Kamis, 29 September 2016

BENARKAH MASUK SURGA BUKAN KARENA AMALAN KITA?

00.55.00 Posted by Admin No comments

Assalamu' alaikum Akhi Ukhti'..

Kita masuk surga bukan dengan amalan kita, benarkah?

Dalam hadits disebutkan,

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ » . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ

Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.” “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.” (HR. Bukhari no.5673 dan Muslim no.2816)

Sedangkan firman Allah Ta’ala,

سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabbmu dan surga yang lebarnya selebar langit dan bumi, yang disediakan bagi orang² yang beriman kepada Allah dan rasul²-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Hadiid: 21).

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa surga itu disediakan bagi orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Berarti ada amalan.
Begitu pula dalam ayat,

ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan” (QS. An-Nahl: 32)

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal² yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf: 72)

Seakan-akan ayat dan hadits itu bertentangan. Ayat menyatakan, kita masuk surga karena amalan dan keimanan kita. Sedangkan hadits menyatakan, faktor terbesar masuk surga adalah karena karunia Allah.

Ada beberapa penjelasan para ulama mengenai hal ini:

• Yang dimaksud seseorang tidak masuk surga dengan amalnya adalah peniadaan masuk surga karena amalan.

• Amalan itu sendiri tidak bisa memasukkan orang ke dalam surga. Kalau bukan karena karunia dan rahmat Allah, tentu tidak akan bisa memasukinya. Bahkan adanya amalan juga karena sebab rahmat Allah bagi hamba-Nya.

• Amalan hanyalah sebab tingginya derajat seseorang di surga, namun bukan sebab seseorang masuk ke dalam surga.

• Amalan yang dilakukan hamba sama sekali tidak bisa mengganti surga yang Allah beri. Itulah yang dimaksud, seseorang tidak memasuki surga dengan amalannya. Maksudnya ia tidak bisa ganti surga dengan amalannya.

• Sedangkan yang memasukkan seseorang ke dalam surga hanyalah rahmat dan karunia Allah.

Imam Nawawi rahimahullah memberikan keterangan yang sangat bagus, “Ayat² Al Qur’an yang ada menunjukkan bahwa amalan bisa memasukkan orang dalam surga. Maka tidak bertentangan dengan hadits² yang ada. Bahkan makna ayat adalah masuk surga itu disebabkan karena amalan. Namun di situ ada taufik dari Allah untuk beramal. Ada hidayah untuk ikhlas pula dalam beramal. Maka diterimanya amal memang karena rahmat dan karunia Allah.
Karenanya, amalan semata tidak memasukkan seseorang ke dalam surga. Itulah yang dimaksudkan dalam hadits.

Kesimpulannya, Bisa saja kita katakan bahwa sebab masuk surga adalah karena ada amalan. Amalan itu ada karena rahmat Allah. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim 14: 145)

Jadi kita masuk surga bukan semata-mata dengan amalan kita. Amalan kita itu bisa ada karena taufik Allah. Taufik Allah itulah karunia dan rahmat-Nya. Jadinya, amalan itu ada karena karunia dan rahmat-Nya.
Bersyukurlah jika kita termasuk orang yang dimudahkan dalam beramal.

Wallahu Waliyyut Taufiq..

''Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat''

SEMANGAT MERAIH ILMU AGAMA DULU DAN KINI

00.42.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Kita tahu bagaimanakah keutamaan seseorang menuntut ilmu agama, sungguh begitu besar dan tidak ada tandingannya.

Ada hadits shahih yang disebutkan dalam Sunan Abi Daud (no.3641) dan haditsnya shahih, dari Katsir bin Qais, ia berkata, aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di Masjid Damasqus, lalu datang seorang pria yang lantas berkata, “Wahai Abu Ad Darda’, aku sungguh mendatangi dari kota Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Madinah Nabawiyah) karena ada suatu hadits yang telah sampai padaku di mana engkau yang meriwayatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku datang untuk maksud mendapatkan hadits tersebut.

• Lihat hanya demi mendengar satu hadits, orang ini rela menempuh perjalanan dari Madinah menuju ke Damasqus di Syam. Ini bukan jarak yang dekat. Ini ditempuh dengan safar.

Abu Darda’ lantas berkata, sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ

“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya di antara jalan menuju surga.”

• Ini keutamaan pertama dari menuntut ilmu, bahwa dengan ilmu akan dimudahkan jalan menuju surga.

Menempuh jalan untuk mencari ilmu ada dua makna, bisa jadi benar² ia ke majelis ilmu lewati jalan. Bisa jadi maknanya adalah hissi, yaitu ia lakukan cara apa pun untuk meraih ilmu, bisa dengan hadir, duduk, mendengar, menghafal, mencatat, sampai ia menguatkannya dengan banyak mengulang hingga menyebarkan ilmu tadi pada yang lain.

Tentu saja ia mencari ilmu ini atas dasar ikhlas karena setiap ibadah yang didasari ikhlas, itulah yang mendapatkan balasan.
Jika ilmu agama dicari hanya untuk meraih dunia, dapat kedudukan mulia, dapat gelar, dapat duit, maka tentu tidak mendapatkan balasan seperti disebut dalam hadits.

