Senin, 02 Januari 2017

MUKMIN SEPERTI BUAH UTRUJAH

00.35.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Buah utrujah itu wanginya tercium, rasanya enak.

Dari Abu Musa Al Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ كَالأُتْرُجَّةِ ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ ، وَالْمُؤْمِنُ الَّذِى لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ كَالتَّمْرَةِ ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلاَ رِيحَ لَهَا ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالرَّيْحَانَةِ ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِى لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْحَنْظَلَةِ ، طَعْمُهَا مُرٌّ – أَوْ خَبِيثٌ – وَرِيحُهَا مُرٌّ

“Permisalan orang yang membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah utrujah, rasa dan baunya enak. Orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak beraroma. Orang munafik yang membaca Al Qur’an adalah bagaikan royhanah, baunya menyenangkan namun rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca Al Qur’an bagaikan hanzholah, rasa dan baunya pahit dan tidak enak.” (HR. Bukhari no.5059)

Utrujah itu baunya enak tercium, kalau dirasakan buahnya pun enak.

Jadilah orang yang membaca Al Qur’an bukan sekedar membaca dan menghafal. Namun hendaknya Al Qur’an tersebut bisa diaplikasikan. Semakin banyak kaji Al Qur’an, mestinya semakin bagus iman dan akhlaknya. Karena sifat orang yang membaca Al Qur’an itu akan tercium wanginya. Artinya, ia akan buktikan dalam amal dan perilakunya keseharian.

Bukan sebaliknya..

Semakin banyak ngaji, malah semakin tidak baik pada suami/ istrinya di rumah, semakin tidak berbakti pada ibu/ bapaknya, semakin keras pada tetangga, semakin tidak santun pada masyarakat sekitar.

Semoga perilaku kita bisa selaras dengan tuntunan Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Saadad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

MEMAKNAI TAHUN BARU BAGI SEORANG MUSLIM

00.33.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Segala puji bagi Allah yang menjadikan malam dan siang silih berganti sebagai ‘ibrah (pelajaran) bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada suri tauladan kita, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, hamba-Nya yang paling bersyukur, dan utusan-Nya yang mengajarkan bagaimana bersyukur dengan sebaik-baiknya kepada umatnya.

Di dalam berjalannya waktu, silih bergantinya hari dan berlalunya bulan dan tahun, terdapat pelajaran yang berharga bagi orang yang mau merenungkannya.

Tidak ada satu tahun pun berlalu dan tidak pula satu bulan pun menyingkir melainkan dia menutup lembaran² peristiwanya saat itu, pergi dan tidak kembali, jika baik amal insan pada masa tersebut, maka baik pula balasannya, namun jika buruk, penyesalanlah yang mengikutinya.

Setiap masuk tahun baru (Terutama tahun baru hijriyah untuk kita umat muslim), manusia menitipkan lembaran² tahun yang telah dilewatinya, sedangkan dihadapannya ada tahun baru yang menjelang.

Bukanlah inti masalah ada pada kapan tahun baru usai dan menjelang, akan tetapi yang menjadi inti masalah adalah dengan apa kita dahulu mengisi tahun yang telah berlalu itu dan bagaimana kita akan hiasi tahun yang akan datang.

Dalam menyongsong tahun baru, seorang mukmin adalah sosok insan yang suka tafakkur (berpikir) dan tadzakkur (merenung).

Tafakkur (berpikir) yang pertama, yaitu tafakkur hisab (intropeksi)

Dia memikirkan dan menghitung-hitung amalannya di tahun yang telah silam, lalu dia teringat (tadzakkur) akan dosa²nya, hingga hatinya menyesal, lisannya pun beristighfar memohon ampun kepada Rabbnya.

Tafakkur yang kedua, yaitu tafakkur isti’daad (persiapan)

Dia mempersiapkan ketaatan pada hari²nya yang menjelang, sembari memohon pertolongan kepada Tuhannya, agar bisa mempersembahkan ibadah yang terindah kepada Sang Penciptanya, terdorong mengamalkan prinsip hidupnya yang terdapat dalam ayat,

{إياك نعبد وإياك نستعين }

“Hanya kepada-Mu lah, kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami menyembah”.

