Sabtu, 13 Agustus 2016

HUKUM DONOR DARAH DAN BEKAM DI SAAT PUASA

01.33.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ada yang bertanya kepada ane, Bagaimanakah hukum donor darah dan bekam di saat puasa? Berikut akan ane jabarin berdasarkan dalil yang ada..

Berdasarkan hadits Bukhari yang udeh ane pelajarin di Bab _‘Bekam dan Muntah bagi Orang yang Berpuasa’._ Beliau membawakan beberapa riwayat, di antaranya:

[Riwayat Pertama]

وَيُرْوَى عَنِ الْحَسَنِ عَنْ غَيْرِ وَاحِدٍ مَرْفُوعًا فَقَالَ أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ

Diriwayatkan dari Al Hasan dari beberapa sahabat secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Beliau berkata, “Orang yang melakukan bekam dan yang di bekam batal puasanya.” [Hadits ini juga dikeluarkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Ad Darimi. Syech Al Albani dalam Irwa’ no.931 mengatakan bahwa hadits ini shahih]

[Riwayat Kedua]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – احْتَجَمَ ، وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ .

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihrom dan berpuasa.

[Riwayat Ketiga]

يُسْأَلُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ – رضى الله عنه – أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.”

Ketiga riwayat di atas adalah riwayat yang shahih.
Menurut jumhur (mayoritas ulama) yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, berbekam tidaklah membatalkan puasa.

Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al Khudri dan sebagian ulama salaf.

Di antara alasan bahwa bekam tidaklah membatalkan puasa:

[Alasan Pertama]

Boleh jadi hadits yang menjelaskan batalnya orang yang melakukan bekam dan dibekam adalah hadits yang telah dimansukh (dihapus) dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

رَخَّصَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam.” (HR. Ad Daruquthni, An Nasa’i dalam Al Kubro, dan Ibnu Khuzaimah)
Ad Daruqutni mengatakan bahwa semua periwayat dalam hadits ini tsiqoh/terpercaya kecuali Mu’tamar yang meriwayatkan secara mauquf yaitu hanya sampai pada sahabat. Syech Al Albani dalam Irwa’ (4/74) mengatakan bahwa semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya, akan tetapi dipersilihkan apakah riwayatnya marfu’ sampai pada Nabi atau mawquf sampai sahabat.
Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits yang menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam adalah hadits yang shahih tanpa ada keraguan sama sekali. Akan tetapi, ane menemukan sebuah hadits dari Abu Sa’id: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam." Sanad hadits ini shahih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang namanya rukhsoh (keringanan) pasti ada setelah adanya ‘azimah (pelarangan) sebelumnya. Hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang yang dibekam) adalah hadits yang telah dinaskh (dihapus).”
Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syech Al Albani dalam Irwa’ (4/75) mengatakan, “Hadits semacam ini dari berbagai jalur adalah hadits yang shahih tanpa ada keraguan sedikitpun. Hadits² ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa karena bekam adalah hadits yang telah dihapus (dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil pendapat ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah di atas.”

[Alasan Kedua]

Pelarangan berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam hadits adalah bukan pengharaman. Maka hadits: “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya” adalah kalimat majas. Maksudnya adalah bahwa orang yang membekam dan dibekam bisa terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa. Yang menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحِجَامَةِ وَالْمُوَاصَلَةِ وَلَمْ يُحَرِّمْهُمَا إِبْقَاءً عَلَى أَصْحَابِهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbekam dan puasa wishol, namun tidak sampai mengharamkan, ini masih berlaku bagi sahabatnya.” (HR. Abu Daud no.2374. Hadits ini tidaklah cacat, walaupun nama sahabat tidak disebutkan. Syech Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Hadits di atas menunjukkan bahwa bekam dimakruhkan bagi orang yang lemah jika dibekam. Hal ini juga dikuatkan dengan riwayat lain dalam shahih Bukhari dari Anas bin Malik sebagaimana telah disebutkan di atas..

أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ

“Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas mengatakan, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari no.1940)

Dengan dua alasan di atas, maka pendapat mayoritas ulama dinilai lebih kuat yaitu Bekam tidaklah membatalkan puasa.

Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi lemas karena berbekam. Dan boleh jadi juga diharamkan jika hal itu menjadi sebab batalnya puasa orang yang dibekam.
Dan menurut Syech Abdul Qadir Jaelani sebagai guru utama pembimbing ane, Hukum ini berlaku juga untuk donor darah..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

WAKTU MUSTAJAB DI HARI JUM'AT UNTUK BERDOA

01.18.00 Posted by Admin No comments


Doa adalah senjata orang mukmin, ia penghilang kegundahan, pelenyap kesusahan dan solusi jitu untuk menyelesaikan berbagai problematika hidup, karena memang pada saat berdoa kita sedang memohon kepada Dzat yang Menguasai dan Memiliki seluruh jagad raya ini; di tangan-Nya lah segala perbendaharaan langit dan bumi. Pertanyaannya, kapankah waktu ketika doa dijamin akan dikabulkan pada hari Jum’at sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam shahihnya?

Sebaik-baik hari bagi umat Islam dalam sepekan adalah hari Jum’at. Ia-lahsayyidul ayyaam (pemimpin hari) yang paling agung dan paling utama di sisi Allah Ta’ala. Banyak ibadah yang dikhususkan pada hari itu, misalnya membaca surat As-Sajdah dan Al-Insan pada shalat Subuh, membaca surat Al-Kahfi, shalat Jum’at berikut amalan-amalan yang menyertainya, dan amal ibadah lain yang sangat dianjurkan sekali pada hari Jum’at. Di dalamnya juga terdapat satu waktu di mana doa begitu mustajab; dijanjikan akan dikabulkan. Tidaklah seorang hamba yang beriman memanjatkan do’a kepada Rabbnya pada waktu itu kecuali Allah akan mengabulkannya selama tidak berisi pemutusan silaturahmi dan tidak meminta yang haram. Karenanya seorang muslim selayaknya memperhatikan dan memanfaatkan waktu yang berbarakah ini.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah membicarakan tentang hari Jum’at lalu beliau bersabda,

« فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ يُصَلِّى يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ »

“Pada hari itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim shalat berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya.” Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, -yang kami pahami- untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat).” (HR. Bukhari nomor 893 dan Muslim nomor 852)

Hadits ini berkaitan dengan salah satu keutamaan hari Jum’at di mana pada hari tersebut Allah akan mengabulkan doa orang yang meminta kepada-Nya. Doa yang dipanjatkan pada saat itu mustajab (mudah dikabulkan) karena bertepatan dengan waktu pengabulan doa.

Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang waktu dikabulkannya doa pada hari Jum’at ini. Sampai-sampai Ibnu Hajar dan Asy-Syaukani menyebutkan empat puluh tiga pendapat beserta argument masing-masingnya. Dari kesemuanya, pendapat yang paling kuat tentang waktu mustajab pada hari Jum’at ini ada dua; yaitu pertama, sejak duduknya imam di atas mimbar hingga shalat selesai, dan kedua, di akhir waktu setelah shalat Ashar. Tentang hal ini, Ibnu Hajar berkomentar, “Tidak diragukan lagi bahwa pendapat yang paling kuat adalah hadits Abu Musa (sejak duduknya imam di atas mimbar hingga shalat selesai) dan hadits Abdullah bin Salam (akhir waktu setelah shalat Ashar).” Muhibb Ath-Thabari juga berkata, “Hadits yang paling shahih adalah hadits Abu Musa, dan pendapat yang paling masyhur adalah pendapat Abdullah bin Salam. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah juga berkata, “Pendapat yang paling kuat adalah dua pendapat yang dituntut oleh hadits-hadits yang tsabit, dan salah satunya lebih kuat daripada yang lain.” Dari sinilah kemudian para ulama salaf berbeda pendapat manakah dari keduanya yang lebih kuat.

Berikut ini uraian lebih rinci tentang kedua pendapat tersebut :

Pendapat pertama : waktu mustajab itu dimulai sejak duduknya imam di atas mimbar sampai shalat selesai. Hujjah dari pendapat ini adalah hadits Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari, dia bercerita, “Abdullah bin Umar pernah berkata kepadaku, ‘Apakah engkau pernah mendengar ayahmu menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai satu waktu yang terdapat pada hari Jum’at?’ Aku (Abu Burdah) menjawab, “Ya, aku pernah mendengarnya berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الْإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلَاةُ

“Saat itu berlangsung antara duduknya imam sampai selesainya shalat.” (HR. Muslim nomor 853 dan Abu Dawud nomor 1049).

Pendapat kedua : waktu mustajab berada di akhir waktu setelah shalat Ashar.

Hadits yang menerangkan hal ini cukup banyak, di antaranya :

1. Hadits Abdullah bin Salam

Abdullah bin Salam berkata, “Aku berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapatkan di dalam Kitabullah bahwa pada hari Jum’at terdapat satu saat yang tidaklah seorang hamba mukmin bertepatan dengannya lalu berdoa memohon sesuatu kepada Allah, melainkan akan dipenuhi permintaannya.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dengan tangannya bahwa itu hanya sesaat. Kemudian Abdullah bin Salam bertanya,‘kapan saat itu berlangsung?’ beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Saat itu berlangsung pada akhir waktu siang.” Setelah itu Abdullah bertanya lagi, ‘Bukankah saat itu bukan waktu shalat?’ beliau menjawab,

بَلَى إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ فَهُوَ فِي الصَّلَاة

“Benar, sesungguhnya seorang hamba mukmin jika mengerjakan shalat kemudian duduk, tidak menahannya kecuali shalat, melainkan dia berada di dalam shalat.” (HR. Ibnu Majah nomor 1139, dan Syaikh Al-Albani menilainya hasan shahih).

2. Hadits Abu Hurairah

Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Suatu ketika saya keluar menuju sebuah bukit, lalu saya berjumpa dengan Ka’ab Al-Ahbar, maka saya pun duduk-duduk bersamanya. Lantas, ia menceritakan perihal kitab Taurat kepada saya, dan saya pun menceritakan perihal Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam kepadanya.

Di antara perkara yang saya ceritakan kepadanya ialah, ketika itu saya mengatakan, bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Sebaik-baik hari yang disinari matahari ialah hari Jum’at –sampai pada sabda beliau- ‘Di dalamnya terdapat satu waktu, tidaklah seorang muslim melakukan shalat bertepatan dengan waktu tersebut, lalu ia memohon sesuatu kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkan permintaannya itu.”

Ka’ab berkata, ‘Apakah yang demikian itu berlangsung satu hari dalam setahun?’, maka, saya menjawab, ‘Bukan, tetapi dalam setiap hari Jum’at.’ Lantas, Ka’ab pun membaca kitab Taurat, lalu ia berkata, ‘Rasulullah benar’

Abu Hurairah melanjutkan, “Lalu saya berjumpa dengan Bashrah bin Abu Bashrah Al-Ghifari. Lantas, ia bertanya kepada saya. ‘Dari mana Anda tadi?’ saya menjawab, ‘Dari sebuah bukit’ maka ia berkata, ‘Kalau saja saya berjumpa dengan Anda sebelum Anda keluar ke sana, maka saya tidak akan keluar. Saya mendengar Rasulullah bersabda, “Tidak boleh bepergian (dalam rangka beribadah) kecuali ke tiga masjid: masjidil Haram, masjidku ini (masjid Nabawi), dan masjid Elia (masjil Aqsha di Baitul Maqdis). Ia ragu.’

Abu Hurairah berkata, “Saya kemudian berjumpa dengan Abdullah bi Salam. Maka saya pun menceritakan perihal perbincangan saya dengan Ka’ab Al-Ahbar kepadanya, dan mengenai apa yang saya ceritakan kepadanya tentang hari Jum’at.”

Saya –Abu Hurairah- berkata, “Ka’ab mengatakan bahwa yang demikian itu terjadi satu hari dalam setahun.”

Abu Hurairah melanjutkan, “Abdullah bin Salam berkata, ‘Ka’ab telah berbohong.’, lalu saya mengatakan, ‘Kemudian Ka’ab membaca kitab Taurat, dan berkata, ‘Ya, benar, yang dimaksud ialah pada setiap hari Jum’at.’ Maka, Abdullah bin Salam berkata, ‘Ka’ab benar.’ Selanjutnya, Abdullah bin Salam mengatakan, ‘Sesungguhnya saya mengetahui persis mengenai waktu yang dimaksud itu?’

Abu Hurairah berkata, “Saya berkata kepadanya, ‘Beritahukan kepada saya tentang waktu itu, dan jangan sekali-kali kamu menyembunyikannya terhadap saya.’ Maka, Abdullah bin Salam berkata, ‘Waktu yang dimaksud adalah waktu yang akhir pada setiap hari Jum’at.’

Abu Hurairah berkata, “Lantas, saya bertanya, ‘Bagaimana mungkin kalau waktu yang dimaksud ialah saat-saat yang terakhir pada hari Jum’at, sementara Rasulullah sendiri telah bersabda, “Tidaklah seorang muslim menjumpainya, di kala ia sedang melakukan shalat…; sementara waktu yang kamu sebutkan itu ialah waktu yang tidak boleh melakukan shalat?’

Lantas, Abdullah bin Salam menjawab,

أَلَمْ يَقُلْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ جَلَسَ مَجْلِسًا يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ فَهُوَ فِى صَلاَةٍ حَتَّى يُصَلِّىَ »

‘Bukankah Rasulullah juga telah bersabda, ‘Barangsiapa yang duduk pada suatu majelis sambil menunggu-nunggu shalat, maka ia itu berada dalam kondisi melakukan shalat hingga ia benar-benar melaksanakan shalat?’.”

Abu Hurairah berkata, “Saya berkata, ‘Ya, tentu.’ Abdullah bin Salam berkata, ‘Ya, itulah waktu yang dimaksud’.” (HR. Abu Dawud nomor 1046, At-Tirmidzi nomor 491, dan Abu Isa berkomentar hadits hasan shahih, sedangkan Al-Albani berkomentar hadits shahih).

3. Hadits Jabir bin Abdillah

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ اثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً لَا يُوجَدُ فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ شَيْئًا إِلَّا آتَاهُ إِيَّاهُ فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ

Dari Jabir bin Abdillah, dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hari Jum’at adalah dua belas jam. Di dalamnya terdapat satu waktu di mana tidaklah seorang muslim memohon sesuatu kepada Allah pada saat itu, melainkan Allah akan mengabulkannya. Maka carilah ia pada saat-saat terakhir setelah shalat Ashar.” (HR. An-Nasa’I nomor 1388).

