Sabtu, 25 Februari 2017

BENARKAH KEPUTIHAN ITU NAJIS?

00.38.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Melanjutkan pertanyaan dari salah satu Akhwat, yang menanyakan soal 
Keputihan itu najis atau tidak, berikut penjelasannya'..

Sebenarnya apakah keputihan itu najis?

Permasalah keputihan merupakan permasalahan klasik pada kebanyakan kaum wanita.

Keputihan akan sering teralami saat wanita sedang hamil, hal ini akibat adanya perubahan hormonal yang terjadi dan salah satu efek dari peningkatan hormonal tersebut adalah adanya produksi cairan yang meningkat serta diakibatkan juga oleh kemaluan wanita hamil yang mengalami penurunan keasamannya, juga akibat kondisi pencernaan mengalami perubahan.  Hal tersebut menyebabkan meningkatnya resiko sering terjadinya keputihan pada wanita hamil,  terutama keputihan yang diakibatkan adanya infeksi jamur.

Dalam madzhab Abu Hanifah, Imam Ahmad dan salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan dikuatkan pula oleh Imam Nawawi, bahwa cairan keputihan itu suci.

Ketika dijelaskan tentang masalah keputihan dalam matan Zaad Al Mustaqni’, Syech Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin memilih pendapat yang menyatakan suci.

Beliau mengutarakan bahwa farji (kemaluan) itu punya dua saluran.

Saluran pertama adalah saluran reproduksi yang bersambung hingga ke rahim dan tidak terkait dengan saluran kencing maupun kandung kemih, keluarnya di bagian bawah saluran kencing.

Saluran kedua adalah saluran kencing, ini akan bersambung dengan kandung kemih dan keluar di atas kemaluan.

Jika cairan itu keluar dari kandung kemih lewat saluran kencing, maka hukumnya itu najis. Hukum cairan yang keluar seperti itu adalah seperti hukum air kencing, yaitu najis.

Jika cairan itu keluar dari saluran reproduksi, maka tergolong suci. Karena cairan tersebut bukanlah dari sisa pencernaan makan dan minum sebagaimana kencing. Hukum asalnya adalah tidak najis sampai adanya dalil. Juga dikarenakan ketika seorang suami bersenggama dengan istrinya, ia tidak harus untuk mencuci kemaluannya atau pula pakaian yang tercemari mani. Mani itu tidak najis. Sama pula dengan cairan yang keluar dari saluran reproduksi yang dibahas di atas. (Syarh Al Mumthi’, 1: 457)

Kesimpulannya, keputihan tidaklah najis dan tidak wajib membersihkan pakaian yang terkena keputihan.

Wallahu a’lam..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

TIGA HAL YANG MENYELAMATKAN

00.31.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Ketika Iblis dikutuk oleh Allah ‘azza wa jalla dan dikeluarkan dari jannah (surga) karena membangkang terhadap perintah-Nya, ia bersumpah di hadapan Allah ‘azza wa jalla untuk menyesatkan bani Adam dari jalan Allah ‘azza wa jalla. Tujuannya agar mereka menjadi teman²nya dalam api neraka.

Ancaman Iblis ini tidak hanya isapan jempol, tetapi ia buktikan dengan mengirim bala tentaranya ke seluruh penjuru bumi. Disesatkannya bani Adam dengan beragam bujuk rayu dan janji² yang menipu. Tiada yang selamat dari kejahatan Iblis beserta kroni²nya kecuali orang yang mendapat perlindungan dari Allah ‘azza wa jalla.

Akan tetapi, Allah Maha Pengasih terhadap hamba-Nya. Tidak dibiarkan para hamba menjadi santapan empuk makhluk jahat tersebut. Melalui lisan Rasul-Nya, Allah‘azza wa jalla telah menjelaskan jalan² keselamatan dari kejelekan Iblis, bahkan kejelekan dunia dan akhirat.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثٌ مُنْجِيَاتٌ : خَشْيَةُ اللهِ تَعَالَى فِيالسِّرِّوَالْعَلَانِيَّةِ، وَالْعَدْلُ فِي الرِّضَا وَالْغَضَبِ،وَالْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى

“Tiga hal yang menyelamatkan: Takut kepada Allah ‘azza wa jalla saat sendirian dan di hadapan orang, Bersikap adil saat senang dan marah dan bersikap pertengahan di saat fakir dan kaya.” (HR. Abu Daud dalam At Taubikh dan ath Thabarani dalam Al Ausath dari Anas radhiallahu ‘anhu. Syech Al Albani menyatakan hasan dengan banyaknya jalan periwayatan. Ash Shahihah no.1082)

Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata, “Empat perkara yang siapa memilikinya akan dijaga oleh Allah ‘azza wa jalla dari setan dan dicegah dari api neraka, yaitu mampu mengendalikan dirinya di saat senang, pada saat takut, saat dorongan syahwat, dan saat marah.”
(Al Wafi fi Syarhil Arba’in hlm.103)

Takut Kepada Allah

Seperti telah disebutkan di atas bahwa manusia menjadi target setan untuk disesatkan dari jalan Allah ‘azza wa jalla. Apabila seseorang tidak memiliki perisai yang tangguh, akan sangat mudah bagi setan untuk mencelakakannya.

Di antara perisai yang kuat adalah sikap takut kepada Allah ‘azza wa jalla dalam segala keadaan. Ketika seorang memiliki sikap takut kepada Allah ‘azza wa jalla dan merasa selalu diawasi oleh-Nya, dia akan menjalankan perintah² agama dan menjauhi larangan²nya. Dengan demikian, dia akan selamat dan sukses dunia serta akhiratnya.

Akan tetapi, rasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla tidak akan muncul kecuali dari orang yang mengenal keagungan Allah‘azza wa jalla, kerasnya siksa dan kemampuan-Nya untuk membalas perbuatan hamba- Nya. Tanpa mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan sebenar-benar pengenalan, maka rasa takut kepada Allah‘azza wa jalla mustahil akan muncul, sebagaimana dikatakan, “Tak kenal maka tak sayang.”

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

        إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ ٢٨

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba²-Nya, hanyalah ulama.”
(QS. Fathir: 28)

Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling kenal dengan Allah ‘azza wa jalla, maka beliau adalah orang yang paling takut kepada-Nya. Orang yang membaca sirah/perjalanan hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menemukan buktinya. Apabila dalam shalat beliau membaca ayat yang berkaitan dengan azab, beliau memohon perlindungan kepada Allah ‘azza wa jalla dari azab. Bahkan, beliau terkadang menangis dalam shalatnya.

Orang yang mengenal Allah ‘azza wa jalla dengan sepenuh pengenalan akan merasa ucapan dan perbuatannya selalu dipantau, baik ketika sendirian maupun di hadapan orang. Inilah rasa takut yang benar, bukan seperti umumnya orang yang menampakkan seolah-olah takut dan taat kepada Allah ‘azza wa jalla ketika di hadapan banyak orang, namun saat sendiri berani bermaksiat kapada Allah ‘azza wa jalla.

Allah ‘azza wa jalla memuji orang yang takut kepada-Nya saat sendirian, sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَخۡشَوۡنَ رَبَّهُم بِٱلۡغَيۡبِ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَأَجۡرٞ كَبِيرٞ ١٢

“Sesungguhnya orang² yang takut kepada Rabbnya yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Mulk: 12)

Rasa takut kepada Allah ‘azza wa jalla merupakan faktor pendorong yang kuat untuk meninggalkan larangan Allah ‘azza wa jalla.

Sebagian salaf berkata, “Orang yang takut bukan (hanya) yang menangis dan menitikan air mata. Orang yang takut (sesungguhnya) ialah orang yang meninggalkan apa yang perkara haram yang ia sukai padahal dia mampu untuk menjalankannya.”

Dari penjelasan ini, kita mengetahui sangat besar pula pahala orang yang melakukan ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan sembunyi², hanya antara ia dan Allah ‘azza wa jalla. Demikian pula orang yang meninggalkan yang haram dalam kondisi sunyi padahal ia mampu melakukannya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim tentang tujuh golongan yang dinaungi dengan naungan Allah ‘azza wa jalla pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya.

Di antara mereka ialah seorang yang berzikir mengingat Allah ‘azza wa jalla saat sendirian lalu meneteskan air matanya, dan seseorang yang bersedekah dengan sembunyi² hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dalam hadits tersebut juga disebutkan tentang seorang lelaki yang diajak berbuat zina oleh seorang wanita yang cantik dan bangsawan lantas ia berkata, “Aku takut kepada Allah ‘azza wa jalla, Rabb alam semesta.”

