Rabu, 05 Oktober 2016

7 AMAL JARIYAH

16.08.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Amal jariyah adalah sebutan bagi amalan yang terus mengalir pahalanya, walaupun orang yang melakukan amalan tersebut sudah meninggal dunia.
Amalan tersebut terus menghasilkan pahala yang terus mengalir kepadanya.
Kalau kita perhatikan ada beberapa hadits yang menyebutkan hal ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثَةٍ : إِلا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1) sedekah jariyah, (2) ilmu yang diambil manfaatnya, (3) anak shalih yang selalu didoakan orang tuanya.” (HR. Muslim no.1631)

Yang dimaksud dalam hadits adalah tiga amalan yang tidak terputus pahalanya:

Sedekah jariyah,
seperti membangun masjid, menggali sumur, mencetak buku yang bermanfaat serta berbagai macam wakaf yang dimanfaatkan dalam ibadah.

Ilmu yang bermanfaat,
yaitu ilmu syar’i (ilmu agama) yang ia ajarkan pada orang lain dan mereka terus amalkan, atau ia menulis buku agama yang bermanfaat dan terus dimanfaatkan setelah ia meninggal dunia.

Anak yang sholeh,
karena anak sholeh itu hasil dari kerja keras orang tuanya. Oleh karena itu, Islam amat mendorong seseorang untuk memperhatikan pendidikan anak² mereka dalam hal agama, sehingga nantinya anak tersebut tumbuh menjadi anak sholeh.
Lalu anak tersebut menjadi sebab, yaitu orang tua nya masih mendapatkan pahala meskipun orang tua nya sudah meninggal dunia.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ

“Sesungguhnya yang didapati oleh orang yang beriman dari amalan dan kebaikan yang ia lakukan setelah ia mati adalah:

Ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan.

• Anak shaleh yang ia tinggalkan.

• Mushaf Al Qur’an yang ia wariskan.

• Masjid yang ia bangun.

• Rumah bagi ibnu sabil (musafir yang terputus perjalanan) yang ia bangun

• Sungai yang ia alirkan.

• Sedekah yang ia keluarkan dari harta ketika ia sehat dan hidup.

Semua itu akan dikaitkan dengannya setelah ia mati.” (HR. Ibnu Majah no.242, Al Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan dihasankan oleh Al Mundziri. Syech Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Imam Suyuthi rahimahullah menyebutkan dalam bait syairnya:

إِذَا مَاتَ اِبْن آدَم لَيْسَ يَجْرِي        عَلَيْهِ مِنْ فِعَال غَيْر عَشْر
عُلُوم بَثَّهَا وَدُعَاء نَجْل              وَغَرْس النَّخْل وَالصَّدَقَات تَجْرِي
وِرَاثَة مُصْحَف وَرِبَاط ثَغْر        وَحَفْر الْبِئْر أَوْ إِجْرَاء نَهَر
وَبَيْت لِلْغَرِيبِ بَنَاهُ يَأْوِي          إِلَيْهِ أَوْ بَنَاهُ مَحَلّ ذِكْر
وَتَعْلِيم لِقُرْآنٍ كَرِيم                فَخُذْهَا مِنْ أَحَادِيث بِحَصْرٍ

“Jika manusia itu meninggal dunia, maka kebaikan dari perbuatan orang lain itu berhenti kecuali sepuluh perkara:

1. Ilmu yang ia sebarkan

2. Do’a dari anak (keturunannya)

3. Menanam kurma

4. Sedekah jariyah

5. Mewariskan mushaf (Al Qur’an)

6. Menjaga di perbatasan

7. Menggali sumur atau mengalirkan sungai

8. Membangun rumah untuk orang asing (musafir)

9. Membangun majelis dzikir

10. Mengajarkan Al Qur’an Al Karim

Ambillah dari hadits yang telah diringkas.”

Wallahu Waliyyut Taufiq..

''Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat''

KEUTAMAAN MEMBANGUN MASJID WALAU HANYA MENYUMBANG SATU BATA

15.51.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ternyata membangun masjid punya keutamaan yang besar. Bahkan bila kita membangun bagian kecil saja tetap punya keutamaan.

Bangun Masjid Walau Hanya Menyumbang Satu Bata

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ كَمَفْحَصِ قَطَاةٍ أَوْ أَصْغَرَ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ

“Siapa yang membangun masjid karena Allah walaupun hanya selubang tempat burung bertelur atau lebih kecil, maka Allah bangunkan baginya (rumah) seperti itu pula di surga.” (HR. Ibnu Majah no.738. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Mafhash qathaah dalam hadits artinya lubang yang dipakai burung menaruh telurnya dan menderum di tempat tesebut. Dan qathah adalah sejenis burung.

Ibnu Hajar dalam Al Fath (1: 545) menyatakan,

(مَنْ بَنَى مَسْجِدًا) التَّنْكِير فِيهِ لِلشُّيُوعِ فَيَدْخُلُ فِيهِ الْكَبِير وَالصَّغِير ، وَوَقَعَ فِي رِوَايَةِ أَنَس عِنْدَ التِّرْمِذِيِّ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا

“Maksud dari “siapa yang membangun masjid” digunakan isim nakirah yang menunjukkan keumuman, sehingga maksud hadits adalah siapa yang membangun masjid besar maupun kecil. Dalam riwayat Anas yang dikeluarkan oleh Tirmidzi yang mendukung yang menyatakan dengan masjid kecil atau besar.”

Masih melanjutkan penjelasan Ibnu Hajar, yang diterangkan dalam hadits di atas adalah cuma bahasa hiperbolis. Karena tak mungkin tempat burung menaruh telur dan menderum yang seukuran itu dijadikan tempat shalat. Ada riwayat Jabir semakin memperkuat hal ini.

Sebagian ulama lainnya menafsirkan hadits tersebut secara tekstual. Maksudnya, siapa membangun masjid dengan menambah bagian kecil saja yang dibutuhkan, tambahan tersebut seukuran tempat burung bertelur, atau bisa jadi caranya, para jama’ah bekerja sama untuk membangun masjid dan setiap orang punya bagian kecil seukuran tempat burung bertelur, ini semua masuk dalam istilah membangun masjid.

Karena bentuk akhirnya adalah suatu masjid dalam benak kita, yaitu tempat untuk kita shalat.
Berarti penjelasan Ibnu Hajar di atas menunjukkan bahwa jika ada yang menyumbang satu sak semen saja atau bahkan menyumbang satu bata saja, sudah mendapatkan pahala untuk membangun masjid.. Masya Allah...

Yang Penting Ikhlas Ketika Menyumbang

Berapa pun besar sumbangan untuk masjid harus didasari niatan ikhlas karena Allah. Karena yang dimaksud lillah, kata Ibnu Hajar adalah ikhlas (karena Allah). (Fath Al Bari 1: 545).

Jadi, pahala besar membangun masjid yang disebutkan dalam hadits yang kita kaji bisa diraih ketika kita ikhlas dalam beramal, bukan untuk cari pujian atau balasan dari manusia.

Maksud Dibangunkan Bangunan Semisal di Surga

Hadits tentang keutamaan membangun masjid juga disebutkan dari hadits Utsman bin Affan. Di masa Utsman yaitu tahun 30 Hijriyah hingga khilafah beliau berakhir karena terbunuhnya beliau, dibangunlah masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Utsman katakan pada mereka yang membangun sebagai bentuk pengingkaran bahwa mereka terlalu bermegah-megahan.

Lalu Utsman membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ فِى الْجَنَّةِ مِثْلَهُ

“Siapa yang membangun masjid karena Allah, maka Allah akan membangun baginya semisal itu di surga.” (HR. Bukhari no.450 dan Muslim no.533).

Kata Imam Nawawi rahimahullah, maksud akan dibangun baginya semisal itu di surga ada dua tafsiran:

1. Allah akan membangunkan semisal itu dengan bangunan yang disebut bait (rumah). Namun sifatnya dalam hal luasnya dan lainnya, tentu punya keutamaan tersendiri. Bangunan di surga tentu tidak pernah dilihat oleh mata, tak pernah didengar oleh telinga, dan tak pernah terbetik dalam hati akan indahnya.

2. Keutamaan bangunan yang diperoleh di surga dibanding dengan rumah di surga lainnya adalah seperti keutamaan masjid di dunia dibanding dengan rumah² di dunia. (Syarh Shahih Muslim 5: 14)

Masjid Hanya untuk Ajang Pamer dan Saling Bangga

Yang tercela adalah jika masjid cuma untuk bermegah-megahan, bukan untuk tujuan ibadah atau berlomba dalam kebaikan. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِى الْمَسَاجِدِ

“Kiamat tidaklah terjadi hingga manusia berbangga-bangga dalam membangun masjid” (HR. Abu Daud no.449, Ibnu Majah no.739, Ahmad 19: 372. Syech Abdullah Al Fauzan menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim, perawinya tsiqah. Al Hafizh Abu Thahir juga menyimpulkan bahwa sanad hadits ini shahih).

Itulah kenyataan yang terjadi saat ini di tengah² kaum muslimin. Syech Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Yang dimaksud hadits adalah saling menyombongkan diri dengan masjidnya masing². Ada yang nanti berujar, wah masjidku yang paling tinggi, masjidku yang paling luas atau masjidku yang paling bagus. Itu semua dilakukan karena riya’ dan sum’ah, yaitu mencari pujian. Itulah kenyataan yang terjadi pada kaum muslimin saat ini.” (Minhah Al ‘Allam, 2: 495).

Semoga ape yang ane sampein di siang hari ini semakin memotivasi kita untuk membangun masjid di dunia, sehingga Allah menjadikan kita rumah yang indah dan penuh kenikmatan di surga.

Wallahu waliyyut taufiq..

''Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat''

HUKUM TIDUR DALAM KEADAAN JUNUB

15.46.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ada yang berhubungan intim di malam hari dengan pasangannya sehingga ia pun junub, lalu tidur malam tanpa mandi wajib terlebih dahulu. Apakah seperti ini dibolehkan?
Bolehkah seseorang tidur dalam keadaan junub tanpa mandi atau wudhu terlebih dahulu?

Ada hadits yang menyebutkan sebagai berikut,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَيَرْقُدُ أَحَدُنَا وَهْوَ جُنُبٌ قَالَ « نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْقُدْ وَهُوَ جُنُبٌ »

Dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa Umar bin Al Khattab pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah salah seorang di antara kami boleh tidur sedangan ia dalam keadaan junub?” Beliau menjawab, “Iya, jika salah seorang di antara kalian junub, hendaklah ia berwudhu lalu tidur.” (HR. Bukhari no.287 dan Muslim no.306).

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهْوَ جُنُبٌ ، غَسَلَ فَرْجَهُ ، وَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa jika dalam keadaan junub dan hendak tidur, beliau mencuci kemaluannya lalu berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.” (HR. Bukhari no.288).

Aisyah pernah ditanya oleh Abdullah bin Abu Qois mengenai keadaan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,

كَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ فِى الْجَنَابَةِ أَكَانَ يَغْتَسِلُ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ أَمْ يَنَامُ قَبْلَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَتْ كُلُّ ذَلِكَ قَدْ كَانَ يَفْعَلُ رُبَّمَا اغْتَسَلَ فَنَامَ وَرُبَّمَا تَوَضَّأَ فَنَامَ. قُلْتُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى جَعَلَ فِى الأَمْرِ سَعَةً.

“Bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum mandi?” ‘Aisyah menjawab, “Semua itu pernah dilakukan oleh beliau. Kadang beliau mandi, lalu tidur. Kadang pula beliau wudhu, barulah tidur.” Abdullah bin Abu Qois berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan segala urusan begitu lapang.” (HR. Muslim no.307).

Berikut keterangan Syech Abdurrahman bin Nashir As Sa’di ketika menjelaskan hadits Umar dalam penjelasan kitab Umdatul Ahkam.

Para ulama berkata bahwa disunnahkan bagi yang junub untuk berwudhu ketika hendak makan, minum, tidur ataupun ketika ingin mengulangi hubungan intim. Namun jika memilih untuk mandi, itu lebih sempurna. Jika tidak berwudhu, maka berarti meninggalkan yang lebih utama.

Untuk tidur, dimakruhkan untuk tidur dalam keadaan junub berdasarkan dalil ini. Karena orang yang tidur terlepas ruhnya sementara waktu. Ketika itu, ruh tersebut sujud di hadapan Allah.

Sedangkan jika seseorang dalam keadaan junub, tidak bisa seperti itu. Jadinya, jika seseorang tidur dalam keadaan junub lantas junubnya tersebut tidak juga diperingan dengan wudhu, maka maksud ruh untuk sujud di sini tidaklah tercapai.

Begitu pula ada maslahat jika seseorang mandi terlebih dahulu untuk menghilangkan junub sebelum tidur. Ada maslahat badaniyah di sana, yaitu badan bertambah semangat dan ia pun ketika bangun tidur bertambah fit. Jika tidak mandi, maka minimal berwudhu. Jika tidak berwudhu, maka badan akan mudah malas dan lemas.
Ketika bangun tidur pun demikian, bahkan lebih bertambah malas.

Hadits di atas intinya menjelaskan tidak mengapa seseorang tidur dalam keadaan junub, namun disarankan berwudhu terlebih dahulu. (Syarh Umdatil Ahkam hal.87)

Namun hadits di atas masih menunjukkan bolehnya orang yang junub tidur walau tidak dengan wudhu. Ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Apakah salah seorang di antara kami boleh tidur sedangan ia dalam keadaan junub?” Beliau lantas menjawab, “Iya.” Ini menunjukkan bahwa wudhu tersebut hanyalah disunnahkan, bukanlah wajib. Karena jawaban Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat berarti boleh tidur dalam keadaan junub (walau tanpa wudhu).

Dari penjelasan Syech Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri hafizhahullah dalam Syarh Umdatil Ahkam 1: 92, Maka dapat di simpulkan keadaan orang yang junub sebelum tidur:

1. Junub lalu mandi sebelum tidur, ini lebih sempurna.

2. Junub dan wudhu terlebih dahulu sebelum tidur, ini yang disunnahkan untuk memperingan junub.

3. Junub dan tanpa wudhu, lalu tidur. Seperti ini masih dibolehkan.

Wallahu a’lam..

''Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat''