Minggu, 14 Mei 2017

RUWAHAN, TRADISI KIRIM DO'A DI BULAN SYA'BAN

00.26.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ruwahan, kirim do’a pada bulan Sya’ban apakah ada tuntunannya?

Saat ini kita berada di bulan Sya’ban atau orang jawa menyebutnya dengan bulan Ruwah. Pada bulan ini ada tradisi yang diuri-uri kelestariaannya sampai sekarang dan masih dijalankan terutama di daerah pinggiran atau pedesaan. Orang mengenalnya sebagai tradisi Ruwahan atau Arwahan yaitu tradisi yang berkaitan dengan pengiriman arwah orang² yang telah meninggal dengan cara dido’akan bersama dengan mengundang tetangga kanan kiri yang pulangnya mereka diberi ”berkat” sebagai simbol rasa terima kasih. Oleh karena itu, jika bulan Ruwah tiba pasar² tradisional akan kebanjiran order untuk selamatan ruwahan, diantaranya beras, bumbu², lauk semuanya laris untuk kebutuhan selamatan Ruwahan.

Entah kapan mulainya, beberapa warga desa yang dulu pernah ane temui saat berkunjung di salah satu desa di daerah Pati dan Jepara, mereka tidak ada yang dapat menjelaskan soal tradisi ini, karena mereka ada tradisi itu telah ada dan selanjutnya terus diadakan sampai mereka punya anak dan cucu.

Patut Dipahami: Do’a pada Mayit itu Bermanfaat

Yang patut dipahami bahwa doa dari orang yang hidup kepada orang yang mati itu bermanfaat. Dalil yang mendukungnya adalah firman Allah,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang² yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara² kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang² yang beriman, Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.“
(QS. Al Hasyr: 10).

Ayat di atas menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a. Ayat ini mencakup umum, yaitu ada doa yang ditujukan pada orang yang masih hidup dan orang yang telah meninggal dunia.

Dari Ummu Darda, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Aamiin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi.” (HR. Muslim no.2733).

Walau hadits ini disebutkan oleh Ummu Darda ketika ia meminta do’a pada Abu Az Zubair saat ia mau pergi berhaji, namun kandungan makna dari hadits tersebut bisa diamalkan.

Ummu Darda’ berkata pada Abu Zubair,

فَادْعُ اللَّهَ لَنَا بِخَيْرٍ فَإِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ

“Berdo’alah pada Allah untuk kami agar memperoleh kebaikan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda … (disebutkan hadits di atas).”

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Do’a pada si mayit, melunasi utangnya, termasuk pula sedekah atas si mayit bermanfaat untuknya berdasarkan kesepakatan pada ulama.” (Syarh Shahih Muslim 7: 82).

Dikhususkan Kirim Do’a pada Bulan Ruwah

Kalau dikhususkan kirim do’a pada bulan ruwah (bulan Sya’ban) seperti yang masih laris manis di tengah² masyarakat, yang tepat hal itu tidak ada tuntunannya. Karena do’a yang disyari’atkan yang telah disebut di atas berlaku umum sepanjang waktu. Sedangkan kalau dikhususkan pada waktu tertentu, harus butuh dalil. Sama halnya ada yang shalat tahajud namun menganggapnya lebih afdhal dilakukan pada malam Maulid Nabi daripada malam lainnya, tentu saja untuk melakukan shalat tahajud semacam itu harus butuh dalil. Jika tidak ada, berarti amalan tersebut tertolak. Karena tidak boleh membuat suatu ibadah dengan tata cara khusus kecuali dengan dalil.

Syech Muhammad bin Husain Al Jizaniy memberikan suatu kaedah,

كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع بدليل عام؛ فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان أو مكان معين أو نحوهما بحيث يوهم هذا التقييد أنه مقصود شرعًا من غير أن يدلّ الدليل العام على هذا التقييد فهو بدعة

“Setiap ibadah mutlak yang disyari’atkan berdasarkan dalil umum, maka pengkhususan yang umum tadi dengan waktu atau tempat yang khusus atau pengkhususan lainnya, dianggap bahwa pengkhususan tadi ada dalam syari’at namun sebenarnya tidak ditunjukkan dalam dalil yang umum, maka pengkhususan tersebut tidak ada tuntunan.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida hal.116).

Alasan Lainnya, “Ini Sudah Jadi Tradisi”

Alasan lainnya untuk mendukung amalan tersebut tetap lestari karena sudah jadi tradisi. Tradisi ruwahan tak ada yang pernah menukil siapa yang mempeloporinya. Bahkan tak jelas amalan tersebut berasal dari mana. Di Arab saja yang merupakan tempat turunnya wahyu, tradisi kirim do’a seperti itu tidak pernah ada. Kalau pun ini amalan ini ada dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu di negeri Islam lainnya selain di negeri kita, ada juga ritual semacam itu. Bukankah syari’at Islam itu berlaku untuk setiap umat di berbagai belahan bumi yang berbeda?

Patut diketahui bahwa orang musyrik biasa beralasan dengan tradisi untuk amalan² mereka. Orang musyrik itu berkata,

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

“Sesungguhnya kami mendapati bapak² kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak² mereka.” (QS. Az Zukhruf: 22).

Syech Muhammad At Tamimi rahimahullah dalam kitabnya Masail Jahiliyyah berkata, “Sifat orang jahiliyyah adalah biasa berdalil dengan tradisi nenek moyangnya dahulu. Sebagaimana kata Fir’aun,

قَالَ فَمَا بَالُ الْقُرُونِ الْأُولَى

“Berkata Fir’aun: “Maka bagaimanakah keadaan umat² yang dahulu?” (QS. Thaha: 51).

Begitu pula kata kaum Nuh,

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آَبَائِنَا الْأَوَّلِينَ

“Belum pernah kami mendengar ajaran seperti ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu” (QS. Al Mukminun: 24).”

Kaum Quraisy pun beralasan seperti itu,

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآَخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ

“Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir, ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan.” (QS. Shaad: 7)

Berarti yang membedakan orang muslim dan orang kafir adalah dalam mengikuti wahyu. Orang musyrik senantiasa beralasan dengan tradisi, sedangkan orang muslim mengikuti wahyu dari Allah dan Rasul-Nya.

Do’a dan Amalan dari Anak Lebih Bermanfaat

Sebagai solusi yang bisa diberikan, yang pertama kita tetap tujukan do’a pada mayit namun tak perlu mengkhususkan waktu seperti di bulan Ruwah. Patut dipahami bahwa do’a dari orang lain memang bermanfaat untuk mayit, namun do’a yang lebih manfaat adalah do’a dari anaknya sendiri.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seorang manusia mati maka terputuslah darinya amalnya kecuali dari tiga hal, dari sedekah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no.1631)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لاِبْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِى صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

“Sesungguhnya yang akan selalu menemani orang beriman adalah ilmu dan kebaikannya. Setelah matinya ada ilmu yang ia ajarkan dan ia sebarkan, begitu pula anak shaleh yang ia tinggalkan, juga ada di situ mushaf yang ia wariskan atau masjid yang ia bangun, atau rumah untuk ibnus sabil yang ia bangun, atau sungai yang ia alirkan, atau sedekah yang ia keluarkan dari hartanya ketika ia sehat dan semasa hidupnya. Itu semua akan menemaninya setelah matinya.” (HR. Ibnu Majah no.242. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Syech Al Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan).

Di samping do’a dari anak, amal shalehnya pun sebenarnya bermanfaat untuk orang tuanya, meskipun ia tidak niatkan untuk kirim pahala pada orang tuanya. Hal ini disimpulkan dari ayat,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39).

Lalu dalam hadits disebutkan,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” (HR. Abu Daud no.3528 dan An Nasa’i no.4451. Al Hafizh Abu Thahir menyataan hadits ini shahih).

Ini berarti amalan dari anaknya yang shaleh masih tetap bermanfaat untuk orang tua walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.

Lalu apa kesimpulan yang bisa kita ambil dari penjelasan diatas? Kirim doa kepada orang yang sudah meninggal memang di anjurkan, cuma yang perlu di perhatikan di sini, kita jangan mengkhususkan waktunya hanya di bulan Ruwah atau Sya'ban. Apa lagi dalam pelaksanaan Ruwahannya itu di campur dengan bumbu² klenik yang menjurus kesyirikan. Itu yang tidak di perbolehkan..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

0 komentar: