Minggu, 14 Mei 2017

MENGANGKAT TANGAN SAAT DO'A KHUTBAH JUM'AT

00.37.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Perlu diketahui bahwa do’a tidak selamanya mengangkat tangan. Beberapa kondisi ada contoh bagi kita untuk mengangkat tangan, bahkan ini hukum asalnya. Namun ada beberapa keadaan yang tidak dianjurkan mengangkat tangan. Bagaimana dengan do’a saat khutbah Jum’at? Apakah dianjurkan bagi imam maupun makmum untuk mengangkat tangan? Ane berusaha menyajikan beberapa argumen akan masalah ini disertai memilih pendapat yang lebih kuat. Allahumma yassir wa a’in..

Ulama yang Menganjurkan Mengangkat Tangan

Yang membolehkan berdalil dengan keumuman hadits yang menunjukkan bahwa di antara adab berdo’a adalah dengan mengangkat tangan. Dari Salman radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحِى إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

“Sesungguhnya Allah itu Maha Hidup lagi Mulia, Dia malu jika ada seseorang yang mengangkat tangan menghadap kepada-Nya lantas kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa dan tidak mendapatkan hasil apa².” (HR. Tirmidzi no.3556. Syech Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Hadits ini adalah hadits umum untuk mengangkat tangan dalam setiap do’a.

Yang membolehkan hal ini adalah sebagian salaf dan sebagian ulama Malikiyah, sebagaimana dikatakan oleh Al Qodhi Husain (Syarh Muslim 6: 162).

Di antara dalil mereka lagi adalah ketika do’a khutbah Jum’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan yaitu saat do’a istisqo (minta hujan).

Dari Anas bin Malik, ia berkata,

أَصَابَتِ النَّاسَ سَنَةٌ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَبَيْنَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَخْطُبُ فِى يَوْمِ جُمُعَةٍ قَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَ الْمَالُ وَجَاعَ الْعِيَالُ ، فَادْعُ اللَّهَ لَنَا . فَرَفَعَ يَدَيْهِ ، وَمَا نَرَى فِى السَّمَاءِ قَزَعَةً ، فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا وَضَعَهَا حَتَّى ثَارَ السَّحَابُ أَمْثَالَ الْجِبَالِ ، ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ عَنْ مِنْبَرِهِ حَتَّى رَأَيْتُ الْمَطَرَ يَتَحَادَرُ عَلَى لِحْيَتِهِ – صلى الله عليه وسلم

“Pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah terjadi kemarau yang panjang. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jum’at, tiba² seorang Badui berdiri seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, harta telah rusak dan keluarga telah kelaparan. Berdo’alah kepada Allah untuk kami (untuk menurunkan hujan) !’. Maka beliau pun mengangkat kedua tangannya (ketika itu kami tidak melihat awan di langit) dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, beliau tidak menurunkan kedua tangannya, hingga kemudian muncullah gumpalan awan tebal laksana gunung. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak turun dari mimbar hingga aku melihat hujan menetes deras di jenggotnya shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no.933)

Dalil yang Menyatakan Tidak Mengangkat Tangan

عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ.

Dari Hushain (bin Abdirrahman) dari Umaarah bin Ruaibah ia berkata bahwasannya ia melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar dengan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa (pada hari Jum’at). Maka Umaarah pun berkata: “Semoga Allah menjelekkan kedua tangan ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di atas mimbar tidak menambahkan sesuatu lebih dari hal seperti ini”. Maka ia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya.” (HR. Muslim no.874).

Dalam riwayat lain disebutkan,

مَا زَادَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى هَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menambah lebih dari itu dan beliau berisyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. An Nasai no.1412. Syech Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ulama yang Tidak Menganjurkan Mengangkat Tangan

Imam Nawawi rahimahullah berkata,

هَذَا فِيهِ أَنَّ السُّنَّة أَنْ لَا يَرْفَع الْيَد فِي الْخُطْبَة وَهُوَ قَوْل مَالِك وَأَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ . وَحَكَى الْقَاضِي عَنْ بَعْض السَّلَف وَبَعْض الْمَالِكِيَّة إِبَاحَته لِأَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي خُطْبَة الْجُمُعَة حِين اِسْتَسْقَى وَأَجَابَ الْأَوَّلُونَ بِأَنَّ هَذَا الرَّفْع كَانَ لِعَارِضٍ .

“Yang sesuai dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengangkat tangan (untuk berdo’a) saat berkhutbah. Ini adalah pendapat Imam Malik, pendapat ulama Syafi’iyah dan lainnya. Namun, sebagian salaf dan sebagian ulama Malikiyah membolehkan mengangkat tangan saat do’a khutbah Jum’at karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah mengangkat tangan kala itu saat berdo’a istisqo (minta hujan). Namun ulama yang melarang hal ini menyanggah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan saat itu karena ada suatu sebab (yaitu khusus pada do’a istisqo).”  (Syarh Muslim 6: 162)

Ulama besar Saudi Arabia yang pernah menjabat sebagai ketua Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, Syech Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum mengangkat tangan bagi makmum untuk mengaminkan do’a imam saat khutbah Jum’at? Apa hukum mengaminkan do’a tersebut dengan mengeraskan suara?”

Syech Ibnu Baz rahimahullah menjawab,

Mengangkat tangan ketika khutbah Jum’at tidaklah disunnahkan bagi imam maupun bagi makmum. Karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan seperti ini. Begitu pula perbuatan semisal ini tidak pernah dilakukan oleh khulafaur rosyidin. Akan tetapi jika do’a tersebut untuk do’a istisqo (minta hujan) pada khutbah Jum’at, disunnahkan bagi makmum untuk mengangkat tangan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan ketika berdo’a minta hujan saat khutbah Jum’at.

Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
(QS. Al Ahzab: 21).

Adapun makmum mengaminkan do’a imam ketika khutbah, maka menurutku tidaklah mengapa, namun dengan tidak mengeraskan suara.

Lalu dari penjelasan diatas apa kesimpulan nya? Pendapat yang menyatakan tidak mengangkat tangan saat do’a khutbah Jum’at ane nilai lebih kuat. Sedangkan dalil Salman yang menunjukkan adab do’a adalah mengangkat tangan, itu adalah dalil umum dan dikhususkan dengan dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat khutbah hanya mengisyaratkan dengan jari telunjuk.

Lantas bagaimana dengan makmum? Tidak ada dalil yang membicarakan mengenai makmum apakah mengangkat tangan ataukah tidak saat do’a imam ketika khutbah Jum’at. Sebagian ulama menyatakan boleh saja mengangkat tangan karena hukum asal do’a adalah mengangkat tangan. Ulama lain menyatakan tidak perlu mengangkat tangan karena sama dengan imam dan jika mengangkat tangan dituntunkan bagi makmum, tentu akan sampai hadits mengenai hal itu kepada kita. Intinya di sini ada khilaf (beda pendapat). Namun pendapat yang ane rasa lebih kuat adalah makmum tetap tidak mengangkat tangan sebagaimana alasan yang telah disebutkan dan ditunjukkan pula dalam fatwa Syech Ibnu Baz di atas. Tapi bila ingin mengangkat tanganpun itu tidak mengapa. Wallahu a’lam..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

PELAJARAN DARI AYAT WUDHU DAN TAYAMUM (Bag.2)

00.30.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Dari ayat wudhu dan tayamum juga diterangkan mengenai bersuci dengan mandi..

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Hai orang² yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah..” (QS. Al Maidah: 6)

Faedah lainnya mengenai ayat wudhu, tayamum dan mandi adalah:

6. Muwalah merupakan syarat dalam wudhu. Yang dimaksud adalah membasuh anggota wudhu yang satu dan lainnya tidak dengan selang waktu yang lama (menurut urf atau kebiasaan). Alasannya mesti ada muwalah dalam wudhu dikarenakan setiap anggota wudhu satu dan lainnya dikaitkan dengan huruf “waw”. Ini menunjukkan bahwa seluruh anggota tersebut itu satu ibadah dan dikerjakan satu waktu. Jika dijadikan dua waktu, maka tidak disebut satu ibadah, sebagaimana kalau bagian shalat dipisah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa terus menerus melakukan muwalah yaitu tidak memisah untuk waktu yang lama antara anggota wudhu yang satu dan lainnya.

7. Thaharah kubra yaitu mandi besar dijelaskan pula cara dan sebabnya dalam ayat yang kita kaji. Tata caranya adalah dengan mengguyur seluruh badan dengan air. Karena dalam ayat disebutkan,

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Dan jika kamu junub maka mandilah …” (QS. Al Maidah: 6).

Dalam ayat ini tidak dikhususkan satu anggota tubuh dari anggota lainnya. Akan tetapi, Allah jadikan bersuci untuk seluruh badan.

Tata cara mandi adalah dengan mengguyur seluruh badan luar dengan air, termasuk pula bagian bawah rambut, baik rambut yang tipis maupun yang tebal. Mandi dilakukan dengan membasuh atau mencuci, bukan mengusap.

8. Thaharah kubra yaitu mandi besar tidak ada syarat berurutan dan muwalah (tidak memisah antara bagian yang satu dan lainnya).

9. Sebab adanya thaharah kubra (mandi besar) adalah junub. Para ulama telah memaksudkan yang dimaksud junub adalah keluarnya mani dalam keadaan sadar atau tertidur walau tidak dengan jima’ (hubungan intim). Begitu pula disebut junub adalah hubungan intim walau tidak keluar mani. Disebut junub pula jika terdapat dua²nya yaitu ada jima’ (hubungan intim) dan keluar mani.

