Senin, 15 Agustus 2016

QURBAN ATAU AQIQAH

02.59.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum..

Buat Ukhtie Tati, Jika bicara tentang keutamaan ibadah qurban dan aqiqah, semua dikembalikan lagi ke pembahasan yang paling mendasar yaitu tentang bagaimana hukum Islam yang kompleks namun saling terkait memposisikan ibadah qurban dan aqiqah.

Pertama, yang harus diselesaikan adalah bagaimana hukum aqiqah dalam Islam? Hukum menyelenggarakan aqiqah dengan dua ekor kambing untuk anak laki-laki maupun satu ekor kambing untuk anak perempuan adalah sunnah, bukan wajib. Dalil yang secara jelas menunjukkan hukum aqiqah diriwayatkan Ahmad dari ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda;

“Barangsiapa di antara kalian ada yang suka untuk berqurban (melakukan aqiqah) untuk anaknya, maka silahkan melakukannya. Untuk satu putra dengan dua kambing dan untuk satu putri dengan satu kambing” (H.R. Ahmad)

Mengapa bisa digolongkan sebagai sunnah? Seandainya menyelenggarakan aqiqah itu wajib, maka Rasulullah dalam hadits di atas tidak akan menyebutkan aqiqah dengan istilah “mahabbah” atau “kesukaan” yang secara eksplisit tercantum dalam kalimat “barangsiapa di antara kalian ada yang suka”. Karena itulah, ada indikasi yang menguatkan bahwa penyelenggaraan aqiqah itu adalah sunnah.

Dari satu hadits yang diriwayatkan oleh Samurah pun disebutkan bahwa, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Setiap anak yang dilahirkan itu terpelihara dengan aqiqah dan disembelihkan hewan untuknya pada hari ke tujuh, dicukur, dan diberikan nama untuknya (H.R. Abu Dawud)

Melalui dalil di atas menjadi semakin jelas waktu pelaksanaan aqiqah ada di hari ke tujuh dari hari kelahirannya namun jika orang tua si anak tidak memiliki kemampuan untuk mengaqiqahkan pada hari ketujuh maka Ia dibolehkan untuk mengaqiqahkan pada hari ke-14, hari ke-21, atau pada saat kapanpun Ia memiliki kelapangan rezeki untuk itu. Sehingga semakin menguatkan bahwa aqiqah semuanya diserahkan pada kemampuan dan kelapangan rezeki si orang tua.

Lalu bagaimana kesimpulannya? Antara qurban dan aqiqah mana yang harus dilakukan?

Jika seorang muslim dihadapkan pada dua pilihan antara qurban dan aqiqah, maka kedua pilihan itu tak usah sampai membebankan pikirannya, karena sebaiknya dana yang dimilikinya didahulukan untuk qurban terlebih dahulu.

Dikarenakan qurban itu punya keutamaan hukum yang lebih dahulu dibandingkan aqiqah. Perintah berqurban itu hukumnya Sunnah Muakkad atau Sunnah yang dikuatkan. Dalam Q.S Al Kautsar ayat 2 jelas tercantum firman Allah:

“Shalatlah untuk Rabbmu dan berkurbanlah, (Q.S Al-Kautsar: 2)

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

APAKAH ANAK YANG SUDAH MENINGGAL PERLU AQIQAH JUGA

02.48.00 Posted by Admin 2 comments

Melanjutkan pertanyaan dari Mba Noer yang menanyakan APAKAH ANAK YANG SUDAH MENINGGAL PERLU AQIQAH JUGA, berikut penjabaran nye,

Para ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat mengenai hukum melaksanakan aqiqah untuk anak yang meninggal dan belum pernah dilakukan aqiqah untuknya. (Hisamudin ‘Ifanah, Al Mufashshal fi Ahkam Al ‘Aqiqah, hlm. 129-130).

Tiga pendapat tersebut adalah sbb;

Pertama, wajib hukumnya secara mutlak melaksanakan aqiqah untuk anak yang sudah meninggal. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 6/234).

