Senin, 17 Oktober 2016

BETAPA PENTING MENYAMBUNG SILATURAHMI

15.03.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Marilah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Takwa yang juga dapat mengantarkan kita pada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab (anshab). Yang dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak lelaki, anak perempuan ataupun orang² yang mempunyai hubungan darah dari orang² sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab. Adapun kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki hubungan rahim ataupun nasab.

Banyak cara untuk menyambung tali silaturahmi. Misalnya dengan cara saling berkunjung, saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain.

Sambunglah silaturahmi itu dengan berlemah lembut, berkasih sayang, wajah berseri, memuliakan, dan dengan segala hal yang sudah dikenal manusia dalam membangun silaturahmi.
Dengan silaturahmi, pahala yang besar akan diperoleh dari Allah Azza wa Jalla. Silaturahim menyebabkan seseorang bisa masuk ke dalam surga. Silaturahim juga menyebabkan seorang hamba tidak akan putus hubungan dengan Allah di dunia dan akhirat.

Disebutkan dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abu Ayyub Al Anshari:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ : لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ ؟ فَأَعَادَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ : تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ : إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Bahwasanya ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?” Lalu orang itupun mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi”. Setelah orang itu pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga”.

Silaturahmi juga merupakan faktor yang dapat menjadi penyebab umur panjang dan banyak rizki.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ

“Ar rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menyambung silaturahmi lebih besar pahalanya daripada memerdekakan seorang budak. Dalam Shahih Al Bukhari, dari Maimunah Ummul Mukminin, dia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَشَعَرْتَ أَنِّي أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِي قَالَ أَوَفَعَلْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ

“Wahai Rasulullah, tahukah engkau bahwa aku memerdekakan budakku?” Nabi bertanya, “Apakah engkau telah melaksanakannya?” Ia menjawab, “Ya”. Nabi bersabda, “Seandainya engkau berikan budak itu kepada paman²mu, maka itu akan lebih besar pahalanya”.

Yang amat disayangkan, ternyata ada sebagian orang yang tidak mau menyambung silaturahmi dengan kerabatnya, kecuali apabila kerabat itu mau menyambungnya. Jika demikian, maka sebenarnya yang dilakukan orang ini bukanlah silaturahmi, tetapi hanya sebagai balasan. Karena setiap orang yang berakal tentu berkeinginan untuk membalas setiap kebaikan yang telah diberikan kepadanya, meskipun dari orang jauh.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

“Orang yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Oleh karena itu, sambunglah hubungan silaturahmi dengan kerabat² kita, meskipun mereka memutuskannya. Sungguh kita akan mendapatkan balasan yang baik atas mereka.

Diriwayatkan, telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ

“Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku menyambung hubungan dengan mereka, akan tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka, akan tetapi mereka berbuat buruk terhadapku. Aku berlemah lembut kepada mereka, akan tetapi mereka kasar terhadapku,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau benar demikian, maka seakan engkau menyuapi mereka pasir panas, dan Allah akan senantiasa tetap menjadi penolongmu selama engkau berbuat demikan.” [Muttafaq ‘alaihi].

Begitu pula firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ

“Orang² yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa² yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang² itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)”. [QS. Ar Ra’d : 25].

Dari Jubair bin Mut’im bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

“Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus, ( memutus tali silaturahmi)”. [Mutafaqun ‘alaihi].

Memutus tali silaturahmi yang paling besar, yaitu memutus hubungan dengan orang tua, kemudian dengan kerabat terdekat, dan kerabat terdekat selanjutnya.

Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ

”Maukah kalian aku beritahu tentang dosa terbesar di antara dosa² besar?” Beliau mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Maka para sahabat menjawab: ”Mau, ya Rasulullah,” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua”.

Demikianlah, betapa besar dosa seseorang yang durhaka kepada orang tua. Dosa itu disebutkan setelah dosa syirik kepada Allah Ta’ala. Termasuk perbuatan durhaka kepada kedua orang tua, yaitu tidak mau berbuat baik kepada keduanya. Lebih parah lagi jika disertai dengan menyakiti dan memusuhi keduanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Dalam shahihain, dari Abdullah bin Amr, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

”Termasuk perbuatan dosa besar, yaitu seseorang yang menghina orang tuanya,” maka para sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah, adakah orang yang menghina kedua orang tuanya sendiri?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Ya, seseorang menghina bapak orang lain, lalu orang lain ini membalas menghina bapaknya. Dan seseorang menghina ibu orang lain, lalu orang lain ini membalas dengan menghina ibunya”.

Wahai orang² yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla. Dan marilah kita melihat diri kita masing², sanak keluarga kita! Sudahkah kita menunaikan kewajiban atas mereka dengan menyambung tali silaturahmi? Sudahkah kita berlemah lembut terhadap mereka? Sudahkah kita tersenyum tatkala bertemu dengan mereka? Sudahkah kita mengunjungi mereka? Sudahkah kita mencintai, memuliakan, menghormati, saling menunjungi saat sehat, saling menjenguk ketika sakit? Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekedar meringankan yang mereka butuhkan?

Ada sebagian orang tidak suka melihat kedua orang tuanya yang dulu pernah merawatnya kecuali dengan pandangan yang menghinakan. Dia memuliakan istrinya, tetapi melecehkan ibunya. Dia berusaha mendekati teman²nya, akan tetapi menjahui bapaknya. Apabila duduk dengan kedua orang tuanya, maka seolah-olah ia sedang duduk di atas bara api. Dia berat apabila harus bersama kedua orang tuanya. Meski hanya sesaat bersama orang tua, tetapi ia merasa begitu lama. Dia bertutur kata dengan keduanya, kecuali dengan rasa berat dan malas. Sungguh jika perbuatannya demikian, berarti ia telah mengharamkan bagi dirinya kenikmatan berbakti kepada kedua orang tua dan balasannya yang terpuji.

Ada pula manusia yang tidak mau memandang dan menganggap sanak kerabatanya sebagai keluarga. Dia tidak mau bergaul dengan karib kerabat dengan sikap yang sepantasnya diberikan sebagai keluarga. Dia tidak mau bertegur sapa dan melakukan perbuatan yang bisa menjalin hubungan silaturahmi. Begitu pula, ia tidak mau menggunakan hartanya untuk hal itu. Sehingga ia dalam keadaan serba kecukupan, sedangkan sanak keluarganya dalam keadaan kekurangan. Dia tidak mau menyambung hubungan dengan mereka. Padahal, terkadang sanak keluarga itu termasuk orang² yang wajib ia nafkahi karena ketidakmampuannya dalam berusaha, sedangkan ia mampu untuk menafkahinya. Akan tetapi, tetap saja ia tidak mau menafkahinya.

Para ahlul-‘ilmi telah berkata, setiap orang yang mempunyai hubungan waris dengan orang lain, maka ia wajib untuk memberi nafkah kepada mereka apabila orang lain itu membutuhkan atau lemah dalam mencari penghasilan, sedangkan ia dalam keadaan mampu. Yaitu sebagaimana yang dilakukan seorang ayah untuk memberikan nafkah. Maka barang siapa yang bakhil maka ia berdosa dan akan dihisab pada hari Kiamat.

Oleh karena itu, tetap sambungkanlah tali silaturahmi. Berhati-hatilah dari memutuskannya. Masing² kita akan datang menghadap Allah dengan membawa pahala bagi orang yang menyambung tali silaturahmi. Atau ia menghadap dengan membawa dosa bagi orang yang memutus tali silaturahmi. Marilah kita memohon ampun kepada Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang..

Wallahu Waliyyut Taufiq..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang manfaat'..

