Senin, 08 Agustus 2016

ANAK YATIM YANG HARUS DISANTUNI

14.05.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum..
Malem Akhie Ukhtie..

ANAK YATIM YANG BAGAIMANAKAH YANG HARUS DI SANTUNIN,,
Berikut akan ane jabarin selengkap nye..

Yang di namain anak yatim itu adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syech Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika mengomentari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

“Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya”.

Beliau hafizhahullah berkata, “Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ ) adalah kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk) kerabat di sini, ialah ibu sang yatim, atau saudara laki-lakinya ataupun pihak-pihak selain mereka yang memiliki kekerabatan dengannya.

Sebagian fuqaha juga memasukkan dalam kategori anak yatim ini, yaitu mereka yang kehilangan orang tuanya karena sakit dalam waktu yang sangat lama, atau karena perceraian, safar, jihad, hilang dan sebab-sebab lainnya. Dan seorang anak yatim akan keluar dari batasannya sebagai yatim, ketika ia telah mencapai usia baligh, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu'alaihi Wasalam:

لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ

“Tidak ada keyatiman setelah baligh ……"

Kerabat ataupun keluarga serta pihak-pihak yang memiliki hubungan dengannya lebih berhak untuk berbuat baik kepada si yatim, memenuhi kebutuhannya, mendidik serta mengarahkannya, mengasihi, mengayomi, menyayanginya serta mengasuhnya hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang baik dan matang, serta siap menghadapi hidup ketika ia telah dewasa. Meski demikian, syari’at Islam yang sempurna, tidak hanya membatasi kewajiban berbuat ihsan kepada anak yatim hanya pada kerabatnya saja, namun kewajiban ini juga berlaku umum bagi setiap kaum muslimin sesuai dengan kadar kemampuan mereka.

Banyak nash-nash syar’i yang menegaskan keutamaan menyantuni anak yatim dan menjanjikan balasan yang agung bagi para pemelihara anak yatim. Di antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُ لَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:”Mengurusi urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu”. [al Baqarah : 220].

Dalam menafsirkan ayat di atas, Syech Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata: Ketika turun ayat

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. [an Nisa’: 10].

Ayat tersebut terasa berat bagi para sahabat. (Sehingga para sahabat) segera memisahkan makanan mereka dari makanan anak yatim, karena khawatir akan memakan harta mereka, meskipun sebelumnya mereka terbiasa menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim (yang berada dalam kepengasuhannya).

Mereka kemudian bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu, maka Allah memberi khabar kepada mereka, bahwa maksud (ayat tersebut) adalah berbuat ishlah dalam masalah harta anak yatim, dengan cara menjaga harta tersebut dan mengembangkannya dalam perdagangan. Dan menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim dalam masalah makanan ataupun selain itu, hukumnya boleh, asalkan tidak merugikan sang yatim. Kerena mereka itu adalah saudara kalian juga. Dan (sudah menjadi keumuman), jika saudara bergaul dan berbaur dengan saudaranya sendiri. Parameter dalam hal ini adalah niat serta amal (sang pengasuh yatim). Allah Maha mengetahui siapa yang berniat untuk berbuat baik kepada anak yatim dan dia tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan harta yatim tersebut. Jika ada yang termakan olehnya tanpa ada maksud demikian, maka ia tidak berdosa.

Allah Maha mengetahui pula siapa yang berniat buruk dalam penggabungan harta tersebut, yakni ia ingin mendapatkannya kemudian ia memakannya. Demikian inilah yang berdosa. Karena washilah (sarana) memiliki hukum yang sama dengan maksud (tujuannya).

Dalam satu haditsnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أنا وَ كَافِلُ اليَتِيْمِ في الجَنَّةِ هكَذَا وَ أشَارَ بَالسَبَابَةِ وَ الوُسْطَى وَ فَرَّجَ بَيْنَهُمَا

“Aku dan pemelihara anak yatim di surga nanti, kedudukannya seperti (dua jari ) ini,” dan Beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan memisahkan keduanya”.

Dalam hadits tersebut, Rasulullah memberikan permisalan yang sangat gamblang tentang luhurnya kedudukan pemelihara anak yatim. Bahwa di surga nanti mereka memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

ZIARAH KUBUR MENJELANG RAMADHAN

13.54.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum..
Sore Akhie Ukhtie..

ZIARAH MENJELANG AWAL PUASA RAMADHAN, berikut pejelasan nye..

