imam) itu sudah mencukupi tanpa perlu membaca. Sebagaimana sabdanya:

مَن كان له إمامٌ فقراءةُ الإمامِ له قراءةٌ

“barangsiapa yang memiliki imam, maka bacaan imam itu adalah bacaan baginya” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ad Daruquthni, Ibnu Majah, Ath Thahawi, Ahmad, dari jalan yang banyak secara musnad maupun mursal. Ibnu Taimiyah menganggap hadits ini kuat dalam kitab Al Furu‘ karya Ibnu ‘Abdil Hadi, dan hadits ini dishahihkan sebagian jalannya oleh Al Bushiri)”

Maka, pendapat ke empat adalah yang nampaknya lebih kuat. Membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah, namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak. Dalam shalat jahriyyah, makmum cukup diam mendengarkan bacaan imam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “dalam masalah apakah makmum membaca bacaan shalat (ketika imam sedang membaca secara jahr), pendapat yang paling pertengahan adalah: jika makmum mendengar imam sedang membaca (secara jahr), maka ia wajib mendengarkan dan diam. Makmum tidak membaca Al Fatihah ataupun bacaan lain. Jika makmum tidak mendengarkan imam membaca (karena dibaca secara sirr), maka ia wajib membaca Al Fatihah dan bacaan tambahan lainnya. Inilah pendapat jumhur salaf dan khalaf. Ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan murid-muridnya, Imam Ahmad bin Hambal dan mayoritas muridnya, juga salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i yang dikuatkan oleh sebagian muhaqqiq dari kalangan murid-murid beliau, juga pendapat Muhammad bin Al Hasan serta murid-murid Imam Abu Hanifah yang lainnya” (Majmu’ Fatawa, 18/20).

Namun perlu ane tekankan bahwa ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang seharusnya kite menghormati pendapat yang menyatakan bahwa makmum tetap wajib membaca Al Fatihah dalam semua shalat. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa membaca Al Fatihah hukumnya tidak wajib sama sekali secara mutlak atau bahkan makruh bagi makmum, maka ini pendapat yang bertentangan dengan banyak dalil yang ada, sehingga tidak bisa kita toleransi..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"