Minggu, 21 Agustus 2016

DZIKIR YANG PALING DI SUKAI ALLAH YANG MENJADI DZIKIR PARA MALAIKAT

15.58.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..
Berdzikir merupakan salah satu amalan dalam Islam yang dianjurkan. Dengan berdzikir seseorang dapat mengingat dan menjalin sebuah komunikasi dengan penciptanya yaitu Allah SWT. Dengan berdzikir pula maka seseorang telah menjadi seorang hamba yang mencitai Rabb pemilik dirinya.

Tak hanya untuk manusia saja, namun para malaikat pun berdzikir kepada Allah sepanjang waktu. Bahkan ada dzikir yang disukai dan dipilihkan Allah untuk para malaikat. Berdzikir berdasarkan hadist Rasul merupakan peninggi derajat dan lebih baik dari menafkahkan emas dan perak.

“Tidakkah kalian ingin kuberitahu tentang sebaik-baik amalan yang paling suci di sisi Tuhan kalian, paling tinggi menyertai derajat kalian, lebih baik dari menafkahkan emas dan perak, juga lebih baik dari musuh yang membunuh (di antara kalian) lalu kalian membunuhnya?

Para sahabat menjawab “tentu saja, Ya Rasulullah”

Nabi berkata “berdzikir kepada Allah Taala” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Berdzikir yang dilakukan oleh para malaikat telah Allah pilihkan dengan sebaik-baiknya. Hal ini telah dijelaskan dalam hadist Nabi:

“Wahai Rasulullah” Tanya Abu Dzar “Bacaan apakah yang paling disukai oleh Allah SWT?”

Rasulullah bersabda “(ialah) bacaan yang dipilihkan oleh Allah Taala untuk para malaikat yaitu bacaan “Subhana Rabbii wa bihamdihi (Maha suci Tuhanku dan segala puji bagiNya)”

Hadist tersebut berasal dari Abu Dzar Al Ghifari yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam At Tirmidzi dan Imam Ahmad bin Hambal.

Dengan mengetahui dzikir mana yang disukai oleh Allah bahkan dipilihkan untuk para malaikat, sudah sepatutnya bagi kita untuk membasahi lidah ini dengan berbagai dzikir yang mampu menggetarkan hati dan menyadarkan kita akan kebesaranNya. Dengan berdzikir pula semoga Allah selalu menjaga kita dari berbagai hal yang membuat kita terjerumus akan dosa dan maksiat..

"Semoga jadi ilmu dan amalan yang manfaat"

QS, AL-BAQARAH ; 178 "HUKUM QISHASH"

15.37.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum..
Malem Akhie Ukhtie'..

Tadi pagi mpok Dewi menanyakan soal maksud dari kandungan tafsir surat Al Baqarah : 178

Berikut penjabaran nye,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian (melaksanakan hukum) qishash dalam hal pembunuhan; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.

• Pada surat al Baqarah : 178 ini seperti nya ada yang kontras di sini. Ayat sebelumnya (177) berbicara soal kebajikan yang sempurna (al-birr). Tiba-tiba disusul dengan hukum qishash (pelaku kejahatan diperlakukan setimpal dengan kejahatannya). Tapi kalau direnungkan, ini bukanlah pertentangan. Poin pentingnya ialah bahwa dimana ada reward (penghargaan atas kebaikan) di situ juga harusnya ada punishment (hukuman atas kejahatan). Di mana ada hukum yang baik di situ juga seharusnya ada penegak hukum yang adil. Ayat 117 berbicara tentang kriteria penegak hukum yang adil, yang disebut الأبْرَار (al-abrār), sementara ayat 178 ini berbicara soal hukum yang baik. Karena percuma ada hukum yang baik jikalau penegak hukumnya sendiri tidak adil. Selain itu, Allah hendak menunjukkan bahwa kebajikan yang sempurna tidak akan terwujud manakala masyarakat tidak diatur oleh hukum yang benar. Karena tiap perbuatan baik, sesederhana apapun selalu membutuhkan ruang sosial yang kondusif. Tak ada perbuatan yang tidak membutuhkan ruang, karena kita memang makhluk bumi. Di dalam Ilmu Hukum dikenal istilah “ubi societas ibi ius” (dimana ada masyarakat di situ ada hukum). Dan hukum tak cukup sebagai kanopi yang melindungi masyarakat dari perilaku anarkisme dan barbarianisme, tapi juga sekaligus sebagai alat untuk memperbaiki masyarakat (law as a tool of social engineering). Maka hukum qishash bermakna mengkondisikan tatanan sosial agar setiap orang terpeluangi untuk melakukan perbuatan baiknya dan terhalangi melakukan niat jahatnya. Sehingga bangunan masyarakat tumbuh dan berkembang menuju kesempurnaan. Dalam konteks inilah hendaknya difahami seruan ini: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى , hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian (melaksanakan hukum) qishash dalam hal pembunuhan]. Dan penggunaan kata كُتِبَ (kutiba, diwajibkan) di sini seyogyanya membebaskan pembaca dari perdebetan mengenai wajib tidaknya hukum qishaash, karena kata ini juga digunakan berkenaan dengan Puasa Ramadhan (ayat 183). Allah hendak mengesankan, melalui penggunaan kata كُتِبَ (kutiba, diwajibkan) tersebut, bahwa wajibnya (melaksanakan hukum) qishash sama dengan wajibnya Puasa Ramadhan. Mempertanyakan wajibnya hukum qishash sama dengan mempertanyakan wajibnya Puasa Ramadhan. Menolak pelaksanaan hukum qishash sama dengan menolak pelaksanaan Puasa Ramadhan. Maka adalah sangat aneh kalau seseorang itu rajin melakukan Puasa Ramadhan tetapi ogah memberlakukan hukum qishash. Dan pada keduanya memang ada kesamaan prinsip dan filosofis. Puasa Ramadhan mengajak kita kepada kehidupan spiritual; hukum qishash mengajak kita kepada kehidupan sosial. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.”