Dari dua pendapat ini, pendapat yang terkuat adalah pendapat kedua. Inilah pendapat mayoritas ulama. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa pendapat ini dianut oleh Abdullah bin Salam, Abu Hurairah, Imam Ahmad dan yang lainnya. Lebih lanjut, Ibnul Qayyim berkata, “Saat mustajab berlangsung pada akhir waktu setelah Ashar yang diagungkan oleh seluruh pemeluk agama. Menurut Ahli Kitab, ia merupakan saat pengabulan. Inilah salah satu yang ingin mereka ganti dan merubahnya. Sebagian orang dari mereka yang telah beriman mengakui hal tersebut.”

Sekalipun pendapat kedua lebih kuat, beberapa ulama tetap menganggap bahwa pendapat pertama juga perlu diakui keabsahannya. Oleh karenanya mereka berusaha mengambil jalan tengah dengan menggabungkan kedua pendapat di atas. Tetap melazimi berdoa pada kedua waktu tersebut.



Imam Ahmad berkata, “Mayoritas hadits tentang waktu yang diharapkan terkabulnya doa menunjukkan bahwa itu terjadi setelah Ashar, tetapi juga diharapkan setelah tergelincirnya matahari (setelah imam berdiri untuk berkhutbah pen.).”

Ibnu Abdil Barr berkata, “Semestinya yang dilakukan seorang muslim adalah bersungguh-sungguh memanjatkan doa kepada Allah untuk kebaikan agama dan dunia pada dua waktu yang telah disebutkan karena berharap dikabulkan. Karena doa itu tidak akan sia-sia, insyaAllah. Sungguh benar perkataan Ubaid bin Abrash yang mengatakan, “Siapa yang meminta kepada manusia, mereka akan menolaknya, dan siapa yang meminta Allah, pintanya tidak akan sia-sia.” [16] Bahkan, Ibnul Qayyim yang menguatkan pendapat kedua pun, beliau tetap menekankan agar setiap muslim tetap membiasakan berdoa pada waktu shalat. Katanya, “Menurut hemat saya, waktu shalat juga merupakan waktu yang diharapkan terkabulkannya doa. Jadi, keduanya merupakan waktu mustajab meskipun satu waktu yang dikhususkan di sini adalah akhir waktu setelah shalat Ashar. Sehingga ia merupakan waktu yang telah diketahui secara pasti dari hari Jum’at; tidak maju dan tidak mundur. Adapun waktu shalat, ia mengikuti shalat itu sendiri; maju atau mundurnya. Sebab, dengan berkumpulnya kaum muslimin, shalat, kekhusyukan, dan munajat mereka kepada Allah memiliki dampak dan pengaruh yang sangat besar untuk dikabulkan. Karena, ketika kaum muslimin sedang berkumpul sangat diharapkan sekali doa terkabulkan.” Selanjutnya Ibnul Qayyim berkesimpulan, “Dengan demikian, semua hadits yang disebutkan di atas sesuai dan berkaitan. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk senantiasa memanjatkan doa dan bermunajat kepada Allah pada dua waktu dan masa ini.”

Hal ini juga diikuti oleh Syech Ibnu Bazz rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh DR. Sa’id bin Ali al Qahthan dalam Shalâtul Mukmin. Syech Ibnu Bazz berkata, “Hal itu menunjukkan bahwa sudah sepantasnya bagi orang muslim untuk memberikan perhatian terhadap hari Jum’at. Sebab, di dalamnya terdapat satu saat yang tidaklah seorang muslim berdoa memohon sesuatu bertepatan dengan saat tersebut melainkan Allah akan mengabulkannya, yaitu setelah shalat Ashar. Mungkin saat ini juga terjadi setelah duduknya imam di atas mimbar. Oleh karena itu, jika seseorang datang dan duduk setelah Ashar menunggu shalat Maghrib seraya berdoa, doanya akan dikabulkan. Demikian halnya jika setelah naiknya imam ke atas mimbar, seseorang berdoa dalam sujud dan duduknya maka sudah pasti doanya akan dikabulkan.”

Jadi, mari tetap memuliakan dua waktu tersebut dengan banyak-banyak berdoa, karena doa kita pasti dikabulkan, entah kapan; diijabahi langsung, atau dihindarkan dari bahaya yang setara dengan doanya, atau sebagai penghapus dosa, atau menjadi simpanan di akhirat kelak..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

APAKAH MUNTAH MEMBATALKAN PUASA

01.06.00 Posted by Admin No comments


Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Setelah kemarin ane jelasin mengenai hukum suntik, infus, donor darah dan bekam di saat puasa, lalu bagaimana dengan muntah? Apakah muntah membatalkan puasa?

Umumnya para ulama sepakat bahwa muntah yang di luar kesengajaan itu tidak membatalkan puasa. Yang membatalkan puasa adalah muntah yang disengaja.

Misalnya seseorang memasukkan jarinya saat berpuasa, sehingga mengakibatkan dirinya muntah, maka barulah hal itu membatalkan puasanya.

Sedangkan bila karena sesuatu hal yg tidak bisa dihindari, kemudian muntah, tentu tidak batal puasanya. Misalnya karena sakit, mual, pusing atau karena naik kendaraan lalu mabuk & muntah, maka muntah yg seperti itu tidak termasuk kategori yang membatalkan puasa.