Kedua, sunnah hukumnya melaksanakan aqiqah untuk anak yang sudah meninggal. Ini pendapat yang dianggap lebih sahih (ashah) dari dua versi pendapat ulama Syafi’iyyah sebagaimana disebut oleh Imam Rafi’i, juga merupakan satu qaul (pendapat) dari ulama Hanabilah. (As Syarhul Mumti’, 7/540).

Ketiga, aqiqah gugur hukumnya jika anak sudah meninggal. Ini merupakan satu versi lainnya dari dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah, dan juga qaul (pendapat) dari ulama Malikiyyah. (Imam Nawawi, Al Majmu’, 8/432; Al Muntaqa, 4/200).

Setelah mendalami dalil-dalilnya, pendapat yang rajih (paling kuat) adalah pendapat kedua yang memandang sunnah melakukan aqiqah bagi anak yang sudah meninggal. Alasan pentarjihannya ada 2 (dua) alasan,

Pertama, bahwa pendapat ketiga yang menggugurkan aqiqah untuk anak yang sudah meninggal, tidak dapat diterima. Karena “sebab” pelaksanaan aqiqah itu tetap ada, yaitu kelahiran anak (al wiladah), meski anaknya sendiri sudah meninggal. Para fuqaha sepakat bahwa kelahiran anak (al wiladah) itulah yang menjadi “sebab” pelaksanaan aqiqah. (Hisamudin ‘Ifanah, Al Mufashshal fi Ahkam Al ‘Aqiqah, hlm. 132).

Oleh karena itu, selama sebab itu ada,  maka akibat hukumnya --yaitu pelaksanaan aqiqah-- tetap ada dan tidak gugur. Sebaliknya jika sebab suatu hukum sudah tiada, maka menjadi tiada pula pelaksanaan hukumnya. Kaidah fiqih menyebutkan : zawaalul ahkaam bizawaali asbaabiha (tiadanya hukum disebabkan oleh tiadanya sebab-sebab pelaksanaan hukumnya). (Imam Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalih Al Anam).

Kedua, pendapat pertama yang mewajibkan aqiqah untuk anak yang sudah meninggal, juga tidak dapat diterima. Hujjah pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah RA yang menyebutkan bahwa Nabi SAW memerintahkan mereka (amarahum) untuk mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua kambing yang setara dan anak perempuan dengan satu kambing.” (HR Tirmidzi). Menurut ulama Zhahiriyah, kata “amarahum” (Nabi SAW memerintahkan) menunjukkan adanya perintah (amar), dan arti asal dari amar adalah wajib. Maka aqiqah itu hukumnya wajib. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/97-98).


Namun pendapat tersebut tidak tepat, karena terdapat qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa perintah itu bukan perintah wajib, melainkan perintah sunnah. Sebab terdapat hadits yang mengaitkan pelaksanaan aqiqah dengan kesukaan (mahabbah) dari mukallaf (ayah si anak). Andaikata aqiqah wajib, niscaya tidak dikaitkan dengan kesukaan mukallaf, melainkan harus dilakukan baik mukallaf suka atau tidak. (Imam Nawawi, Al Majmu’, 8/426).

Dari ‘Amr bin Syu’aib RA dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa yang suka di antara kamu untuk mengaqiqahi anaknya, maka hendaklah dia melakukan (aqiqah); untuk anak laki-laki dua kambing yang setara dan anak perempuan satu kambing.” (HR Ahmad 2/182; Abu Dawud no 2742; Nasa`i 7/626). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm.1022).


Berdasarkan dua alasan tersebut, maka pendapat yang paling kuat (rajih) adalah yang tetap mensunnahkan aqiqah untuk anak walaupun anaknya sudah meninggal. Imam Nawawi berkata,”Kalau sekiranya anak yang dilahirkan meninggal setelah hari ketujuh dan setelah adanya kemampuan untuk menyelembelih aqiqah, maka di sini ada dua pendapat sebagaimana disebutkan oleh Imam Rafi’i; yang pertama dan ini yang paling sahih, yakni tetap mustahab (sunnah) untuk mengaqiqahi anak itu...” (Imam Nawawi, Al Majmu’, 8/432)..