• Filosofi qishash yang Allah perkenalkan di ayat ini adalah ekuasi, kesamaan, dan kesetaraan perlakuan terhadap seluruh unsur-unsur yang membentuk sebuah bangunan sosial. Artinya, melalui hukum qishash Allah tak hanya bicara soal penegakan hukum yang adil, tapi juga soal susunan masyarakat yang egaliter. Allah hendak meruntuhkan struktur sosial yang dibangun atas dasar feodalisme (kekuasaan politik) dan pavoritisme (kekuasaan ekonomi) seraya memperkenalkan struktur sosial yang dibangun atas dasar iman dan ilmu. Seperti dalam firman-Nya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Qs. 58:11) Sebelum ayat 178 ini turun, seperti dikutip al-Wahidi dan as-Suyuthi di dalam Kitab Asbabun Nuzul-nya masing-masing, apabila terjadi benterok antara dua kelan, maka budak yang terbunuh dari kelan yang lebih besar harus dibalas dengan (menghukum) orang merdeka dari kelan yang lebih kecil; kalau ada wanitanya yang dibunuh maka baru dianggap impas apabila lakil-laki dari kelan pelaku yang dibunuh. Sebaliknya manakala orang merdeka dari kelan yang lebih besar yang membunuh maka cukup menyerahkan budaknya atau wanitanya untuk dihukum. Dapat kita bayangkan betapa buruknya nasib mereka yang kebetulan anggota dari sebuah kelan yang kecil; betapa menyedihkannya masa depan orang-orang yang lemah secara sosial, terutama kaum budak dan perempuan. Maka, melalui hukum qishash, Allah mereformasi sistem sosial yang zalim seperti itu. Hukum qishash ialah: الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى (al-hurru bil-hurri wal-‘abdu bil-‘abdi wal-untsā bil-untsā, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita). Apabila pelaku pembunuhan seorang merdeka—dari manapun asal kelannya—maka yang dihukum (bunuh) adalah pelaku (orang merdeka) tersebut juga, dan tidak boleh digantikan oleh budaknya. Budak yang boleh dihukum (bunuh) hanyalah budak yang bersalah, yang melakukan pembunuhan. Apabila yang membunuh adalah seorang wanita, maka yang harus menerima hukuman adalah pelaku (wanita) tersebut juga. Pendeknya: orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Orang yang bersikap bungkam terhadap hukum qishash ini, Allah samakan dengan orang bisu di dalam perumpamaan berikut ini: “Dan Allah membuat perumpamaan: dua orang lelaki. Yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan (hanya) menjadi beban atas penanggungnya; ke mana saja disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan dan berada di atas jalan yang lurus?” (QS.16:76)


• Tetapi ada kalanya hukum qishash diganti dengan diyat (ganti rugi). Yaitu apabila pihak wali atau keluarga korban bersedia memaafkan pelaku: فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ
, maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)]. Di sini kita melihat humanisme al-Qur’an. Yang perlu di perhatikan di sini akhie ukthie, saat berbicara soal hukum qishash yang oleh sebagian orang dipandang mengerikan, Allah justru menggunakan kata أَخِيهِ (akhĭɦi, saudaranya) untuk wali atau keluarga korban. Melalui penggunaan kata ini, Allah hendak memberikan kesan psikologis kepada pelaku bahwa yang dia bunuh itu sesungguhnya ialah saudaranya sendiri, bukan orang lain. Sehingga seharusnya melahirkan penyesalan yang sedalam-dalamnya, dan berjanji kepada manusia dan Tuhan untuk tidak mengulanginya lagi. Begitu juga, Allah hendak mengesankan bahwa pihak korban kendati telah kehilangan anggota keluarga yang dicintainya akibat ulah pelaku, tetap memandang pelaku sebagai saudaranya sendiri. Walaupun terasa sakit, tetapi dia atau mereka siap membuka pintu maafnya. Dan pemaafan ini, oleh Allah, diminta agar benar-benar muncul dari lubuk hati yang paling dalam, dengan cara yang sebaik-baiknya: بِالْمَعْرُوفِ (bil-ma’rŭfi, dengan cara yang makruf atau baik); bukan dengan niat untuk melakukan balas dendam di belakang hari atau dengan maksud-maksud buruk lainnya. Itu sebabnya keadaan ini hedaknya pula diikuti dengan iktikad baik oleh pelaku. Yaitu menyambut “uluran hati” saudaranya ini dengan “uluran tangan” dalam bentuk diyat (ganti rugi), juga dengan cara yang sebaik-baiknya: بِإِحْسَانٍ (bi-ihsānin, dengan cara yang ihsan atau baik). Berapa besar nilai dari diyat (ganti rugi) ini? Tergantung pada beberapa hal. Misalnya, apakah pembunuhan itu disengaja, mirip disengaja atau tidak disengaja; pembunuhan itu terjadi di dalam bulan-bulan Haram atau di luar; korbannya seorang mukmin atau bukan. Variabel-variabel inilah nantinya yang kemudian menjadikan diyat itu berjenis mughallazhah (berat) atau mukhaffafah (ringan). Nilai dan besaran diyat-nya distandarkan kepada unta dengan berbagai macam variannya (betina, jantan, umur, bunting dan tidak bunting). Masalah ini dibahas secara rinci dalam Hukum Jinayat. “Dan hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS.5 : 49-50)