Bukankah Hidup Ini Hakikatnya Adalah Perjalanan?

Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كلّ الناسِ يغدو؛ فبائعٌ نَفسَه فمُعتِقها أو موبِقها

“Setiap hari, semua orang melanjutkan perjalanan hidupnya, keluar mempertaruhkan dirinya. Ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang mencelakakannya”
(Hadits Riwayat Imam Muslim).

Tujuan Hidup Seorang Muslim

Sesungguhnya seorang Muslim, ketika meniti perjalanan hidupnya memiliki tujuan. Ia melakukan perjalanan hidupnya agar dapat mengenal siapa Allah. Dengan mengetahui nama, sifat, dan perbuatan-Nya. Inilah tujuan perjalanan hidup yang pertama ma’rifatullah seperti apa yang di sebutkan dalam QS. Ath-Thalaaq: 12.

Kemudian dia iringi  ma’rifatullah itu dengan ‘Ibadatullah (beribadah dan ta’at kepada Allah). Dan inilah tujuan perjalanan hidup yang kedua bagi seorang Muslim, yaitu agar dia bisa beribadah hanya kepada-Nya saja dengan benar seperti yang di jelaskan dalam QS. Adz-Dzaariyaat : 56, ia persembahkan jiwa raganya untuk Allah.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS. Al An’aam:162-163).

Akhir Perjalanan Hidup Seorang Muslim

Demikianlah kehidupan seorang Muslim terus melakukan perjalanan hidup, berpindah dari satu bentuk ibadah ke bentuk ibadah yang lainnya, baik dengan ibadah lahiriyah, hati, maupun keduanya, tanpa henti²nya.

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (ajal)”
(QS. Al-Hijr: 99).

Adapun akhir perjalanan adalah surga, di dalamnya lah tempat peristirahatan muslim yang abadi, istirahat dari letihnya perjalanan sewaktu di dunia dahulu, menikmati kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terbetik dalam hati manusia.

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang² yang bertakwa” (QS. Ali ‘Imran : 133).

Lebih dari itu, ia akan merasakan kenikmatan tertinggi, yaitu bisa melihat wajah Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ

”Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, dan pada sisi Kami ada tambahannya” (QS. Qaaf : 35).

Namun ironisnya, Negara kita yang tercinta ini, dengan penduduk yang mayoritas kaum muslimin, yang seharusnya memiliki prinsip dan sikap seperti apa yang telah ane sebutkan di atas ternyata setiap malam tahun baru masehi, di setiap kota besar khususnya, marak bermunculan acara² besar untuk merayakan tahun baru tersebut. Dan jujur, bahwa barangkali tidak ada satu pun dari acara² tersebut yang terbebas dari kemaksiatan. Bahkan mungkin tidak hanya maksiat, tapi juga menelan dana yang besar.

Coba renungkan, berapa puluh milyar anggaran yang dikeluarkan untuk menyambut tahun baru di ibu kota negara maupun kota² provinsi? Dengan biaya itulah, ratusan panggung “hiburan” di berbagai penjuru kota² besar justru difasilitasi secara resmi dengan segala hingar bingarnya yang didukung dengan besarnya dana. Uang pun dihambur²kan untuk menghiasi jalan² kota, “pesta” terompet, mercon, dan kembang api .

Berbagai bentuk kemaksiatan pun dapat mudah ditemukan di banyak tempat, bukan hanya di tengah kota, jalan besar, taman kota, hotel, dan kafe. Sampai² di sebagian lapangan desa dan jalan kampung pun, tidak jarang kemaksiatan mudah ditemukan di malam tahun baru masehi itu.

Yang jadi pertanyaan sekarang adalah kapan kemaksiatan² itu dan pemborosan tersebut terjadi?

“Hanya di satu malam saja.”

Dimana terjadinya ?

“Di negara kaum muslimin ini.”

Padahal kemaksiatan hakikatnya adalah musibah yang menimpa agama seorang muslim, sedangkan pemborosan uang adalah musibah yang menimpa dunianya.

Semoga Allah Ta'alaa senantiasa melindungi kita semua dari terkena musibah yang menimpa agama dan dunia kita..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Saadad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..