Selasa, 16 Mei 2017

PELAJARAN DARI AYAT WUDHU DAN TAYAMUM (Bag.3)

14.52.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Sekarang kita akan melihat mengenai tayamum dari pembahasan ayat wudhu dan tayamum yang kita kaji dari beberapa hari kemarin..

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hai orang² yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6)

Faedah tentang tayamum yang bisa diambil dari ayat di atas:

11. Sebab tayamum adalah salah satu dari dua sebab:

• Ketika tidak ada air, yaitu diambil dari firman AllahTa’ala,

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً

“lalu kamu tidak memperoleh air."

• Terdapat bahaya bila menggunakan air, yaitu berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى

“Dan jika kamu sakit”.

Dari sini, setiap sebab yang mengakibatkan dharar atau bahaya ketiak menggunakan air, maka boleh beralih pada tayamum.

Sebab bahaya menggunakan air di sini banyak. Adapun penyebutan safar dalam ayat karena safar diduga kuat lebih butuh pada tayamum dan sulitnya mendapatkan air. Sama seperti dikaitkannya gadai dengan safar (dalam ayat yang lain). Namun bukanlah safar jadi sebab orang bertayamum sebagaimana sangkaan sebagian orang.

Pemahaman seperti itu dapat disanggah dengan firman Allah Ta’ala,

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً

“lalu kamu tidak memperoleh air."

12. Tayamum itu menggunakan segala sesuatu yang asalnya ada di permukaan bumi baik ada debu ataukah tidak. Selama benda tersebut thoyyib (suci), bukan khobits (bukan najis), maka boleh digunakan untuk tayamum.

13. Tayamum dikhususkan untuk dua anggota tubuh yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Adapun penyebutan ‘aydiikum’ yang disebutkan mutlak dalam ayat, yang dimaksud adalah telapak tangan. Sebagaimana penyebutan seperti itu terdapat dalam ayat potong tangan. Jika penyebutannya tangan hingga siku, barulah ada pembasuhan tangan hingga siku. Oleh karenanya dari sini bisa diambil pelajaran bahwa tangan yang diusap pada tayamum adalah telapak tangan saja, tidak sampai siku.

14. Ayat yang kita kaji juga menyebutkan mengenai sebab wudhu (thaharah shugro) yaitu Al ghoo-ith (keluarnya kotoran dari salah satu dari dua jalan), menyentuh wanita dengan syahwat. Sedangkan dalam hadits ditambahkan sebab wudhu karena tidur yang banyak dan menyentuh kemaluan, juga karena makan daging unta yang di mana para ulama memiliki perbedaan pendapat di dalamnya.

15. Tayamum disyariatkan untuk menyucikan hadats kecil, begitu pula hadats besar karena Allah menyebutkan perihal tayamum setelah menyebutkan wudhu dan mandi.

16. Tayammum tetap dengan mengusap walau menggantikan wudhu (menyucikan hadats kecil) dan mandi (menyucikan hadats besar) yang di mana dalam wudhu atau mandi terdapat ghusul (membasuh atau mencuci). Sehingga dalam tayamum tidak perlu mengalirkan atau melumurkan debu, cukap mengusap saja.

17. Ayat mulia yang kita kaji ini menunjukkan bahwa bersuci dengan tayamum menggantikan bersuci dengan air ketika tidak mendapati air atau mendapat bahaya ketika menggunakan air. Karena tayamum masih tetap disebut thaharah (bersuci). Begitu pula banyak hadits yang menunjukkan demikian.

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa bersuci dengan tayamum masih berlaku tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu atau batal karena masuknya waktu tertentu sebagaimana yang dikatakan kebanyakan ulama.

Yang tepat tayamum itu batal karena dua sebab:

• Karena mendapati pembatal bersuci.

• Karena mendapati air atau hilangnya bahaya untuk menggunakan air.

Masih berlanjut pada bagian keempat (bagian terakhir) Insyaa Allah..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

MENUNGGU SHALAT DIHITUNG SHALAT

14.45.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Bagi yang menunggu shalat, itu sudah dianggap berada dalam shalat.

Keutamaan Menunggu Shalat

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَةٍ مَا دَامَتِ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ ، لاَ يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْقَلِبَ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ الصَّلاَةُ

“Salah seorang di antara kalian dianggap terus menerus di dalam shalat selama ia menunggu shalat di mana shalat tersebut menahannya untuk pulang. Tidak ada yang menahannya untuk pulang ke keluarganya kecuali shalat.” (HR. Bukhari no.659 dan Muslim no.649)

Kesimpulan Mutiara Hadits

• Hadits ini menunjukkan keutamaan menunggu shalat.

• Orang yang menunggu shalat, pahalanya seperti orang yang shalat. Bedanya dengan shalat, menunggu shalat masih dibolehkan untuk berbicara.

• Bentuk menunggu shalat bisa dengan menunggu antara azan dan iqamah lalu diisi ibadah yang bermanfaat seperti shalat rawatib, doa dan membaca Al Qur’an.

• Menunggu shalat dan berdiam di masjid dengan melakukan ibadah apa pun seperti shalat, tilawah Al Qur’an, dzikir, mendengarkan majelis ilmu dan nasihat, termasuk dalam memakmurkan masjid.

• Disebut shalat menahannya pulang sebagai isyarat bahwa kita butuh memaksakan diri untuk melakukan ketaatan pada Allah.

Setiap waktu yang di dalamnya kita punya kesempatan untuk berbuat baik, maka isilah dengan kebaikan di dalamnya. Karena setiap waktu kita akan ditanya pada hari kiamat. Para ulama sampai menyebut orang yang menyia-nyiakan waktu termasuk berbuat ‘Uquq (durhaka).

Abdur Rauf Muhammad Al Munawi rahimahullah berkata, “Setiap waktu yang berlalu tanpa diisi dengan menunaikan hak, kewajiban, hal penting, tanpa diisi pula dengan syukur pada Allah, dengan kebaikan dan ilmu, orang yang waktunya seperti berarti telah mendurhakai hari dan menzalimi dirinya sendiri.” (Faidh Al Qadir 6: 228)

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

BAGAIMANA PENYALURAN HARTA RIBA?

14.41.00 Posted by Admin No comments


Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Beberapa hari kemarin ada yang bertanya mengenai bagaimana penyaluran harta riba. Berikut penjelasannya..

Riba sudah jelas haramnya. Namun saat ini harta riba begitu samar bagi sebagian orang. Walaupun digunakan nama bunga sekalipun, riba tetaplah riba. Lalu bagaimana jika kita memiliki harta riba tersebut? Yang jelas, harta tersebut adalah harta haram yang tidak boleh kita manfaatkan. Lalu di manakah disalurkannya? 

Bunga Bank itu Riba

Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syech Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata,

“Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang), namun senyatanya bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong dan berbuat baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang dan akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang namanya bunga bank yang diambil dari pinjam meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama² disebut riba.” (“Taysir Al Fiqh”, Syech Sholih bin Ghonim As Sadlan hal.298).

Pemanfaatan Dana Riba

Sependek pengetahuan ane, para ulama sepakat bahwa harta riba tidak halal bagi seorang muslim untuk memilikinya dan dimanfaatkan sendiri. Ia harus mengambilkan pada sumber dana riba tersebut jika ia ketahui.

Jika tidak diketahui dari mana berasal harta tersebut, maka bagaimanakah dana tersebut disalurkan? Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini.

Pendapat Pertama menyatakan bahwa dana riba tersebut disalurkan untuk yang berhak menerima menurut syar’i. Demikian pendapat jumhur ulama dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali.

Pendapat Kedua menyatakan bahwa dana tersebut dijaga dan tidak boleh dimanfaatkan. Pendapat ini dinisbatkan pada Imam Syafi’i.

Pendapat jumhur ulama lebih kuat. Karena harta riba bisa ada tiga kemungkinan, ditahan (dijaga), dimusnahkan atau diinfakkan. Kalau harta riba tersebut dimusnahkan, maka itu sama saja membuang-buang harta. Kalau hanya disimpan atau dijaga saja, itu juga sama saja menyia-nyiakan harta tersebut, tanpa ada guna.

Di antara dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai luqothoh (barang temuan),

مَنْ وَجَدَ لُقَطَةً فَلْيُشْهِدْ ذَا عَدْلٍ – أَوْ ذَوَىْ عَدْلٍ – وَلاَ يَكْتُمْ وَلاَ يُغَيِّبْ فَإِنْ وَجَدَ صَاحِبَهَا فَلْيَرُدَّهَا عَلَيْهِ وَإِلاَّ فَهُوَ مَالُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ

“Barangsiapa yang menemukan luqothoh maka saksikanlah pada orang yang baik, jangan sembunyikan dan menghilangkannya. Jika ditemukan siapa pemiliknya, maka kembalikanlah padanya. Jika tidak, maka itu adalah harta Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Abu Daud no.1709, shahih kata Syech Al Albani).

Ke Manakah Harta Riba Disalurkan?

Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:

Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.

Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).

Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.

Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Lebih² lagi karena sebab kemiskinan adalah karena terlilit hutang riba, maka harta tersebut sebenarnya pantas untuk mereka. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah shalat di tanah rampasan (Al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta riba tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid.

Dalam rangka hati², harta riba disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemilik harta riba tadi secara personal. Wallahu a’lam..

Semoga Allah Ta'alaa senantiasa menyelamatkan dan membersihkan kita dari harta haram..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..