• Hukum qishash yang diganti dengan diyat adalah bentuk takhfĭf (keringanan) dari Allah dan Rahmat-Nya: ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ (dzālika takhfĭfun min rabbikum wa rahmatun, Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat). Bukankah Allah sendiri menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Pemaaf: إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ(innallāɦa la-’afuwwun ghafŭr, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun) (QS.22:60 dan QS.58:2). Apabila pihak korban menempuh jalan ini (memaafkan), berarti mereka mentransformasi sifat-sifat Ilahiah ke dalam dirinya. Semua manusia pasti menghendaki agar Allah memaafkan segala dosa dan salahnya selama ini, tetapi hanya sedikit yang mau memiliki sifat pemaaf tersebut. Masalahnya, mungkinkah Allah memaafkan segala dosa dan salah kita kalau kita sendiri tidak berhasrat memiliki sifat pemaaf tersebut. Dari sisi pelaku, dia atau mereka hendaknya memandang pemaafan dari pihak korban ini sebagai perwujudan pemaafan dari Allah—karena mekanisme hukum diyat ini memang diatur oleh-Nya. Sehingga menerimanya sebagai rahmat yang tak terkira nilainya. Harapannya, pelaku benar-benar kembali bersimpuh di haribaan-Nya dengan melakukan penyesalan yang sedalam-dalamnya, meminta ampun yang sebanyak-banyaknya, berjanji setulus-tulusnya untuk tidak mengulanginya lagi, dan meminta bimbingan-Nya agar selalu berada di Jalan-Nya yang lurus. “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka (segera) ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS.3:135)

•Lalu bagaimana kalau pelaku di suatu hari nanti kembali melakukan perbuatan yang sama? Allah mengultimatum orang yang seperti itu dengan kalimat yang tegas: فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (famani’tadā ba’da dzālika falaɦu ‘adzābun alĭm, barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih). Artinya, manakala mereka kembali membunuh, maka tidak ada lagi diyat baginya. Perbuatan seperti itu sudah “melampaui batas”. Pelakunya telah menabrak batas toleransi tertinggi dari syariat. Kalau dibiarkan, bukan saja mengancam jiwa banyak orang tetapi mengancam tatanan masyarakat secara keseluruhan. Membunuh satu orang saja sudah sama dengan membunuh seluruh manusia. Lalu bagaimana pula kalau perbuatan ini mereka ulangi lagi. Pengulangan suatu perbuatan (buruk) menunjukkan adanya sifat (buruk) yang tidak berubah. Orang seperti ini bukan lagi rahmat bagi kehidupan tapi “ancaman”. Kehadirannya menjadi “teror” bagi lingkungan sekitarnya. Maka terhadap orang seperti itu, hukum qishash harus ditegakkan. Mereka tidak berhak lagi menikmati fasilitas hidup yang Tuhan siapkan di dunia ini. Ibarat tumor di tangan, kalau tak mempan lagi dengan obat-obatan, cara paling terakhir ialah amputasi. “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS.2:194)


Sedangkan untuk penjelasan dari tafsir surat (Al Baqarah : 200) yang di tanyain Mpok Dewi juga, berikut penjelasan nye..

فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا ۗ فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاق

“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdo’a: ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia,’ dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. (QS. Al-Baqarah: 200)

Pada ayat ini sebenernye Allah hanya memerintahkan hamba-hamba-Nya agar menyuruh banyak berdzikir kepada-Nya seusai menyelesaikan amalan manasik haji. Dan firman-Nya: kadzikrikum aabaa-akum (“Sebagaimana kamu menyebut-nyebut [membangga-banggakan] nenek inoyangmu.”) Para ulama masih berbeda pendapat mengenai makna firman Allah Ta’ala tersebut. Ibnu Juraij meriwayatkan, dari Atha’, ia menuturkan, “Yaitu seperti ucapan seorang anak: “Bapak, Ibu.” Artinya, sebagaimana seorang anak senantiasa mengingat ayah dan ibunya. Demikian juga dengan anda sekalian, berdzikirlah kepada Allah Ta’ala setelah selesai melaksanakan manasik haji.”

Hal yang sama juga dikemukakan oleh adh-Dhahhak, dan Rabi’ bin Anas. Hal senada juga diriwayatkan Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas.

Sa’id bin Jubair meriwayatkan, dari Ibnu Abbas: “Dahulu, ketika masyarakat Jahiliyah berwuquf di musim haji, salah seorang di antara mereka mengatakan, ‘Ayahku suka memberi makan, menanggung beban, dan menanggung diat orang lain.’ Mereka tidak menyebut-nyebut kecuali apa yang pernah dikerjakan bapak-bapak mereka. Kemudian Allah menurunkan kepada Nabi ayat berikut ini: fadz-kurullaaHa kadzikrikum aabaa-akum au asyadda dzikran (“Maka berdzikirlah [dengan menyebut] Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut [membangga-banggakan] nenek moyangmu atau [bahkan] berdzikirlah lebih banyak dari itu.”) Wallahu a’lam. Maksud dari firman ini adalah perintah untuk memperbanyak dzikir kepada Allah swt. Dan kata “au” (atau) dalam ayat itu dimaksudkan untuk menegaskan keserupaan dalam berita, seperti halnya firman Allah: fa Hiya kalhijaarati au asyaddu qaswatun (“Hati kamu itu menjadi keras seperti batu atau bahkan lebih keras lagi.”) (QS. Al-Baqarah: 74). Fa kaana qaaba qausaini au adnaa (“Maka jadilah ia dekat [kepada Muhammad] dua ujung busur panah, atau bahkan lebih dekat lagi.” (QS. An-Najm: 9).

