Senin, 09 Januari 2017

APA ITU SHALAT AWWABIN?

16.42.00 Posted by Admin No comments


Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Apa yang dimaksud shalat awwabin? Mungkin kita pernah mendengar dari sebagian orang yang menyebutnya, namun barangkali belum tahu maksudnya.

Shalat awwabin bisa ditujukan pada dua maksud:

Pertama: Shalat Awwabin adalah shalat Dhuha

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ، وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ

“Tidaklah menjaga shalat sunnah Dhuha melainkan awwab (orang yang kembali taat). Inilah shalat awwabin.” (HR. Ibnu Khuzaimah, dihasankan oleh Syech Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib 1: 164).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Awwab adalah muthii’ (orang yang taat). Ada pula ulama yang mengatakan bahwa maknanya adalah orang yang kembali taat” (Syarh Shahih Muslim 6: 30).

Kedua: Shalat Awwabin adalah shalat sunnah enam raka’at setelah maghrib.

Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى سِتَّ رَكَعَاتٍ بَعْدَ الْمَغْرِبِ لَمْ يَتَكَلَّمْ بَيْنَهُنَّ بِسُوءٍ عُدِلَتْ لَهُ عِبَادَةَ اثْنَتَىْ عَشْرَةَ سَنَةً

“Siapa yang shalat enam raka’at ba’da Maghrib, dan ia tidak berbicara kejelekan di antaranya, maka ia dicatat seperti ibadah 12 tahun.” (HR. Ibnu Majah no.1167, Tirmidzi no.435. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if jiddan. Syech Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dha’if jiddan)

Al Mawardi mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tersebut dan mengatakan,

هَذِهِ صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ

“Ini adalah shalat awwabin.” (HR. Ibnu Abidin, 1: 453. Imam Asy Syaukani mengatakan bahwa hadits ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi bahwa hadits ini terdapat perawi yang tidak diketahui).

Kalau kita telusuri, ternyata hadits yang membicarakan shalat awwabin untuk shalat sunnah antara Maghrib dan Isya itu dha’if dari sisi periwayatan hadits. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih melakukan shalat antara Maghrib dan Isya.

Dari Hudzaifah, ia berkata,

جِئْتُ النبي صلى الله عليه وسلم فَصَلَّيْتُ مَعَهُ الْمَغْرِبَ ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَامَ يُصَلِّي ، فَلَمْ يَزَلْ يُصَلِّي حَتَّى صَلَّى الْعِشَاءَ

“Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku melaksanakan shalat bersama beliau yaitu shalat Maghrib. Setelah selesai shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu melaksanakan shalat lagi (shalat sunnah). Beliau terus menerus shalat hingga datang shalat Isya.”

Juga ada pemahaman dari sebagian sahabat mengenai shalat antara Maghrib dan Isya. Mengenai firman Allah Ta’ala,

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa² rezki yang Kami berikan.” (QS. As Sajdah: 16).

Disebutkan, “Mereka (sifat orang shalih) melaksanakan shalat sunnah.” Yang dimaksud di sini adalah shalat sunnah antara Maghrib dan Isya. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri menafsirkan ayat itu dengan menyatakan, mereka melakukan shalat malam.
(HR. Abu Daud no.1321. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syech Al Albani berpendapat bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Mardawaih dalam tafsirnya, dari Anas radhiyallahu ‘anhu berpendapat mengenai ayat di atas, mereka melakukan shalat (sunnah) antara Maghrib dan Isya. Al Iraqi mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid, sebagaimana dinukil dari Aunul Ma’bud.

Imam Asy Syaukani dalam Nail Al Authar (3: 68) berkata, “Ayat dan hadits yang disebutkan dalam bab menyebutkan akan disyari’atkannya memperbanyak shalat (sunnah) antara Maghrib dan Isya. Hadits² yang ada walaupun dha’if namun bisa menguatkan satu dan lainnya. Apalagi hadits tersebut membicarakan tentang fadhilah amal. Al Iraqi berkata bahwa ada sahabat yang melakukan shalat antara Maghrib dan Isya yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Amr, Salman Al Farisi, Ibnu Umar, Anas bin Malik dan beberapa kalangan Anshar. Dari kalangan tabi’in, ada juga yang berpendapat seperti itu, contohnya Al Aswad bin Yazid, Abu Utsman An Nahdi, Ibnu Abi Mulaikah, Sa’id bin Jubair, Muhammad bin Al Munkadir, Abu Hatim, Abdullah bin Sakhbarah, Ali bin Al Husain, Abu Abdirrahman Al Habli, Syuraih Al Qadhi, Abdullah bin Mughaffal dan selain mereka. Sedangkan dari kalangan ulama setelah itu ada Sufyan Ats Tsauri.”