Sedikit Tambahan..

Waktu disunnahkannya aqiqah adalah sejak kelahiran bayi, sampai sang anak menginjak baligh. Namun, sangat utama jika aqiqah dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi terlahir.

Jika anak telah menginjak baligh sebelum ia sempat diaqiqahi, maka orang tua tidak lagi menanggung beban aqiqah. Sebaliknya, beban kesunnahan aqiqah akan menjadi tanggungan anak tersebut. Sebab, setelah manusia menginjak usia baligh, maka seluruh beban ibadah akan dibebankan di pundaknya sendiri, bukan orang lain. Lihat Al-Qur`an surat An-Najm ayat 39.

Sedangkan untuk mengaqiqahkan orang tua yang sudah meninggal pun di perbolehkan, dengan catatan, pleksanaan aiqiah tersebut telah mendapat izin atau wasiat.

Sayyidina Ali Radiyallahu `anhu berkata : "Baginda Nabi pernah memerintahkanku untuk melakukan qurban untuknya dan aku melaksanakan qurban untuknya ". Dari kisah sayyidina Ali ini ulama menyimpulkan bahwa melaksanakan qurban untuk orang lain diperbolehkan asalkan telah mendapat izin atau wasiat darinya. Selanjutnya, ulama mencoba mengembangkan konklusi hukum demikian ini ke dalam persoalan aqiqah. Mengingat, qurban dan aqiqah memiliki banyak persamaan.

Bahkan, menurut Abu Hasan Al-`Ubadi melakukan qurban untuk mayit (orang meninggal) tidaklah harus mendapat wasiat darinya. Dengan tegas beliau memaparkan pahala qurban tetap akan sampai pada mayit. Beliau berargumen bahwa qurban adalah sedekah, untuk mengirimkan qurban pada orang lain tidak harus mendapatkan izin atau wasiat darinya. Begitupun halnya dengan masalah aqiqah.

Jadi meng-aqiqahi orang tua atau orang lain hukumnya boleh bila ada izin atau wasiat darinya. Bahkan, menurut Al-`Ubadi diperbolehkan meski tanpa wasiat darinya, sebagaimana dalam permasalahan qurban..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

HUKUM RAMBUT MOHAWK DAN QAZA

02.30.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhie Ukhtie..

Tadi malem teh Tati nanya bagaimanakah hukum model rambut Mohawk yang jadi trend saat ini seperti milik pemain bola tenar Balotelli?

Yang dimaksud qaza’ adalah menggundul sebagian rambut kepala (sebagian rambut kepala habis) dan membiarkan rambut yang lain. Ini sama persis dengan model rambut ‘mohawk’ saat ini. Yang biasa berpenampilan dengan rambut seperti ini adalah seorang pemain bola asal Italia yang bernama Balotelli. Sehingga kami menyebut di sini dengan rambut Mohawk ala Balotelli. Yang memprihatinkan, anak-anak muda muslim mengikuti penampilan Balotelli, padahal ia tidak pantas dicontoh karena karakternya yang jelek. Bagaimanakah hukum rambut qaza’ dan rambut Mohawk sebenarnya?

Kita perlu dipahami terlebih dahulu apa itu qaza’.

Sebagaimana diterangkan oleh Syech Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah, qaza’ adalah menggundul (mencukur habis) sebagian rambut kepala dan membiar sebagian rambut yang lain. Di sini ada beberapa model:

• Mencukur habis secara berurutan, yaitu mencukur bagian samping kanan, lalu bagian samping kiri, bagian depan kepala dan tengkuknya.
• Mencukur habis bagian tengah dan membiarkan bagian sampingnya.
• Mencukur bagian sampingnya lalu membiarkan bagian tengahnya. Ibnul Qayyim menyatakan bahwa model ini seperti yang dilakukan oleh orang rendahan.
Mencukur bagian depan dan membiarkan yang lain.