Dalil atas hal ini adalah beberapa riwayat dari Rasulullah SAW..

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  مَنْ ذَرَعَهُ اَلْقَيْءُ فَلا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ اَلْقَضَاءُ -رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ

Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yg terpaksa muntah, maka tidak wajib mengqadha’ puasanya. Sedangkan siapa yg sengaja muntah, maka wajib mengqadha’ puasanya.” (HR. Khamsah)

Namun ternyata ada juga pihak yang berbeda pendapat. Mereka mengatakan bahwa semua bentuk muntah justru tidak membatalkan puasa.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Imam Malik, Rabi’ah & Al Hadi, mereka berpendapat bahwa muntah itu tidak membatalkan puasa secara mutlak. Baik disengaja maupun tidak disengaja.

Hujjah mereka adalah riwayat berikut ini..

Tiga perkara yg tidak membatalkan puasa: muntah, hijamah (bekam) & ihtilam (mimpi basah). (HR. Tirmizi & Al Baihaqi)

Namun hadits ini selain dhaif juga masih terlalu umum. Kalau hadits ini menyebutkan bahwa muntah itu tidak menyebabkan batalnya puasa, memang benar. Akan tetapi muntah itu ada 2 macam, yang tidak disengaja & yang disengaja.

Kalau yang dimaksud oleh hadits ini tentang muntah adalah muntah yang tidak disengaja, maka esensi hadits ini sudah benar. Akan tetapi kalau segala macam muntah tidak membatalkan puasa, maka hal itu tidak benar, sebab ada hadits yg lebih shahih yg menegaskan bahwa muntah yg disengaja itu membatalkan puasa.

Hadits ini lebih umum sedangkan hadits sebelumnnya lebih khusus, maka yg lebih khusus dikedepankan dari pada yang bersifat umum.

Sehingga dalam hal ini yg lebih tepat adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa muntah yang disengaja membatalkan puasa, sedangkan yang tidak disengaja tidak membatalkan puasa.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

APAKAH SUNTIK MEMBATALKAN PUASA?

01.02.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Melanjutkan bahasan dari pertanyaaan Dr. Dina yang menanyakan Apakah Suntik/Infus membatalkan puasa, berikut penjelasannya..

Dalam urusan suntik (injeksi), kata temen² dokter ane di salah satu rumah sakit besar di Jakarta Selatan, itu di bagi menjadi 3:

1. Suntikan melalui kulit (Intra cutan), misalnya suntikan Insulin.

2. Suntikan melalui otot (Intra muscular), misalnya suntik antihistamin dan beberapa vaksinasi.

3. Suntikan melalui pembuluh darah (intra vena), misalnya anti nyeri, infus dan vitamin.

Sedangkan berdasarkan materinya, suntikan ada dua jenis:

1. Suntikan bukan makanan, misalnya anti nyeri dan antihistamin.

2. Suntikan yang mengandung zat makanan, misalnya suntikan glukosa atau infus elektrolit.

Kita akan bahas, klo suntikan itu apakah membatalkan puasa atau tidak.

1. Suntikan melalui kulit (Intra cutan)

Suntikan melalui kulit TIDAK membatalkan puasa, karena tidak ada saluran khusus ke organ pencernaan atau tidak menimbulkan energi dan tidak mengenyangkan. Karena kaidah umumnya yang lebih shahih mengenai pembatal puasa adalah bukan semata-mata sesuatu yang masuk di organ pencernaan, akan tetapi bisa menguatkan badan dan hakikatnya sama dengan makan dan minum.

Salah satu guru ane Syech Ahmad bin Muhammad Al Khalil hafidzahullah, Ulama sekaligus pakar pengobatan di Kairo berkata,

ﺃﻥ ﻋﻠﺔ ﺍﻟﺘﻔﻄﻴﺮ ﻟﻴﺴﺖ ﻭﺻﻮﻝ ﺍﻟﺸﻲﺀ‎ ‎ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺠﻮﻑ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﻔﺬ ﺍﻟﻤﻌﺘﺎﺩ، ﺑﻞ‎ ‎ﺣﺼﻮﻝ ﻣﺎ ﻳﺘﻘﻮﻯ ﺑﻪ ﺍﻟﺠﺴﻢ ﻭﻳﺘﻐﺬﻯ

“Alasan membatalkan bukanlah semata-mata sampainya sesuatu (makanan) menuju lambung (saluran pencernaan) akan tetapi bisa menguatkan badan dan mengenyangkan (menghasilkan tenaga).”