Dalam surat Al Baqarah diterangkan pula sebab mandi besar (thaharah kubra) lainnya yaitu haidh.

Dalam ayat disebutkan,

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang² yang bertaubat dan menyukai orang² yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222).

Karena haidh diperintahkan thaharah kubra (mandi besar) pada seluruh badan sebagaimana keadaan junub.
Yang dimisalkan dengan haidh lagi adalah nifas.

Sedangkan sebab mandi karena masuk Islam diterangkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

10. Kebanyakan ulama berdalil dengan qiraah jarr yaitu kasrah pada huruf lam pada kata ‘arjulakum’ sehingga dibaca ‘arjulikum’,

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ

Mereka berdalil akan adanya perintah mengusap khuf yang di mana mengusap khuf ini diterangkan secara jelas dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun qiraah nashb (seperti yang kita baca) yaitu fathah pada huruf lam pada kata ‘arjulakum’ ini ada kaitannya dengan membasuh. Kalau tangan hingga siku dibasuh, maka demikian pula dengan kaki hingga mata kaki pun dibasuh.

Masih berlanjut lagi Insyaa Allah..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

RUWAHAN, TRADISI KIRIM DO'A DI BULAN SYA'BAN

00.26.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ruwahan, kirim do’a pada bulan Sya’ban apakah ada tuntunannya?

Saat ini kita berada di bulan Sya’ban atau orang jawa menyebutnya dengan bulan Ruwah. Pada bulan ini ada tradisi yang diuri-uri kelestariaannya sampai sekarang dan masih dijalankan terutama di daerah pinggiran atau pedesaan. Orang mengenalnya sebagai tradisi Ruwahan atau Arwahan yaitu tradisi yang berkaitan dengan pengiriman arwah orang² yang telah meninggal dengan cara dido’akan bersama dengan mengundang tetangga kanan kiri yang pulangnya mereka diberi ”berkat” sebagai simbol rasa terima kasih. Oleh karena itu, jika bulan Ruwah tiba pasar² tradisional akan kebanjiran order untuk selamatan ruwahan, diantaranya beras, bumbu², lauk semuanya laris untuk kebutuhan selamatan Ruwahan.

Entah kapan mulainya, beberapa warga desa yang dulu pernah ane temui saat berkunjung di salah satu desa di daerah Pati dan Jepara, mereka tidak ada yang dapat menjelaskan soal tradisi ini, karena mereka ada tradisi itu telah ada dan selanjutnya terus diadakan sampai mereka punya anak dan cucu.

Patut Dipahami: Do’a pada Mayit itu Bermanfaat

Yang patut dipahami bahwa doa dari orang yang hidup kepada orang yang mati itu bermanfaat. Dalil yang mendukungnya adalah firman Allah,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang² yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara² kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang² yang beriman, Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“
(QS. Al Hasyr: 10).

Ayat di atas menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a. Ayat ini mencakup umum, yaitu ada doa yang ditujukan pada orang yang masih hidup dan orang yang telah meninggal dunia.

Dari Ummu Darda, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Aamiin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.” (HR. Muslim no.2733).

Walau hadits ini disebutkan oleh Ummu Darda ketika ia meminta do’a pada Abu Az Zubair saat ia mau pergi berhaji, namun kandungan makna dari hadits tersebut bisa diamalkan.

Ummu Darda’ berkata pada Abu Zubair,

فَادْعُ اللَّهَ لَنَا بِخَيْرٍ فَإِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ

“Berdo’alah pada Allah untuk kami agar memperoleh kebaikan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda … (disebutkan hadits di atas).”

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Do’a pada si mayit, melunasi utangnya, termasuk pula sedekah atas si mayit bermanfaat untuknya berdasarkan kesepakatan pada ulama.” (Syarh Shahih Muslim 7: 82).

Dikhususkan Kirim Do’a pada Bulan Ruwah

Kalau dikhususkan kirim do’a pada bulan ruwah (bulan Sya’ban) seperti yang masih laris manis di tengah² masyarakat, yang tepat hal itu tidak ada tuntunannya. Karena do’a yang disyari’atkan yang telah disebut di atas berlaku umum sepanjang waktu. Sedangkan kalau dikhususkan pada waktu tertentu, harus butuh dalil. Sama halnya ada yang shalat tahajud namun menganggapnya lebih afdhal dilakukan pada malam Maulid Nabi daripada malam lainnya, tentu saja untuk melakukan shalat tahajud semacam itu harus butuh dalil. Jika tidak ada, berarti amalan tersebut tertolak. Karena tidak boleh membuat suatu ibadah dengan tata cara khusus kecuali dengan dalil.