Dengan demikian, kata “atau” di sini bukan menunjukkan keraguan, tetapi untuk menegaskan suatu berita atau (keadaan berita itu) lebih daripada itu. Allah membimbing para hamba-Nya untuk berdo’a kepada-Nya setelah banyak berdzikir kepada-Nya, karena saat itu merupakan waktu terkabulnya do’a. Pada sisi lain, Dia mencela orang-orang yang tidak mau memohon kepada-Nya kecuali untuk urusan dunia semata dan memalingkan diri dari urusan akhiratnya. Allah swt. berfirman: fa minan naasi may yaquulu rabbanaa aatinaa fiddun-yaa wamaa laHuu fil aakhirati min khalaaq (“Maka di antara manusia ada orang yang berdo’a, ‘Ya Rabb kami, berilah kami [kebaikan] di dunia,’ dan tiada baginya bagian [yang menyenangkan] di akhirat.”) Ayat ini mengandung celaan sekaligus pencegahan dari tindakan menyerupai orang yang melakukan hal itu.

Diriwayatkan oleh Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, “Ada suatu kaum dari masyarakat Badui yang datang ke tempat wuquf, lalu mereka berdo’a, Ya Allah, jadikanlah tahun ini sebagai tahun yang banyak turun hujan, tahun kesuburan, dan tahun kelahiran anak yang baik.’” Dan mereka sama sekali tidak menyebutkan urusan akhirat. Maka Allah menurunkan firman-Nya: fa minan naasi may yaquulu rabbanaa aatinaa fiddun-yaa wamaa laHuu fil aakhirati min khalaaq (“Maka di antara manusia ada orang yang berdo’a, ‘Ya Rabb kami, berilah kami [kebaikan] di dunia,’ dan tiada baginya bagian [yang menyenangkan] di akhirat.”)

Setelah mereka datanglah orang-orang yang beriman, dan mereka mengucapkan: rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw waqinaa ‘adzaaban naar (“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari adzab api neraka.”) Lalu Allah swt. menurunkan firman-Nya: ulaa-ika nashiibum mimmaa kasabuu wallaaHu sarii’ul hisaab (“Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian apa yang mereka usahakan, dan Allah sangat cepat hisab-Nya.”)

Oleh karena itu, Allah Ta’ala memuji orang-orang yang memohon kebaikan dunia dan akhirat kepada-Nya. Dia berfirman: wa minHum may yaquulu rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanataw wa fil aakhirati hasanataw waqinaa ‘adzaaban naar (“Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari adzab api neraka.”) Do’a ini meliputi berbagai kebaikan di dunia dan menjauhkan segala kejahatan. Kebaikan di dunia mencakup segala permintaan yang bersifat duniawi, berupa kesehatan, rumah yang luas, isteri yang`cantik, rizki yang melimpah, ilmu yang bermanfaat, amal shalih, kendaraan yang nyaman, pujian, dan lain sebagainya yang tercakup dalam ungkapan para mufassir, dan di antara semuanya itu tidak ada pertentangan, karena semuanya itu termasuk ke dalam kategori kebaikan dunia.

Sedangkan mengenai kebaikan di akhirat, maka yang tertinggi adalah masuk surga dan segala cakupannya berupa rasa aman dari ketakutan yang sangat dahsyat, kemudahan hisab, dan berbagai kebaikan urusan akhirat lainnya. Sedangkan keselamatan dari api neraka, berarti juga kemudahan dari berbagai faktor penyebabnya di dunia, yaitu berupa perlindungan dari berbagai larangan dan dosa, terhindar dari berbagai syubhat dan hal-hal yang haram.

Al-Qasim Abu Abdur Rahman mengatakan, “Barangsiapa dianugerahi hati yang suka bersyukur, lisan yang senantiasa berdzikir, dan diri yang sabar, berarti ia telah diberikan kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta dilindungi dari adzab neraka. Oleh karena itu, sunnah Rasulullah menganjurkan do’a tersebut di atas.”

Al-Bukhari meriwayatkan dari Mu’ammar, dari Anas bin Malik, katanya, Rasulullah pernah berdo’a: “Ya Allah, ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta peliharalah kami dari adzab neraka.”

Dan Anas bin Malik sendiri jika hendak berdo’a, ia selalu membaca do’a itu, atau ia menyisipkan do’a itu dalam do’anya yang lain. Dan diriwayatkan oleh Muslim, (yaitu perkataan Anas.-Pent.) “Jika Allah mendatangkan kebaikan kepada kalian di dunia dan kebaikan di akhirat serta melindungi kalian dari adzab neraka, berarti Dia telah memberikan seluruh kebaikan kepada kalian.”

Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas: “Rasulullah saw. pernah menjenguk seorang muslim yang sudah sangat lemah seperti anak burung, lalu beliau bertanya kepadanya: ‘Apakah engkau berdo’a kepada Allah atau memohon sesuatu kepada-Nya?’ Ia menjawab: ‘Ya, aku mengucapkan: Ya Allah jika Engkau menetapkan siksaan kepadaku di akhirat, timpakan saja kepadaku lebih awal di dunia.’ Maka Rasulullah bersabda: ‘Subhanallah, engkau tidak akan kuat atau tidak akan sanggup menerimanya. Mengapa engkau tidak mengucapkan, ‘Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari adzab api neraka.’ Maka ia pun memanjatkan doa tersebut kepada Allah, dan Allah pun menyembuhkannya.’” (Hadits ini hanya disebutkan oleh Muslim dengan ia meriwayatkannya dari Ibnu Abi Adi)

Imam Syafi’i meriwayatkan dari Abdullah bin Sa’ib, bahwasanya ia pernah mendengar Nabi mengucapkan (di sisi Ka’bah) di antara rukun (pojok), Bani Jamh (rukun Yamani) dan rukun Aswad (Hajar Aswad): “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari adzab api neraka.” sanad hadits ini dha’if (lemah). Wallahu a’lam.