Syech Al Utsaimin rahimahullah menukil perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah mengenai kaidah ini,

ﻭﻗﺎﻝ ﺷﻴﺦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﺭﺣﻤﻪ‎ ‎ﺍﻟﻠﻪ : ﻻ ﻓﻄﺮ ﺑﺎﻟﺤﻘﻨﺔ ؛ ﻷﻧﻪ ﻻ ﻳﻄﻠﻖ‎ ‎ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺍﺳﻢ ﺍﻷﻛﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﺏ ، ﻻ ﻟﻐﺔ ، ﻭﻻ‎ ‎ﻋﺮﻓﺎً ، ﻭﻟﻴﺲ ﻫﻨﺎﻙ ﺩﻟﻴﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ‎ ‎ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﺃﻥ ﻣﻨﺎﻁ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﻭﺻﻮﻝ ﺍﻟﺸﻲﺀ‎ ‎ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺠﻮﻑ ، ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻟﻘﻠﻨﺎ : ﻛﻞ ﻣﺎ‎ ‎ﻭﺻﻞ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺠﻮﻑ ﻣﻦ ﺃﻱ ﻣﻨﻔﺬ ﻛﺎﻥ‎ ‎ﻓﺈﻧﻪ ﻣﻔﻄﺮ ، ﻟﻜﻦ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﺩﻻَّ‏‎ ‎ﻋﻠﻰ ﺷﻲﺀ ﻣﻌﻴﻦ ﻭﻫﻮ ﺍﻷﻛﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﺏ

“Tidak batal dengan suntikan, karena suntikan bukanlah “makan dan minum” baik secara bahasa maupun ‘urf/kebiasaan. Tidak ada dalil dalam kitab dan sunnah bahwa kaidah hukum (membatalkan) adalah masuknya sesuatu ke lambung.

Seandainya kita katakan, semua yang masuk ke lambung dengan cara apapun membatalkan, akan tetapi Al Quran dan Sunnah menunjukkan pembatal itu adalah sesuatu yang sudah ditentukan yaitu makan dan minum.”

Jadi suntikan melalui kulit TIDAK membatalkan puasa karena tidak mengenyangkan dan tidak memberi energi.

2. Suntikan melalui otot (Intra muscular)

Ini juga TIDAK membatalkan puasa karena sama dengan suntikan melalui kulit, yaitu tidak ada saluran khusus ke organ pencernaan atau tidak menimbulkan energi dan tidak mengeyangkan.

Syech Shalih Al Fauzan hafidzahullah berkata,

، ﺃﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻹﺑﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻀﻞ ﻭﻟﻴﺴﺖ‎ ‎ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺭﻳﺪ ﻓﻬﺬﻩ ﻟﻌﻠﻬﺎ ﻻ ﺗﻔﻄﺮ

“Adapun suntikan pada otot, bukan pada pembuluh darah maka semoga tidak membatalkan puasa.”

Dan Fatwa Al Lajnah Ad Daimah (Komite Fatwa di Saudi),

” ﻳﺠﻮﺯ ﺍﻟﺘﺪﺍﻭﻱ ﺑﺎﻟﺤﻘﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻀﻞ‎ ‎ﻭﺍﻟﻮﺭﻳﺪ ﻟﻠﺼﺎﺋﻢ ﻓﻲ ﻧﻬﺎﺭ ﺭﻣﻀﺎﻥ . ﻭﻻ‎ ‎ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻠﺼﺎﺋﻢ ﺗﻌﺎﻃﻲ ﺣﻘﻦ ﺍﻟﺘﻐﺬﻳﺔ ﻓﻲ‎ ‎ﻧﻬﺎﺭ ﺭﻣﻀﺎﻥ ؛ ﻷﻧﻪ ﻓﻲ ﺣﻜﻢ ﺗﻨﺎﻭﻝ‎ ‎ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﺍﻟﺸﺮﺍﺏ ، ﻓﺘﻌﺎﻃﻲ ﺗﻠﻚ ﺍﻟﺤﻘﻦ‎ ‎ﻳﻌﺘﺒﺮ ﺣﻴﻠﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ،‏‎ ‎ﻭﺇﻥ ﺗﻴﺴﺮ ﺗﻌﺎﻃﻲ ﺍﻟﺤﻘﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﻀﻞ‎ ‎ﻭﺍﻟﻮﺭﻳﺪ ﻟﻴﻼ ﻓﻬﻮ ﺃﻭﻟﻰ ” ﺍﻧﺘﻬﻰ

“Boleh berobat dengan disuntik di lengan atau pembuluh darah, bagi mereka yang puasa di siang hari Ramadhan. Namun, orang yang sedang berpuasa tidak boleh diberi suntikan nutrisi (infus) di siang hari Ramadhan karena ini sama saja dengan makan atau minum. Oleh sebab itu, pemberian suntikan infus disamakan dengan pembatal puasa Ramadhan. Kemudian, jika memungkinkan untuk melakukan suntik lengan atau pembuluh darah di malam hari maka itu lebih baik.”

3. Suntikan melalui pembuluh darah (intra vena)

Untuk suntikan ini di perinci lagi jadi beberapa bagian,

• Suntikan yang mengandung bahan makanan, misalnya suntik vitamin C dan suntik infus, ini MEMBATALKAN puasa.

• Suntikan yang tidak mengandung bahan makanan, misalnya suntik anti nyeri dan antihistamin, ini TIDAK MEMBATALKAN puasa.

