Selasa, 28 Februari 2017

CIRI AJARAN YANG LURUS DAN AJARAN YANG SESAT

07.21.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Bagaimana membedakan antara ajaran yang lurus dan ajaran yang sesat? Perhatikan ciri²nya berikut ini'..

Ciri Ajaran yang Lurus

Kita senantiasa berdoa pada Allah dalam shalat kita minimal 17 kali dalam sehari, yaitu saat membaca surat Al Fatihah. Kita senantiasa meminta pada Allah,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7)

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang² yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
(QS. Al Fatihah: 6-7)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir diterangkan yang diminta dalam ayat di atas adalah hidayah Al Irsyad wa At Taufiq, yaitu hidayah untuk bisa menerima kebenaran dan mengamalkannya, bukan sekedar hidayah untuk dapat ilmu. Jadi maksudnya kata beliau, kita minta pada Allah, tunjukkanlah kita pada jalan yang lurus.

Adapun makna shirathal mustaqim, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dengan menukil perkataan dari Imam Abu Ja’far bin Jarir bahwa para ulama sepakat bahwa shirathal mustaqim yang dimaksud adalah jalan yang jelas yang tidak bengkok.

Akan tetapi, para ulama pakar tafsir yang dulu dan sekarang punya ungkapan yang berbeda² untuk menjelaskan apa itu shirath. Namun perbedaan tersebut kembali pada satu pengertian, shirathal mustaqim adalah jalan yang mengikuti ajaran Allah dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian kesimpulan dari Ibnu Katsir.

Secara jelas jalan yang lurus diterangkan pada ayat selanjutnya,

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

“Jalan yang engkau beri nikmat pada mereka.”

Adh Dhahak berkata dari Ibnu ‘Abbas bahwa jalan tersebut adalah jalan yang diberi nikmat dengan melakukan ketaatan dan ibadah pada Allah. Jalan tersebut telah ditempuh oleh para malaikat, para nabi, para shiddiqin, para syuhada dan orang² shaleh. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Allah,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-(Nya), mereka itu akan bersama² dengan orang² yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi², para shiddiiqiin, orang² yang mati syahid, dan orang² shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa’: 69)

Kesimpulannya, ciri ajaran yang lurus adalah mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah, dengan pemahaman yang benar dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Lalu bagaimana dengan ajaran yang sesat. Bagaimana ciri²nya?

Ciri Ajaran atau Aliran yang Sesat

Ada beberapa ciri aliran sesat yang telah disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia yang akan ane jabarkan dengan contoh dan sedikit penjelasan di bawah ini'..

Pertama, Mengingkari rukun iman dan rukun Islam.

Contoh seperti aliran Rafidhah (Syi’ah) yang merubah rukun Islam ke 6 menjadi imamah dan menambah atau mengubah syahadat, atau kelompok sesat yang menambah syahadat dengan syahadat pribadi.

Kedua, Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar’i (Al Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Contoh kasusnya ada kelompok yang meyakini dan meramalkan kiamat akan terjadi pada tahun 2012, padahal kapan terjadinya kiamat adalah rahasia Allah.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat, dan Dia lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34).

Ketiga, Meyakini turunnya wahyu setelah Al Qur’an.

Contohnya Mirza Ghulam Ahmad pimpinan Ahmadiyah dengan kitab Tadzkirahnya.

Keempat, Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Al Qur'an.

Contohnya Sumanto Al Qurtubi dengan bukunya yang berjudul lubang hitam agama yang menganggap Al Qur’an hasil konspirasi jahat antara Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dengan para penulis dan Al Quran dianggap sebagai barang rongsokan yang sudah usang. Padahal Allah sendiri menyatakan,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar² memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).

Kalau Allah yang memelihara, lantas kita mau katakan ada konspirasi di dalamnya? Padahal Allah adalah sebaik-baik penjaga.

Kemudian Syi’ah yang berpendapat Al Qur’an di tangan kita telah dipalsukan dan mereka yakini adanya mushaf Fatimah.

Kelima, Melakukan penafsiran Al Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah tafsir.