Dari kalangan ulama Syafi’iyah, mereka bersendirian mengatakan bahwa shalat awwabin adalah shalat sunnah antara shalat Maghrib dan shalat Isya. Shalat tersebut dinamakan pula shalat ghaflah. Karena shalat tersebut dilakukan saat orang² ghaflah (lalai), kebanyakan orang di waktu tersebut disibukkan dengan makan malam, tidur, dan lainnya. Ulama Syafi’iyah berpandangan bahwa jumlah raka’at shalat tersebut adalah 20 raka’at. Dalam pendapat lainnya disebutkan hanya enam raka’at. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah 27: 135).

Jadi kesimpulannya, shalat awwabin adalah shalat dhuha. Bisa juga shalat awwabin dimaksudkan untuk shalat sunnah antara Maghrib dan Isya menurut sebagian ulama. Kalau membicarakan dengan jumlah raka’at tertentu (seperti enam raka’at), haditsnya lemah. Namun kalau tanpa menetapkan batasan raka’at, maka ada contohnya.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Saadad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

SHALAT DHUHA PEMBUKA PINTU REZEKI

16.36.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Apakah benar shalat Dhuha itu pembuka pintu rezeki?

Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghathafaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لاَ تَعْجِزْ عَنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ

“Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.”
(HR. Ahmad 5: 286, Abu Daud no.1289, At Tirmidzi no.475, Ad Darimi no.1451. Syech Al Albani dan Syech Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Uqbah bin Amir Al Juhani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ‎shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَا ابْنَ آدَمَ اكْفِنِى أَوَّلَ النَّهَارِ بِأَرْبَعِ رَكَعَاتٍ أَكْفِكَ بِهِنَّ آخِرَ يَوْمِكَ

“Sesungguhnya Allah berfirman: “Wahai ‎anak adam, laksanakan untuk-Ku 4 rakaat di awal siang, Aku akan cukupi ‎dirimu dengan shalat itu di akhir harimu.”
(HR. Ahmad 4: 153. Syech Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih. Perawinya tsiqah termasuk dalam jajaran perawi kitab shahih kecuali Nu’aim bin Himar termasuk dalam perawi Abu Daud dan An Nasa’i).‎

Al ‘Azhim Abadi menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu.” (‘Aun Al Ma’bud 4: 118)

At Thibiy berkata, “Yaitu  engkau akan diberi kecukupan dalam kesibukan dan urusanmu, serta akan dihilangkan dari hal² yang tidak disukai setelah engkau shalat hingga akhir siang. Yang dimaksud, selesaikanlah urusanmu dengan beribadah pada Allah di awal siang (di waktu Dhuha), maka Allah akan mudahkan urusanmu di akhir siang.” (Tuhfah Al Ahwadzi 2: 478).

Al Munawi dalam Faidh Al Qadir (4: 615) menjelaskan maksud kalimat, akan dicukupi di akhirnya adalah akan diselamatkan dari cobaan dan musibah di akhir siang.

Empat raka’at yang dimaksud di atas menurut penjelasan para ulama, bisa jadi termasuk dalam shalat Dhuha empat raka’at, bisa jadi maksudnya adalah shalat qabliyah shubuh dua raka’at dan shalat Shubuh dua raka’at.

Jadi apa kesimpulannya'?

Kalau kita lihat maksud hadits dari penjelasan para ulama bahwa Allah akan mencukupinya, tidak ditunjukkan bahwa shalat dhuha jadi pembuka pintu rezeki. Namun tetap setiap amalan shalih memang jadi pembuka pintu rezeki karena amalan shalih adalah bentuk taqwa. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath Thalaq: 2-3)

Akan tetapi, jika dimaksud dengan dilaksanakannya shalat Dhuha hanya semata-mata untuk menambah rezeki dunia, tanpa ingin pahala atau balasan di sisi Allah, maka akan terancam dengan ayat berikut,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat.”
(QS. Asy Syuraa: 20)

Silakan direnungkan, apakah niatan shalat Dhuha lillah (karena Allah), atau hanya ingin cari dunia.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Saadad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..