Syech Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata,

ﺍﻹﺑﺮ ﺍﻟﻌﻼﺟﻴﺔ ﻗﺴﻤﺎﻥ: ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻣﺎ‎ ‎ﻳﻘﺼﺪ ﺑﻪ ﺍﻟﺘﻐﺬﻳﺔ ﻭﻳﺴﺘﻐﻨﻰ ﺑﻪ ﻋﻦ ﺍﻷﻛﻞ‎ ‎ﻭﺍﻟﺸﺮﺏ ﻷﻧﻬﺎ ﺑﻤﻌﻨﺎﻩ ﻓﺘﻜﻮﻥ… ﺃﻣﺎ‎ ‎ﺍﻟﻘﺴﻢ ﺍﻟﺜﺎﻧﻲ ﻭﻫﻮ ﺍﻹﺑﺮ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﺗﻐﺬﻱ‎ ‎ﺃﻱ ﻻ ﻳﺴﺘﻐﻨﻰ ﺑﻬﺎ ﻋﻦ ﺍﻷﻛﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﺏ‎ ‎ﻓﻬﺬﻩ ﻻ ﺗﻔﻄﺮ ﻷﻧﻪ ﻻ ﻳﻨﺎﻟﻬﺎ ﺍﻟﻨﺺ ﻟﻔﻈﺎ‎ ‎ﻭﻻ ﻣﻌﻨﻰ ﻓﻬﻲ ﻟﻴﺴﺖ ﺃﻛﻼً ﻭﻻ ﺷﺮﺑﺎً ﻭﻻ‎ ‎ﺑﻤﻌﻨﻰ ﺍﻷﻛﻞ ﻭﺍﻟﺸﺮﺏ

“Suntikan pengobatan ada dua macam:

Pertama, bisa memberikan tenaga dan mengenyangkan serta bisa menggantikan makan dan minum, maka ini semakna dengan pembatal puasa.

Kedua, tidak bisa memberikan tenaga dan mengenyangkan serta tidak bisa menggantikan makan dan minum, maka ini tidak membatalkan puasa. Karena tidak didapati dalil nash ataupun makna akan hal ini. Dan suntikan bukanlah semakna dengan makan dan minum.”

Dengan demikian jika ada yang mangatakan bahwa meskipun suntikan intavena yang tidak mengandung bahan makanan, akan tetapi ada cairan yang masuk, misalnya suntikan ketorlac 1 ml atau ranitidin 2 ml. Maka kita katakan bahwa cairan yang masuk lewat suntik pembuluh darah tersebut sangat sedikit yaitu 1 ml atau 2 ml.

Hal ini sebagaimana berkumur-kumur ketika bersiwak. Otomatis pasti ada sisa cairan/air ketika berkumur-kumur yang menempel di lidah, mukosa mulut dan gigi. Terkadang sisa cairan ini bercampur dengan air ludah dan bisa jadi masuk ke kerongkongan. Akan tetapi karena jumlahnya sedikit maka tidak teranggap. Demikian juga cairan yang masuk 1 ml atau 2 ml.

Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sering bersiwak dan berkumur-kumur ketika berpuasa.

Dari Amir bin Rabi’ah, ia berkata,

ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰَّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ –‏‎ ‎ﻳَﺴْﺘَﺎﻙُ ، ﻭَﻫُﻮَ ﺻَﺎﺋِﻢٌ ﻣَﺎ ﻻَ ﺃُﺣْﺼِﻰ ﺃَﻭْ ﺃَﻋُﺪُّ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersiwak saat puasa dan jumlahnya tak terhitung.”

Dan inilah kaidah umum yang disampaikan oleh Syech Ahmad bin Muhammad Al Khalil hafidzahullah, beliau berkata,

ﺍﻟﺮﺍﺟﺢ: ﺍﻷﻗﺮﺏ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺟﻤﻬﻮﺭ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ‎ ‎ﺍﻟﻤﻌﺎﺻﺮﻳﻦ ﺃﻥ ﺍﻹﺑﺮﺓ ﺍﻟﻤﻐﺬﻳﺔ ﺗﻔﻄﺮ‎ ‎ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻟﻘﻮﺓ ﺃﺩﻟﺘﻬﻢ ﻭﺗﻮﺍﻓﻘﻬﺎ ﻣﻊ ﻣﻘﺎﺻﺪ‎ ‎ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ

“Pendapat terkuat mengenai suntikan: apa yang menjadi pendapat mayoritas ahli fiqih kontemporer bahwa suntikan yang mengenyangkan/memberi tenaga membatalkan puasa karena kuatnya dalil dan sesuai dengan tujuan syariat.”

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

SHALAT TAHAJUD SETELAH SHALAT TARAWIH

00.52.00 Posted by Admin No comments

Melanjutan bahasan dari pertanyaan Ukhtie Aty yang menanyakan soal SHALAT TAHAJUD SETELAH SHALAT TARAWIH, berikut penjelasan nye'..

Apakah kita boleh mengerjakan shalat tahajud lagi padahal sudah mengerjakan shalat tarawih yang ditutup dengan witir?
Jawabannye DIBOLEHKAN..