Kasus percontohannya seperti Ahmad Hariadi yang mengaku mantan Ahmadiyah dengan tafsirnya bernama Yassarna Al Qur’an. Kemudian ada kelompok Ir. Arief Mulyadi Tatang Nana dalam buku kumpulan pemahaman Al Quran ayat bil ayat yang menyebutkan kita semua adalah turunan pembunuh (qabil yang membunuh habil). Lalu ada Gafatar pimpinan “Nabi Palsu” Ahmad Mosadeq yang mengartikan zakat dengan “yang menjaga kebersihan mental dan spiritual “.

Keenam, Mengingkari kedudukan hadits nabi sebagai sumber ajaran Islam.

Kasus percontohannya juga seperti Ahmad Hariadi mantan mubaligh Ahmadiyah dan yang merubah waktu ibadah haji dan pakaian ihram. Murid Ir. Arief Mulyadi Tatang Nana dengan paham quraninya yang menganggap tidak ada zakat fitrah dan mal/harta.

Ketujuh, Melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.

Kasus percontohan Abah Maisah Kurung Faridlal Athras Al Kindy yang menyebutkan bahwa isteri Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 41 orang.

Kedelapan, Mengingkari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul terakhir.

Kasus percontohan seperti Ahmadiyah yang menganggap ada lagi nabi setelah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Mirza Ghulam Ahmad namun tidak boleh ada lagi nabi sesudah Mirza Ghulam Ahmad. Lalu pengajian faham qurani Tatang Nana yang menganggap bahwa pada setiap perkumpulan ada nabi dan rasulnya.

Padahal dalam Al Qur’an sudah dijelaskan,

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki² di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)

Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

 وَإِنَّهُ سَيَكُونُ فِى أُمَّتِى ثَلاَثُونَ كَذَّابُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِىٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى

”Akan ada pada umatku tiga puluh orang pendusta yang kesemuanya mengaku sebagai Nabi, padahal aku adalah penutup para Nabi dan tidak ada Nabi lagi sesudahku.” (HR. Tirmidzi no.2219 dan Ahmad 5: 278. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Kesembilan, Mengubah pokok² ibadah yang telah ditetapkan oleh syariat.

Kasus percontohan seperti Syi’ah yang merubah tata cara adzan, iqamah, wudhu, bacaan dan praktik shalat. Kemudian Islam Al Haq di Garut yang shalat ke seluruh penjuru angin. Lalu Yusman Roy di Malang yang mengajarkan shalat billingual 2 (dua) bahasa.

Padahal ajaran Islam sudah sempurna, tak boleh ditambah dan dikurangi.

Allah Ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Ma’idah: 3).

Kesepuluh, Kriteria aliran sesat yang kesepuluh ialah mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i.

Kasus percontohannya seperti Ahmadiyah yang mengkafirkan yang bukan Ahmadiyah. Lalu Syi’ah yang mengutuk dan mengkafirkan Aisyah, Abu Bakar, Umar, Utsman dan para shahabat lainnya. Lalu LDII dengan salah satu buktinya pidato ketua umumnya “paradigma baru” sebagai kelanjutan dari LDII, Lemkari, Islam Jama’ah, Darul hadits yang menyebutkan di luar jama’ah mereka di dalam neraka.

Semoga Allah Ta'alaa senantiasa membimbing dan menuntun kita semua di jalan yang lurus agar selamat baik di dunia maupun di akhirat nanti'..

Aamiin Yaa Allah Yaa Mujibas Saailiin'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

IBADAH DAN SEDEKAH DENGAN HARTA HARAM

07.11.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Sekarang ini orang tidak lagi peduli dari manakah hartanya berasal, apakah dari yang halal ataukah dari yang haram. Asalkan mengenyangkan perut, dapat memuaskan keluarga, itu sudah menyenangkan dirinya. Padahal harta haram sangat berpengaruh sekali dalam kehidupan seorang muslim, baik mempengaruhi ibadahnya, pengabulan do’anya dan keberkahan hidupnya. Di antara pengaruh dalam ibadah yaitu berdampak pada kesahan ibadahnya, seperti pada ibadah shalat, haji atau pun sedekahnya. Karena Allah hanyalah menerima yang thoyyib yaitu yang baik dan halal.

Hanya Diterima yang Halal

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik).“ (HR. Muslim no.1015).