Hukum qaza’ adalah MAKRUH. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seseorang dalam keadaan rambutnya sebagian gundul, sebagian lainnya dibiarkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarangnya. Beliau bersabda pada orang yang model rambutnya seperti itu, “Cukurlah seluruhnya. Atau biarkanlah seluruhnya.”

Namun jika untuk mengikuti model orang non muslim, berarti dihukumi HARAM. Karena tasyabbuh (mengikuti gaya) orang kafir adalah haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”

Oleh karena itu jika melihat ada orang yang model rambutnya adalah qaza’, hendaknya kita perintahkan agar ia menggundul seluruh rambut kepalanya. Kemudian beri saran setelah itu, jika ingin mencukur rambut lagi, hendaklah mencukur seluruhnya atau membiarkan seluruhnya. (Syarhul Mumthi’, 1: 167-168).

Juga ada keterangan dari Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (1: 347), “Qaza’ dihukumi makruh. Yang dimaksud qaza’ adalah model rambut yang hanya menggundul sebagian rambut saja. Hal ini terlarang berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam shahihain, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qaza’.”

Dalil-dalil yang melarang model rambut qaza’,

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنِ الْقَزَعِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qaza’.” (HR. Bukhari no. 5921 dan Muslim no. 2120)

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Ibnu ‘Umar mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْقَزَعِ. قَالَ قُلْتُ لِنَافِعٍ وَمَا الْقَزَعُ قَالَ يُحْلَقُ بَعْضُ رَأْسِ الصَّبِىِّ وَيُتْرَكُ بَعْضٌ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang qaza’.” Aku (Umar bin Nafi’) berkata pada Nafi’, “Apa itu qaza’?” Nafi’ menjawab, “Qaza’ adalah menggundul sebagian kepala anak kecil dan meninggalkan sebagian lainnya.” (HR. Muslim no. 2120)

Dalam keterangan yang lain, Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa para ulama berijma’ (sepakat) bahwa qaza’ itu dimakruhkan jika rambut yang digundul tempatnya berbeda-beda (misalnya: depan dan belakang gundul, bagian samping tidak gundul, -pen) kecuali jika dalam kondisi penyembuhan penyakit dan semacamnya. Yang dimaksud makruh di sini adalah makruh tanzih (artinya: sebaiknya ditinggalkan). … Ulama madzhab Syafi’iyah melarang qaza’ secara mutlak termasuk laki-laki dan perempuan.” (Syarh Shahih Muslim, 14: 101)

Maka Kesimpulan yang bisa kite ambil dari pembahasan ini ada dua:

1- Kalau sekedar bermodel qaza’, maka itu makruh.

2- Kalau mengikuti gaya orang kafir termasuk mengikuti model Mohawk Balotelli, berarti haram. Hendaknya ia mencukur rambut kepala seluruhnya.

Bagaimana dengan model rambut cepak? Jawabannya sama dengan di atas. Jika modelnya adalah menggundul sebagian rambut kepala dan meninggalkan sebagian lainnya, maka disebut qaza’ dan itu terlarang.

Jadi, yang ingin meniru gaya Balotelli, hati-hati, ente telah melakukan keharaman..

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"

HUKUM PUASA BAGI ORANG YANG MENINGGALKAN SHOLAT

01.40.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Bagaimanakah hukum puasa bagi orang yang meninggalkan shalat? Berikut penjelasannya..

Syech Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya : Apa hukum orang yang berpuasa namun meninggalkan shalat?
Beliau rahimahullah menjawab, “Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

”Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara²mu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat² itu bagi kaum yang mengetahui.”
(QS. At Taubah : 11)

Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no.82)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shahih oleh Syech Al Albani)

Pendapat yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat merupakan suatu kekafiran adalah pendapat mayoritas sahabat Nabi bahkan dapat dikatakan pendapat tersebut adalah ijma’ (kesepakatan) para sahabat.