Shalat tahajud merupakan bagian dari shalat malam yang di mana shalat tahajud dikerjakan setelah bangun tidur. Demikian pendapat Imam Nawawi dalam Syarh Al-Muhaddzab. Oleh karenanya tidaklah bertentangan antara niat shalat malam dan shalat tahajud..
Siapa yang mengerjakan shalat malam setelah bangun tidur, ia disebut sebagai orang yang bertahajud dan shalatnya dianggap pula sebagai shalat malam.

Kalau seseorang sudah mengerjakan shalat tarawih dan ditutup witir, maka ia boleh menambah shalat tahajud lagi di malam harinya dengan beberapa tinjauan sebagai berikut:

1- Perintah mengerjakan shalat malam bersama imam hingga imam selesai.

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Sesungguhnya siapa saja yang shalat bersama imam hingga imam itu selesai, maka ia dicatat telah mengerjakan shalat semalam suntuk (semalam penuh).” (HR. Tirmidzi no. 806. Abu Isa Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Dalam riwayat lain dalam Musnad Imam Ahmad, disebutkan dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ بَقِيَّةُ لَيْلَتِهِ

“Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imam hingga imam selesai, maka ia dihitung mendapatkan pahala shalat di sisa malamnya.” (HR. Ahmad 5: 163. Syech Syu’aib Al-Arnauth menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

Kalau seseorang keluar dari shalat tarawih karena ingin menambah shalat tahajud dan witirnya di malam hari, maka ia tidak mendapatkan pahala shalat semalam suntuk. Walaupun dari sisi kesahan tetaplah sah.

2- Masih boleh menambah shalat malam setelah tarawih karena jumlah raka’at shalat malam tidak ada batasannya.

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan,

فَلاَ خِلاَفَ بَيْنَ المسْلِمِيْنَ أَنَّ صَلاَةَ اللَّيْلِ لَيْسَ فِيْهَا حَدٌّ مَحْدُوْدٌ وَأَنَّهَا نَافِلَةٌ وَفِعْلٌ خَيْرٌ وَعَمَلٌ بِرٌّ فَمَنْ شَاءَ اِسْتَقَلَّ وَمَنْ شَاءَ اِسْتَكْثَرَ

“Tidak ada khilaf di antara kaum muslimin bahwa shalat malam tidak ada batasan raka’atnya. Shalat malam adalah shalat nafilah (shalat sunnah) dan termasuk amalan kebaikan. Seseorang boleh mengerjakan dengan jumlah raka’at yang sedikit atau pun banyak.”(At-Tamhid, Ibnu ‘Abdil Barr, 21: 69-70, Wizaroh Umum Al Awqof, 1387 dan Al-Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr, 2: 98)

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa shalat malam tidak dibatasi jumlah raka’atnya, yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua raka’at salam, dua raka’at salam. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan witir.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar). Padahal ini dalam konteks pertanyaan.
Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.

3- Kita memang diperintah menutup shalat malam dengan shalat witir sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

“Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751).

Pengertian menutup shalat malam dengan shalat witir, hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Sehingga setelah shalat witir masih boleh menambah lagi shalat sunnah. Alasannya adalah praktik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sesudah shalat witir masih menambah lagi dengan dua raka’at yang lain.

‘Aisyah menceritakan mengenai shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat 13 raka’at (dalam semalam). Beliau melaksanakan shalat 8 raka’at kemudian beliau berwitir (dengan 1 raka’at). Kemudian setelah berwitir, beliau melaksanakan shalat dua raka’at sambil duduk. Jika ingin melakukan ruku’, beliau berdiri dari ruku’nya dan beliau membungkukkan badan untuk ruku’. Setelah itu di antara waktu adzan shubuh dan iqomahnya, beliau melakukan shalat dua raka’at.” (HR. Muslim no. 738)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Dua raka’at setelah witir itu tanda bahwa masih bolehnya dua raka’at setelah witir dan jika seseorang telah mengerjakan shalat witir bukan berarti tidak boleh lagi mengerjakan shalat sunnah sesudahnya.

Adapun hadits di atas “Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari adalah shalat witir“, yang dimaksud menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam hanyalah sunnah (bukan wajib). Artinya, dua raka’at sesudah witir masih boleh dikerjakan.” (Zaad Al-Ma’ad, 1: 322-323).

Yang jelas bagi yang sudah melaksanakan tarawih lalu menutupnya dengan witir tidak lagi melakukan witir yang kedua setelah melakukan shalat tahajud di malam hari.

Dari Thalq bin ‘Ali, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ

“Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam.” (HR. Tirmidzi no. 470, Abu Daud no. 1439, An Nasa-i no. 1679. Syech Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Jadi kesimpulan nye, boleh melaksanakan shalat tahajud walaupun sudah mengerjakan shalat tarawih dan ditutup dengan witir. Namun di malam hari ketika melakukan shalat tahajud tidak lagi ditutup dengan witir.

Jumlah raka’at shalat tahajud yang dilakukan bebas, tidak dibatasi jumlah raka’atnya..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"