Yang dimaksud dengan Allah tidak menerima selain dari yang thoyyib (baik) telah disebutkan maknanya dalam hadits tentang sedekah.

Juga dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا اللَّهُ بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ قَلُوصَهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ

“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no.1014).

Halal Mempengaruhi Amalan Sholeh

Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam (1: 260) berkata, “Dalam hadits 'Allah tidaklah menerima selain dari yang halal’ terdapat isyarat bahwa amal tidaklah diterima kecuali dengan memakan yang halal. Sedangkan memakan yang haram dapat merusak amal dan membuatnya tidak diterima.” Oleh karena itu, setelah mengatakan Allah tidak menerima melainkan dari yang halal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawakan ayat yang berisi perintah yang sama pada para Rasul dan orang beriman,

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik² (halal) dan kerjakanlah amal shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mu’minun: 51).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

“Wahai orang² yang beriman! Makanlah rezeki yang baik² yang telah kami rezekikan kepadamu.’” (QS. Al Baqarah: 172).

Yang dimaksud dengan ayat tersebut, para Rasul dan umat mereka diperintahkan untuk mengkonsumsi yang halal dan diperintahkan pula untuk beramal shaleh. Jika yang dikonsumsi adalah yang halal, maka amalan shalehnya diterima. Jika yang dikonsumsi adalah yang haram, maka bagaimana bisa diterima? Karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah di atas menceritakan tentang seorang laki² yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a,

يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?“ (HR. Muslim no.1014).

Dijelaskan pula oleh Syech Sholih Al Fauzan hafizhohullah, anggota Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika menjelaskan hadits ‘Allah hanya menerima dari yang halal’  bahwa memakan makanan yang halal bisa menolong dalam melakukan ketaatan pada Allah karena beramal shaleh diperintahkan setelah perintah memakan makanan yang halal. Jadi, semakin baik makanan yang kita konsumsi, semakin mudah pula kita dalam beramal. (Al Minhah Ar Robbaniyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah hal.137).

Haji dan Shalat dengan Harta Haram

Dari pembahasan ini, para ulama memiliki bahasan apakah shalat di tanah rampasan itu sah ataukah tidak. Imam Ahmad berpendapat tidak sahnya. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat sahnya tetapi berdosa.

Begitu pula para ulama membahas bagaimana jika ada yang berhaji dengan harta haram, sahkah hajinya? Imam Ahmad memiliki dua pendapat dalam masalah ini, namun yang masyhur, hajinya tidak sah. Landasannya adalah hadits yang mengatakan bahwa Allah hanya menerima dari yang thoyyib. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sahnya haji dengan harta haram, namun hajinya tidak mabrur. Sehingga wajib bagi yang ingin melaksanakan haj memperhatikan harta yang ia gunakan.

Kita dapat mengambil pelajaran pula bahwa Allah hanyalah menerima dari yang bertaqwa, di antara bentuk taqwa adalah menjaga diri dari penghasilan haram.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Allah hanya menerima dari orang yang bertaqwa” (QS. Al Maidah: 27).

Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang mengenai makna ‘muttaqin’ (orang yang bertaqwa) dalam ayat tersebut dan beliau menjawab bahwa yang dimaksud adalah menjaga diri dari sesuatu yang tidak halal yang masuk ke dalam perut. Demikian dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam 1: 262. (Syech ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifi dalam Shifat Hajjatin Nabi hal. 39-40 dan Syech Sa’ad Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in hal.92)

Sedekah dengan Harta Haram

Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:

1. Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau dimusnahkan.

2. Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.

3. Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)”
(HR. Muslim no.224). 

Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no.1014).

Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang  lain (barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam:

1. Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.

2. Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad.  (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam 1: 264-268)

Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?

Dari pendapat terkuat dari pendapat yang ada, harta haram harus dibersihkan, tidak didiamkan begitu saja ketika harta tersebut tidak diketahui lagi pemiliknya atau pun ahli warisnya. Namun di manakah tempat penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:

Pendapat pertama, disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Pendapat kedua, disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.

Pendapat ketiga, disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).

Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.

Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir miskin. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati²an) dalam masalah asal yaitu  shalat di tanah rampasan (Al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid.

Dalam rangka hati², harta haram disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta haram. Wallahu a’lam.. 

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

Senin, 27 Februari 2017

MENGANGKAT TANGAN KETIKA BERDOA

02.40.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Mengangkat tangan ketika sedang berdoa adalah hal yang disyariatkan dalam Islam. Perbuatan ini merupakan salah satu adab dalam berdoa dan juga nilai tambah yang mendukung terkabulnya doa. Mari kita bahas secara rinci bagaimana hukum dan tata caranya.

Hukum Asal Mengangkat Tangan Ketika Berdoa

Tidak ane ketahui adanya perbedaan diantara para ulama bahwa pada asalnya mengangkat tangan ketika berdoa hukumnya sunnah dan merupakan adab dalam berdoa. Dalil² mengenai hal ini banyak sekali hingga mencapai tingkatan mutawatir ma’nawi. Diantaranya hadist Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا، إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya apa yang Allah perintahkan kepada orang mukmin itu sama sebagaimana yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para Rasul, makanlah makanan yang baik dan kerjakanlah amalan shalih’ (QS. Al Mu’min: 51).

Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang² yang beriman, makanlah makanan yang baik yang telah Kami berikan kepadamu’ (QS. Al Baqarah: 172).

Lalu Nabi menyebutkan cerita seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan panjang, hingga rambutnya kusut dan berdebu. Ia menengadahkan tangannya ke langit dan berkata: ‘Wahai Rabb-ku.. Wahai Rabb-ku..’ padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR. Muslim)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda,

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

“Sesungguhnya Allah itu sangat pemalu dan Maha Pemurah. Ia malu jika seorang lelaki mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada-Nya, lalu Ia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa” (HR. Abu Daud no.1488, At Tirmidzi no.3556, di shahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jaami’ 2070)

As Shan’ani menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat kedua tangan ketika berdoa. Hadits² mengenai hal ini banyak” (Subulus Salam 2/708)

Demikianlah hukum asalnya. Jika kita memiliki keinginan atau hajat lalu kita berdoa kepada Allah Ta’ala, kapan pun dimanapun, tanpa terikat dengan waktu, tempat atau ibadah tertentu, kita dianjurkan untuk mengangkat kedua tangan ketika berdoa.

Hukum Mengangkat Tangan Ketika Berdoa Dalam Suatu Ibadah

Banyak hadits² yang menyebutkan praktek mengangkat tangan dalam berdoa dalam beberapa ritual ibadah, diantaranya..

1. Ketika berdoa istisqa dalam khutbah

Sahabat Anas bin Malik Radhiallahu’anhu berkata,

كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه

“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)

Syech Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “maksudnya, dalam kondisi khutbah Nabi tidak pernah mengangkat kedua tangannya kecuali (jika dalam khutbah tersebut) beliau berdoa memohon hujan (istisqa)” (Syarhul Mumthi’ 5/215). Menunjukkan bahwa ini dilakukan ketika istisqa baik dalam khutbah istisqa, ataupun dalam khutbah yang lainnya.

2. Ketika berdoa qunut dalam shalat

Sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu,

فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا صَلَّى الْغَدَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا عَلَيْهِمْ

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setiap shalat shubuh beliau mengangkat kedua tangannya dan mendoakan keburukan bagi mereka” (HR. Ahmad no.12402, dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu 3/500)

Juga banyak diriwayatkan tentang hal ini dari perbuatan para sahabat Nabi, diantaranya Umar bin Khattab, diceritakan oleh Abu Raafi,

صليت خلف عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقنت بعد الركوع ورفع يديه وجهر بالدعاء

“Aku shalat di belakang Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu, beliau membaca doa qunut setelah ruku’ sambil mengangkat kedua tangannya dan mengeraskan bacaannya”
(HR. Al Baihaqi 2/212, dengan sanad yang shahih)

3. Ketika melempar jumrah

Berdasarkan hadits,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَمَى الجَمْرَةَ الَّتِي تَلِي مَسْجِدَ مِنًى يَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ تَقَدَّمَ أَمَامَهَا، فَوَقَفَ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ، رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو، وَكَانَ يُطِيلُ الوُقُوفَ، ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الثَّانِيَةَ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْحَدِرُ ذَاتَ اليَسَارِ، مِمَّا يَلِي الوَادِيَ، فَيَقِفُ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو، ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الَّتِي عِنْدَ العَقَبَةِ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ عِنْدَ كُلِّ حَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika melempar jumrah yang berdekatan dengan masjid Mina, beliau melemparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir pada setiap lemparan lalu berdiri di depannya menghadap kiblat, berdoa sambil mengangkat kedua tanganya. Berdiri di situ lama sekali. Kemudian mendatangi jumrah yang kedua, lalu melamparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir setiap lemparan, lalu menepi ke sisi kiri Al Wadi. Beliau berdiri mengahadap kiblat, berdoa sambil mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau mendatangi Jumrah Aqabah, beliau melemparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir setiap lemparan, lalu pergi dan tidak berhenti di situ” (HR. Bukhari no.1753)

4. Ketika wukuf di Arafah

Diceritakan oleh Usamah bin Zaid Radhiallahu’anhu,

 كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ «فَرَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُو

“Aku pernah dibonceng oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam di Arafah. Di sana beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa” (HR. An Nasa’i no.3993, Ibnu Khuzaimah no.2824, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa’i)

Dan masih banyak dalil yang lain.

Adapun mengangkat tangan ketika berdoa yang terkait suatu ritual ibadah, hukumnya kembali pada dalil² ibadah tersebut. Jika terdapat dalil bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa mengangkat tangan dalam ibadah tersebut, maka dianjurkan mengangkat tangan. Jika tidak ada dalil, maka tidak disyari’atkan mengangkat tangan.

Syech Abdul ‘Aziz bin Baaz berkata: “Banyak hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengangkat tangan ketika berdoa istisqa, ketika melempar jumrah yang pertama dan kedua, ketika di awal² hari tasyriq, ketika haji wada, dan pada tempat² yang lain. Namun setiap ibadah yang dilakukan di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, jika ketika melakukannya beliau tidak mengangkat kedua tangannya, berarti hal tersebut tidak disyariatkan kepada kita ketika melakukan ibadah tersebut. Ini dalam rangka meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Yang disyariatkan kepada kita adalah meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam melakukan suatu atau meninggalkan suatu (dalam ibadah)” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz 26/144).

Tata Cara Mengangkat Tangan Dalam Berdoa

Banyak sekali tata cara mengangkat tangan dalam berdoa yang ada dalam riwayat² dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat. Para ulama pun berselisih pendapat dalam sebagian tata cara tersebut. Namun khilaf ini merupakan khilaf tanawwu’ (variasi), dibolehkan mengambil mana saja dari variasi yang ada. Tetapi mengingkat banyak sekali praktek mengangkat tangan dalam berdoa yang beredar di masyarakat, hendaknya kita mencukupkan diri pada praktek² mengangkat tangan yang dijelaskan oleh para ulama dan tidak mengikuti cara² yang tidak diketahui asalnya.

Jika kita kelompokkan, praktek² mengangkat tangan dalam berdoa bisa dibagi menjadi tiga. Sebagaimana pembagian dari sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma,

المسألة أن ترفع يديك حذو منكبيك أو نحوهما والاستغفار أن تشير بأصبع واحدة والابتهال أن تمد يديك جميعا

“Al Mas’alah adalah dengan mengangkat kedua tanganmu sebatas pundak atau sekitar itu. Al Istighfar adalah dengan satu jari yang menunjuk. Al Ibtihal adalah dengan menengadahkan kedua tanganmu bersamaan” (HR. Abu Daud no.1489, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 6694)

Jenis pertama: Al Mas’alah.

Merupakan jenis yang umumnya dilakukan dalam berdoa. Bentuk ini juga yang digunakan ketika membaca doa qunut, istisqa dan pada beberapa rangkaian ibadah haji. Yaitu dengan membuka kedua telapak tangan dan mengangkatnya sebatas pundak, sebagaimana digambarkan oleh Ibnu ‘Abbas. Juga berdasarkan hadits,

إِذَا سَأَلْتُمُ اَللَّهَ فَاسْأَلُوهُ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلاَ تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا

“Jika engkau meminta kepada Allah, mintalah dengan telapak tanganmu, jangan dengan punggung tanganmu” (HR. Abu Daud no.1486, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no.595)

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai detail bentuknya:

Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa kedua telapak tangan dibuka namun kedua tidak saling menempel, melainkan ada celah diantara keduanya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah 45/266)

Ulama Syafi’iyyah mengatakan telapak tangan mengarah ke langit dan punggung tangan ke arah bumi, boleh ditempelkan ataupun tidak. Ini dilakukan dalam doa untuk mengharapkan terkabulnya sesuatu. Sedangkan untuk mengharapkan hilangnya bala, punggung tangan yang menghadap ke langit, telapak tangan mengarah ke bumi (yaituAl Ibtihal). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah 45/266) 

Ulama Hanabilah berpendapat kedua tangan ditempelkan berdasarkan hadits,

كَانَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم إِذا دَعَا ضم كفيه وَجعل بطونهما مِمَّا يَلِي وَجهه

“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berdoa beliau menempelkan kedua telapak tangannya dan melihat pada kedua telapak tangannya” (HR. Ath Thabrani no.5226, sanad hadits ini dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al ‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya1/326). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah 45/266)

Syech Shalih Alu menjelaskan lebih detil jenis ini: “Mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka di depan dada, tepatnya di pertengahan dada. Umumnya bentuk ini yang digunakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam berdoa. Namun terkadang beliau berdoa di Arafah dengan cara begini: mengangkat kedua tangannya tepatnya dipertengahan dada lalu menengadahkannya sebagaimana orang yang meminta makanan, tidak meletakannya dekat wajah namun juga tidak jauh dari wajah dan masih dikatakan ada di pertengahan dada. Juga dengan membuka kedua telapaknya bagaikan orang miskin yang meminta makanan” (Syarh Arba’in An Nawawiyyah 1/112) 

Syech Bakar Abu Zaid menjelaskan cara lain: “Boleh juga seseorang menutup wajahnya dengan telapak tangannya dan kedua punggung tangannya menghadap kiblat” (Tas-hih Ad Du’a 1/117)

Jenis kedua: Al Istighfar.

Yaitu dengan mengangkat tangan kanan dan jari telunjuk menunjuk ke atas. Syech Shalih Alu mengatakan: “Cara ini khusus bagi khatib yang berdiri. Jika ia berdoa, cukup jari telunjuknya menunjuk ke atas. Ini simbol dari doa dan tauhidnya. Tidak disyariatkan bagi khatib mengangkat kedua tangannya (ketika berdoa) jika ia berkhutbah sambil berdiri di atas mimbar atau di atas benda lainnya, kecuali jika sedang berdoa istisqa (maka boleh mengangkat kedua tangan)” (Syarh Arba’in An Nawawiyyah 1/112).

Termasuk dalam jenis ini, khatib jum’at yang membaca doa, yang sesuai sunnah adalah dengan mengacungkan telunjuknya ke langit ketika sedang berdoa.

Dalil dari jenis ini diantaranya hadits,

عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ، قَالَ: رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ، فَقَالَ: «قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ»

“Dari ‘Umarah bin Ru’aybah, ia berkata bahwa ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya (ketika menjadi khatib) di atas mimbar. ‘Umarah lalu berkata kepadanya: ‘Semoga Allah memburukkan kedua tanganmu ini, karena aku telah melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika menjadi khatib tidak menambah lebih dari yang seperti ini, (Umarah lalu mengacungkan jari telunjuknya)‘” (HR. Muslim no.847)

Jenis ketiga: Al Ibtihal.

Yaitu dengan bersungguh² mengangkat kedua tangan ke atas dengan sangat tinggi hingga terlihat warna ketiak. Boleh juga hingga punggung tangan menghadap ke langit dan telapaknya menghadap ke bumi. Jenis ini dilakukan ketika keadaan benar² sulit, mendapat musibah yang sangat berat, sedang sangat² mengharapkan sesuatu, atau berdoa dalam keadaan sangat berduka, atau ketika istisqa (memohon hujan).

Diantara dalil dari jenis ini adalah hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu,

كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه

“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031 dan Muslim no.895)

Juga dalam hadits lain dari Anas bin Maalik Radhiallahu’anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى، فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ

“Pernah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ber-istisqa (meminta hujan), beliau mengarahkan punggung tangannya ke langit” (HR. Muslim no.895)

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..