Abdullah bin Syaqiq rahimahullah (seorang tabi’in yang sudah masyhur) mengatakan, “Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amalan yang apabila seseorang meninggalkannya akan menyebabkan dia kafir selain perkara shalat.” [Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy ,seorang tabi’in. Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih.

Oleh karena itu, apabila seseorang berpuasa namun dia meninggalkan shalat, puasa yang dia lakukan tidaklah sah (tidak diterima). Amalan puasa yang dia lakukan tidaklah bermanfaat pada hari kiamat nanti.

Oleh sebab itu di katakan, “Shalatlah kemudian tunaikanlah puasa”. Adapun jika engkau puasa namun tidak shalat, amalan puasamu akan tertolak karena orang kafir (karena sebab meninggalkan shalat) tidak diterima ibadah dari dirinya.
[Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu Utsaimin 17/62]

Terus bagaimakah orang yang hanya shalat di bulan Ramadhan saja?

Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya:
“Apabila seseorang hanya di bulan Ramadhan semangat melakukan puasa dan shalat, namun setelah Ramadhan berakhir dia meninggalkan shalat, apakah puasanya di bulan Ramadhan diterima?”

Jawaban:
“Shalat merupakan salah satu rukun Islam. Shalat merupakan rukun Islam terpenting setelah dua kalimat syahadat. Dan hukum shalat adalah wajib bagi setiap individu. Barangsiapa meninggalkan shalat karena menentang kewajibannya atau meninggalkannya karena menganggap remeh dan malas²an, maka dia telah kafir. Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah) hanya pada bulan Ramadhan saja.”
Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,

الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat, barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dari Buraidah Al Aslamiy)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam, tiangnya (penopangnya) adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu)

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ وَ الشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“Pembatas antara seorang muslim dengan kekafiran dan kesyirikan adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah Al Anshoriy).

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

KEUTAMAAN MAKAN SAHUR

01.35.00 Posted by Admin No comments

Biar pada semangat sahur nye, ini akan ane jabarin Sebenernye ape sich itu Sahur'?

(السَّحُوْرُ), adalah dengan memfathahkan siin yaitu untuk sesuatu yang dipakai bersahur berupa suatu makanan atau minuman, dan dengan mendhammahkan, yaitu sebagai masdar (asal kata) dan untuk kata kerjanya pun seperti itu pula

Ibnul Atsir berkata, “Yang lebih banyak diriwayatkan adalah dengan menfathahkan, ada yang berpendapat: ‘Yang benar adalah dengan didhummahkan karena dengan menfathahkan adalah untuk makanan, keberkahan, ganjaran dan balasan perbuatan, bukan pada makanan.’”

Dinamakan Sahur, karena dilaksanakan pada waktu Sahur, sedang as-Sahir adalah, akhir dari malam sebelum Shubuh, ada yang berkata, ia dari sepertiga malam akhir hingga terbit fajar, maksudnya adalah bahwa akhir dari waktu sahur bagi seorang yang berpuasa adalah terbitnya fajar.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“…Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…” [Al-Baqarah: 187]

Disunnahkan untuk mengakhirkan Sahur jika tidak dikhawatirkan terbitnya fajar, riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas Radhiyallahu anhu dari Zaid bin Harits Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kita bersahur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kita mendirikan shalat.” Saya berkata: “Berapa lamakah antara keduanya?” Ia berkata: “Lima puluh ayat.”

Imam al-Baghawi berkata: “Para ulama menganjurkan mengakhirkan makan sahur.”

Sahur hukumnya adalah mustahab (disunnahkan) bagi orang yang berpuasa karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“تَسَحَّرُوْا! فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ.”

“Bersahurlah kalian karena dalam bersahur tersebut terdapat keberkahan.”

Dan dalam riwayat yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“فَصْلٌ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ، أَكْلَةُ السَّحَرِ.”

”Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahlul Kitab adalah makan Sahur.”

Maka, dengan makan Sahur berarti telah menyelisihi ahlul Kitab.

Imam an-Nawawi berkata, “Artinya, pemisah dan pembeda antara puasa kita dengan puasa mereka adalah sahur, karena mereka tidak bersahur sedang kita dianjurkan untuk bersahur.”

Makan Sahur dapat berupa sesuatu yang paling sedikit untuk disantap oleh seseorang, baik berupa makanan maupun minuman.

KEUTAMAAN SAHUR DAN KEBERKAHANNYA

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“تَسَحَّرُوْا! فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ.”

“Bersahurlah, karena pada makan Sahur itu ada keberkahan.”

Dan diriwayatkan dari al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil seseorang untuk makan Sahur seraya bersabda:

“هَلُمَّ إِلَى الْغَدَاءِ الْمُبَارَكِ.”

“Kemarilah untuk menyantap makanan yang diberkati.”

Makan Sahur memiliki keberkahan dunia dan akhirat, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata saat menjelaskan keberkahan Sahur, “Keberkahan yang terdapat pada makan Sahur sangatlah jelas sekali, karena ia menguatkan untuk berpuasa dan membuatnya bergairah untuknya serta mendapatkan keinginan untuk menambah puasa oleh karena ringannya kesulitan padanya bagi orang yang bersahur.” Dikatakan: “Sesungguhnya ia mengandung terjaga dari tidur, dzikir dan do’a pada saat itu, dimana waktu tersebut adalah waktu turunnya Malaikat, penerimaan do’a dan istighfar, dan kemungkinan ia mengambil wudhu’ lalu shalat atau terus melanjutkan terjaga untuk dzikir, do’a, shalat atau mempersiapkan diri untuk shalat hingga terbit Fajar.”

Yang benar, bahwa keberkahan meliputi semua itu dan hal-hal lain dari manfaat-manfaat Sahur, baik duniawi maupun ukhrawi, dan bahwa makan Sahur mencakup makanan dan minuman, sedangkan kata kerjanya adalah التَّسَحُّرُ.

Dalam kitab Fat-hul Baari, Ibnu Hajjar berkata: “(Pendapat) yang terbaik adalah, bahwa keberkahan dalam makan Sahur dapat diperoleh dari banyak segi, yaitu mengikuti Sunnah dan menyalahi ahlul Kitab, taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beribadah, menambah semangat beramal dan mencegah akhlak yang buruk yang diakibatkan oleh kelaparan, menjadi sebab bersedekah kepada siapa yang meminta saat itu atau berkumpul bersama dengannya untuk makan, membuatnya berdzikir, berdo’a pada waktu-waktu dikabulkannya do’a, memperbaiki niat puasa bagi mereka yang melalaikannya sebelum tidur, Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, ‘Keberkahan ini dapat juga berlaku terhadap hal-hal ukhrawi karena dengan menegakkan Sunnah, maka akan diganjar dan bertambahnya Sunnah (yang dilakukan), begitu pula bisa saja berlaku terhadap hal-hal duniawi, seperti kekuatan tubuh untuk berpuasa dan juga memudahkan dirinya tanpa ada bahaya bagi orang yang melaku-kan puasa.’”

Di antara keutamaan-keutamaan yang ditambah bagi makan Sahur adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Malaikat-Nya akan bershalawat bagi orang-orang yang makan Sahur, tidak dipungkiri bahwa itu adalah keutamaan yang besar.

Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu telah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

“السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلاَ تَدْعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يُجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحَّرِيْنَ.”

“Makan Sahur adalah keberkahan, maka janganlah kalian meninggalkannya, walaupun hanya berupa seteguk air, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Malaikat-Nya bershalawat bagi orang-orang yang bersahur.”

Maka seyogyanyalah bagi seorang Muslim mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatannya pada masalah ini, hingga memperoleh keber-kahannya dan keutamaan-keutamaannya serta manfaat dunia dan akhirat..

Udeh tau segitu besarnye keutamaan sahur, apakah masih mau males²an buat sahur'?

"Semoga jadi ilmu yang manfaat"