Minggu, 14 Agustus 2016

HUKUM TA'ZIYAH DAN KATA² DI DALAM NYA MENURUT SUNAH

01.25.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum..
Malem Akhie Ukhtie'..

Melanjutkan pertanyaan dari Uni Eva yang menanyakan soal hukum ngelayat dalam islam, berikut akan ane jabarin mengenai HUKUM TA'ZIYAH DAN KATA² DI DALAM NYA MENURUT SUNAH,

Akhie Ukhtie, Ta'ziyah atau melayat orang meniggal dunia, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al-aza’u, 'iza, artinya sabar. Maka ta'ziyah berarti menyabarkan dan menghibur orang atau keluarga yang ditimpa musibah dengan menyebutkan hal-hal yang dapat menghapus duka dan meringankan penderitaannya. Sudah umum di dalam masyarakat kita, manakala ada keluarga yang kematiann salah satu anggotanya, maka kata-kata ucapan dukanya, pada umumnya berkisar seperti : "Turut berduka-cita." , " Ikut berbela sungkawa" lalu ditambahi dengan kalimat: "Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran." dan sejenisnya. Memang kalimat-kalimat seperti itu boleh-boleh saja selama substansinya untuk menghibur dan menyabarkan keluarga yang berduka, tetapi Islam sebagai agama yang "sempurna" juga mengajarkan kalimat-kalimat ucapan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., yang tentunya lebih afdhal dan lebih membawa manfaat secara syar'i.

Hukum Ta'ziyah itu adalah SUNAH walau terhadap dzimmi (Non-muslim yang tidak memerangi Islam) sekalipun.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi dari 'Amar bin Hazam dengan sanad yang hasan, bahwa Nabi saw. bersabda: "Tidak seorang Mukmin pun yang datang berta'ziyah kepada saudaranya yang ditimpa musibah, kecuali akan diberi pakaian kebedaran oleh Allah pada hari kiamat."

Sabda Rasulullah saw.

مَنْ عَزَّى مُصَابًا فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِه

ِ "Barangsiapa yang berta’ziyah kepada orang yang tertimpa musibah, maka baginya pahala seperti pahala yang didapat orang tersebut." [HR Tirmidzi 2/268. Kata beliau: “Hadits ini gharib. Sepanjang yang saya ketahui, hadits ini tidak marfu’ kecuali dari jalur ‘Adi bin ‘Ashim”; Ibnu Majah, 1/511].

Dalil lainnya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin al Ash menceritakan, bahwa pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Fathimah Radhiyallahu 'anha : “Wahai, Fathimah! Apa yang membuatmu keluar rumah?” Fathimah menjawab,”Aku berta’ziyah kepada keluarga yang ditinggal mati ini.” [HR Abu Dawud, 3/192].

Ta'ziyah ini disunatkan hanya satu kali. Dan seyogyanya dilakukan terhadap seluruh kerabat mayat, besar maupun kecil, laki-laki dan wanita, baik sebelum dikuburkan maupun sesudahnya, sampai tiga hari setelah wafatnya. Kecuali bila yang akan berkunjung atau yang hendak dikunjungi itu sedang bepergian, maka tidak apa melakukannya setelah lewatnya waktu tersebut. Ta’ziyah disyari’atkan dalam jangka waktu tiga hari setelah mayitnya dikebumikan. Jumlah tiga hari ini bukan pembatasan yang final, tetapi perkiraan saja (kurang lebihnya saja). Dan jumhur ulama menghukumi makruh, apabila ta’ziyah dilakukan lebih dari tiga hari . Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw,

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثِ أَيَّامٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

Tidaklah dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Kiamat, untuk berkabung lebih dari tiga hari, terkecuali berkabung karena (ditinggal mati) suaminya, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. [HR Bukhari, 2/78; Muslim, 4/202].

Alasan lainnya, setelah tiga hari, biasanya orang yang ditinggal mati, bisa kembali tenang. Maka, tidak perlu lagi untuk dibangkitkan kesedihannya dengan dilayat. Kendatipun begitu, jumhur ulama membuat pengecualian. Yaitu apabila orang yang hendak melayatnya, atau orang yang hendah dilayatnya (keluarga yang ditinggal mati) tidak ada dalam jangka waktu tiga hari tersebut.

Sedangkan kata yang bisa di ucapkan pada saat ber Ta'ziyah, boleh diucapkan dengan kata-kata manapun yang dapat meringankan musibah dan menghibur serta menyabarkan hati. Akan tetapi jika seseorang menggunakan kata-kata yang biasa dipakai oleh Nabi saw. tentu itu lebih utama. Diriwayatkan dari Bukhari dari Usamah bin Zaid r.a., katanya: "Saya kirim putri Nabi saw. untuk menemuinya dan menyampaikan bahwa putera saya telah meninggal dunia serta mengharapnya agar datang. Maka Nabi pun mengirim orang buat menyampaikan salam serta mengucapkan:

'أَنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَمُرْهَا فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ

(Anna lillaahi maa akhadza, wa lahuu maa a'thaa, wa kullu syai'in 'indahuu biajalin musammaa faltashbir) Milik Allah apa yang diambil-Nya dan milik-Nya pula apa yang diberikan-Nya, dan segala sesuatu pada-Nya mempunyai jangka waktu tertentu. Dari itu hendaklah engkau bersabar dan menabahkan hati!'.
Berkata beberapa orang ulama: "Jika seorang Muslim berta'ziyah kepada Muslim lainnya, hendaklah ia mengucapkan:

'َعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ وَأَحْسَنَ عَزَاكَ وَرَحِمَ مَيِّتَكَ

('Adzamallahu ajraka wa ahsana 'azaaka wa rahima mayyataka) Semoga Allah memberimu pahala yang besar dan menghibur hatimu sebaik-baiknya, serta memberi rahmat bagi keluargamu yang meninggal.'" Adapun jawaban ta'ziyah itu ialah mengucapkan "Aamiin" dari pihak yang dikunjunginya serta mengiringinya dengan "Semoga Allah memberimu pahala!" Menurut Ahmad, jika ia mau, ia dapat menyalami orang yang berta'ziyah, jika tidak, juga tidak apa. Dan seandainya seseorang melihat orang yang ditimpa musibah itu merobek pakaiannya, hendaklah diteruskannya kunjungannya dan tidak menghentikan kewajiban karena adanya kebathilan. Bahkan kalau dicegahnya, maka itu baik sekali.

Selanjut nya, bagaimanakah hukum menjenguk dan melayat orang kafir atau non muslim'?
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berta'ziyah kepada orang kafir. Imam al-Syafi'i dan Abu Hanifah –dalam satu riwayat darinya- berpendapat, seorang muslim boleh berta'ziyah kepada orang kafir, begitu juga sebaliknya. Dan kafir di sini adalah bukan kafir harbi..
Ibnu Qudamah menukil pendapat imam Ahmad, beliau tawakkuf tentang ta'ziyah kepada kafir zimmi. Hal ini disimpulkan dari hukum menjenguknya yang di dalamnya terdapat dua riwayat:

Pertama, tidak menjenguk mereka saat sakit, begitu juga tidak boleh berta'ziyah kepada mereka, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "janganlah kalian awali mengucapkan salam kepada mereka." Kesimpulan ini termasuk bagian dari maknanya.

Kedua, kita menjenguk mereka berdasarkan hadits yang dikeluarkan al-Bukhari, dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Ada seorang anak Yahudi yang suka membantu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam sakit. Lalu beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjenguknya. beliau duduk di sebelah kepalanya dan berkata kepadanya: "Masuk Islamlah engkau!" kemudian ia melihat ke bapaknya yang ada di sebelahnya, lalu sang bapak berkata kepadanya: "Patuhilah Abu Qasim -Shallallahu 'Alaihi Wasallam-." Maka ia masuk Islam. Lalu Rasulullah keluar dan berdoa, "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dia dari neraka.", atas dasar ini maka kita boleh berta'ziyah kepadanya..

Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Seorang muslim boleh bertakziyah kepada kafir zimmi karena (kematian) kerabatnya yang zimmi. Lalu ia berkata,

أخلف الله عليك ولا نقص عددك

"Semoga Allah memberi ganti untukmu dan tidak mengurangi jumlahmu (yaitu supaya tetap banyak jizyahnya)."

Dari sini pendapat yang lebih benar adalah bolehnya berta'ziyah kepada orang kafir Dzimmi saat mendapatkan kematian, menjenguk mereka saat sakit, dan membantu mereka saat musibah. Dalilnya, hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu di atas.
Namun perlu diperhatikan beberapa hal:

1. Niatkan berda'wah. Apabila melakukan hal itu hendaknya kita meniatkannya untuk mendahwahi mereka, melunakkan hati mereka kepada Islam, dan mendakwahi mereka dengan cara yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi.

2.Tidak boleh mendoakan si mayit dengan ampunan, rahmat, atau surga. Berdasarkan firman Allah Ta'ala,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam." (QS. Al-Taubah: 113).

3. Ucapan yang dibolehkan, boleh mendoakan mereka sesuai tuntutan kondisi seperti tabah, menyuruh sabar, membantu mereka, dan mengingatkan mereka bahwa semua ini adalah sunnatullah pada makhluk-Nya.

4. Tidak boleh ikut dalam acara ceremonial (upacara) keagamaan mereka atau duduk menyaksikannya. Karena di dalamnya didengungkan kalimat-kalimat kufur. Haram bagi muslim menyaksikan ritual-ritual semacam itu.

Fatwa Para Ulama Perihal Ta'ziyah ke Kafir Dzimmi

• Syech Al-Albani. Syech Al-Albani rahimahullah, pernah ditanya tentang berta'ziyah kepada kafir zimmi. Beliau menjawab, "Ya, boleh." hanya saja beliau memberikan taqyid, kafir tersebut bukan kafir harbi yang menjadi memusuhi kaum muslimin. Beliau berkata, -sesudah menyebutkan atsar 'Uqbah bin 'Amir al-Juhani Radhiyallahu 'Anhu, "Beliau berpapasan dengan seseorang yang tampangnya seperti muslim. Lalu ia mengucapkan salam kepadanya. Beliau pun membalasnya, "Wa'alaikas Salam Warahmatullah Wabarakatuhu." Lalu ada seorang pemuda yang berkata kepadanya, "Ia seorang Nasrani!" Kemudian beliau berdiri, menyusulnya sampai menemukannya. Lalu berkata kepadanya, "Sesungguhnya rahmat Allah dan keberkahan-Nya hanya untuk kaum mukminin, tetapi semoga Allah memanjangkan umurmu dan membanyakkan harta dan anakmu." (Shahih al-Adab al-Mufrad: no. 1112). Syech Al-Albani berkata, "Dalam atsar ini terdapat petunjuk dari sahabat mulia tentang bolehnya mendoakan panjang umur, walaupun kepada orang kafir. Kepada sesama muslim tentu lebih layak. Tetapi harus diperhatikan, kafir tersebut bukan memusuhi kaum muslimin. Dan berdasarkan atsar ini, dibolehkan bertakziyah kepada orang seperti dia."

• Syaikh Utsaimin. Syech Utsaimin berkata tentang ta'ziyah kepada orang kafir yang ditinggal kerabatnya atau tetangganya: "Berta'ziyah kepada orang kafir apabila ditinggal mati orang yang disayanginya dari kerabat atau kawan dekatnya, dalam hal ini, terjadi khilaf di kalangan ulama. Di antara mereka berpendapat, "Berta'ziyah kepada mereka haram. Sebagian lain berpendapat, "Itu boleh." Sebagian yang lain merincinya, "Jika di sana ada mashlahat seperti harapan keislaman mereka, terhindar dari gangguan mereka yang tidak bisa didapat kecuali dengan berta'ziyah kepada mereka; maka itu boleh, jika tidak maka haram. Dan pendapat yang rajih, jika dari ta'ziyahnya dipahami sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan, maka haram. Jika tidak maka dipertimbangkan kemashlahatannya." (Fatawa fi Ahkam al-Janaiz, no. 317).

• Fatwa Lajnah Daimah. Sedangkan fatwa Lajnah Daimah tentang hukum berta'ziyah kepada orang kafir yang masih kerabat adalah sebagai berikut: "Jika tujuannya supaya mereka simpati masuk Islam, maka itu dibolehkan. Ini termasuk bagian dari maqashid syar'iyyah (tujuan yang ingin direalisasikan syariat). Hukum sama apabila itu untuk menghindarkan dirinya atau kaum muslimin dari gangguan mereka. Karena kemashlahatan Islam yang bersifat umum bisa menghapuskan madharat-madharat yang bersifat sekunder." (Fatawa al-Lajnah al-Daimah Lilbuhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta': 9/132).

Akhie Uktie, hikmah Ta'ziyah di samping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak, Antara lain :

• Meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat.
• Memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah, dan berharap pahala dari Allah Ta’ala.
• Memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah Ta’ala, dan menyerahkannya kepada Allah.
• Mendo’akannya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik.
• Melarangnya dari berbuat niyahah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya.
• Mendo’akan mayit dengan kebaikan.
• Adanya pahala bagi orang yang berta’ziyah.

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

0 komentar: