Minggu, 14 Agustus 2016

APAKAH TIDUR MEMBATALKAN WUDHU

02.35.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..

Ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini;

• Tidur bukan termasuk pembatal wudhu.
• Tidur termasuk pembatal wudhu.
• Tidur merupakan sebab kemungkinan besar terjadinya pembatal wudhu, sehingga ada yang membatalkan wudhu dan ada yang tidak batal.

Pendapat pertama, Tidur bukan termasuk pembatal wudhu

Pendapat ini dinukil dari beberapa sahabat dan tabiin, seperti Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dan Said bin Musayib. Diantara alasan pendapat ini,

1. Keterangan sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

أن الصحابة رضي الله عنهم كانوا ينتظرون العشاء على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى تخفق رؤوسهم ثم يصلون ولا يتوضؤون

Para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka menunggu shalat isya di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepala mereka ngantuk dan kepala tertunduk. Kemudian mereka shalat jamaah dan mereka tidak mengulangi wudhu. (HR. Abu Daud 200 dan dishahihkan Al-Albani)

Dalam riwayat Al-Bazzar terdapat tambahan,

يضعون جنوبهم

“Mereka bertelekan”

2. Bahwa tidur itu sendiri bukan pembatal wudhu. Hanya saja dikhawatirkan dengan tidur orang akan melakukan hadas dan dia tidak merasa. Artinya, munculnya hadats statusnya meragukan. Dan sesuatu yang meragukan tidak bisa menggugurkan yang yakin.

Pendapat kedua, tidur termasuk pembatal wudhu

Semua tidur baik sebentar maupun lama, dengan posisi apapun. Selagi telah hilang kesadaran karena tertidur, maka wudhunya batal. Ini merupakan pendapat sebagian sahabat dan tabiin, dan pendapat yang dipilih oleh Ishaq bin rahuyah, Al-Muzani, Hasan Al-bashri, Ibnu Mundzir, Abu Ubaid Al-Qosim bin Sallam dan Ibn Hazm. Diantara dalil pendapat ini,

Hadis Shafwan bin ‘Asal radhiyallahu ‘anhu,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرنا إذا كنا على سفرا أن لا ننزع خفافنا ثلاثة أيام ولياليهن إلا من جنابة ولكن من غائط وبول ونوم

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami apabila dalam perjalanan, agar tidak melepaskan sepatu kami selama 3 hari 3 malam, kecuali jika karena junub. Kami tidak perlu melepas ketika wudhu karena selesai buang air besar, kencing, atau tidur.” (HR. An-Nasa’I 127, Tirmidzi 96, dan dihasankan Al-Albani).

Juga hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ، فَلْيَتَوَضَّأْ

“Mata adalah sumbatnya dubur. Karena itu, siapa yang tidur, dia harus wudhu.” (HR. Ahmad 887, Ibn Majah 477, Ad-Darimi dalam sunannya 749, dan dinilai Hasan oleh Al-Albani).

Dalam hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut ‘tidur‘ dalam daftar pembatal wudhu, sebagaimana buang air besar dan kencing. Tanpa dibedakan antara tidur model tertentu dengna model tidur lainnya. Sementara Shafwan bin ‘Asal termasuk sahabat yang masuk islam di masa akhir dakwah, sebagaimana keterangan Ibn hazm.

Pendapat ketiga, tidak semua tidur membatalkan wudhu.

Pendapat ini memberikan rincian. Tidak semua tidur bisa membatalkan wudhu. Ada tidur yang membatalkan wudhu dan ada yang tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini sejatinya merupakan kompromi antara hadis Anas bin Malik dengan hadis Shafwan bin ‘Asal dan hadis Ali bin Abi Thalim radhiyallahu ‘anhum.

Inilah pendapat para ulama madzhab empat.

Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan rincian dan batasan antara yang membatalkan dan yang tidak membatalkan. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan dalam menentukan sebab mengapa tidur bisa membatalkan wudhu. Ada yang melihat ukurannnya, ada yang mengacu pada bentuknya, dan ada yang memperhatikan makna tidur itu sendiri.

1. Semua tidur membatalkan wudhu kecuali tidur sebentar, ini meruapakan madzhab hambali. Batasan yang digunakan hambali kembali pada ukuran.

2. Tidur bisa membatalkan kecuali jika tidur yang dilakukan dengan posisi duduk tenang. Ini merupakan pendapat Syafiiyah. Sementara Daud Ad-Dzahiri mengatakan bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur terlentang.

3. Semua tidur membatalkan wudhu, kecuali tidur yang dilakukan ketika shalat. Ini merupakan pendapat Hanafiyah.
Batasan yang ditetapkan dalam madzhab Syafii, Hanafi, dan Daud Ad-Dzahiri kembali pada bentuk tidur.

4. Tidur merupakan madzannah hadats (peluang terjadinya hadats). Karena itu, selama orang tidur masih bisa menyadari apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya tidak batal. Namun jika orang yang tidur tidak sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya, maka wudhunya batal. Inilah pendapat madzhab Malikiyah menurut riwayat yang masyhur, dan yang dipilih oleh Syaikhul islam Ibn taimiyah dan Ibn Utsaimin.

Pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat Malikiyah, merinci antara tidur pembatal wudhu dan tidur yang bukan pembatal wudhu dengan kembali pada makna tidur itu sendiri.

Hadis Anas bin Malik, dimana para sahabat menunggu shalat isya sampai tertidur, dan mereka ketika mendengar iqamah langsung shalat tanpa mengulang wudhu, dipahami sebagai kondisi tidur yang masih menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Sementara hadis Shafwan bin Asal yang menyebutkan bahwa tidur adalah pembatal wudhu dipahami untuk tidur yang tidak bisa merasakan apa yang terjadi pada dirinya. Sehingga ketika terjadi hadas, orang ini tidak merasakan sama sekali.

Kompromi semacam ini, dikuatkan oleh hadis, diantaranya,

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إذا استيقظ أحدكم من نومه فلا يغمس يده في الإناء حتى يغسلها ثلاثاً ، فإن أحدكم لا يدري أين باتت يده

“Apabila kalian bangun tidur, jangan mencelupkan tangannya ke air, sampai dia cuci tiga kali. Karena dia tidak tahu, dimanakah posisi tangannya ketika tidur.” (HR. Muslim 278).

Keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ” Karena dia tidak tahu, dimanakah posisi tangannya ketika tidur” maknanya, orang yang tidur itu sudah tidak lagi sadar. Oleh karena itu, jika ada orang yang tidur dan dia masih menyadari apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya tidak batal.

Kemudian hadis lain yang menguatkan kompromi ini adalah hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ، فَلْيَتَوَضَّأْ

“Mata adalah sumbatnya dubur. Karena itu, siapa yang tidur, dia harus wudhu.”

Artinya, mata akan tetap berfungsi sebagai penyumbat ketika orang yang tidur masih bisa merasakan apa yang terjadi di lingkungannya. Meskipun matanya terpejam. Sehingga wudhunya tidak batal. Sebaliknya, ketika orang yang tidur tidak lagi sadar dengan apa yang terjadi pada dirinya maka wudhunya batal.

Makanye untuk kasus yang di alami salah satu akhwat di ini group yang kadang suka tertidur setelah sholat dalam posisi masih memakai mukena, biar lebih afdhal bila ingin melanjutkan sholat lagi, mending ye ambil wudhu lagi'..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

JALAN TAUHID

02.26.00 Posted by Admin No comments


Assalamu'alaikum..
Pagi semua akhie ukhtie'..,

Berikut rangkuman ilmu dan wejangan tauhid yang ane susun biar ane sendiri juga ga lupa'

JALAN TAUHID

"Barangsiapa dibukakan pintu kebajikan baginya, maka hendaklah dia mencapai peluang itu, karena tidak diketahui kapan pintu itu ditutup baginya". (Alhadits)

~Wahai manusia, capailah dan peliharalah pintu hidup selagi masih terbuka. Mungkin dalam waktu dekat ini akan tertutup kembali dengan tercabutnya rohmu dari kerongkonganmu.
Peliharalah tingkah lakumu yang baik selagi kamu masih mampu melakukannya.
Peliharalah pintu tobat, masuklah ke lorong-lorongnya selagi masih terbuka untukmu.
Peliharalah pintu dosa karena pintu itu selalu terbuka untukmu,
dan peliharalah pintu ke temanmu yang baik,sesungguhnya pintu itu masih terbuka untukmu.

~Wahai hamba Allah, bangunlah dirimu dari sesuatu yang menggoncangkanmu,
sucikanlah dirimu dari sesuatu yang mengotorimu,
perbaikilah dirimu dari sesuatu yang merusakmu,
jernihkan dirimu dari keruh kotormu, tahanlah dirimu dari kesenangan dunia yang kamu ambil,
kembalilah kepada Tuhanmu yang kamu jadikan tempat pelarianmu.

~Wahai hamba Allah, disana tiada apapun kecuali Zat Pencipta Azza wa Jalla. Maka, apabila kamu telah merasa berada bersama Allah, berarti kamu hamba-Nya. Dan jika kamu merasa berada bersama mahluk, maka berarti kamu menjadi budak mereka.
Bila kamu mengetahui bahwa pemisahan terhadap Allah Yang Hak itu menjadi pemisah setiap perwujudan yang kamu yakini, maka sesungguhnya segala sesuatu dari mahluk itu adalah sebagai penghalang antara dirimu dengan Allah.
Kebaikan itu tergantung dari pemberian-Nya, sedang keburukan terletak karena mengingkari-Nya. Jika kamu berusaha karena Allah semata, maka kamu akan dekat dengan Allah, dan Allah melihatmu sebagai balasan untukmu.

~Wahai hamba Allah, janganlah kamu mencari ganti dalam bentuk hitungan. Carilah pemberi nikmat kepadamu, janganlah mencari nikmat. Jika kamu mencari nikmat, maka nikmat itu tidak akan kamu temukan selamanya, sebaliknya jika kamu mencari pemberi nikmat, maka itulah suatu kenikmatan.

~ Wahai hamba Allah, selamatkan-lah jiwamu dari dunia dan akherat, dan bebaskanlah jiwamu dari selain Allah, niscaya rahmat akan berdatangan dari berbagai arah.
Peliharalah Tuhanmu dari berbagai penjuru jiwamu, tentu kamu akan selamat dari tipu daya iblis dan hawa nafsu.Sehingga :
"Sesungguhnya hamba hamba-Ku, tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka". (Al-Quran, al Hijr : 42)

~ Wahai hamba Allah, dimanakah kamu letakkan rasa penghambaanmu kepada Allah Yang Hak ? Bawalah kemari rupa penghambaanmu yang benar, dan genggamlah rasa kecukupan dalam segala urusanmu. Kamu adalah hamba yang lari dari Tuhanmu. Kembalilah kepada Nya, serahkanlah jiwa ragamu untuk Dia dan rendahkanlah dirimu dibawah perintah Nya tanpa tawaran, terhadap larangan-Nya dengan menghentikan, terhadap ketentuan-Nya dengan sabar dan menerima. Bila hal ini telah kamu sempurnakan dalam jiwamu, maka sempurnalah penghambaanmu, lalu datanglah kecukupan untukmu dari Allah Azza wa Jalla.

~ Wahai hamba Allah, kamu diciptakan oleh Allah bukan untuk membuat kekacauan, bukan sekedar untuk permainan, bukan sekedar untuk makan, minum, tidur dan kawin. Ingatlah bahwa hatimu melangkah menuju Allah satu langkah, maka cinta-Nya melangkah menuju kamu beberapa langkah.

~ Wahai hamba Allah, apabila kamu bersedia melayani-Nya kamupun akan dilayani-Nya, jika kamu berhenti Dia pun akan berhenti. Maka layanilah Allah Yang Hak, janganlah kamu sibuk mengurusi harta benda dunia lalu meninggalkan-Nya, atau karena kamu melayani pemimpinyang tidak bisa membawa mudharat dan manfaat. Mana bisa mereka memberimu? Apakah mereka itu mampu memberimu apa yang tidak dibagi untukmu, atau menentukan pembagian sesuatu yang tidak dibagikan oleh Allah kepada kamu? Tak ada yang perlu di istimewakan untuk mereka. Apabila kamu berpendapat bahwa pemberian mereka itu mendahului ketentuan-Nya, maka kafirlah kamu.
Bukankah telah diketahui bahwa mereka itu bukan pemberi, bukan penolak, bukan pencelaka, bukan yang Qadim, dan bukan Yang Akhir kecuali hanya Allah Yang Hak. Jika kamu berkata bahwa kamu mengetahui hal itu, maka
"Bagaimana kamu tahu sedangkan kamu mendahulukan selain Dia ?"

~ Wahai manusia, barangsiapa yang meninggalkan pintu Allah Yang Hak, tentu menuju pintu manusia.
"Barangsiapa yang menyia-nyiakan jalan Allah dan naungan-Nya, tentu tunduk dijalan mahluk dan berlindung disana."
" Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikannya, tentu pintu pintu yang menuju mahluk ditutup bagi dirinya, pemberian mereka diputus untuknya, sehingga semua yang dari mahluk itu tidak berguna bagi dirinya."

~ Wahai hamba Allah, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah dan janganlah kamu selalu mengerjakan perbuatan maksiat yang menyebabkan dosa besar, sucikan busana agamamu dari najis dengan air tobat, tetap bersama Nya dan ikhlas disamping-Nya.Ketahuilah bahwa semua yang terjadi pada dirimu (yang bukan penyakit yang menimpa dirimu), semua itu datangnya dari Allah. Karena itu kembalilah kepada Allah dengan sepenuh hati.

~ Wahai hamba Allah, peliharalah ikhlas dalam beramal, luruskan pandanganmu dan perhatikan amalmu. Beramallah kamu karena Allah, jangan karena nikmat Nya. Jadilah kamu seperti orang yang mencari ridlo-Nya semata. Carilah keridlaan-Nya sampai Dia memberimu. Apabila Allah memberimu berarti kenikmatan dunia dan akherat kamu peroleh.Di dunia bisa dekat dengan Allah, diakherat bisa melihat Allah dan memperoleh balasan sebagaimana yang Dia janjikan. Didunia kamu dapat mengenal-Nya melalui mata hatimu,sehingga jiwamu tenang, aman, sejuk, tidak susah, dan merasa cukup terhadap ketentuan Nya yang ada padamu. Dan diakherat kamu dapat melihat melalui mata kepalamu.

~ Wahai hamba Allah, yang dinamakan takut kepada Allah itu bukanlah takut kepada siksa-siksa-Nya, tetapi takut kepada Allah adalah merasa bahwa Allah selalu mengawasi segala perbuatan baik dan buruk,sehingga seseorang tidak berani dan takut melakukan kemaksiatan lalu tunduk dan patuh terhadap syariat-Nya.

~ Wahai hamba Allah, makanlah dan minumlah dengan makanan dan minuman yang diridhoi Allah, dan perangilah hawa nafsumu jangan sampai kamu hanyut terbawa oleh kemauan hawa nafsu.
Ketahuilah bahwa dilangit dan dibumi tiada penguasa selain Allah Azza wa Jalla,
Tiada Tuhan dan tiada penenang kecuali hanya Dia,
tiada penentu atau pemutus kecuali Dia,
tiada penguasa atau penakluk kecuali hanya Dia,
dan tiada yang perkasa selain Dia.Maka ketahuilah melalui mata hatimu dan batinmu bahwa Allah Azza wa Jalla adalah satu-satunya tempat harapanmu, bukan kepada yang lain.

Sesungguhnya cobaan itu banyak tetapi penangkalnya hanya satu demikian juga penyakit itu banyak tetapi penyembuhnya cuma satu, yaitu Allah Ta'ala.

~Wahai orang yang terkena penyakit jiwa, serahkanlah jiwamu kepada dokter, dan kamu tak perlu berduka cita atas sesuatu yang dikehendaki padamu karena Allah lebih penyantun kepadamu daripada dirimu sendiri.
Jagalah dirimu dihadapan-Nya dan janganlah kamu Membelakangi-Nya, karena kamu dapat melihat segala kebaikan dunia dan akherat hanya dari Dia semata.

Cinta kepada Allah menurut Imam A1-Ghazali adalah sebagai hasil dari makrifatullah. Oleh karena itu beliau berkata :
"Ketahuilah bahwa tajalli
(memperoleh kenyataan) keagungan Allah membawa manusia khauf(takut) kepada Allah,
tajalli kecantikan dan keindahan Allah membawa manusia kepada rindu,
tajalli sifat Allah membawa manusia kepada cinta,
tajalli Zat Allah membawa manusia kepada tauhid."

Sesungguhnya kamu diciptakan hanyalah untuk menyembah Dia, karena itu jangan mempermainkan.
Jalinlah hubungan dengan-Nya, jangan mempersibuk diri dengan yang lain, jangan mencintai-Nya merangkap mahluk.
Jika kamu mencintai yang lain, cintailah atas dasar kasih sayang dan kelembutan. Kalau itu yang kamu kehendaki, tidaklah mengapa.Tetapi jika cintamu ke yang lain berdasar lubuk hati, janganlah kamu lakukan karena termasuk cinta batin, dan yang demikian itu tidak diperbolehkan.