Dalam kitab Mustadrak, al-Hakim meriwayatkan, dari Sa’id bin Jubair, ia menceritakan, ada seseorang yang datang kepada Ibnu Abbas seraya berkata, “Sesungguhnya aku membayar suatu kaum agar membawaku dan dengan upah itu aku meminta mereka agar mendo’akanku, dan aku berhaji bersama mereka, apakah hal itu berpahala?” Maka Ibnu Abbas menjawab: “Engkau termasuk orang-orang yang dikatakan Allah Ta’ala: ulaa-ika nashiibum mimmaa kasabuu wallaaHu sarii’ul hisaab (“Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian apa yang mereka usahakan, dan Allah sangat cepat hisab-Nya.”)

Kemudian al-Hakim mengatakan: “Hadits ini shahih menurut persyaratan al-Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak meriwayatkannya.”

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

DOA TERBAIK RASULULLAH SAW YANG SERING DI BACA BELIAU DI PAGI & PETANG

15.20.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..

Akhie Ukhtie, Doa menjadi sebuah kekuatan bagi seorang muslim dan doa pula telah dianjurkan oleh Allah sebagai bentuk kebutuhan diri kepada-Nya.

Sesungguhnya setiap orang bebas memanjatkan doa apa saja dan dengan bahasa apa saja karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Meskipun begitu, Rasulullah selalu merutinkan sebuah dosa yang ia panjatkan setiap pagi dan petang.

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkan doa ini, entah di pagi hari ataupun di sore atau petang.

اللهم إني أسألك العافية في الدنيا والآخرة اللهم إني أسألك العفو والعافية في ديني ودنياي وأهلي ومالي

(Allahumma inni as-alukal 'afiyah fiddunya wal akhiroh. Allahumma inni as-alukal 'afwa wal 'afiyah fi diniy wa dunyaya wa ahliy wa maliy)

"Ya Allah aku memohon kepada-Mu keselamatan baik di dunia dan akherat, Ya Allah aku memohon kepada-Mu ampunan, juga keselamatan dalam agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku”.

Sementara dalam hadist riwayat Tirmidzi, Muadz bin Rifa’ah menyebutkan bahwa bahwa suatu hari Abu Bakar berdiri di atas mimbar dan kemudian menangis serta berkata: Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdiri di atas mimbar pada hijrah yang pertama. Setelah itu beliau menangis dan bersabda: “Mintalah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala ampunan (afwa) dan keselamatan (afiyah). Sesungguhnya seseorang tidak diberikan sesuatu setelah keyakinan (iman) yang lebih baik dari keselamatan (afiyah).

Adapun teks doa yang dibacakan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘Anhu yakni,

"اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ"

Allahumma inni as-alukal 'afwa wal 'afiyah.

Secara bahasa, afiyat memiliki arti perlindungan dari Allah bagi hambaNya atas segala macam tipu daya dan bencana.

Dalam hadist lain diterangkan juga tentang keutamaan dari doa tersebut bagi seorang hamba, sebagaimana hadist dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu.

Sesungguhnya Rasulullah bersabda:
 “Tidak ada doa yang dipanjatkan oleh seorang hamba yang lebih baik dari ‘Ya Allah aku memohon kepadamu afiyat di dunia dan akhirat.” (HR Ibnu Majah)

Sementara dalam hadist dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda:
“Doa diantara adzan dan iqomah tidak akan ditolak.” Para sahabat kemudian bertanya: “Lantas doa apakah yang harus kami ucapkan Ya Rasulullah?” Rasulullah kemudian menjawab: “Mintalah afiyat/ keselamatan di dunia dan akhirat.” (HR Tirmidzi)

"Semoga jadi ilmu manfaat"

KALIMAT DZIKIR YANG BISA MEMBUAT MALAIKAT BINGUNG UNTUK MENCATAT PAHALANYA

15.12.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..

Akhie Ukhtie, Dzikir merupakan salah satu cara untuk bisa berkomunikasi dengan Allah. Banyak keterangan yang menyebutkan bahwa dengan dzikir, hati menjadi tenang. Tak hanya itu saja, dzikir bisa berbuah pahala yang banyak dan tidak terhingga.

Namun ternyata dalam suatu riwayat terdapat sebuah kalimat dzikir yang membuat malaikat kebingungan untuk mencatat berapa pahala yang harus didapatkan oleh mukmin tersebut. Dengan kata lain hal ini menunjukkan bahwa dzikir tersebut memiliki keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dzikir-dzikir yang lain.

Dzikir yang dimaksud adalah terdapat dalam riwayat Ibnu Majah yang berbunyi:

يَا رَبِّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِى لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَلِعَظِيمِ سُلْطَانِكَ

YA RABBA LAKAL HAMDU KAMAA YAMBAGHII LIJALAALI WAJHIKA WALI’ADZIIMI SULTHOONIKA

Artinya:
“Ya Rabbi, bagiMu segala puji sebagaimana seyogyanya, bagi kemuliaan wajahMu dan keagungan kekuasaanMu”

Dalam hadist itu pula diceritakan bagaimana dua malaikat kebingungan ketika mendapati seorang muslim mengucapkan dzikir tersebut. Keduanya pun segera melapor kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa mereka tidak tahu bagaimana menulis pahala untuk dzikir tersebut.

Allah Ta’ala kemudian bertanya kepada kedua malaikat meski ia sebenarnya telah tahu tentang apa yang diucapkan oleh muslim tersebut. Setelah itu Allah Ta’ala memberikan keputusanNya.