TERURAINYA JALINAN SILATURAHIM

14.50.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Tali kekerabatan harus selalu rapat dan erat. Beragam gejala yang berpotensi merenggangkannya mesti diantisipasi dengan cepat, supaya keharmonisan hubungan tetap terjaga, kuat lagi hangat. Semua anggota kerabat akan menikmati rahmat dari-Nya lantaran menjunjung tinggi tali silaturahmi yang sangat ditekankan oleh syariat.

Sebaliknya, ketidakpedulian terhadap hubungan kekerabatan akan dapat menimbulkan dampak negatif. Alasannya, tali silaturahmi lambat laun akan mengalami perenggangan. Pemutusan tali silaturahmi berdampak mengikis solidaritas, mengundang laknat, menghambat curahan rahmat dan menumbuhkan suburnya egoisme. Sering terdengar di masyarakat berbagai kasus putusnya tali silaturrahim. Ancaman Islam sangat tegas terhadap pemutusan silaturahim ini.

Allah ta’ala berfirman:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang² yang dilaknati Allah dan Allah tulikan telinga mereka dan Allah butakan penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan silaturahim.” (HR. Bukhari no.5984 dan Muslim no.2556)

Banyak faktor yang dapat menyulut terjadinya pemutusan tali silaturrahim. Namun ketidaktahuan seseorang tentang itu, membuatnya terjerumus dalam kesalahan.

Bentuk-Bentuk Pemutusan Silaturahim..

Anjuran untuk membina tali silaturahmi sangat jelas. Sebagaimana diterangkan Ibnul Atsir, silaturahmi merupakan cerminan berbuat baik kepada keluarga dekat, berlemah-lembut kepada mereka, memperhatikan keadaan mereka baik ketika mereka berada di daerah yang jauh maupun ketika mereka melontarkan kejelekan kepadanya. Memutuskan tali silaturrahim merupakan tindakan yang berlawanan dengan itu semua.

Meski demikian, fenomena pemutusan tali silaturrahim kerap kali terdengar di tengah masyarakat, terutama akhir² ini, saat materialisme mendominasi. Saling mengunjungi dan menasihati sudah dalam titik yang memprihatinkan. Hak keluarga yang satu ini sudah terabaikan, tidak mendapatkan perhatian yang semestinya. Padahal jarak sudah bukan lagi menjadi halangan di era kemajuan teknologi informasi.

Di antara contoh konkret bentuk pemutusan silaturahim yang muncul di tengah masyarakat adalah:

Pertama, tidak adanya kunjungan kepada sanak keluarganya dalam jangka waktu yang panjang, tidak memberi hadiah, tidak berusaha merebut hati keluarganya, tidak membantu menutupi kebutuhan atau mengatasi penderitaan kerabatnya. Yang terjadi, justru menyakiti kerabatnya dengan ucapan atau perbuatan.

Kedua, tidak pernah menghidupkan semangat senasib dan sepenanggungan dalam kegembiraan maupun kesusahan. Malah orang lain yang dikedepankan daripada membantu keluarga dekatnya.

Ketiga, lebih sering menghabiskan waktu dakwahnya kepada orang lain daripada sibuk dengan keluarga sendiri. Padahal, mereka lebih berhak mendapatkan kebaikan.

Allah berfirman kepada Nabi-Nya:

وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ اْلأَقْرَبِينَ

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy Syu’ara: 214)

Keempat, ada juga orang yang mau menjalin tali silaturrahim, jika keluarganya menyambung silaturrahim dengannya. Tapi ia akan mengurainya, jika mereka memutuskannya.

Faktor Penyebab Terputusnya Silaturahim

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa banyak hal yang dapat menyebabkan terputusnya silaturahim, di antaranya adalah:

Pertama, ketidaktahuan bahaya memutuskan tali silaturahim. Ketidaktahuan seseorang terhadap akibat buruk yang akan dideritanya dalam kehidupan dunia maupun akhirat akibat memutuskan silaturahim, telah menyebabkannya melakukan pemutusan silaturrahim ini.
Sebagaimana juga ketidaktahuan seseorang tentang keutamaan silaturahim, membuat dia malas dan kurang semangat melakukannya.

Kedua, ketakwaan yang melemah. Orang yang melemah ketakwaan serta agamanya, maka dia tidak akan peduli dengan perbuatannya yang memotong sesuatu yang mestinya disambung. Dia tidak pernah tergiur dengan pahala silaturrahim yang dijanjikan Allah serta tidak merasa takut dengan akibat dari pemutuskan silaturahim ini.

Ketiga, kesombongan. Sebagian orang, jika sudah mendapatkan kedudukan yang tinggi atau menjadi saudagar besar, dia berubah sombong kepada keluarga dekatnya. Dia menganggap kunjungan kepada keluarga merupakan kehinaan, begitu juga usaha merebut hati mereka, dianggapnya sebagai kehinaan. Karena ia memandang, hanya dirinya saja yang lebih berhak untuk di kunjungi dan didatangi.

Keempat, perpisahan yang lama. Ada juga orang yang terputus komunikasi dengan keluarga dekatnya dalam waktu yang lama, sehingga dia merasa terasingkan dari mereka. Mula² dia menunda-nunda berkunjung, dan itu terulang terus sampai akhirnya terputuslah hubungan dengan mereka. Dia pun terbiasa dengan terputus dan menikmati keadaannya yang jauh dari keluarga.

Kelima, celaan berat. Ada sebagian orang, jika dikunjungi oleh sebagian anggota keluarganya setelah terpisah sekian lama, dia menghujani saudaranya itu dengan hinaan dan celaan. Karena dinilai kurang dalam menunaikan haknya dan dinilai terlambat dalam berkunjung. Akibatnya, muncul keinginan menjauh dari orang yang suka mencela ini dan merasa takut untuk mengunjunginya lagi karena khawatir dicela.

Keenam, memberatkan. Ada orang, jika dikunjungi oleh sanak familinya, dia terlihat membebani dirinya untuk menjamunya secara berlebihan. Dikeluarkannya banyak harta dan memaksa diri untuk menghormati tamunya, padahal dia kurang mampu. Akibatnya, saudara²nya merasa berat untuk berkunjung kepadanya karena khawatir menyusahkan tuan rumah.

Ketujuh, kurang memperhatikan orang yang berkunjung. Ada orang, jika dikunjungi oleh saudaranya, dia tidak memperlihatkan kepeduliannya. Dia tidak memperhatikan omongannya. Bahkan kadang dia memalingkan wajahnya saat diajak bicara. Dia tidak senang dengan kedatangan mereka dan tidak berterima kasih. Dia menyambut para pengunjung dengan berat hati dan sambutan dingin. Ini akan mengurangi semangat untuk mengunjunginya.

Kedelapan, pelit dan bakhil. Ada sebagian orang, jika diberi rezeki oleh Allah berupa harta atau wibawa, dia akan lari menjauh dari keluarga dekatnya, bukan karena ia sombong. Dia lebih memilih menjauhi mereka dan memutuskan silaturahim daripada membukakan pintu buat kaum kerabatnya, menerima mereka jika bertamu, membantu mereka sesuai dengan kemampuan dan meminta maaf jika tidak bisa membantu. Padahal, apalah artinya harta jika tidak bisa dirasakan oleh kerabat!

Kesembilan, menunda pembagian harta warisan. Terkadang ada harta warisan yang belum dibagi di antara ahli waris, entah karena malas atau karena ada yang membangkang. Semakin lama penundaan pembagian harta warisan, maka semakin besar kemungkinan akan menyebarnya permusuhan dan saling membenci di antara mereka. Karena ada yang ingin mendapatkan haknya untuk dimanfaatkan, ada juga ahli waris yang keburu meninggal sehingga ahli warisnya sibuk mengambil haknya mayit yang belum diambilnya, sementara yang lain mulai berburuk sangka kepada yang lainnya. Akhirnya perkara ini menjadi ruwet dan menjadi kemelut yang mengakibatkan perpecahan serta membawa kepada pemutusan silaturahim.

Kesepuluh, kerja sama antar keluarga dekat. Sebagian orang bekerjasama dengan saudaranya dalam suatu usaha atau PT tanpa ada kesepakatan yang jelas. Ditambah lagi, dengan tidak adanya tranparansi. Usaha ini terbangun hanya berdasarkan suka sama suka dan saling mempercayai. Jika hasilnya mulai bertambah serta wilayah usahanya semakin melebar, mulai timbul benih perselisihan, perbuatan zhalim mulai mengemuka dan mulai timbul prasangka buruk kepada yang lain. Terutama jika mereka ini kurang bertakwa dan tidak memiliki sifat itsar (yaitu sifat lebih mendahulukan orang lain daripada dirinya), atau salah seorang di antara mereka keras kepala atau salah seorang di antara mereka ini lebih banyak modalnya dibandingkan yang lainnya. Dari suasana yang kurang sehat ini, kemudian hubungan semakin memburuk, perpecahan tak terelakkan, bahkan mungkin bisa berbuntut ke pengadilan. Akhirnya di persidangan mereka saling mencela.

Allah ta’ala berfirman:

وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَآءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ

“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang² yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang² yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)

Kesebelas, sibuk dengan dunia. Orang yang rakus dunia seakan tidak memiliki waktu lagi untuk menyambung silaturrahim dan untuk berusaha meraih kecintaan kerabatnya.

Kedua belas, perceraian di antara kerabat. Kadang perceraian tak terelakkan antara suami istri yang memiliki hubungan kerabat. Ini menimbulkan berbagai macam kesulitan bagi keduanya, entah disebabkan oleh anak² atau urusan² lain yang berkaitan erat dengan perceraian atau sebab yang lain.

Ketiga belas, jarak yang berjauhan serta malas berkunjung. Kadang ada keluarga yang berjauhan tempat tinggalnya dan jarang saling berkunjung, sehingga merasa jauh dengan keluarga dan kerabatnya. Jika ingin berkunjung ke kerabat, tempat yang ia tuju itu terasa sangat jauh. Akhirnya jarang berkunjung.

Keempat belas, rumah yang berdekatan. Rumah yang berdekatan juga bisa mengakibatkan keretakan dan terputusnya silaturahim.

Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Perintahkanlah kepada para kerabat agar saling mengunjungi bukan untuk saling bertetangga.” Al Ghazali mengomentari perkataan Umar ini, “Beliau mengucapkan perkataan ini, karena bertetangga bisa mengakibatkan persaingan hak. Bahkan mungkin bisa mengakibatkan rasa tidak suka dan pemutusan silaturahim.” Aktsam bin Shaifi mengatakan, “Tinggallah di tempat yang berjauhan, niscaya kalian akan semakin saling mencintai.” Kadang juga, kedekatan ini menimbulkan masalah. Misalnya, problem yang terjadi antara anak dengan anak bisa merembet melibatkan orang tua. Masing² membela anaknya, sehingga menimbulkan permusuhan dan menyebabkan pemutusan silaturrahim.

Kelima belas, kurang sabar. Ada sebagian orang yang tidak sabar dalam menghadapi masalah kecil dari kerabatnya. Terkadang hanya disebabkan oleh kesalahan kecil, dia segera mengambil sikap untuk memutuskan silaturahim.

Keenam belas, lupa kerabat pada saat mempunyai acara. Saat salah seorang kerabat memiliki acara walimah atau lainnya, dia mengundang kerabatnya, baik dengan lisan, lewat surat undangan atau lewat telepon. Saat memberikan undangan ini, kadang ada salah seorang kerabat yang terlupakan. Sementara yang terlupakan ini orang yang berjiwa lemah atau sering berburuk sangka. Kemudian orang yang berjiwa lemah ini menafsirkan kealpaan kerabatnya ini sebagai sebuah kesengajaan dan penghinaan kepadanya. Buruk sangka ini menggiringnya untuk memutuskan silaturrahim.

Ketujuh belas, hasad atau dengki. Kadang ada orang yang Allah anugerahkan padanya ilmu, wibawa, harta atau kecintaan dari orang lain. Dengan anugerah yang disandangnya, ia membantu kerabatnya serta melapangkan dadanya buat mereka. Karena perbuatan yang baik ini, kemudian ada di antara kerabatnya yang hasad kepadanya. Dia menanamkan bibit permusuhan, membuat kerabatnya yang lain meragukan keikhlasan orang yang berbuat kebaikan tadi, dan kemudian menebarkan benih permusuhan kepada kerabat yang berbuat baik ini.

Kedelapan belas, banyak gurau. Sering bergurau memiliki beberapa efek negatif. Kadang kala ada kata yang terucap dari seseorang tanpa memperdulikan perasaan orang lain yang mendengarnya. Perkataan menyakitkan ini kemudian menimbulkan kebencian kepada orang yang mengucapkannya. Fakta seperti ini sering terjadi di antara kerabat karena mereka sering berkumpul.

Ibnu Abdil Baar mengatakan, “Ada sekelompok ulama yang membenci senda gurau secara berlebihan. Karena akibatnya yang tercela, menyinggung harga diri, bisa mendatangkan permusuhan serta merusak tali persaudaraan.”

Kesembilan belas, fitnah. Terkadang ada orang yang memiliki hobi merusak hubungan antar kerabat. Orang seperti ini sering menyusup ke tengah orang² yang saling mencintai. Dia ingin memisahkan dan mencerai-beraikan persatuan, serta mengacaukan perasaan hati yang telah menyatu. Betapa banyak tali silaturahim terputus, persatuan menjadi berantakkan disebabkan oleh fitnah. Dan merupakan kesalahan terbesar dalam masalah ini, yaitu percaya dengan fitnah. Alangkah indah perkataan seorang penyair yang mengingatkan kita:

Siapa yang bersedia mendengarkan perkataan para tukang fitnah,

maka mereka tidak menyisakan buat pendengarnya

Seorang teman pun, meskipun kerabat tercinta.

Keduapuluh, perangai buruk sebagian istri. Terkadang seseorang diuji dengan istri yang berperangai buruk. Sang istri tidak ingin perhatian suaminya terbagi kepada yang lain. Dia terus berusaha menghalangi suami agar tidak berkunjung ke kerabat. Di hadapan suami, istri ini memuji kedatangan kerabat mereka ke tempat tinggal suami dan menghalangi suami untuk bertamu ke kerabatnya. Sementara itu, ketika menerima kunjungan dari kerabat, dia tidak memperlihatkan wajah gembira. Ini termasuk hal yang bisa menyebabkan terputusnya silaturrahim. Ada juga suami yang menyerahkan kendali kepada istrinya. Jika istri ridha kepada kerabat, dia menyambung silaturrahim dengan mereka. Jika istri tidak ridha, maka dia akan memutuskannya. Bahkan sampai² sang suami tunduk kepada istrinya dalam berbuat durhaka kepada kedua orang tuanya, padahal keduanya sangat membutuhkannya.

Demikian beberapa sebab yang bisa memutuskan tali silaturahim yang ane rangkum dari Qathi'ati Ar Rahmi Al Mazhahiru Al Asbabu Subulu Al Ilaji karya Syech Muhammad bin Ibrahim Al Hamd. Sebagai orang yang beriman, kita harus menjauhi hal² yang dapat menyebabkan terputusnya tali silaturrahim ini. oleh karena itu, hendaklah kita menjaga silaturahim, memupuknya, serta mencari sarana² yang bisa mengokohkannya, agar tidak terkikis oleh derasnya arus budaya yang merusaknya. Wallahu a’lam..

Semoga Allah Ta'laa senantiasa memberikan kita taufiq dan hidayah-Nya serta kemudahan untuk bisa memperbanyak silaturahim, agar kita bisa mendapatkan keberkahan juga yang ada di dalamnya..

Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin..

Wallahu Waliyyut Taufiq..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang manfaat'..