Apabila pertolongan itu telah sempurna atasmu, maka datanglah dunia dan akherat menjadi pelayanmu tanpa paksa. Lintasilah pintu Tuhanmu dan tetaplah disana. Jika kamu tetap diam tak bergeming dari pintu itu, maka Allah Yang Hak berhubungan dengan jiwamu sehingga kamu dapat melihat lintasan-lintasan hawa, nafsu, lintasan hati, dan lintasan iblis. Dikatakan untukmu :
"Ini1ah lintasan yang benar, dan inilah lintasan yang batil".
Ketahuilah dari setiap bentuk ini menyimpan tanda yang bisa kamu kenali. Bila kamu telah sampai pada maqam ini, niscaya lintasan Al-Haq datang padamu,
mendidikmu,
menetapkan,
mendudukkan,
menggerakkan,
menempatkan,
memerintah,
dan menegakkan kamu.

~Wahai hamba Allah, janganlah kamu mencari penambah dan pengurang, karena setiap kepastian itu telah meliputi setiap individu.
Tidak seorangpun diantara kamu kecuali baginya punya manuskrip dan biografi penghitung..

Semalem ane juga di kasih tauziah ngupas abis soal ini hadist, buat yang mau amalin doa yang ada di dalem nye di persilahkan, semoga Allah memberikan cahaya di seluruh tubuh kita, Aamiin ya Allah'..

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ سَلَمَةَ عَنْ كُرَيْبٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ بِتُّ عِنْدَ مَيْمُونَةَ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى حَاجَتَهُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَأَتَى الْقِرْبَةَ فَأَطْلَقَ شِنَاقَهَا ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءًا بَيْنَ وُضُوءَيْنِ لَمْ يُكْثِرْ وَقَدْ أَبْلَغَ فَصَلَّى فَقُمْتُ فَتَمَطَّيْتُ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَرَى أَنِّي كُنْتُ أَتَّقِيهِ فَتَوَضَّأْتُ فَقَامَ يُصَلِّي فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَخَذَ بِأُذُنِي فَأَدَارَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَتَتَامَّتْ صَلَاتُهُ ثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ اضْطَجَعَ فَنَامَ حَتَّى نَفَخَ وَكَانَ إِذَا نَامَ نَفَخَ فَآذَنَهُ بِلَالٌ بِالصَّلَاةِ فَصَلَّى وَلَمْ يَتَوَضَّأْ وَكَانَ يَقُولُ فِي دُعَائِهِ اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي بَصَرِي نُورًا وَفِي سَمْعِي نُورًا وَعَنْ يَمِينِي نُورًا وَعَنْ يَسَارِي نُورًا وَفَوْقِي نُورًا وَتَحْتِي نُورًا وَأَمَامِي نُورًا وَخَلْفِي نُورًا وَاجْعَلْ لِي نُورًا قَالَ كُرَيْبٌ وَسَبْعٌ فِي التَّابُوتِ فَلَقِيتُ رَجُلًا مِنْ وَلَدِ الْعَبَّاسِ فَحَدَّثَنِي بِهِنَّ فَذَكَرَ عَصَبِي وَلَحْمِي وَدَمِي وَشَعَرِي وَبَشَرِي وَذَكَرَ خَصْلَتَيْنِ

Terjemahan

Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Abdullah] telah menceritakan kepada kami [Ibnu Mahdi] dari [Sufyan] dari [Salamah] dari [Kuraib] dari [Ibnu Abbas] radliallahu 'anhuma dia berkata; "Aku pernah bermalam di rumah Maimunah, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bangun untuk membuang hajat. Kemudian beliau membasuh wajah dan kedua tangannya, lalu beliau mendatangi tempat air yang digantung dan membuka talinya. Kemudian beliau berwudlu di antara dua wudlu (dua kali dalam membasuh), tidak banyak namun sempurna. Kemudian beliau melaksanakan shalat, aku pun berdiri dan berjinjit khawatir beliau akan melihat bahwa aku memperhatikannya, lalu aku berwudhu dan berdiri untuk shalat. Maka aku berdiri di sebelah kiri beliau lalu beliau meraih telingaku dan menggeserku ke sebelah kanannya. Shalat beliau pun selesai hingga tiga belas rakaat. Kemudian beliau berbaring dan tertidur hingga terdengar tarikan nafasnya. Beliau jika tidur terdengar tarikan nafasnya, lalu Bilal mengumandangkan adzan untuk shalat, kemudian beliau shalat tanpa berwudlu lagi. Di dalam doanya beliau mengucapkan: "'ALLAHUMMAJ'AL FI QALBI NURAN WA FI BASHARI NURAN WA FI SAM'I NURAN WA 'AN YAMINI NURAN WA 'AN YASARI NURAN WA MIN FAUQI NURAN WA MIN TAHTI NURAN WA MIN AMAMI NURAN WA MIN KHALFI NURAN WA A'ZHIM LI NURAN' (Ya Allah, jadikanlah cahaya di dalam hatiku, cahaya di dalam pendengaranku, cahaya di penglihatanku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya di hadapanku, cahaya di belakangku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku dan muliakanlah cahaya bagiku)." Kuraib berkata; Ada tujuh di dalam dada, ia berkata; Lalu aku bertemu dengan salah seorang anak Al Abbas, lalu ia menceritakannya kepadaku, lalu menyebutkan; 'ASHABI WA LAHMI WA DAMI WA SYA'RI WA BASYARI' (Uratku, dagingku, rambutku dan kulitku).' Ia berkata; Dan menyebutkan dua hal lainnya..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

HUKUM TA'ZIYAH DAN KATA² DI DALAM NYA MENURUT SUNAH

01.25.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum..
Malem Akhie Ukhtie'..

