Kamis, 27 April 2017

BISAKAH LAMA HAID KURANG DALAM SEHARI

00.41.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ada salah seorang akhwat bertanya, Bagaimana jika ada wanita yang keluar darah kurang dari sehari (24 jam), apakah tetap dihukumi haid? Berikut penjelasannya..

Menurut ulama Syafi’iyah, waktu minimal lamanya haid adalah sehari semalam. Umumnya wanita mengalami haid adalah enam atau tujuh hari. Sedangkan waktu maksimal bagi wanita mengalami haid adalah lima belas hari. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syech Salim Al Hadrami dalam Matan Safinah An Najah. Lama haid itu sehari semalam juga disebutkan dalam madzhab Hambali seperti dalam Zaad Al Mustaqni’ bahwa waktu lamanya haid paling minimal adalah sehari semalam.

Pendapat lain menyatakan bahwa lama minimal masa haid tidak dibatasi.

Syech Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa ketika darah kebiasaan itu ada, maka berlakulah hukum. Inilah yang ditunjukkan oleh dalil dan diamalkan oleh kaum muslimin. Adapun menetapkan umur tertentu di mana minimal wanita mendapati haid atau menetapkan usia berapa berakhirnya haid, juga menetapkan batasan minimal atau maksimalnya, maka seperti itu tidaklah terdapat dalil. (Al Qawa’id wa Al Furuq, hlm.169)

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak batasan minimal atau maksimal lamanya haid. Selama wanita melihat kebiasaan haidnya terus menerus, maka dihukumi haid. Jika kurang dari sehari, namun darah tersebut terus keluar, maka dihukumi haid. Begitu pula jika lebih dari tujuh belas hari dan keluar terus menerus, maka dihukumi haid. Adapun jika darah keluar selamanya terus menerus, diketahui seperti itu bukanlah haid. Karena sudah diketahui secara syar’i dan menurut pengertian bahasa, seorang wanita kadang mengalami suci, kadang mengalami haid. Ketika suci ada hukum tersendiri, begitu pula ketika haidnya. (Majmu’ah Al Fatawa 19:237)

Pendapat inilah yang lebih kuat..

Apa dalilnya?

Syech Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menyebutkan,

“Menurut pendapat yang paling kuat, tidak ada batasan minimal atau maksimal lamanya masa haid. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.” (QS. Al Baqarah: 222).

Dalam ayat ini perintah untuk menjauhi wanita di masa haidnya tidak diberikan batasan waktu tertentu. Pokoknya wanita itu baru bisa disetubuhi jika telah suci (darah berhenti, lalu mandi). Sebab hukum dalam ayat adalah ada tidaknya darah haid. Jika didapati haid, maka tidak boleh menyetubuhi istri. Namun jika telah suci, maka hilanglah hukum larangan tadi.

Menetapkan masa lamanya haid dengan waktu tertentu tidaklah berdasarkan dalil. Padahal hal tersebut sangat perlu sekali dijelaskan (di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Jika ada batasan umur wanita mendapati haid dan jangka waktu lamanya haid, maka tentu akan dijelaskan dalam Al Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karenanya, jika wanita melihat darah yang sudah dikenal sebagai darah haid, maka dihukumi sebagai haid tanpa dikaitkan dengan lama waktunya. Kecuali kalau darah yang keluar pada wanita tersebut mengalir terus tidak terputus atau dalam sebulan hanya berhenti singkat selama sehari atau dua hari, maka darah tersebut dihukumi darah istihadhah. (Majmu’ Fatawa Syech Ibnu Utsaimin 11: 271. Al Islam Sual wa Jawab no.65570)

Berhentinya darah haid bisa dibuktikan dengan dua cara:

• Telah keluar cairan putih, yaitu cairan berwarna putih yang keluar dari rahim sebagai tanda telah selesainya masa haid (darah haid telah berhenti).

• Keringnya farji (sama sekali tidak ada lagi darah yang keluar), (tanda ini bisa digunakan) bila wanita tersebut tidak memiliki kebiasaan keluar cairan putih.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

SHALAT ADALAH TIANG AGAMA

00.33.00 Posted by Admin 2 comments


Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Kedudukan shalat lima waktu dalam agama islam adalah ibarat tiang penopang dari suatu kubah atau kemah. Tiang penopang yang dimaksud di sini adalah tiang utama. Artinya jika tiang utama ini roboh, maka tentu suatu kubah atau kemah akan roboh.

Dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.”
(HR. Tirmidzi no.2616 dan Ibnu Majah no.3973. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dalam hadits ini disebut bahwa shalat dalam agama Islam adalah sebagai tiang penopang yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiang. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat. Demikianlah cara berdalil Imam Ahmad dengan hadits ini.

Dari Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ’anhuma, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun atas lima perkara, yaitu : (1). Bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar untuk diibadahi kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, (2). Mendirikan shalat, (3). Menunaikan zakat, (4). Naik haji ke Baitullah bagi yang mampu, (5). Berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no.8 dan Muslim no.16)

Faedah yang bisa kita tarik dari hadits di atas:

1. Dikatakan dalam hadits ini bahwa islam adalah seperti kubah yang dibangun di atas lima tiang penopang (rukun). Apabila tiang penopang kubah yang terbesar tersebut roboh, maka robohlah kubah Islam.

2. Dalam hadits ini juga disebutkan bahwa rukun² Islam adalah tiang² penopang suatu kubah (bukan tiang biasa). Di situ ada dua kalimat syahadat. Kedua kalimat tersebut adalah rukun. Di situ juga ada shalat dan zakat yang masing² sebagai rukun. Lalu bagaimana mungkin kubah Islam tetap berdiri jika salah satu dari tiang penopang kubah sudah tidak ada, walaupun rukun yang lain masih ada?!

3. Rukun atau tiang Islam tadi dimasukkan dalam nama Islam. Artinya, jika hilang sebagian rukun, maka hilanglah nama Islam. Lebih² ini disebut rukun atau tiang penopang, bukan seperti bagian lainnya. Ada tiang yang bukan jadi tiang penopang, ada kayu dan baut bata, yang kesemuanya tidaklah seperti rukun yang dimaksud di sini.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..