Seperti udeh kite ketahui semua, tiap mejelang bulan puasa banyak dari masyarakat kita yang melakukan jiarah ke makam², baek ziarah ke makam orang tua yang sudah meninggal ataupun sanak saudara yang sudah meninggal..
Ini adalah tradisi yang sudah turun temurun di negeri ini, dan juga beberape negeri muslim lainnye, khususnye pada rumpun melayu..

Secara umum, berziarah kubur adalah ibadah sunah, sebagaimana perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:

عن بُرَيْدَة – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : (( كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عن زِيَارَةِ القُبُورِ فَزُوروها )) رواه مسلم . وفي رواية : (( فَمَنْ أرَادَ أنْ يَزُورَ القُبُورَ فَلْيَزُرْ ؛ فإنَّهَا تُذَكِّرُنَا الآخِرَةَ ))



Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Dahulu saya melarang kalian dari berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.” (HR. Muslim). Riwayat lain: “maka barangsiapa yang hendak berziarah kubur maka berziarahlah, karena hal itu bisa mengingatkan akhirat.”

Hadits ini dikeluarkan oleh:

• Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1977

• Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 5162

• Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 1571

• Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 9289

• Imam Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 7879, 7882

• Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 1235, 4319, 13512, 13640, 23053

• Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 312, 11928, 11935

• Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 4373, 4465, 7366

• Imam Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 604, 2442, dalam Al Ausath No. 6394

• Imam Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 4130

• Imam Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 2708

Maka, kesunahan berziarah kubur adalah perkara yang tidak diragukan lagi bagi kaum muslimin, khususnya kaum laki-laki. Ada pun berziarah kubur bagi kaum wanita telah diperselisihkan ulama, namun pendapat yang rajih adalah boleh pula bagi kaum wanita untuk berziarah kubur.

Kemudian, ziarah kubur pada dasarnya adalah ibadah muthlaq yaitu ibadah yang tak terikat oleh waktu, peristiwa, dan sebab tertentu. Kapan pun kita mau dan ada kesempatan, maka ziarah kubur adalah masyru’ (disyariatkan).. Maka, boleh saja berziarah kubur di waktu yang kita lapang baik hari ini dan itu, bulan ini dan itu, menjelang Ramadhan, pas Ramadhan, atau setelah Ramadhan, dzul qa’dah, dzul hijjah, dan lainnya. Semua ini boleh saja..

Ada pun mengkhususkan dan mengikatkan ziarah kubur dengan waktu tertentu, seperti mengikatkannya dengan menjelang Ramadhan saja, atau awal Syawal, lalu melakukannya menjadi rutinitas yang baku, maka tradisi ini tidak memiliki dasar dalam syariat. Tidak pada Al Quran, tidak pula pada As Sunnah, juga tidak pula pada sahabat, tabi’in, dan imam empat madzhab. Karena ini adalah ibadah muthlaq, maka sebaiknya dilakukan sesuai kemutlakannya itu, kadang kita ziarah kubur menjelang Ramadhan, kadang kita melakukan di awal Syawal, kadang kita lakukan di beberapa bulan lainnya, agar dia berjalan sesuai kemutlakannya itu..

Namun, masalah ini adalah perkara sensitif di masyarakat. Seorang muslim mesti mau memahami dan memaklumi kenapa sebagian masyarakat muslim -dengan didukung para ulamanya- melakukan ini. Ini adalah –meminjam istilah ahli ushul- Al ‘Urf (tradisi). Dan, tradisi bagi para pakar ada dua: Al ‘Urf Ash Shahih (tradisi yang benar) dan Al ‘Urf Al Fasad (tradisi yang rusak).

Al ‘Urf Ash Shahih adalah tradisi yang benar lagi baik, yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, baik secara umum atau terperinci. Ada pun mentradisikan ziarah kubur menjelang Ramadhan dan awal Syawal mereka masukkan ke dalam kelompok ini; tradisi yang baik, karena pada dasarnya memang berziarah kubur adalah sunnah dan baik.

Al ‘Urf Al Fasad adalah tradisi yang merusak, yang bertentangan dengan syariat Islam, baik secara umum atau khusus. Seperti tradisi sebagian nelayan yang melakukan lempar sesajen ke pantai laut selatan setelah mereka mendapatkan hasil ikan yang banyak.

Dengan demikian, Keluar dari khilafiyah adalah lebih utama, yakni dengan menempatkan ziarah kubur sebagaimana porsinya sebagai ibadah mutlak. Lalu tetaplah menjaga ukhuwah terhadap sesama muslim..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"