Rabu, 18 Januari 2017

HUKUM AL FATIHAH (4): MEMBACA AL FATIHAH DI BELAKANG IMAM

00.44.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Setelah diketahui bahwa Al Fatihah adalah bagian dari rukun shalat, bagaimanakah hukum membaca Al Fatihah bagi makmum saat imam mengeraskan bacaan Al Fatihah dalam shalat jahriyah?

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum makmum membaca surat di belakang imam.

Ulama Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa makmum tidak wajib membaca Al Fatihah baik dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya dan Shubuh) maupun sirriyah (Zhuhur dan Ashar) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ

“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, bacaan imam menjadi bacaan untuknya.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah no.850. Syech Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Namun ada perkataan tegas dari ulama Malikiyah dan Hanabilah bahwa makmum disunnahkan membaca Al Fatihah untuk shalat sirriyah.

Adapun dalam Madzhab Hanafiyah, makmum tidak membaca sama sekali di belakang imam dalam shalat sirriyah, bahkan dinyatakan makruh tahrim jika tetap membaca di belakang imam. Namun jika tetap dibaca, menurut pendapat terkuat, shalatnya tetap sah. Di antara alasannya adalah ayat,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik², dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’raf: 204).

Sedangkan Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa wajib membaca Al Fatihah bagi makmum baik dalam shalat sirriyah (Zhuhur dan Ashar), begitu pula dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya, dan Shubuh). Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah.”
(HR. Bukhari no.756 dan Muslim no.394).

Ada pernyataan dari Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa dimakruhkan bagi makmum membaca di saat imam menjaherkan (mengeraskan) bacaan. Namun ulama Syafi’iyah mengecualikan jika dikhawatirkan luput dari sebagian Al Fatihah.

Lalu kapan membaca Al Fatihah bagi makmum jika meyakini wajibnya?

Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa siapa yang mengetahui bahwa imam tidak membaca surat setelah Al Fatihah atau suratnya begitu pendek, maka ia membaca Al Fatihah berbarengan dengan imam.

Namun disunnahkan makmum membaca Al Fatihah tadi di antara diamnya imam sejenak setelah membaca Al Fatihah (disebut saktaat) atau Al Fatihah dibaca ketika ia tidak mendengar imam karena ia jauh atau tuli.

Ulama Hambali menyatakan bahwa makmum membaca Al Fatihah tersebut saat diamnya imam setelah membaca Al Fatihah (saktaat). (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah 33: 52-54).

Jadi kesimpulan yang bisa di ambil dari pendapat di atas itu apa'?

Intinya membaca Al Fatihah di belakang imam, menurut guru ane Syech Hammad Ad Dabbas dan Syech Maulana Hasan Hambali mengatakan bahwa jika imam menjahrkan bacaannya, maka cukup kita mendengar bacaan tersebut. Jika tidak mendengarnya karena jauh posisinya jauh dari imam, maka hendaklah membaca surat tersebut menurut pendapat yang lebih kuat dari pendapat² yang ada.

Ini juga sama dengan pendapat dari Imam Ahmad dan selainnya. Namun jika tidak mendengar karena ia tuli, atau ia sudah berusaha mendengar namun tidak paham apa yang diucapkan, maka di sini ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang terkuat, tetap membaca Al Fatihah karena yang afdhol adalah mendengar bacaan atau membacanya. Dan saat itu kondisinya adalah tidak mendengar. Ketika itu tidak tercapai maksud mendengar, maka tentu membaca Al Fatihah saat itu lebih afdhol daripada diam. (Majmu’ah Al Fatawa 23: 268).

Dalil yang menunjukkan bahwa bacaan imam juga menjadi bacaan bagi makmum dapat dilihat pada hadits Abu Bakrah.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Al Hasan, dari Abu Bakrah bahwasanya ia mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang ruku’. Lalu Abu Bakrah ruku’ sebelum sampai ke shaf. Lalu ia menceritakan kejadian yang ia lakukan tadi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ

“Semoga Allah menambah semangat untukmu. Namun yang seperti tadi jangan diulangi.”
(HR. Bukhari no.783).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Abu Bakrah untuk masuk shaf dalam keadaan ruku’ karena seperti itu seperti tingkah laku hewan ternak, demikian kata Ibnu Hajar dalam Al Fath (2: 268).

Di sini dapat disimpulkan bahwa mendapatkan ruku’ berarti mendapatkan satu raka’at, itulah yang dikejar oleh Abu Bakrah. Kalau mendapatkan ruku’ berarti mendapatkan satu raka’at, berarti tidak membaca Al Fatihah sama sekali. Artinya, bacaan Al Fatihah tersebut sudah ditanggung oleh imam.

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat'..

BERAWAL DARI ISTRI YANG SHALEHAH

00.36.00 Posted by Admin No comments

Assalamu'alaikum Akhi Ukhti'..

Bagaimanakah seseorang bisa mendapatkan anak yang shaleh?

Ternyata semua itu berawal bukan sedari mendidik anak ketika telah lahir. Namun faktor utama adalah pada istri yang shalehah. Karena istri adalah madrasah awal di rumah.

Kalau suami salah memilih atau membina istri menjadi baik, maka keadaan anaknya ikut serba salah. Kalau suami menyerahkan pada istri yang shalehah, anaknya jelas ikut shaleh.

Karena yang sehari-hari bertemu dengan anak di rumah adalah ibunya. Makanya orang Arab mengatakan,

الأُمُّ هِيَ المدْرَسَةُ الأُوْلَى فِي حَيَاةِ كُلِّ إِنْسَانٍ

“Ibu adalah sekolah pertama bagi kehidupan setiap insan.”

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ

“Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al Baqarah: 221).

Kalau istri shalehah yang dipilih pasti akan mendapatkan keberuntungan. Karena,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR. Bukhari no.5090 dan Muslim no.1446, dari Abu Hurairah).

Istri juga harus baik akhlaknya dan benar² berpegang pada agamanya. Cobalah lihat penilaian kaum Maryam kepada Maryam ketika ia melahirkan Isa tanpa bapak,

يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا

“Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.” (QS. Maryam: 28).

Maksud ayat tersebut adalah bapak Maryam itu adalah orang shaleh, tak mungkin anaknya adalah orang yang berperilaku jelek. Ibunya pun wanita shalehah, tak mungkin anaknya menjadi wanita pelacur.

Jadi awalnya dari orang tua, anak itu menjadi baik.

Bagi yang sudah terlanjur, tinggal memperbaiki diri. Semoga dengan istri menjadi baik, keadaan anak pun menjadi baik.

Namun sebenarnya bukan hanya dari istri, suami juga memegang peranan. Suami hendaklah yang baik. Sehingga keduanya akan mendapatkan anak yang shaleh/shalehah.

Semoga Allah memberkahi keluarga kita menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah..

Wallahu Waliyyut Taufiq Was Sadaad'..

Semoga bisa menjadi ilmu dan renungan yang bermanfaat'..