Bersikap Adil Saat Senang dan Marah

Hal ini tidak mudah tentunya, karena umumnya manusia menjadi buta dan tuli apabila mencintai sesuatu. Maksudnya, ia tidak memandang kejelekan yang ada pada yang dicintainya sebagai suatu kejelekan, sebagaimana ia tuli dan tidak bisa mendengarkan nasihat tentang bahayanya apa yang ia cintai. Berbeda halnya dengan seseorang yang membenci sesuatu (walaupun menurut timbangan syariat bukan sesuatu yang harus dibenci), ia akan mencari-cari kelemahan yang dibencinya.

Karena itu, sikap yang adil dan berucap yang benar menjadi sesuatu yang sangat langka kita jumpai di tengah² masyarakat. Bagaimana tidak?! Tidak jarang kita dapati di tengah² masyarakat, orang yang berlaku zalim terhadap orang lain karena cintanya terhadap orang tersebut. Segala kritikan membangun yang diarahkan kepada orang yang dicintainya akan dia tolak mentah². Terkadang dia justru melakukan perlawanan secara fisik demi membela orang yang dicintainya, meskipun ia salah secara timbangan agama. Inilah yang dinamakan fanatik buta.

Misal yang sangat nyata adalah para pengagum Sayid Quthub. Mereka membela Sayid Quthub mati²an, seolah ia seorang nabi yang maksum. Namun, di sisi lain mereka menjelek²kan para ulama, semisal Syech Rabi’, yang membeberkan kekeliruan Sayid Quthub dalam kitab²nya, terutama kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an, yang lebih memiliki corak tafsir secara sastra. Syech Rabi’ melakukan kritikan terhadap kesalahan² Sayid Quthub seperti ini sebagai wujud membentengi umat dari kebatilan dan agar kesalahan² Sayid Quthub tidak diikuti.

Demikian pula, kadang ada orang tua yang melebihkan pemberian kepada anak yang dicintainya daripada anak²nya yang lain hingga timbul keretakan di tengah² keluarga. Ini sebabnya karena tidak mengikuti bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memperturuti nafsu yang sesat.

Seperti itu pula halnya, sulit bagi seseorang untuk bersikap adil di kala ia marah. Sebab, saat marah, biasanya orang lebih suka memperturuti hawa nafsunya dan sulit mengendalikan dirinya. Orang yang marah fisiknya goncang dan benaknya kacau. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah, sebagaimana hadits riwayat Muslim, At Tirmidzi, dan An Nasai dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu.

Sikap adil dan ucapan yang benar hendaknya selalu dipegang erat oleh seorang muslim, baik terhadap kawan maupun lawan, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Hal ini tentu menjadi salah satu di antara sekian banyak keindahan agama Islam ini. Sejarah menjadi saksi tentang indahnya Islam yang bisa dirasakan oleh kaum muslimin, bahkan oleh orang kafir sekalipun.

Disebutkan dalam hadits shahih riwayat Al Bukhari dan Muslim bahwa dahulu ada seorang wanita dari kabilah Makhzum mencuri dan akan dipotong tangannya. Keluarga wanita tersebut tidak ingin tangan wanita itu dipotong. Mereka pun mencari seorang sahabat agar menyampaikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya wanita itu tidak dipotong tangannya. Mereka menemukan sahabat yang dicintai oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma, dan meminta kepadanya untuk menyampaikan pesan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Usamah menyampaikan pesan mereka. Nabi pun menegurnya seraya mengatakan, “Seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.”

Di kala seorang marah, sulit baginya untuk mengontrol ucapan dan perbuatannya. Karena itu, dahulu dikatakan, “Kemarahan awal timbulnya seperti kegilaan, dan ujungnya hanyalah penyesalan.”

Allah ‘azza wa jalla memuji orang yang menahan amarahnya dan mempersiapkan bagi mereka surga yang penuh kenikmatan.

Firman Allah ‘azza wa jalla,

وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang² yang bertaqwa, (yaitu) orang² yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, serta orang² yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang² yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 133—134)

Syariat memandang bahwa orang yang memperturuti nafsu amarahnya dan tidak mampu mengendalikan dirinya adalah orang lemah yang telah dikuasai oleh kejelekan.

Apabila dirunut, marah itu timbulnya dari setan. Maka dari itu, ketika marah seseorang dianjurkan berta’awudz (berlindung) kepada Allah ‘azza wa jalla dari setan.

