Minggu, 02 April 2017

SESEORANG AKAN MENDAPAT UJIAN SEBANDING KUALITAS IMANNYA

17.21.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Siapakah yang akan mendapatkan ujian terberat..

Dari Mush’ab bin Sa’id seorang tabi’in, dari ayahnya, ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »

“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi no.2398, Ibnu Majah no.4024, Ad Darimi no.2783, Syech Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَاِذَا عَظُمَت المِحْنَةُ كَانَ ذَلِكَ لِلْمُؤْمِنِ الصَّالِحِ سَبَبًا لِعُلُوِّ الدَرَجَةِ وَعَظِيْمِ الاَجْرِ

“Cobaan yang semakin berat akan senantiasa menimpa seorang mukmin yang sholeh untuk meninggikan derajatnya dan agar ia semakin mendapatkan ganjaran yang besar.”

Syaikhul Islam juga mengatakan,

واللهُ تَعَالَى قَدْ جَعَلَ أَكْمَلَ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَعْظَمُهُمْ بَلاَءً

“Allah akan memberikan cobaan terberat bagi setiap orang mukmin yang sempurna imannya.”

Al Munawi mengatakan, “Jika seorang mukmin diberi cobaan maka itu sesuai dengan ketaatan, keikhlasan, dan keimanan dalam hatinya.”

Al Munawi mengatakan pula, “Barangsiapa yang menyangka bahwa apabila seorang hamba ditimpa ujian yang berat, itu adalah suatu kehinaan, maka sungguh akalnya telah hilang dan hatinya telah buta. Betapa banyak orang sholeh (ulama besar) yang mendapatkan berbagai ujian yang menyulitkan. Tidakkah kita melihat mengenai kisah disembelihnya Nabi Allah Yahya bin Zakariya, terbunuhnya tiga Khulafa’ur Rosyidin, terbunuhnya Al Husain, Ibnu Zubair dan Ibnu Jabir. Begitu juga tidakkah kita perhatikan kisah Abu Hanifah yang dipenjara sehingga mati di dalam buih, Imam Malik yang dibuat telanjang kemudian dicambuk dan tangannya ditarik sehingga lepaslah bahunya, begitu juga kisah Imam Ahmad yang disiksa hingga pingsan dan kulitnya disayat dalam keadaan hidup. Dan masih banyak kisah lainnya.”

Semakin kuat iman, semakin berat cobaan, namun semakin Allah cinta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya balasan terbesar dari ujian yang berat. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa ridho, maka Allah pun ridho. Dan barangsiapa murka (tidak suka pada cobaan tersebut), maka baginya murka Allah.”
(HR. Tirmidzi no.2396)

Kewajiban kita adalah bersabar dan bersabar. Ganjaran bersabar sangat luar biasa. Ingatlah janji Allah,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya orang² yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga).” (QS. Az Zumar: 10).

Al Auza’i mengatakan bahwa ganjarannya tidak bisa ditakar dan ditimbang. Ibnu Juraij mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar pahala bagi mereka tidak bisa dihitung sama sekali, akan tetapi akan diberi tambahan dari itu. Maksudnya, pahala mereka tak terhingga. Sedangkan As Sudi mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar adalah surga.

Makna asal dari sabar adalah “menahan”. Secara syar’i, pengertian sabar sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim,

فَالصَّبْرُ حَبْسُ النَّفْسِ عَنِ الجَزْعِ وَاللَِّسَانِ عَنِ التَّشَكِّي، وَالجَوَارِحِ عَنْ لَطْمِ الخُدُوْد وَشَقِّ الثِيَابِ وَنَحْوِهِمَا

“Sabar adalah menahan diri dari menggerutu, menahan lisan dari mengeluh, dan menahan anggota badan dari menampar pipi, merobek-robek baju dan perbuatan tidak sabar selain keduanya.”

Jadi, sabar meliputi menahan hati, lisan dan anggota badan..

Semoga Allah Ta'alaa memberi taufik dan kekuatan kepada kita semua dalam menghadapi setiap ujian'..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..

BERUSAHA UNTUK IKHLAS

14.22.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Allah akan senantiasa menolong kaum muslimin karena keikhlasan sebagian orang dari umat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا يَنْصُرُ اللَّهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ

“Allah akan menolong umat ini karena sebab orang miskin, karena do’a orang miskin tersebut, karena shalat mereka dan karena keikhlasan mereka dalam beramal.” (HR. An Nasai no.3178, Syech Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amalan, di samping amalan tersebut harus sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa ikhlas, amalan jadi sia² belaka. Ibnul Qayyim memberikan nasehat yang sangat indah tentang ikhlas, “Amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas dan tanpa mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan seorang musafir yang membawa bekal berisi pasir. Bekal tersebut hanya memberatkan, namun tidak membawa manfaat apa².”

Perintah untuk Ikhlas

Setiap amalan sangat tergantung pada niat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang dia niatkan." (HR. Bukhari no.1 dan Muslim no.1907)

Dan niat itu sangat tergantung dengan keikhlasan pada Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
(QS. Al Bayyinah: 5)

Allah pun mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba..

Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ

“Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui”.” (QS. Ali Imran: 29)

Dalam ayat lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya yang merupakan lawan dari ikhlas dalam firman-Nya,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ

“Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman, Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (tidak menerima amalannya) dan perbuatan syiriknya.”
(HR. Muslim no.2985) 

An Nawawi mengatakan, “Amalan seseorang yang berbuat riya (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa², bahkan ia akan mendapatkan dosa.” (Syarh Muslim, An Nawawi 9/370)

Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang menutut  ilmu yang sebenarnya harus ditujukan hanya untuk mengharap wajah Allah, namun ia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan materi duniawi, maka ia tidak akan pernah mencium bau surga pada hari kiamat nanti.”
(HR. Abu Daud no.3644 dan Ibnu Majah no.252)

Pengertian Ikhlas Menurut Para Ulama

Para ulama menjelaskan ikhlas dengan beberapa pengertian, namun sebenarnya hakikatnya sama. Berikut perkataan ulama-ulama tersebut..

Abul Qosim Al Qusyairi mengatakan, “Ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Sehingga yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan perlakuan baik dan pujian dari makhluk atau yang dilakukan bukanlah di luar mendekatkan diri pada Allah.”

Abul Qosim juga mengatakan, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.”

Jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita-cita ingin mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji amalan kebajikan kita. Dan seharusnya yang dicari adalah ridho Allah, bukan komentar dan pujian manusia.

Hudzaifah Al Mar’asiy mengatakan, “Ikhlas adalah kesamaan perbuatan seorang hamba antara zhohir (lahiriyah) dan batin.” Berkebalikan dengan riya. Riya adalah amalan zhohir (yang tampak) lebih baik dari amalan batin yang tidak ditampakkan. Sedangkan ikhlas, minimalnya adalah sama antara lahiriyah dan batin.

Dzun Nuun menyebutkan tiga tanda ikhlas:

• Tetap merasa sama antara pujian dan celaan orang lain.

• Melupakan amalan kebajikan yang dulu pernah diperbuat.

• Mengharap balasan dari amalan di akhirat (dan bukan di dunia).

Al Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya. Beramal karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah engkau terselamatkan dari dua hal tadi.”

Ada empat definisi dari ikhlas yang bisa kita simpulkan dari perkataan ulama di atas..

• Meniatkan suatu amalan hanya untuk Allah.

• Tidak mengharap-harap pujian manusia dalam beramal.

• Kesamaan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi.

• Mengharap balasan dari amalannya di akhirat.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

HIKMAH LARANGAN BERPUASA DI HARI JUM'AT

14.10.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Setelah kemaren ane bahas mengenai hari² yang di larang untuk berpuasa, ada salah seorang Ikhwan yang bertanya lagi mengenai hal tersebut..

Beliau bertanya, Apa alasan dilarangnya pengkhususan hari Jum’at untuk berpuasa? Dan apakah termasuk juga puasa pengganti (pembayaran hutang puasa)?

Telah diriwayatkan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

لا يصم أحدكم يوم الجمعة إلا أن يصوم قبله أو يصوم بعده

“Janganlah salah seorang diantara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali ia berpuasa sebelum atau sesudahnya” (HR. Muslim no.1144).

Hikmah dalam pelarangan pengkhususan hari Jum’at dengan puasa adalah bahwa hari Jum’at merupakan hari raya dalam sepekan, dia adalah salah satu dari tiga hari raya yang disyari’atkan, karena Islam memiliki tiga hari raya, yakni: Idul Fithri, Idul Adha, dan hari raya pekanan, yakni hari Jum’at. Oleh sebab itu hari ini (yakni Jum'at) terlarang dari pengkhususan puasa, karena hari Jum’at adalah hari yang sepatutnya seorang lelaki mendahulukan sholat Jum’at, menyibukkan diri dengan berdo’a serta berdzikir, dia serupa dengan hari Arafah yang para jama’ah haji justru tidak diperintahkan berpuasa padanya, karena disibukkan dengan do’a dan dzikir.

Telah diketahui juga bahwa ketika saling berbenturan beberapa ibadah yang sebagiannya dapat ditunda, maka lebih didahulukan ibadah yang tidak dapat ditunda daripada ibadah yang masih dapat ditunda.

Apabila ada orang yang bertanya seperti pertanyaan di atas, Maka alasan inilah jawabannya, bahwa keadaan hari Jum’at sebagai hari raya pekanan seharusnya menjadikan puasa pada hari itu menjadi haram sebagaimana dua hari raya lainnya (Idul Fithri dan Idul Adha) tidak hanya pengkhususannya saja’.

Maka ane katakan, Dia (hari Jum’at) berbeda dengan hari raya itu, sebab dia berulang pada setiap bulan sebanyak empat kali, karena ini tidak ada pelarangan yang berderajat haram padanya. Selanjutnya disana ada sifat² lain dari dua hari raya tersebut yang tidak kita dapatkan pada hari Jum’at.

Adapun apabila ada orang yang berpuasa satu hari sebelumnya atau sehari setelahnya, maka puasanya ketika itu diketahui bahwa tidak dimaksudkan untuk mengkhususkan hari Jum’at dengan puasa, karena dia berpuasa sehari sebelumnya (yakni hari Kamis) dan sehari setelahnya (yakni hari Sabtu).

Sedangkan pertanyaan mengenai, ”Apakah larangan ini khusus untuk puasa sunnah atau juga puasa pengganti”?

Sesungguhnya dzahir dalilnya umum, bahwa makruh hukumnya mengkhususkan puasa sama saja apakah untuk puasa wajib (qadlo/pengganti) atau puasa sunnah, kecuali kalau orang yang berhutang puasa itu sangat sibuk bekerja, tidak pernah longgar dari pekerjaannya sehingga dia dapat membayar hutang puasanya kecuali hari Jum’at, ketika itu dia tidak lagi makruh mengkhususkan hari Jum’at untuk berpuasa, karena dia memerlukan hal itu.

(Majmu’ Fatawa Arkanil Islam no.446)

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..