Melanjutkan pertanyaan dari Uni Eva yang menanyakan soal hukum ngelayat dalam islam, berikut akan ane jabarin mengenai HUKUM TA'ZIYAH DAN KATA² DI DALAM NYA MENURUT SUNAH,

Akhie Ukhtie, Ta'ziyah atau melayat orang meniggal dunia, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al-aza’u, 'iza, artinya sabar. Maka ta'ziyah berarti menyabarkan dan menghibur orang atau keluarga yang ditimpa musibah dengan menyebutkan hal-hal yang dapat menghapus duka dan meringankan penderitaannya. Sudah umum di dalam masyarakat kita, manakala ada keluarga yang kematiann salah satu anggotanya, maka kata-kata ucapan dukanya, pada umumnya berkisar seperti : "Turut berduka-cita." , " Ikut berbela sungkawa" lalu ditambahi dengan kalimat: "Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran." dan sejenisnya. Memang kalimat-kalimat seperti itu boleh-boleh saja selama substansinya untuk menghibur dan menyabarkan keluarga yang berduka, tetapi Islam sebagai agama yang "sempurna" juga mengajarkan kalimat-kalimat ucapan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., yang tentunya lebih afdhal dan lebih membawa manfaat secara syar'i.

Hukum Ta'ziyah itu adalah SUNAH walau terhadap dzimmi (Non-muslim yang tidak memerangi Islam) sekalipun.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi dari 'Amar bin Hazam dengan sanad yang hasan, bahwa Nabi saw. bersabda: "Tidak seorang Mukmin pun yang datang berta'ziyah kepada saudaranya yang ditimpa musibah, kecuali akan diberi pakaian kebedaran oleh Allah pada hari kiamat."

Sabda Rasulullah saw.

مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِه

ِ "Barangsiapa yang berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut." [HR Tirmidzi 2/268. Kata beliau: “Hadits ini gharib. Sepanjang yang saya ketahui, hadits ini tidak marfu’ kecuali dari jalur ‘Adi bin ‘Ashim”; Ibnu Majah, 1/511].

Dalil lainnya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Fathimah Radhiyallahu 'anha : “Wahai, Fathimah! Apa yang membuatmu keluar rumah?” Fathimah menjawab,”Aku berta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini.” [HR Abu Dawud, 3/192].

Ta'ziyah ini disunatkan hanya satu kali. Dan seyogyanya dilakukan terhadap seluruh kerabat mayat, besar maupun kecil, laki-laki dan wanita, baik sebelum dikuburkan maupun sesudahnya, sampai tiga hari setelah wafatnya. Kecuali bila yang akan berkunjung atau yang hendak dikunjungi itu sedang bepergian, maka tidak apa melakukannya setelah lewatnya waktu tersebut. Ta’ziyah disyari’atkan dalam jangka waktu tiga hari setelah mayitnya dikebumikan. Jumlah tiga hari ini bukan pembatasan yang final, tetapi perkiraan saja (kurang lebihnya saja). Dan jumhur ulama menghukumi makruh, apabila ta’ziyah dilakukan lebih dari tiga hari . Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw,

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ أَيَّامٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

Tidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, untuk berkabung lebih dari tiga hari, terkecuali berkabung karena (ditinggal mati) suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. [HR Bukhari, 2/78; Muslim, 4/202].

Alasan lainnya, setelah tiga hari, biasanya orang yang ditinggal mati, bisa kembali tenang. Maka, tidak perlu lagi untuk dibangkitkan kesedihannya dengan dilayat. Kendatipun begitu, jumhur ulama membuat pengecualian. Yaitu apabila orang yang hendak melayatnya, atau orang yang hendah dilayatnya (keluarga yang ditinggal mati) tidak ada dalam jangka waktu tiga hari tersebut.

Sedangkan kata yang bisa di ucapkan pada saat ber Ta'ziyah, boleh diucapkan dengan kata-kata manapun yang dapat meringankan musibah dan menghibur serta menyabarkan hati. Akan tetapi jika seseorang menggunakan kata-kata yang biasa dipakai oleh Nabi saw. tentu itu lebih utama. Diriwayatkan dari Bukhari dari Usamah bin Zaid r.a., katanya: "Saya kirim putri Nabi saw. untuk menemuinya dan menyampaikan bahwa putera saya telah meninggal dunia serta mengharapnya agar datang. Maka Nabi pun mengirim orang buat menyampaikan salam serta mengucapkan:

'أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ

(Anna lillaahi maa akhadza, wa lahuu maa a'thaa, wa kullu syai'in 'indahuu biajalin musammaa faltashbir) Milik Allah apa yang diambil-Nya dan milik-Nya pula apa yang diberikan-Nya, dan segala sesuatu pada-Nya mempunyai jangka waktu tertentu. Dari itu hendaklah engkau bersabar dan menabahkan hati!'.
Berkata beberapa orang ulama: "Jika seorang Muslim berta'ziyah kepada Muslim lainnya, hendaklah ia mengucapkan:

'َعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاكَ وَرَحِمَ مَيِّتَكَ

('Adzamallahu ajraka wa ahsana 'azaaka wa rahima mayyataka) Semoga Allah memberimu pahala yang besar dan menghibur hatimu sebaik-baiknya, serta memberi rahmat bagi keluargamu yang meninggal.'" Adapun jawaban ta'ziyah itu ialah mengucapkan "Aamiin" dari pihak yang dikunjunginya serta mengiringinya dengan "Semoga Allah memberimu pahala!" Menurut Ahmad, jika ia mau, ia dapat menyalami orang yang berta'ziyah, jika tidak, juga tidak apa. Dan seandainya seseorang melihat orang yang ditimpa musibah itu merobek pakaiannya, hendaklah diteruskannya kunjungannya dan tidak menghentikan kewajiban karena adanya kebathilan. Bahkan kalau dicegahnya, maka itu baik sekali.

Selanjut nya, bagaimanakah hukum menjenguk dan melayat orang kafir atau non muslim'?
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berta'ziyah kepada orang kafir. Imam al-Syafi'i dan Abu Hanifah –dalam satu riwayat darinya- berpendapat, seorang muslim boleh berta'ziyah kepada orang kafir, begitu juga sebaliknya. Dan kafir di sini adalah bukan kafir harbi..
Ibnu Qudamah menukil pendapat imam Ahmad, beliau tawakkuf tentang ta'ziyah kepada kafir zimmi. Hal ini disimpulkan dari hukum menjenguknya yang di dalamnya terdapat dua riwayat:

Pertama, tidak menjenguk mereka saat sakit, begitu juga tidak boleh berta'ziyah kepada mereka, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "janganlah kalian awali mengucapkan salam kepada mereka." Kesimpulan ini termasuk bagian dari maknanya.

Kedua, kita menjenguk mereka berdasarkan hadits yang dikeluarkan al-Bukhari, dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Ada seorang anak Yahudi yang suka membantu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam sakit. Lalu beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjenguknya. beliau duduk di sebelah kepalanya dan berkata kepadanya: "Masuk Islamlah engkau!" kemudian ia melihat ke bapaknya yang ada di sebelahnya, lalu sang bapak berkata kepadanya: "Patuhilah Abu Qasim -Shallallahu 'Alaihi Wasallam-." Maka ia masuk Islam. Lalu Rasulullah keluar dan berdoa, "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dia dari neraka.", atas dasar ini maka kita boleh berta'ziyah kepadanya..

Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Seorang muslim boleh bertakziyah kepada kafir zimmi karena (kematian) kerabatnya yang zimmi. Lalu ia berkata,

أخلف الله عليك ولا نقص عددك

"Semoga Allah memberi ganti untukmu dan tidak mengurangi jumlahmu (yaitu supaya tetap banyak jizyahnya)."

Dari sini pendapat yang lebih benar adalah bolehnya berta'ziyah kepada orang kafir Dzimmi saat mendapatkan kematian, menjenguk mereka saat sakit, dan membantu mereka saat musibah. Dalilnya, hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu di atas.
Namun perlu diperhatikan beberapa hal:

1. Niatkan berda'wah. Apabila melakukan hal itu hendaknya kita meniatkannya untuk mendahwahi mereka, melunakkan hati mereka kepada Islam, dan mendakwahi mereka dengan cara yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi.

2.Tidak boleh mendoakan si mayit dengan ampunan, rahmat, atau surga. Berdasarkan firman Allah Ta'ala,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam." (QS. Al-Taubah: 113).

3. Ucapan yang dibolehkan, boleh mendoakan mereka sesuai tuntutan kondisi seperti tabah, menyuruh sabar, membantu mereka, dan mengingatkan mereka bahwa semua ini adalah sunnatullah pada makhluk-Nya.

4. Tidak boleh ikut dalam acara ceremonial (upacara) keagamaan mereka atau duduk menyaksikannya. Karena di dalamnya didengungkan kalimat-kalimat kufur. Haram bagi muslim menyaksikan ritual-ritual semacam itu.

Fatwa Para Ulama Perihal Ta'ziyah ke Kafir Dzimmi

• Syech Al-Albani. Syech Al-Albani rahimahullah, pernah ditanya tentang berta'ziyah kepada kafir zimmi. Beliau menjawab, "Ya, boleh." hanya saja beliau memberikan taqyid, kafir tersebut bukan kafir harbi yang menjadi memusuhi kaum muslimin. Beliau berkata, -sesudah menyebutkan atsar 'Uqbah bin 'Amir al-Juhani Radhiyallahu 'Anhu, "Beliau berpapasan dengan seseorang yang tampangnya seperti muslim. Lalu ia mengucapkan salam kepadanya. Beliau pun membalasnya, "Wa'alaikas Salam Warahmatullah Wabarakatuhu." Lalu ada seorang pemuda yang berkata kepadanya, "Ia seorang Nasrani!" Kemudian beliau berdiri, menyusulnya sampai menemukannya. Lalu berkata kepadanya, "Sesungguhnya rahmat Allah dan keberkahan-Nya hanya untuk kaum mukminin, tetapi semoga Allah memanjangkan umurmu dan membanyakkan harta dan anakmu." (Shahih al-Adab al-Mufrad: no. 1112). Syech Al-Albani berkata, "Dalam atsar ini terdapat petunjuk dari sahabat mulia tentang bolehnya mendoakan panjang umur, walaupun kepada orang kafir. Kepada sesama muslim tentu lebih layak. Tetapi harus diperhatikan, kafir tersebut bukan memusuhi kaum muslimin. Dan berdasarkan atsar ini, dibolehkan bertakziyah kepada orang seperti dia."

• Syaikh Utsaimin. Syech Utsaimin berkata tentang ta'ziyah kepada orang kafir yang ditinggal kerabatnya atau tetangganya: "Berta'ziyah kepada orang kafir apabila ditinggal mati orang yang disayanginya dari kerabat atau kawan dekatnya, dalam hal ini, terjadi khilaf di kalangan ulama. Di antara mereka berpendapat, "Berta'ziyah kepada mereka haram. Sebagian lain berpendapat, "Itu boleh." Sebagian yang lain merincinya, "Jika di sana ada mashlahat seperti harapan keislaman mereka, terhindar dari gangguan mereka yang tidak bisa didapat kecuali dengan berta'ziyah kepada mereka; maka itu boleh, jika tidak maka haram. Dan pendapat yang rajih, jika dari ta'ziyahnya dipahami sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan, maka haram. Jika tidak maka dipertimbangkan kemashlahatannya." (Fatawa fi Ahkam al-Janaiz, no. 317).

• Fatwa Lajnah Daimah. Sedangkan fatwa Lajnah Daimah tentang hukum berta'ziyah kepada orang kafir yang masih kerabat adalah sebagai berikut: "Jika tujuannya supaya mereka simpati masuk Islam, maka itu dibolehkan. Ini termasuk bagian dari maqashid syar'iyyah (tujuan yang ingin direalisasikan syariat). Hukum sama apabila itu untuk menghindarkan dirinya atau kaum muslimin dari gangguan mereka. Karena kemashlahatan Islam yang bersifat umum bisa menghapuskan madharat-madharat yang bersifat sekunder." (Fatawa al-Lajnah al-Daimah Lilbuhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta': 9/132).

Akhie Uktie, hikmah Ta'ziyah di samping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak, Antara lain :

• Meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat.
• Memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah, dan berharap pahala dari Allah Ta’ala.
• Memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah Ta’ala, dan menyerahkannya kepada Allah.
• Mendo’akannya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik.
• Melarangnya dari berbuat niyahah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya.
• Mendo’akan mayit dengan kebaikan.
• Adanya pahala bagi orang yang berta’ziyah.

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

SALAM PADA SHOLAT

01.03.00 Posted by Admin No comments

Wa'alaikum salam..
Buat saudara ane Asman, soal pengucapan salam dalam sholat, ilmu yang ane dapet dari Syech Abdul Qadir Jaelani adalah yaitu MENGUCAPKAN SALAM SAMBIL MENOLEH'..

Kita ucapkan "Assalamu'alaikum" dulu dengan posisi kepala masih menghadap ke depan, lalu baru sambil menoleh ke kanan sambil mengucapkan "Warahmatullah.." begitu pula di saat mau menoleh ke kiri..

Namun yang harus bener² di perhatikan saat menoleh adalah itu hanya kepala saja tidak beserta badan,sehingga pipi kita terlihat dari belakang'..
Bila saat kita salam badan kita juga ikut bergerak ke kanan atau ke kiri, maka gugurlah sholat kita'..

Berikut akan ane jabarin soal SALAM PADA SHOLAT,

1. Salam termasuk rukun shalat. Sehingga orang yang meninggalkan salam, baik dengan sengaja maupun lupa maka shalatnya batal. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Kunci shalat adalah bersuci, yang mengharamkannya adalah takbiratul ihram, dan yang menghalalkannya adalah salam.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth) Makna:  Mengharamkannya: batas yang mengharamkan untuk melakukan kesibukan di luar shalat  Menghalalkannya: batas yang menghalalkan untuk melakukan kesibukan di luar shalat

2. Salam yang statusnya rukun shalat adalah salam pertama, sedangkan salam kedua hukumnya sunah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan salam sekali. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يسلم تسليمة واحدة

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan salam sekali.” (HR. Baihaqi).

3. Inti dari salam adalah bacaan Assalamu'alaikum wa rahmatullah….dst. Sementara menoleh ketika salam, hukumnya anjuran dalam madzhab Syafi'iyah. Sehingga shalat tetap sah, sekalipun tidak menoleh ketika salam. Imam An-Nawawi mengatakan,

ولو سلم التسليمتين عن يمينه أو عن يساره أو تلقاء وجهه أجزأه وكان تاركا للسنة

Jika ada orang yang mengucapkan salam dua kali ke kanan atau ke kiri, atau menghadap ke arah depan (tidak menoleh), shalatnya sah, sekalipun dia meninggalkan sunah. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 3/478).

4. Dianjurkan untuk menoleh secara maksimal ketika salam dua kali, sehingga pipi orang yang shalat kelihatan dari belakang. Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

كُنْتُ أَرَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ، وَعَنْ يَسَارِهِ، حَتَّى أَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ

”Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Hingga aku melihat putihnya pipi beliau.” (HR. Muslim 582).

5. Tata cara salam ada 5A yaitu:

• Mengucapkan, ”Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh” ketika menoleh ke kanan dan ke kiri. Dari Abu Ubaidah,

أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، يَجْهَرُ بِكِلْتَيْهِمَا

Bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu salam ke kanan dengan mengucapkan, “Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh” dan menoleh ke kiri dengan membaca, “Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh” beliau mengeraskan keduanya. (HR. Abdurazaq dalam Mushannaf, 3129).

Hal yang sama juga dilakukan sahabat Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma (Mushanaf Abdurazaq 3134).

• Mengucapkan, ”Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh” ketika salam pertama dan mengucapkan, ”Assalamu alaikum wa rahmatullah” pada saat salam kedua. Dari Wali bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ: «السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ»، وَعَنْ شِمَالِهِ: «السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ»

“Saya shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengucapkan salam ketika menoleh ke kanan, ”Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh” dan ketika menoleh ke kiri beliau mengucapkan, ”Assalamu alaikum wa rahmatullah.” (HR. Abu Daud 997 )

• Mengucapkan, ”Assalamu alaikum wa rahmatullah” ketika menoleh ke kanan dan ke kiri. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ خَدِّهِ

“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salam ke kanan dan ke kiri, mengucapkan ”Assalamu alaikum wa rahmatullah”, hingga terlihat putihnya pipi beliau.” (HR. Nasai, Abu Daud)

• Salam pertama mengucapkan, ”Assalamu alaikum wa rahmatullah.” dan salam kedua mengucapkan, ”Assalamu alaikum.” Dari Wasi’ bin Hibban, beliau pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaupun mempraktekkannya, diantaranya,

وَذَكَرَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ عَنْ يَمِينِهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ عَنْ يَسَارِهِ

Wasi’ menyebutkan bahwa Ibnu Umar mengucapkan ”Assalamu alaikum wa rahmatullah.” ketika menoleh ke kanan dan mengucapkan ”Assalamu alaikum.” ketika menoleh ke kiri. (HR. Nasai dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