Syech Muhammad bin Husain Al Jizaniy memberikan suatu kaedah,

كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع بدليل عام؛ فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان أو مكان معين أو نحوهما بحيث يوهم هذا التقييد أنه مقصود شرعًا من غير أن يدلّ الدليل العام على هذا التقييد فهو بدعة

“Setiap ibadah mutlak yang disyari’atkan berdasarkan dalil umum, maka pengkhususan yang umum tadi dengan waktu atau tempat yang khusus atau pengkhususan lainnya, dianggap bahwa pengkhususan tadi ada dalam syari’at namun sebenarnya tidak ditunjukkan dalam dalil yang umum, maka pengkhususan tersebut tidak ada tuntunan.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida hal.116).

Alasan Lainnya, “Ini Sudah Jadi Tradisi”

Alasan lainnya untuk mendukung amalan tersebut tetap lestari karena sudah jadi tradisi. Tradisi ruwahan tak ada yang pernah menukil siapa yang mempeloporinya. Bahkan tak jelas amalan tersebut berasal dari mana. Di Arab saja yang merupakan tempat turunnya wahyu, tradisi kirim do’a seperti itu tidak pernah ada. Kalau pun ini amalan ini ada dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu di negeri Islam lainnya selain di negeri kita, ada juga ritual semacam itu. Bukankah syari’at Islam itu berlaku untuk setiap umat di berbagai belahan bumi yang berbeda?

Patut diketahui bahwa orang musyrik biasa beralasan dengan tradisi untuk amalan² mereka. Orang musyrik itu berkata,

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

“Sesungguhnya kami mendapati bapak² kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak² mereka.” (QS. Az Zukhruf: 22).

Syech Muhammad At Tamimi rahimahullah dalam kitabnya Masail Jahiliyyah berkata, “Sifat orang jahiliyyah adalah biasa berdalil dengan tradisi nenek moyangnya dahulu. Sebagaimana kata Fir’aun,

قَالَ فَمَا بَالُ الْقُرُونِ الْأُولَى

“Berkata Fir’aun: “Maka bagaimanakah keadaan umat² yang dahulu?” (QS. Thaha: 51).

Begitu pula kata kaum Nuh,

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آَبَائِنَا الْأَوَّلِينَ

“Belum pernah kami mendengar ajaran seperti ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu” (QS. Al Mukminun: 24).”

Kaum Quraisy pun beralasan seperti itu,

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآَخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ

“Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir, ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan.” (QS. Shaad: 7)

Berarti yang membedakan orang muslim dan orang kafir adalah dalam mengikuti wahyu. Orang musyrik senantiasa beralasan dengan tradisi, sedangkan orang muslim mengikuti wahyu dari Allah dan Rasul-Nya.

Do’a dan Amalan dari Anak Lebih Bermanfaat

Sebagai solusi yang bisa diberikan, yang pertama kita tetap tujukan do’a pada mayit namun tak perlu mengkhususkan waktu seperti di bulan Ruwah. Patut dipahami bahwa do’a dari orang lain memang bermanfaat untuk mayit, namun do’a yang lebih manfaat adalah do’a dari anaknya sendiri.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seorang manusia mati maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga hal, dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no.1631)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِى صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

“Sesungguhnya yang akan selalu menemani orang beriman adalah ilmu dan kebaikannya. Setelah matinya ada ilmu yang ia ajarkan dan ia sebarkan, begitu pula anak shaleh yang ia tinggalkan, juga ada di situ mushaf yang ia wariskan atau masjid yang ia bangun, atau rumah untuk ibnus sabil yang ia bangun, atau sungai yang ia alirkan, atau sedekah yang ia keluarkan dari hartanya ketika ia sehat dan semasa hidupnya. Itu semua akan menemaninya setelah matinya.” (HR. Ibnu Majah no.242. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syech Al Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan).

Di samping do’a dari anak, amal shalehnya pun sebenarnya bermanfaat untuk orang tuanya, meskipun ia tidak niatkan untuk kirim pahala pada orang tuanya. Hal ini disimpulkan dari ayat,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39).

Lalu dalam hadits disebutkan,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” (HR. Abu Daud no.3528 dan An Nasa’i no.4451. Al Hafizh Abu Thahir menyataan hadits ini shahih).

Ini berarti amalan dari anaknya yang shaleh masih tetap bermanfaat untuk orang tua walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.

Lalu apa kesimpulan yang bisa kita ambil dari penjelasan diatas? Kirim doa kepada orang yang sudah meninggal memang di anjurkan, cuma yang perlu di perhatikan di sini, kita jangan mengkhususkan waktunya hanya di bulan Ruwah atau Sya'ban. Apa lagi dalam pelaksanaan Ruwahannya itu di campur dengan bumbu² klenik yang menjurus kesyirikan. Itu yang tidak di perbolehkan..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..