Al Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa dahulu ada dua orang sahabat bertengkar di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satunya mencela temannya dalam kondisi marah dan wajahnya memerah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku tahu suatu kalimat yang apabila ia ucapkan niscaya akan hilang darinya apa yang ia alami. Seandainya ia membaca,

أَعُوذُ باِللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Aku berlindung kepada Allah ‘azza wa jalladari setan yang terkutuk.”

Malik bin Dinar berkata, “Sejak aku mengenal orang, aku tidak memedulikan pujian mereka dan tidak pula celaan mereka. Sebab, aku tidak melihat kecuali orang yang berlebih²an ketika memuji atau mencela.” (Syarh Hadits “Allahumma bi’ilmikal ghaib” karya Ibnu Rajab hlm.47)

Bersikap Sederhana Saat Miskin dan Kaya

Sikap seperti ini juga tidak semudah yang dibayangkan. Saat miskin, terkadang seorang berbuat sesuatu yang melanggar aturan agama, misalnya mencari penghasilan dengan cara² yang dilarang. Demikian pula terkadang ia menjadi kikir untuk beramal dan berinfak karena takut hartanya habis. Sebaliknya ketika seorang kondisinya kaya, ia cenderung berfoya-foya dan melampaui batas, bahkan menggunakan nikmat untuk bermaksiat.

Seorang muslim dibimbing untuk bersikap lurus dalam dua keadaan tersebut. Dia memandang bahwa nikmat adalah ujian, sebagaimana penyakit dan kefakiran adalah cobaan.

Seorang mukmin sejati akan selalu meniru kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang terkumpul padanya sikap syukur dan sabar. Apabila punya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak kikir barang sedikit pun. Bahkan, orang yang meminta kepadanya tidak akan pulang dengan tangan hampa. Di kala punya, beliau memberi dengan pemberian orang yang tidak takut fakir karena percaya kepada Allah ‘azza wa jalla. Ketika haji wada’ beliau berkurban dengan seratus ekor unta.

Sikap yang pertengahan seperti ini pula yang beliau contohkan. Di saat sulit dan sempit beliau bersabar dan tidak mengeluh. Beliau tinggal beserta keluarganya sekian hari lamanya tanpa ada yang dimakan selain kurma dan yang diminum hanya air biasa. Ketika beliau mendatangi sebagian istrinya pada suatu hari dan menanyakan adakah makanan pada mereka, lalu dijawab bahwa tidak ada, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau begitu, aku berpuasa.”

Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Apabila seseorang itu fakir, (hendaknya) ia tidak kikir karena takut hartanya habis, namun juga tidak boros sehingga terbebani dengan sesuatu yang sulit baginya.”

Hal ini sebagaimana bimbingan Allah ‘azza wa jalla kepada Nabi-Nya dalam firman-Nya,

وَلَا تَجۡعَلۡ يَدَكَ مَغۡلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبۡسُطۡهَا كُلَّ ٱلۡبَسۡطِ فَتَقۡعُدَ مَلُومٗا مَّحۡسُورًا ٢٩

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (berlebihan dalam membelanjakan) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al Isra’: 29)

Apabila seorang itu kaya, janganlah kekayaannya mendorongnya bersikap boros dan melampaui batas. Hendaknya ia tetap bersikap pertengahan.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَكَانَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ قَوَامٗا ٦٧

“Dan orang² yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah² antara yang demikian.” (QS. Al Furqan: 67)

Meskipun saat kaya seorang muslim melebihkan pembelanjaan hartanya dibandingkan ketika fakir, tetapi ia sederhana dan tidak berlebih²an. Tidak seperti kebanyakan orang kaya yang kekayaannya menyeretnya kepada sikap melampaui batas.

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah ditegur oleh (orang) pada masa kekhalifahannya karena berpakaian sederhana. Ali radhiallahu ‘anhu menjawab bahwa hal ini lebih jauh dari sikap sombong dan lebih tepat agar beliau dicontoh oleh muslim yang lain.

Demikian pula Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah ditegur di masa kepemimpinannya tentang sikap membatasi (nafkah) atas dirinya (sederhana). Beliau berkata, “Sungguh, kesederhanaan yang paling utama adalah ketika seorang itu kaya, dan pemberian maaf yang paling utama adalah ketika seorang mampu membalas.” (Syarh hadits Allahumma bi’ilmika Al ghaib hlm. 46—47).

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..