• Salam sekali dengan hanya mengucapkan ”Assalamu alaikum.” Aisyah menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثم يسلم تسليمة واحدة، السلام عليكم، يرفع بها صوته، حتى يوقظنا

”Kemudian beliau salam sekali, mengucapkan ’Assalamu alaikum’ dengan mengangkat suaranya, sehingga membangunkan kami.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

6. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang salam sekali dengan menoleh sedikit ke arah kanan, Aisyah menceritakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ فِي الصَّلَاةِ تَسْلِيمَةً وَاحِدَةً تِلْقَاءَ وَجْهِهِ يَمِيلُ إِلَى الشِّقِّ الْأَيْمَنِ قَلِيلًا

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salam sekali ketika shalat ke arah depan dengan menoleh sedikit ke kanan.” (HR. Daruquthni, al-Hakim, dan dishahihkan adz-Dzahabi).

Yang sering ane perhatiin ketika orang salam, ada yang sambil membuka tangan nya baik ketika menoleh ke kanan atau ke kiri'..
Hal seperti ini lah kesalahan ketika salam dalam shalat'..

Membuka tangan kanan dan kiri ketika menoleh pada saat salam. Kebiasaan ini pernah dilakukan sebagian sahabat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, ”Ketika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mengucapkan ”Assalamu alaikum wa rahmatullah – Assalamu alaikum wa rahmatullah” sambil berisyarat dengan kedua kanan ke samping masing-masing. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

عَلَامَ تُومِئُونَ بِأَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ؟ إِنَّمَا يَكْفِي أَحَدَكُمْ أَنْ يَضَعَ يَدَهُ عَلَى فَخِذِهِ ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى أَخِيهِ مَنْ عَلَى يَمِينِهِ، وَشِمَالِهِ

”Mengapa kalian mengangkat tangan kalian, seperti keledai yang suka lari? Kalian cukup letakkan tangan kalian di pahanya kemudian salam menoleh ke saudaranya yang di samping kanan dan kirinya. (HR. Muslim, Nasai, dan yang lainnya).

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

MENINGGAL DI BULAN RAMADHAN APAKAH HUSNUL KHATIMAH

00.54.00 Posted by Admin No comments

Berikut penjabaran nye'..

Buat Uni Eva dan Mpok Dewi, Allah mengajarkan prinsip kepada manusia bahwa sebab mereka masuk surga adalah amal. Seringkali Allah menyebut penjelasan, kalian masuk surga karena amal yang kalian kerjakan. Diantaranye,

Firman Allah,

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Itulah surga yang diberikan kepada kalian disebabkan amal yang telah kalian kerjakan.” (QS. az-Zukhruf: 72)

Allah juga berfirman,

وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Mereka dipanggil, “ltulah surga yang diberikan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. al-A’raf: 43).

Dan masih banyak ayat yang semisal dengan ini.

Karena itu, waktu yang mulia maupun tempat yang mulia, tidak bisa menyebabkan penghuninya jadi mulia.

Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Abu Darda dengan Salman al-Farisi Radhiyallahu ‘anhuma. Sehingga keduanya ibarat keluarga dekat.

Imam Malik membawakan riwayat dari Yahya bin Said, bahwa Abu Darda pernah menulis surat kepada Salman, yang isinya meminta Salman untuk pindah dan tinggal di tanah yang disucikan (negeri Syam).

Kemudian Salman membalas surat ini dengan mengatakan,

الأَرْضُ الْمُقَدَّسَةُ لا تُقَدِّسُ أَحَدًا ، وَإِنَّمَا يُقَدِّسُ الْمَرْءَ عَمَلُهُ

“Sesungguhnya tanah suci itu tidak mensucikan siapapun. Yang bisa mensucikan seseorang adalah amalnya.” (al-Muwatha’, Imam Malik, no. 1464).

Dulu Mekah dihuni orang musyrikin. Ketika mereka tinggal di sana, bukan berarti mereka menjadi lebih suci. Dan ketika mati menjadi husnul khotimah.

Yang meninggal di bulan ramadhan, tidak semuanya orang baik. Ada juga orang jahat yang meninggal di bulan berkah ini. Meskipun demikian, kita tidak menyebut, dia meninggal dengan baik.

Beda antara meninggal di bulan ramadhan dengan meninggal ketika sedang puasa. Karena meninggal dalam kondisi sedang beramal soleh, termasuk husnul khotimah. Termasuk meninggal ketika sedang menjalankan ibadah puasa.

Dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullahi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang orang yang meninggal dalam kondisi beramal,

مَنْ قَالَ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ

Siapa yang menyatakan Laa ilaaha illallah ikhlas mengharap wajah Allah, dan dia akhiri hidupnya dengan ikrar ini, maka dia masuk surga.

Siapa yang berpuasa dengan ikhlas mengharap wajah Allah, dan dia akhiri hidupnya dengan puasa ini, maka dia masuk surga.

Siapa yang sedekah dengan ikhlas mengharap wajah Allah, dan dia akhiri hidupnya dengan sedekah ini, maka dia masuk surga. (HR. Ahmad 23324 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Itu klo yang meninggal di bulan Ramadhan, terus gimane klo yang Meninggal di hari jumat'?
Buat yang meninggal di hari Jum'at memiliki keistimewaan khusus, mengingat adanya jaminan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak akan ditanya di alam kubur.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ

Setiap muslim yang meninggal di hari jumat atau malam jumat, maka Allah akan memberikan perlindungan baginya dari fitnah kubur. (HR. Ahmad 6739, Turmudzi 1074 dan dihasankan al-Albani).

Sementara ane tidak menjumpai dalil yang menyatakan bahwa mati ketika bulan ramadhan, termasuk khusnul khatimah atau mendapat jaminan tertentu..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"