Yang dimaksudkan akan dimudahkan jalan menuju surga adalah ia diberi taufik di dunia untuk beramal shalih sehingga dengan amalan itu masuk surga, atau ia dimudahkan jalan di akhirat untuk masuk surga.
Demikian keterangan dari Al Munawi dalam Faidhul Qadir.

وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ

“Sesungguhnya malaikat meletakkan sayapnya sebagai tanda ridha pada penuntut ilmu.”

• Maksudnya, para malaikat benar² menghormati para penuntut ilmu. Ketika itu juga malaikat mendengarkan ilmu.

وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ

“Sesungguhnya orang yang berilmu dimintai ampun oleh setiap penduduk langit dan bumi, sampai pun ikan yang berada dalam air.”

• Berarti dengan menuntut ilmu dan berada dalam majelis ilmu bisa menghapuskan dosa.

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ

“Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti perbandingan bulan di malam badar dari bintang-bintang lainnya.”

• Orang yang berilmu bisa memberikan pengaruh ilmunya pada yang lain, pengaruhnya besar. Sedangkan ahli ibadah tidak bisa memberikan pengaruh pada yang lain seperti itu. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam misalkan seperti cahaya bulan dan cahaya bintang untuk membandingkan ahli ilmu dan ahli ibadah. Seorang alim yang benar adalah ia menyibukkan diri dengan ilmu dan tidak melupakan amalan. Sedangkan seorang ahli ibadah adalah yang menyibukkan diri dengan ibadah tanpa mempedulikan dasar ilmu dari ibadah tersebut.

وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya Nabi tidaklah mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Barangsiapa yang mewariskan ilmu, maka sungguh ia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.”

• Seorang hamba barulah dikatakan baik jika ia mengambil warisan ilmu dari Nabi. Bukan sekedar menjadi seorang teknokrat, psikiater, dokter, seorang master atau seorang professor. Karena warisan Nabi bukanlah dunia dan harta, bukan pula ilmu dunia. Warisan Nabi yang sebenarnya adalah pada ilmu agama. Karenanya jangan sampai meninggalkan ilmu agama karena sibuk dengan keduniaan atau sibuk mencari ilmu dunia.

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7)

Karena seorang dokter dan teknokrat yang kenal agama, jauh berbeda dengan yang tidak kenal agama.

هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az- Zumar: 9).

Tentang ayat di atas, Syech ‘Abdurrahman As Sa’di berkata,

لاَ يَسْتَوِي هَؤُلاَءِ وَلاَ هَؤُلاَءِ، كَمَا لاَ يَسْتَوِي اللَّيْلُ وَالنَّهَار، وَالضِّيَاء والظِّلاَم، والماَء والنَّار

“Tentu tidak sama antara mereka dan mereka (yang berilmu dan tidak berilmu). Sebagaimana tidak sama antara malam dan siang, tidak sama antara terang dan kegelapan, begitu pula tidak sama antara air dan api.”

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (QS. Al Qashshash: 77).

Ibnu Katsir berkata, “Gunakanlah yang telah Allah anugerahkan untukmu dari harta dan nikmat yang besar untuk taat pada Rabbmu dan membuat dirimu semakin dekat pada Allah dengan berbagai macam ketaatan. Dengan ini semua, engkau dapat menggapai pahala di kehidupan akhirat.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim 6: 37).

Para ulama membuktikan bahwa mereka punya semangat tinggi dalam meraih ilmu agama. Sampai waktunya habis untuk meraih hal itu.

Al Khotib Al Baghdadi dalam kitab tarikhnya berkata, “Aku pernah mendengar ‘Ali bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdul Ghoffar Al Lughowi (lebih terkenal dengan sebutan As Samsamani), ia menceritakan bahwa Muhammad bin Jarir Ath Thobari pernah menetap selama 40 tahun dan menulis setiap harinya 40 halaman.

Dan telah sampai kisah kepadaku dari Abu Hamid Ahmad bin Abi Thohir Al Faqih Al Isfaroini, ia bekata, “Seandainya seseorang bersafar ke China lantas ia menemukan kitab tafsir karya Ibnu Jarir, maka ia akan temukan tidak begitu banyak (dari kenyataan).” Atau beliau mengucapkan perkataan semakna dengan itu.

Al Qodhi Abu ‘Abdillah Muhammad, ia berkata bahwa ‘Ali bin Ahmad Ash Shona’ Ubaidullah bin Ahmad As Samsar dan ayahku berkata bahwa Abu Ja’far Ath Thobari pernah berkata pada murid²nya, “Apakah kalian punya semangat untuk menulis tafsir Al Qur’an?” “Berapa lembar yang mau ditulis?”, tanya murid-muridnya. Jawab Ath Thobari, “Tiga puluh ribu (30.000) lembar.”
Mereka malah menjawab,

هَذَا مِمَّا تَفْنَى الاَعْمَار

“Menulis seperti itu malah menghabiskan umur kami.” Akhirnya kitab tersebut selesai dan lebih diringkas yang akhirnya menjadi sekitar 3000 lembaran.

Ath Thabari berkata lagi pada murid²nya, “Apakah kalian punya semangat untuk menulis kitab tarikh (sejarah) alam semesta mulai dari Adam hinggga saat ini?” “Berapa lembar yang mau ditulis?”, tanya murid²nya. Ath Thobari menyebut sebagaimana kitab tafsir tadi, lalu mereka pun menjawab semisal itu.

Lantas Ibnu Jarir Ath Thobari berkata,

اِنَّا للهِ مَاتَتِ الهِمَم

“Inna lillah … Semangat (ambisi) manusia saat ini telah mati.” (Tarikh Baghdad karya Al Khottib Al Baghdadi 2: 163)

Lihatlah bagaimana semangat ulama dalam meraih akhirat, raih ilmu yang Allah cinta, raih ilmu yang jadi warisan para Nabi. Bandingkan dengan semangat pemuda dan orang² saat ini.

Semoga Allah Ta'alaa senantiasa memberikan kita semua kemudahan untuk bisa banyak belajar menuntut ilmu nya Allah termasuk dengan melalui ada nya group majelis An Nur Al Jilani ini'..

Wallahu Waliyyut Taufiq..

Dan semoga Allah Ta'alaa senantiasa juga memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua..

Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin..

''Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat''

BOLEHKAH NON MUSLIM INFAK PEMBANGUNAN MASJID?

00.34.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Melanjutkan pertanyaan dari akhi Beny di Sidoarjo yang menanyakan soal
hukum non muslim ikut menyumbang pembangunan masjid,
berikut penjelasan nye..

Pada dasarnya dibolehkan bagi kaum muslimin untuk bekerja sama (ta’awun) dengan orang² non muslim yang cinta damai atau menerima kebaikan yang diberikan oleh mereka baik berupa harta maupun jasa selama mereka tidak memerangi kaum muslimin didalam urusan yang membawa kemaslahatan dunia, sebagaimana firman Allah SWT..

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang² yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang² yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah : 8)

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ali dari Nabi SAW bahwa Kisra telah memberikan kepada beliau saw hadiah yang diterima olehnya begitu juga dengan para raja yang telah memberikan hadiah kepada beliau SAW dan diterima olehnya.

Namun para ulama berbeda pendapat tentang menerima bantuan didalam urusan² agama dari orang non muslim walaupun mereka adalah orang² yang tidak memerangi kaum muslimin.

Imam Malik pernah menolak dinar pemberian orang² Nasrani ketika dibawa ke ka’bah. Adapun beliau tidak keberatan manakala bantuan mereka digunakan untuk kemaslahatan dunia seperti pembangunan jembatan, pengairan maupun yang lainnya.

Namun para ulama syafi’i memperbolehkan bekerja sama dengan orang² non muslim yang tidak memerangi kaum muslimin bahkan menerima pemberian mereka baik untuk urusan² kemaslahatan dunia maupun agama. Mereka membolehkan menerima wakaf yang diberikan orang² non muslim baik untuk kepentingan dunia maupun agama karena melihat bahwa wakaf tersebut secara dzatnya adalah sarana mendekatkan diri kepada Allah tanpa melihat kepada i’tikad (keyakinan) orang yang memberikan wakaf tersebut.

Adapun firman Allah SWT tentang orang² yang memakmurkan masjid,

مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَن يَعْمُرُواْ مَسَاجِدَ الله شَاهِدِينَ عَلَى أَنفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ

Artinya : “tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.” (QS. At Taubah : 17 )

Maka ini bukan berarti bahwa seorang non muslim tidak diperbolehkan untuk memberikan bantuannya baik fisik maupun jasa (tenaga) kepada kaum muslimin didalam pembangunan sebuah masjid termasuk ikut serta didalam kepanitiaannya. Akan tetapi maksud dari ayat ini adalah tidak diperkenankan seorang non muslim untuk menguasai dan mengelola aktivitas masjid Allah SWT karena dikhawatirkan akan bercampur dengan hal-hal yang berbau kemusyrikan didalam pengelolaannya tersebut.

Sebagaimana Allah SWT dahulu meminta kepada kaum muslimin untuk mengambil alih seluruh aktivitas yang terkait dengan Masjid Haram, seperti memakmurkannya, menutupi ka’bah maupun memberikan minuman kepada orang-orang yang datang berhaji yang selama ini dilakukan oleh orang-orang muysrik.

Dengan demikian diperbolehkan menerima bantuan dari orang² non muslim baik bantuan yang bersifat fisik maupun tenaga didalam urusan² kemaslahatan dunia maupun agama selama mereka tidak memerangi kaum muslimin, termasuk pembangunan masjid menurut pendapat Imam Syafi’i.

Wallahu Waliyyut Taufiq..

''Semoga bisa menjadi ilmu yang manfaat''