“Tulislah sebagaimana yang diucapkan oleh hamba-Ku itu hingga kelak ia berjumpa dengan-Ku dan Aku sendiri yang akan memberikan ganjaran kepadanya.”

Berikut adalah kelengkapan hadist yang menceritakan tentang dzikir yang membuat bingung para malaikat tersebut.

أَنَّ عَبْدًا مِنْ عِبَادِ اللَّهِ قَالَ يَا رَبِّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِى لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَلِعَظِيمِ سُلْطَانِكَ فَعَضَّلَتْ بِالْمَلَكَيْنِ فَلَمْ يَدْرِيَا كَيْفَ يَكْتُبَانِهَا فَصَعِدَا إِلَى السَّمَاءِ وَقَالاَ يَا رَبَّنَا إِنَّ عَبْدَكَ قَدْ قَالَ مَقَالَةً لاَ نَدْرِى كَيْفَ نَكْتُبُهَا. قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَا قَالَ عَبْدُهُ مَاذَا قَالَ عَبْدِى قَالاَ يَا رَبِّ إِنَّهُ قَالَ يَا رَبِّ لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِى لِجَلاَلِ وَجْهِكَ وَعَظِيمِ سُلْطَانِكَ. فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمَا اكْتُبَاهَا كَمَا قَالَ عَبْدِى حَتَّى يَلْقَانِى فَأَجْزِيَهُ بِهَا

Bahwasanya seorang hamba dari hamba-hamba Allah mengucapkan ‘Ya Rabbi lakal hamdu kamaa yanbaghii lijalaali wajhika wa ‘adhiimi sulthaanik’. Maka dua malaikat pun kesulitan dan tidak mengetahui bagaimana mencatat (ganjaran kalimat) itu. Maka mereka pun naik ke langit dan berkata: “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya hambaMu telah mengucapkan kalimat yang kami tidak mengetahui bagaimana mencatat (ganjarannya). Allah Azza wa Jalla bertanya padahal Dia telah mengetahui apa yang diucapkan hambaNya itu, “Apa yang diucapkan hambaKu?” Kedua malaikat itu menjawab, “Wahai Tuhan, sesungguhnya ia mengucapkan ‘Ya Rabbi lakal hamdu kamaa yanbaghii lijalaali wajhika wa ‘adhiimi sulthaanik.’ Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman kepada kedua malaikat tersebut, “Tulislah baginya sebagaimana kalimat hambaKu itu hingga ia berjumpa denganKu dan Aku yang akan memberikan ganjaran kepadanya.” (HR. Ibnu Majah).

Allahu Akbar, betapa kalimat dzikir yang pendek dan mudah dihafal tersebut memiliki keutamaan yang sangat besar hingga malaikat sulit untuk menuliskan pahalanya dan Allah langsung yang membalasnya..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

KEUTAMAAN SURAT AL IKHLAS

14.39.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ {1} اللَّهُ الصَّمَدُ {2} لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ {3} وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ {4}‏

Katakanlah :
(1).Dialah Allah, Yang Maha Esa.
(2).Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu.
(3).Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,
(4).dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.

FADHILAH SURAT AL IKHLASH SECARA UMUM

1. Hadits A’isyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ بَعَثَ رَجُلاً عَلَى سَرِيَّةٍ، وَكَانَ يَقْرَأُ لأَصْحَابِهِ فِي صَلاَتِهِ، فَيَخْتِمُ بِـ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، فَلَمَّا رَجَعُوا، ذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ ، فَقَالَ: ((سَلُوْهُ، لأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ؟))، فَسَأَلُوْهُ، فَقَالَ: لأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ، وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ : ((أَخْبِرُوْهُ أَنَّ اللهَ يُحِبُّهُ)).

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada sekelompok pasukan, dan ketika orang itu mengimami yang lainnya di dalam shalatnya, ia membaca, dan mengakhiri (bacaannya) dengan قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ, maka tatkala mereka kembali pulang, mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau pun bersabda: “Tanyalah ia, mengapa ia berbuat demikian?” Lalu mereka bertanya kepadanya. Ia pun menjawab: “Karena surat ini (mengandung) sifat ar Rahman, dan aku mencintai untuk membaca surat ini,” lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Beritahu dia, sesungguhnya Allah pun mencintainya”.

2. Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

كَانَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ، وَكَانَ كُلَّمَا اِفْتَتَحَ سُوْرَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِي الصَّلاَةِ مِمَّا يَقْرَأُ بِهِ، اِفْتَتَحَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، حَتَّى يَفْرَغَ مِنْهَا. ثُمَّ يَقْرَأُ سُوْرَةً أُخْرَى مَعَهَا، وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ. فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ، فَقَالُوا: إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّوْرَةِ، ثُمَّ لاَ تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى، فَإِمَّا تَقْرَأُ بِهَا، وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى. فَقَالَ: مَا أَنَا بِتَارِكِهَا، إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ، وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ. وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ، وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ. فَلَمَّا أَتَاهُمْ النَّبِيُّ n أَخْبَرُوْهُ الخَبَرَ، فَقَالَ: ((يَا فُلاَنُ، مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ؟ وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُوْمِ هَذِهِ السُّوْرَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ؟)) فَقَالَ: إِنِّي أُحِبُّهَا، فَقَالَ: ((حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَـنَّةَ)).

“Seseorang (sahabat) dari al Anshar mengimami (shalat) mereka (para shahabat lainnya) di Masjid Quba. Setiap ia membuka bacaan (di dalam shalatnya), ia membaca sebuah surat dari surat-surat (lainnya) yang ia (selalu) membacanya. Ia membuka bacaan surat di dalam shalatnya dengan قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ, sampai ia selesai membacanya, kemudian ia lanjutkan dengan membaca surat lainnya bersamanya. Ia pun melakukan hal demikan itu di setiap raka’at (shalat)nya. (Akhirnya) para sahabat lainnya berbicara kepadanya, mereka berkata: “Sesungguhnya engkau membuka bacaanmu dengan surat ini, kemudian engkau tidak menganggap hal itu telah cukup bagimu sampai (engkau pun) membaca surat lainnya. Maka, (jika engkau ingin membacanya) bacalah surat itu (saja), atau engkau tidak membacanya dan engkau (hanya boleh) membaca surat lainnya”. Ia berkata: “Aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian suka untuk aku imami kalian dengannya, maka aku lakukan. Namun, jika kalian tidak suka, aku tinggalkan kalian,” dan mereka telah menganggapnya orang yang paling utama di antara mereka, sehingga mereka pun tidak suka jika yang mengimami (shalat) mereka adalah orang selainnya. Sehingga tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka, maka mereka pun menceritakan kabar (tentang itu), lalu ia (Nabi) bersabda: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan sesuatu yang telah diperintahkan para sahabatmu? Dan apa pula yang membuatmu selalu membaca surat ini di setiap raka’at (shalat)?” Dia menjawab,”Sesungguhnya aku mencintai surat ini,” lalu Rasulullah n bersabda: “Cintamu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga”.

HADITS YANG MENJELASKAN SURAT AL IKHLASH SEBANDING DENGAN SEPERTIGA AL QUR`AN

1. Hadits Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَنَّ رَجُلاً سَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ يُرَدِّدُهَا، فَلَمَّا أَصْبَحَ جَاءَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، وَكَأَنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : ((وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ.

“Sesungguhnya seseorang mendengar orang lain membaca قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ dengan mengulang-ulangnya, maka tatkala pagi harinya, ia mendatangi Rasulullah n dan menceritakan hal itu kepadanya, dan seolah-olah orang itu menganggap remeh surat itu, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya surat itu sebanding dengan sepertiga al Qur`an”.

2. Hadits Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu ‘anhu pula, ia berkata:

قَالَ النَّبِيُّ لأَصْحَابِهِ: ((أَيُـعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ ثُلُثَ القُرْآنِ فِي لَيْلَةٍ))، فَـشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ، وَقَالُوا: أَيُّـنَا يُطِيْقُ ذَلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: ((اللهُ الوَاحِدُ الصَّمَدُ، ثُلُثُ القُرْآنِ)).

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya: “Apakah seseorang dari kalian tidak mampu membaca sepertiga al Qur`an dalam satu malam (saja)?” Hal itu membuat mereka keberatan, (sehingga) mereka pun berkata: “Siapa di antara kami yang mampu melalukan hal itu, wahai Rasulullah?” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allahul Wahidush Shamad (surat al Ikhlash, Red), (adalah) sepertiga al Qur`an”.

3. Hadits Abu ad Darda` Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: ((أَيَـعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِي لَيْلَةٍ ثُلُثَ القُرْآنِ؟))، قَالُوْا: وَكَيْفَ يَقْرَأُ ثُلُثَ القُرْآنِ؟ قَالَ: ((قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ)).

“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda: “Apakah seseorang dari kalian tidak mampu membaca dalam satu malam (saja) sepertiga al Qur`an?” Mereka pun berkata: “Dan siapa (di antara kami) yang mampu membaca sepertiga al Qur`an (dalam satu malam, Red)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ sebanding dengan sepertiga al Qur`an.”

4. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : ((اِحْشِدُوْا فَإِنِّي سَأَقْرَأُ عَلَيْكُمْ ثُلُثَ القُرْآنِ))، فَحَشَدَ مَنْ حَشَدَ، ثُمَّ خَرَجَ نَبِيُّ اللهِ فَقَرَأَ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، ثُمَّ دَخَلَ، فَقَالَ بَعْضُنَا لِبَعْضٍ: إِنِّي أَرَى هَذَا خَبَرٌ جَاءَهُ مِنَ السَّمَاءِ، فَذَاكَ الَّذِي أَدْخَلَهُ، ثُمَّ خَرَجَ نَبِيُّ اللهِ فَقَالَ: ((إِنِّي قُلْتُ لَكُمْ سَأَقْرَأُ عَلَيْكُمْ ثُلُثَ القُرْآنِ، أَلاَ إِنَّهَا تَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ)).

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berkumpullah kalian, karena sesungguhnya aku akan membacakan kepada kalian sepertiga al Qur`an,” maka berkumpullah orang yang berkumpul, kemudian Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa asllam keluar dan membaca قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ (surat al Ikhlash, Red), kemudian beliau masuk (kembali). Maka sebagian dari kami berkata kepada sebagian yang lain: “Sesungguhnya aku menganggap hal ini kabar (yang datang) dari langit, maka itulah pula yang membuat beliau masuk (kembali),” lalu Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan bersabda: “Sesungguhnya aku telah berkata kepada kalian akan membacakan sepertiga al Qur`an. Ketahuilah, sesungguhnya surat itu sebanding dengan sepertiga al Qur`an”.

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, seperti hadits Abu Ayyub al Anshari Radhiyallahu ‘anhu, Abu Mas’ud al Anshari Radhiyallahu ‘anhu, dan lain-lain.

MEMBACA SURAT AL IKHLASH DAPAT MENJADI PENYEBAB MASUK SURGA

1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَقْبَلْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ، فَسَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : ((وَجَبَتْ))، قُلْتُ: وَمَا وَجَبَتْ؟ قَالَ: ((الجَـنَّةُ)).

“Aku datang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mendengar seseorang membaca:

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Telah wajib,” aku bertanya: “Apa yang wajib?” Beliau bersabda, “(Telah wajib baginya) surga.”

SURAT AL IKHLASH -DENGAN IZIN ALLAH MELINDUNGI ORANG YANG MEMBACANYA, JIKA DIBACA BERSAMA SURAT AL FALAQ DAN AN NAAS

1. Hadits Uqbah bin ‘Amir al Juhani Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

بَيْنَا أَنَا أَقُوْدُ بِرَسُوْلِ اللهِ رَاحِلَتَهُ فِي غَزْوَةٍ، إِذْ قَالَ: ((يَا عُقْبَةُ، قُلْ!))، فَاسْتَمَعْتُ، ثُمَّ قَالَ: ((يَا عُقْبَةُ، قُلْ!))، فَاسْتَمَعْتُ، فَقَالَهَا الثَّالِثَةَ، فَقُلْتُ: مَا أَقُوْلُ؟ فَقَالَ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ فَقَرَأَ السُّوْرَةَ حَتَّى خَتَمَهَا، ثُمَّ قَرَأَ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الفَلَقِ، وَقَرَأْتُ مَعَهُ حَتَّى خَتَمَهَا، ثُمَّ قَرَأَ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ، فَقَرَأْتُ مَعَهُ حَتَّى خَتَمَهَا، ثُمَّ قَالَ: ((مَا تَعَوَّذَ بِمِثْلِهِنَّ أَحَدٌ)).

“Tatkala aku menuntun kendaraan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah peperangan, tiba-tiba beliau berkata: “Wahai Uqbah, katakana,” aku pun mendengarkan, kemudian beliau berkata (lagi): “Wahai Uqbah, katakana,” aku pun mendengarkan. Dan beliau mengatakannya sampai tiga kali, lalu aku bertanya: “Apa yang aku katakan?” Beliau pun bersabda: “Katakan قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ”, lalu beliau membacanya sampai selesai. Kemudian beliau membaca قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّالفَلَقِ, aku pun membacanya bersamanya hingga selesai. Kemudian beliau membaca قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ, aku pun membacanya bersamanya hingga selesai. Kemudian beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun yang berlindung (dari segala keburukan) seperti orang orang yang berlindung dengannya (tiga surat) tersebut”.

KEUTAMAAN SURAT AL IKHLASH, JIKA DIBACA BERSAMA SURAT AL FALAQ DAN AN NAAS KETIKA SESEORANG HENDAK TIDUR

1. Hadits A’isyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ، ثُمَّ نَفَثَ فِيْهِمَا، فَقَرَأَ فِيْهِمَا قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الفَلَقِ، وَ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الـنَّاسِ، ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ، يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ، يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.

Sesungguhnya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin merebahkan tubuhnya (tidur) di tempat tidurnya setiap malam, beliau mengumpulkan ke dua telapak tangannya, kemudian beliau sedikit meludah padanya sambil membaca surat “Qul Huwallahu Ahad” dan “Qul A’udzu bi Rabbin Naas” dan “Qul A’udzu bi Rabbil Falaq,” kemudian (setelah itu) beliau mengusapkan ke dua telapak tangannya ke seluruh tubuhnya yang dapat beliau jangkau. Beliau memulainya dari kepalanya, wajahnya, dan bagian depan tubuhnya. Beliau melakukannya sebanyak tiga kali.

ORANG YANG BERDOA DENGAN MAKNA SURAT AL IKHLASH INI, IA AKAN DIAMPUNI DOSA-DOSANYA DENGAN IZIN ALLAH

1. Hadits Mihjan bin al Adru’ Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ دَخَلَ المَسْجِدَ، إِذَا رَجُلٌ قَدْ قَضَى صَلاَتَهُ وَهُوَ يَتَشَهَّدُ، فَقَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ يَا اَللهُ بِأَنَّكَ الوَاحِدُ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ، أَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوْبِي، إِنَّكَ أَنْتَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : ((قَدْ غُفِرَ لَهُ))، ثَلاَثاً.

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid, tiba-tiba (ada) seseorang yang telah selesai dari shalatnya, dan ia sedang bertasyahhud, lalu ia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta (kepadaMu) bahwa sesungguhnya Engkau (adalah) Yang Maha Esa, Yang bergantung (kepadaMu) segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara denganNya, ampunilah dosa-dosaku, (karena) sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh ia telah diampuni (dosa-dosanya),” beliau mengatakannya sebanyak tiga kali.

2. Hadits Buraidah bin al Hushaib al Aslami Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ سَمِعَ رَجُلاً يَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ أَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ، فَقَالَ: ((لَقَدْ سَأَلْتَ اللهَ بِالاِسْمِ الَّذِي إِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى، وَإِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ)).

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu, bahwa diriku bersaksi sesungguhnya Engkau (adalah) Allah yang tidak ada ilah yang haq disembah kecuali Engkau Yang Maha Esa, Yang bergantung (kepadaMu) segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara denganNya,” kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dirimu telah meminta kepada Allah dengan namaNya, yang jika Ia dimintai dengannya (pasti akan) memberi, dan jika Ia diseru dengannya, (pasti akan) mengabulkannya”.

Demikian sebagian hadits-hadits shahih yang menerangkan keutamaan-keutamaan surat al Ikhlash yang mulia ini. Dan masih banyak hadits-hadits lainnya yang menerangkan keutamaan-keutamaan surat ini, namun kebanyakan dha’if (lemah), atau bahkan maudhu’ (palsu). Sehingga, cukuplah bagi kita hadits-hadits yang shahih saja tanpa hadits-hadits yang dha’if, terlebih lagi yang maudhu’.

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"